• Tidak ada hasil yang ditemukan

PSIKOLOGI KRIMINIL SEBAGAI BAGIAN DARI KRIMINOLOG

TINDAK PIDANA PERKOSAAN DITINJAU MENURUT KUHP DAN UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

C. Unsur – Unsur Tindak Pidana Perkosaan

Tidak semua perbuatan persetubuhan dengan wanita yang bukan istrinya dapat dikatakan sebagai perbuatan perkosaan. Sebab masih ada lagi perbuatan persetubuhan dengan orang lain yang tidak di kategorikan sebagai perbuatan perkosaan, tetapi dapat dimasukkan kepada perbuatan zina atau perbuatan cabul.

Maka untuk membedakannya penulis akan mengemukakan unsur – unsur delik perkosaan berdasarkan ketentuan pasal 285 KUHP.

Unsur pertama adalah adanya pelaku, yakni orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melakukan pemaksaan persetubuhan. Orang yang dimaksud disini adalah manusia yang telah menyadari segala akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan kekerasan yang dimaksud adalah adanya tindakan dengan mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang dapat menyebabkan orang lain menjadi pingsan atau tidak berdaya guna melukan perlawanan atas tindakan orang lain terhadapnya.

Seseorang dikatakan pingsan apabila ia tidak sadar akan dirinya. Pingsan dapat terjadi apabila kepadanya diberikan sesuatu obat perangsang, penenang sehingga dirinya tidak ingat atau tidak mengetahui apa yang bakal terjadi atas dirinya. Sedangkan tidak berdaya adalah korban telah kehilangan kekuatannya untuk melakukan perlawanan tetapi ia menyadari segala perlakuan yang dilakukan atas dirinya.

Kedua, paksaan atau kekerasan tersebut dilakukan atas seorang perempuan, yang bukan istrinya. Baik perempuan dewasa maupun perempuan yang belum dewasa. Dalam hal ini dapat dikatakan, bahwa asalkan persetubuhan tersebut dilakukan dengan kekerasan atau ancaman terhadap seorang wanita, anak – anak, remaja, maupun orang yang telah dewasa, dimana perempuan ini bukan istri pelaku maka tindakan tersebut dikatakan tindakan perkosaan.

Ketiga, terhadap perempuan tersebut harus telah dilakukan persetubuhan. Persetubuhan dimaksud adalah harus ada peraduan antara anggota

kemaluan laki – laki dengan perempuan yang biasa dilakukan untuk mendapatkan anak, jadi alat kelamin laki – laki harus masuk dalam kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan mani. Sehubungan dengan perbuatan ini Sianturi SH mengatakan bahwa :

Yang dimaksud dengan persetubuhan untuk penerapan pasal ini ( 285 KUHP) ialah memasukkan kemaluan si pria ke kemaluan si wanita sedemikian rupa yang normaliter atau yang dapat mengakibatkan kehamilan. Jika kemaluan si pria hanya sekedar menempel diatas kemaluan si wanita, tidak dapat dipandang sebagai persetubuhan, melainkan pencabulan dalam arti sempit yang untuk itu diterapkan pasal 289. Persetubuhan harus dilakukan oleh orang yang memaksa tersebut. Jika ada orang lain ( pria atau wanita ) yang turut memeksa, maka mereka ini adalah peserta petindak ( medader ). Perbandingkanlah pegertian persetubuhan dengan uraian pada pasal 28”4.43

Pemaksaan tersebut bila dikaitkan dengan tindakan pidana perkosaan, akan memiliki pengertian yang lebih luas lagi. Sebab untuk melakukan perkosaan tidak selamanya dilakukan kekerasan yang berhubungan dengan kekuatan fisik, Dari uraian ini dapat diambil kesimpulan bahwa tindak pidana perkosaan yang dimaksud dalam pasal 285 KUHP hanyalah tindak persetubuhan yang dilakukan seorang laki – laki atau lebih terhadap wanita yang tidak terikat perkawinan dengan pelaku dimana tindakan tersebut dilakukannya dengan jalan kekerasan.

Kekerasan yang dimaksud adalah kekerasan sebagaimana ditentukan dalam pasal 89 KUHP. Yakni berupa tindakan pemaksaan terhadap seseorang dengan mempergunakan tenaga atau kekuatan fisik ( jasmani ) secara syah. Misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, mentepak, menendang dan lain sebaginya yang bersifat pemaksaan atas diri seseorang.

