• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana yang diselesaikan Melalui Proses Restorative Justice

BAB III : PENERAPAN KONSEP RESTORATIVE JUSTICE PADA KASUS

C. Tindak Pidana yang diselesaikan Melalui Proses Restorative Justice

C. Tindak Pidana yang Diselesaikan Melalui Proses Restorative Justice

Penegakan hukum merupakan aktualisasi dari aturan hukum yang masih berada dalam tahap cita-cita, dan diwujudkan secara nyata dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan cita-cita atau tujuan hukum itu sendiri.Tujuan hukum pada hakikatnya adalah untuk menyatakan sesuatu aturan untuk menjamin kepastian hukum.

Elemen dasar dari penegakan hukum pidana seharusnya merupakan proses penemuan fakta, yang tidak memihak (impartial) dan penuh dengan resolusi atau pemecahan masalah yang harus dilakukan secara adil (fair) dan patut (equitable). Apapun teori kejadian yang dipakai, definisi

keadilan harus mencakup kejujuran (fairness), tidak memihak (impartiality), serta pemberian sanksi dan hadiah yang patut (appropriate reward and punishment).

Muladi, menyatakan bahwa penegakan hukum pidana selalu bersentuhan dengan moral dan etika. Hal ini didasarkan atas empat alas an, yaitu :

1. Sistem peradilan pidana secara khas melibatkan penggunaan paksaan, atau kekerasan (coercieon), dengan kemungkinan terjadinya kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power)

2. Hampir semua professional dalam penegakan hukum pidana merupakan pegawai emerintah (public servant) yang memiliki kewajiban khusus terhadap publik yang dilayani

3. Bagi setiap orang, etika dapat digunakan sebagai alat guna membantu memecahkan dilemma etis yang dihadapi seseorang di dalam kehidupan profesionalnya (enlightened moral judgment).

4. Dalam kehidupan profesi sering dikatakan bahwa a set of ethical requirements are as part of its meaning.

Penegakan hukum terhadap aturan-aturan hukum tidak terbatas pada tindakan dengan menghukum dan memasukkan ke dalam penjara sebanyak-banyaknya.Namun yang lebih subtansial adalah sebagaimana upaya penegak hukum dapat menimbing warga masyarakat agar tidak melakukan perbuatan melanggar hukum. Secara umum dalam konsep restorative justicetidak membatasi dan menempatkan tindakan pidana apa saja yang dapat diselesaikan. Setiap tindak pidana dapat diselesaikan dengan penyelesaian di luar peradilan formal melalui proess restorative justice, hanya saja peaksanaan proses tersebut harus sesuai dengan prinsip utama restorative justice.

Tujuan utama restorative justice adalah perbaikan atau penggantian kerugian yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diderita oleh masyarakat akibat pelaku terhadap luka yang diderita oleh masyarakat akibat tindakannya, konsiliasi dan rekonsiliasi pelaku, korban dan masyarakat.Restorative justice bertujuan memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki tindakan melanggar hukum dengan mengunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Restorative justice juga bertujuan merestorasi kesejahteraan masyarakat, memperbaiki manusia sebagai anggota msayarakat dengan cara menghadapkan anak sebagai pelaku berupa pertanggungjawaban kepada korban atas tindakannya. Korban yang biasanya terabaikan dalam proses peradilan, berperan serta dalam proses peradilan.

Tindakan pidana yang diselesaikan melalui proses restorative justice yaitu victim offender mediation di Negara Jerman menurut hasil penelitian adalah melukai badan (bodily injury), pencurian (theft), pengrusakan barang (damage to property), perampokan atau pemerasan (robbery / extortion), tindak pidana yang tergolong berat (felonies), dan kesejahteraan kekerasan lain (violent crimes). Di Negara Australia pelanggaran yang dapat dialihkan kepada restorative justice adalah tindak pidana selain yang terjadi cukup serius, karena jika cukup serius seperti pembunuhan, percobaan pembunuhan, pelanggaran konsumsi alkohol dan keselamatan jalan raya maka harus ditangani oleh pengadilan.Pelanggaran selain itu diputuskan dengan diskresi oleh polisi. Di Negara Polandia tidak ada batasan untuk tindak pidana (kasus) apa yang dilakukan proses restorative justice untuk anak. Asalkan luka atau bahaya yang timbul diakui oleh pelaku kemudian korban dapat diketahui dan pertanggungjawaban oleh pelaku tidak bertentangan dengan hukum (misalnya tidak boleh pertanggungjawabannya pelaku dipukuli, disakiti secara fisik dan lain-lain).

