• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam teori tindakannya, Max Weber memusatkan perhatiannya pada tindakan yang jelas-jelas melibatkan campur tangan proses pemikiran (dan tindakan bermakna yang ditimbulkan olehnya) antara terjadinya stimulus dengan respons. Secara agak berbeda, tindakan dikatakan terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka. Tindakan terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan-tindakan mereka (penafsiran tindakan menurut makna subjektifnya). Menurut Weber, yang dipersoalkan bukanlah keharusan subjektif mempertimbangkan terhadap suatu hal, namun lebih pada keyakinan bahwa hal ini diperlukan.

Tindakan manusia dianggap sebagai sebuah bentuk tindakan sosial ketika tindakan itu ditujukan pada orang lain. Tindakan sosial menurut Max Weber adalah suatu tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer 1975). Suatu tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati tidak masuk dalam kategori tindakan sosial. Suatu tindakan akan dikatakan sebagai tindakan sosial ketika tindakan tersebut benar-benar diarahkan kepada orang lain (individu lainnya). Meski tak jarang tindakan sosial dapat berupa tindakan yang

bersifat membatin atau bersifat subjektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Bahkan terkadang tindakan dapat berulang kembali dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Weber dalam Turner 2000).

Ada 5 (lima) ciri pokok Tindakan sosial menurut Max Weber sebagai berikut: 1). Jika tindakan manusia itu menurut aktornya mengandung makna subjektif dan

hal ini bisa meliputi berbagai tindakan nyata.

2). Tindakan nyata itu bisa bersifat membatin sepenuhnya. Biasanya aktor menghindari konfrontasi langsung dengan aktor lain, namun lebih pada menciptakan sebuah media yang secara nyata meminta respon dan tanggapan orang lain meskipun hanya dalam hati.

3). Tindakan itu bisa berasal dari akibat pengaruh positif atas suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang, atau tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam dari pihak mana pun.

4). Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu. 5). Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang

lain itu.

Tujuan Weber tak lain adalah memfokuskan perhatian pada individu, pola dan regularitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas, "Tindakan dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secaru subjektif hanya hadir sebagai perilaku seorang atau beberapa orang manusia individual" (Weber, 1921/1968: 13). Weber mengakui bahwa untuk beberapa tujuan kita mungkin harus memperlakukan kolektivitas sebagai individu, "namun untuk menafsirkan

tindakan subjektif, kolektivitas-kolektivitas ini harus diperlakukan semata-mata sebagai resultan dan mode organisasi dari tindakan individu tertentu, karena semua itu dapat diperlakukan sebagai agen dalam tindakan yang dapat dipahami secara subjektif (1921/1968:13). Tampaknya bahwa Weber hampir tidak dapat mengelak lagi bahwa tindakan pada akhirnya berkutat pada individu, bukan kolektivitas.

Weber menggunakan metodologi tipe idealnya untuk menjelaskan makna tindakan dengan cara mengidentifikasi 4 (empat) tipe tindakan dasar. Tipologi ini tidak hanya sangat penting untuk memahami apa yang dimaksud Weber dengan tindakan, namun, juga menjadi salah satu dasar bagi minat Weber pada struktur dan institusi sosial yang lebih luas. Yang terpenting adalah pembedaan yang di-lakukan Weber terhadap kedua tipe dasar tindakan rasional. Yang pertama adalah rasionalitas sarana-tujuan, atau tindakan 'yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan-harapan ini digunakan sebagai 'syarat' atau 'sarana' untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional" (Weber, 1921/1968:24). Yang kedua adalah rasionalitas nilai, atau tindakan yang "ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya" (Weber, 1921/1968:24-25). Tindakan afek-tual (yang hanya sedikit diperhatikan Weber) ditentukan oleh kondisi emosi aktor. Tindakan tradisional (yang lebih mendapatkan tempat dalam karya Weber) ditentukan oleh cara bertindak aktor yang biasa dan telah lazim dilakukan. Harus dicatat bahwa meskipun Weber membedakan empat bentuk tindakan ideal-tipikal,

ia sepenuhnya sadar bahwa tindakan tertentu biasanya terdiri dari kombinasi dari keempat tipe tindakan ideal tersebut.