43

tetapi dapat juga dilakukan dengan pemaksaan secara perekonomian, ataupun dengan pengaruh suatu kekuasaan.

Sejalan dengan hal diatas , Mulyanah Kusumah berpendapat bahwa pada dasarnya dilihat dari bentuk atau jenis perkosaan yang terjadi di Indonesia, perkosaan tersebut dapat diklasifikasikan kepada 5 (lima ) jenis bentuk perkosaan, yakni :

1. Perkosaan sadis ( sadistic rape ). Disini pelaku melaksanakan perkosaan dengan mempergunakan kekuatan fisik, dan melakukannya dengan terlebih dahulu menyakiti si korban, seperti memukul, menyiksa korban dan sebagainya. Pada type ini, seksualitas dan agresi berpadu dalam bentuk kekerasan yang merusak. Pelaku tidak menikmati kesenangan melalui persetubuhan yang dilakukan tetapi melalui penyiksaan – penyiksaan yang dilakukan terhadap alat kelamin dan tubuh korban. 2. Anger rape. Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan perasaan geram

dan amarah yang tertahan. Menurut para ahli, tindakan ini dilakukan karena adanya rasa jengkel, frustasi, kelemahan dan kekecewaan dalam hidup akibat adanya peningkatan harkat martabat seorang wanita, di tengah – tengah masyarakat. Perbuatan biasanya dilakukan dengan beramai – ramai oleh sekelompok orang ( gang rape ). Dengan kata lain disini pelaku ingin menunjukkan kemaskulinannya terhadap seorang wanita. Tindakan ini juga dilakukan dengan kekerasan yang bersifat fisik. 3. Perkosaan karena adanya dominasi ( domination rape ). Yakni merupakan

sosial ekonomidan mendominasi bagian penting kehidupan korban dari aspek keuangan. Disini pelaku mengadakan hubungan seksual dengan korban dengan ancaman kehilangan pekerjaan atau tidak akan diberi gaji atau uang tertentu bila tidak bersedia melakukan persetubuhan dengan pelaku. Misalnya seorang pembantu yang dipaksa melayani kebutuhsn biologis majikannya karena diancam akan berhenti bekerja bila tidak mau melakukan senggama. Pelaku menyakiti korban dari segi bathiniyah dan sekaligus menikmati kepuasan seksual dari persetubuhan yang dilakukan. 4. Exploitation rape. Pelaku dalam hal ini hampir sama dengan domination

rape, yakni melakukan perkosaan dengan mempergunakan suatu kekuasaan yang dimilikinya. Dalam hal ini korban sangat tergantung kepada pelaku dari segi ekonomi, sosial dan emosional. Disini pelaku melakukan penekanan dalam setiap kesempatan yang ada untuk dapat melakukan hubungan seksual dengan korban, dengan mengambil kesempatan yang ada dari posisi rawan si wanita memilih pemikiran rasional untuk menyelamatkan kebutuhan perekonomian hidupnya meskipun untuk itu ia harus mengorbankan dirinya dalam melakukan hubungan seksual. Misalnya pegawai kantor ataupun buruh yang bekerja pada suatu perusahaan dimana ia diancam akan diberhentikan bila tidak mau memenuhi ajakan majikan untuk melakukan hubungan seks.

5. Seductive rape, adalah merupakan salah satu bentuk perkosaan dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik oleh korban dan terjadi pada situasi – situasi tertentu yang diciptakan oleh kedua belah pihak. Pada

awalnya kedua belah pihak tidak terfikir akan melakukan hubungan badan, tetapi karena suatu hal yang tidak tetduga, pelaku merasa terangsang secara spontanitas untuk melakukan perkosaan terhadap korban. Perbuatan tersebut dapat terjadi karena paksaan, dan dapat juga terjadi karena pelaku menimbulkan rangsangan – rangsangan yang dapat menimbulkan birahi sang korban. Misalnya dua sejoli yang sedang bermesraan, si wanita tidak menyadari bahwa rangsangan yang dilakukan oleh sang pria adalah untuk menimbulkan birahinya, sehingga ia tidak menyadari bahwa pada dasarnya si pria telah melakukan perkosaan tanpa disadari korban. Atau dapat juga seorang guru, dokter, orang tua atau mereka – mereka yang tergolong dekat dengan korban, merasa terangsang tatkala melihat bentuk tubuh sang korban yang didekatnya, dimana hal ini dilanjutkan pelaku dengan jalan perkosaan