Pelaksanaan restorative justice yang dilaksanakan dengan kurangnya pelatihan dalam mengatasi konflik dan teknik memfasilitasi/mediasi dan pelaksanaannya kurang sempurna akan menyebabkan kurangnya keberhasilan dalam pelaksanaan. Oleh karena itu, peran pelaksana

restorative justice sangat membantu sukses atau tidaknya dalam pelaksanaan. Sebagai contoh, korban akan mempunyai pengalaman dimarginalkan (experience marginatisation) apabila dia tidak diundang dalam proses restorative justice. Selain itu, apabila tidak dipersiapkan dengan baik mengenai hak-hak dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam mediasi maka proses tidak akan menemukan hasil sebagaimana yang diharapkan. Apabila korban tidak mendapat pendampingan, baik oleh walinya, lembaga anak maupun pihak pendukungnya maka akan membuat perasaan diintimidasi dan dikorbankan kembali pada korban, terlebih lagi jika pelaku yang hadir dan pihak keluarganya berkeinginan keras untuk mencapai kesepakatan.Tanpa semua sumber daya manusia yang ikut berperan, maka restorative justice hanya sebagai nama dari proses tanpa hasil yang terbaik bagi semua pihak yang ikut serta.

BABIV

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA KASUS PENGEMUDI KENDARAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid

atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.24

Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.25

24

http://saidulfiendjs.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana 25

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Raja Garfindo, Jakarta, 1996, hal. 11

Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya

itu.Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.

Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.26

Didalampenjelasannya dikemukakan:

Tindakpidanatidakberdirisendiri,itubarubermaknamanakala terdapat pertanggungjawabanpidana.Iniberartisetiaporangyang

melakukantindakpidanatidakdengansendirinyaharusdipidana.Untuk dapatdipidanaharus adapertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidanalahirdenganditeruskannyacelaan

(vewijbaarheid)yangobjektifterhadapperbuatanyangdinyatakansebagaitindakpidanayangberlaku,d ansecarasubjektifkepadapembuattindak pidanayangmemenuhipersyaratanuntukdapat dikenaipidanakarenaperbuatannya.

KonsepRancanganKUHPBaruTahun2004/2005,didalamPasal

34memberikandefinisipertanggungjawabanpidanasebagaiberikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektifyangadapadatindak pidana dansecarasubjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidanakarena perbuatannyaitu.

27

Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.28

26

Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1987, hal. 75 27

Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan) 28

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka cipta, Jakarta, 1994, hal. 131

Orangnya yang

perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah

toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.29

“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban”dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidanghukumpada abadke-20,RoscouPound,dalamAnIntroductiontothePhilosophyof Law, telah

mengemukakanpendapatnya ”I…. Use the

simpleword“liability”forthesituationwherebyoneexactlegallyandotheris legallysubjectedtotheexaction

Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawabanpidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalanpemilihan dari berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dariberbagaipertimbangan yangrasionaldanbijaksanasesuaidengan keadaandanperkembanganmasyarakat

Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmitamenyatakansebagaiberikut:

31

Bertitik

tolakpadarumusantentang“pertanggungjawaban”atauliabilitytersebutdiatas,Poundmembahasnyad arisudutpandangfilosofisdansistem hukumsecaratimbalbalik.Secarasistematis,Poundlebihjauh menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama,menurutPound,bahwa

liabilitydiartikansebagaisuatukewajibanuntukmembayarpembalasanyangakanditerimapelakudaris eseorangyang telah “dirugikan”. Sejalan dengan semakin efektifnya

29

Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Yayasan LBH, Jakarta, 1989, hal. 79

31

perlindunganundang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatukedamaiandan ketertiban,danadanyakeyakinanbahwa“pembalasan” sebagaisuatualat penangkal,makapembayaran“gantirugi”bergeserkedudukannya,semulasebagaisuatu“hakistimewa ”kemudianmenjadisuatu“kewajiban”.Ukuran“gantirugi”tersebu tidaklagidarinilaisuatu pembalasan yangharus “dibeli”, melainkan darisudut kerugianataupenderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.[8]

Bahwa peraturan hukum yang mengatur kecelakaan lalu lintas di jalan raya dapat menimbulkan kerugian materi, bahkan ada yang sampai dengan meninggal dunia disamping luka berat dan ringan dan/atau cacat seumur hidup.Pengaturan tentang kecelakaan lalu lintas dapat dilihat dari beberapa peraturan tentang lalu lintas itu sendiri dan beberapa penerapan yang terdapat didalam kitab undang – undang hukum pidana.

Dokumen terkait