C. Faktor – faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana

Perkosaan

Tindak pidana kejahatan, khususnya pidana perkosaan merupakan salah satu dilema sosial yang meresahkan ataupun mengganggu keharmonisan interaksi sosial dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Sebab, meskipun korban perkosaan tidak mengalami kerugian berupa harta benda yang dapat dinilai dengan materi maupun kerugian meninggal dunia ataupun cacat secara fisik, namun korban perkosaan akan lebih mengarah kepada penderitaan bathin yang

traumatis. Dengan kata lain sang korban akan mengalami gangguan mental atau kejiwaan.

Dari berbagai mass media seperti koran, majalah , televisi maupun media yang lain, informasi tentang terjadinya tindak pidana perkosaan banyak ditemukan, meskipun kwantitasnya masih lebih rendah bila dibandingkan dengan tindak pidana yang lain. Seperti pencurian ataupun pembunuhan. Namun perkembangan tindak pidana perkosaan cenderung untuk meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan kualitas kejahatan perkosaan inilah yang selalu menjadi pemikiran dikalangan ilmuan, khusunya para pakar ilmu- ilmu sosial, ilmu hukum, penegak hukum dan masyarakat secara keseluruhan. Pengkajian ini perlu, karena perkosaan sebagai salah satu tindak pidana telah mulai mencapai keseriusan yang tinggi dan mengundang tumbuhnya fear of crime atau ketakutan akan timbulnya kejahatan terhadap dirinya.44

Meskipun tindak pidana perkosaan tersebut secara totalitas belum dapat diketahui jumlahnya, tetapi yang jelas kejahatan ini harus dikurangi intensitasnya.

Tetapi meskipun tindak pidana perkosaan tersebut hangat diperbincangkan oleh pakar ilmu hukum, namun tindak pidana tetap tumbuh dengan subur. Malah telah semakin berkembang dengan modus operandi yang bervariasi. Namun angka yang jelas tentang perkosaan ini sulit di dapatkann. Sebab kebanyakan korban ataupun keluarganya enggan melaporkan peristiwa tersebut kepada yang berwajib. Baik karena malu maupun terjadinya misklasifikasi tindak pidana perkosaan.

44

Untuk menanggulangi agar tindak pidana ini tidak semakin meluas maka perlu diupayakan pencegahan – pencegahannya. Pencegahan tersebut dapat berjalan dengan baik bila faktor – faktor penyebab terjadinya tindak pidana perkosaan terserbut dapat diketahui menurut proporsi sebenarnya secara dimensional.

Pemahaman terhadap faktor yang melatarbelakangi timbulnya perkosaan sedikit banyak aikan membantu para penegak hukum dan masyarakat unruk mendeteksi tindak pidana perkosaan yang terjadi disekelilingnya, sekaligus mampu menopang terciptanya pengendalian ketentraman dan keamanan masyarakat. Dengan kata lain mengetahui latar belakang kejahatan akan mempermudah kita menanggulangi kejahatan tersebut.

Faktor – faktor penyebab terjadinya tindak pidana perkosaan secara spesifik dalam kajian kriminologi dapat dikwalifisir kepada adanya pengaruh lingkungan, mental, ekonomi, dan calon korban.

Secara rinci faktor – faktor tersebut akan penulis kemukakan sebagai berikut :

1. Faktor Lingkungan

Faktor ini merupakan keadaan yang timbul dan mempengaruhio pelaku dari luar diri si pelaku sendiri, tetapi sedikit banyaknya dapat mempengaruhi pola – pola tingkah laku seseorang yang pada gilirannya mendorong pelaku untuk melakukan tindak pidana. Lingkungan ini dapat pula dibagi kepada, lingkungan rumah tangga, lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat.

Lingkungan rumah tangga merupakan basis pembentukan watak dari seseorang. Rumah tangga yang harmonis akan melahirkan generasi yang

bertanggung jawab, baik, jujur dan penuh rasa persaudaraan. Sedangkan lingkungan keluarga yang senantiasa diselimuti kecurigaan satu sama lainnya, kericuhan – kericuhan, pertentangan atau pertikaian, pada tahap selanjutnya akan menghasilkan anak yang tidak dapat diatur, bandal, tengkar dan memilki rasa egois yang tinggi. Lebih jauh mereka akan kehilangan sikap kasih sayang dengan sesamanya. Dengan kata lain mereka tidak akan segan – segan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain bila kehendaknya tidak terpenuhi. Apalagi mereka selama tinggal bersama keluarganya tidak mendapat pendidikan moral atau etika, khususnya dalam melakukan hubungan seksual, suatu saat nanti timbul anggapan dihati sang anak bahwa hubungan seksual tersebut bebas dilakukan tetrhadap siapapun tanpa adanya keterikatan, yang akhirnya timbullah berbagai delik kesusilaan, terutama tindak pidana perkosaan.

Lingkungan pendidikan atau sekolah, merupakan sarana bagi seseorang secara formal untuk mengenal bagaimana bertingkah laku yang baik. Dengan semakin tinggi pendidikannya maka semakin besar pula tingkat kesadaran untuk tidak melakukan kejahatan. Sebab ia telah memilki rasa malu, takut kehilangan jabatan, takut kehilangan nama baik di tegah- tengah masyarakat. Disamping itu dengan pendidikan yang tinggi kemungkinan besar berhasil dalam perekonomian juga semakin tinggi, dengan mapanya tingkat perekonomian sedikit kemungkinan seseorang melakukan tindak pidana perkosaan. Sebab bila timbul rangsangan seksual yang tidak terkendalikan, ia dapat melakukan perkawinan secara legal, atau terjun kelembah – lembah prostitusi, atau memlihara permpuan – perempuan simpanan. Disini meskipun terjadi hubungan seksual diluar pernikahan tetapi

bukanlah suatu tindakan perkosaan, tetapi perbuatan pelanggaran norma – norma kesusilaan yang dilakukan dengan dasar kepasrahan dan landasan suka sama suka, meskipun bermotifkan kebutuhan ekonomi ataupun kepantingan sosial tertentu.

Lingkungan masyarakat, merupakan lingkungan berikutnya yang akan dialami setiap individu didalam suatu susunan masyarakat. Disamping itu lingkungan masyarakat yang diterjuni seseorang akan membuat si individu bersangkutan identik dengan sosial masyarakat dimana ia meleburkan diri dalam pergaulan sehari – hari. Bila ia bermasyarakat dengan lingkungan yang selalu mengagung – agungkan kekerasan, kebebasan seks, maka sikap si individu tersebut akan dipengaruhi oleh kekerasan dan rangsangan kebebasan seksual tersebut. Tetapi bila masyarakat tempat ia berinteraksi merupakan masyarakat yang terikat kepada norma maka si individu tersebut akan cenderung mengikuti norma yang tumbuh dengan segala kaedah – kaedahnya.

2. Faktor Ekonomi

Kondisi perekonomian juga merupakan salah satu sebab seseorang melakukan perkosaan. Sebab masih ada anggapan bahwa kondisi ekonomi yang sulit, membawa seseorang kepada tingkat pendidikan yang rendah. Tingkat pendidikan yang rendah, pada tahapan selanjutnya membawa dampak kepada baik atau tidak baiknya pekerjaan yang didapatkan. Secara umum, orang yang memiliki tingkat pendidikan rendah, cenderung untuk tidak mendapatkan pekerjaan yang layak. Dimana kondisi ini menyebabkan seseorang kehilangan kepercayaan diri, dan menumbuhkan jiwa menjadi apatis, frustasi serta hilangnya

respect atas norma – norma sosial yang ada disekelilingnya. Timbulnya suatu anggapan bahwa norma sosial tersebut tercipta bukanlah untuk mereka.

Situasi diatas akhirnya juga merembet dalam hal pemenuhan kebutuhan biologisnya. Sebagian menyalurkannya dalam bentuk onani ( masturbasi ), bagi yang mempunyai sedikit uang menyalurkannya melalui wanita – wanita tuna susila pada kelas bordil atau kelas rendahan.45

3. Faktor Mental

Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki uang sama sekali, mulailah mencari – cari kesempatan untuk dapat melakukan hubungan seksual tersebut dengan mengintai wanita tertentu untuk dijadikan korban perkosaannya. Hal ini biasanya mereka melakukan dengan mengikuti calon korbannya, sehingga berada ditempat yang sunyi, kemudian mengancam sang korban dan selanjutnya menarikkannya kesemak – semak dan seterusnya terjadilah tindak pidana perkosaan tersebut.

Dalam hal ini pelaku tindak pidana perkosaan tersebut adalah orang yang memiliki kelainan mental atau memiliki penyakit jiwa. Baik yang didapatkan karena faktor keturunan maupun karena adanya sikap kelabilan dalam pribadi orang tersebut, hingga akhirnya ia sulit untuk menetralisir rangsangan seksual yang tumbuh dari dalam dirinya. Rangsangan seksual sebagai energi psikis tersebut, kalau tidak diarahkan, akan melahirkan hubungan seksual yang menyimpang dari kebiasaan umum. Misalnya melakukan hubungan seksual dengan hewan, sesama jenisnya, dan melakukan perkosaan dengan lawan jenisnya.

45

Alam, Pelacuran dan Pemerasan, Studi Sosiologi tentang Eksploitasi Manusia oleh Manusia, Alumni, Bandung, 1984,hal .99.

4. Faktor pada diri korban

Pada awalnya, masyarakat dan pakar hukum melihat terjadinya kejahatan hanyalah dari sudut pelaku. Namun dewasa ini timbulnya kejahatan, tidak hanya dapat dikaitkan kepada pelaku saja, tetapi juga harus melihat korban dari tindak pidana kejahtan tersebut. Sebab kejahatan ( perkosaan ) tidak akan dapat terjadi bilamana korbannya tidak ada. Tegasnya tanpa korban, tidak mungkin terjadi kejahatan. Jadi jelas bahwa, pihak korban sebagi partisipan utama memainkan peranan penting. Bahkan peranan tersebut berlanjut terus sampai penyelesaian tindak pidana perkosaan tersebut. Hal ini perlu dengan adil tidaknya hukuman yang dijatuhkan kepada si pelaku. Sehubungan dengan ini demi keadilan dan memahami masalah kejahatan menurut proporsi sebenarnya secara dimensional perlu diadakan penyelidikan, dan peninjauan yang perspektif interaktif, sebab kejahatan adalah salah satu bentuk interaksi negatif antara pelaku dengan korban.

Pihak korban dalam terjadinya tindak pidana perkosaan dapat berperan dalam keadaan sadar atau tidak, langsung atau tidak, secara pribadi atau kolektif, bertanggung jawab atau tidak, aktif atau pasif, bermotivasi atau tidak, semuanya tergantung kepada situasi dan kondisi pada saat tindak pidana perkosaan tersebut terjadi.

Pihak korban sebagai partisipan utama dalam terjadinya tindak pidana perkosaan, dalam kenyataannya sulit untuk dibedakan antara peranan korban dengan motivasi pelaku perkosaan. Namun yang jelas situasi dan kondisi pihak korban dapat merangsang pelaku untuk melaksanakan aksinya. Meskipun korban tidak menyadari bahwa tindakannya dapat menumbuhkan birahi atas orang yang

memandangnya. Misalnya korban selalu memakai pakaian sexy dan suka berjalan seorang diri di tempat – tempat sepi.

Disamping itu, dewasa ini pergaulan antara pria dengan wanita telah berjalan dengan sangat bebasnya, hingga kecendrungan berlangsungnya hubungan seksual diluar perkawinan semakin tinggi. Dimana hubungan tersebut dapat terjadi karena kemauan kedua pasangan ataupun karena dipaksakan oleh salah satu pihak, sehingga terjadilah tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh pelaku secara individual maupun kolektif.46 Dalam kejadian ini, pihak korban tidak menyadari bahwa sikap dan pergaulan yang dilakukannya dalan kelompok – kelompoknya dapat mengundang orang lain untuk berlaku tidak baik, dalam hal ini melakukan perkosaan.

Keseluruhan faktor tersebut merupakan rangkaian yang berkaitan satu sama lain dan saling menunjang tumbuhnya tindak pidana perkosaan. Tetapi dengan mengetahui faktor – faktor yang menjadi sebab timbulnya kejahatan, kiranya aparat penegak hukum bekerjasama dengan masyarakat secara umum, dapat menanggulangi timbulnya tindak pidana perkosaan. Untuk ini perlu beberapa upaya pencegahan yang dilakukan.

46

Ninik Widyanti. Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya, ditinjau dari Kriminologi dan Sosial, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hal. 65.

BAB IV