a. Tindakan Rasionalitas Sarana-Tujuan/Instrumental

Tindakan ini dilakukan seseorang dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara yang digunakan dengan tujuan yang akan dicapai. Tindakan “yang ditentukan oleh harapan perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain, harapan-harapan ini digunakan sebagai ‘syarat’ atau ‘sarana’ untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional”.

b. Tindakan Rasionalitas Berorientasi Nilai

Tindakan ini bersifat rasional dan memperhitungkan manfaatnya, tetapi tujuan yang hendak dicapai tidak terlalu dipentingkan oleh si pelaku. Pelaku hanya beranggapan bahwa yang paling penting tindakan itu termasuk dalam kriteria baik dan benar menurut ukuran dan penilaian masyarakat di sekitarnya. Tindakan “yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius, atau bentuk perilaku-perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya”.

c. Tindakan Afektif

Tindakan ini sebagian besar dikuasai oleh perasaan atau emosi tanpa pertimbangan-pertimbangan akal budi. Seringkali tindakan ini dilakukan tanpa perencanaan matang dan tanpa kesadaran penuh. Jadi dapat dikatakan sebagai reaksi spontan atas suatu peristiwa. Tindakan yang ditentukan oleh kondisi emosi aktor. Ledakan kemarahan seseorang misalnya. Atau ungkapan rasa cinta, kasihan, adalah contoh dari tindakan afektif ini.

d. Tindakan Tradisional

Tindakan ini merupakan tindakan yang tidak rasional karena berorientasi kepada tradisi masa lampau. Seseorang melakukan tindakan hanya karena kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tanpa menyadari alasannya atau membuat perencanaan terlebih dahulu mengenai tujuan dan cara yang akan digunakan. Tindakan yang ditentukan oleh cara bertindak aktor yang sudah terbiasa dan lazim dilakukan. Mekanisme tindakan semacam ini selalu berlandaskan hukum – hukum normatif yang telah ditetapkan secara tegas oleh masyarakat.25

Teori tindakan sosial Max Weber penulis gunakan sebagai pendekatan untuk mendeskripsikan kepemimpinan kontestatif kiai di Mlangi. Sebagaimana dugaan awal penulis bahwa tindakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh kiai-kiai di Mlangi dengan segala macam motifnya tujuannya untuk memperoleh kepatuhan masyarakat Mlangi.

Pergulatan sosial dalam konteks kepemimpinan menjadi sebuah kesatuan yang bersifat sistemik dan dinamis. Pemahaman dasar yang menjadikan proses tersebut bersifat sistemik dan dinamis karena dialektika yang terjadi dalam proses tersebut. Pemahaman khusus adalah tindakan sosial menjadi salah satu aspek yang menjadikan pergulatan sosial berlanjut dalam kondisi yang sistemik dan dinamis. Tindakan sosial dapat dimaknai sebagai tindakan individu dimana tindakan itu mengandung makna subyektif yakni strategi atau cara yang diwujudkan untuk mempengaruhi orang lain sesuai dengan kehendak individu.

25 Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; dari Sosiologi sampai Perkembangan Teori Post Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 136-149

E.4. Kiai

Sosok pemimpin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kiai. Penulis memasukkan kiai ke dalam kategori pemimpin informal karena dalam pengangkatannya sebagai pemimpin tidak tergantung pada acuan formal administratif. Kiai dipilih sebagai seorang pemimpin atas pengakuan masyarakat yang mempercayai keutamaan watak dan kemampuannya dapat mendatangkan manfaat bagi kehidupan masyarakat muslim disekitarnya.

Kiai sebagai pemimpin informal sejalan dengan pendapat Kuntowidjojo yang menceritakan bahwa pada banyak kasus, peran kiai dalam masyarakat pedesaan tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan yang menyangkut keagamaan. Di tengah kebudayaan yang didominasi ketokohan kiai, berbagai masalah sehari-hari menyangkut urusan rumah tangga, perjodohan, perekonomian, bahkan pengobatan sering menempatkan kiai sebagai tumpuan. Hal ini tentu saja melahirkan hubungan emosional yang diliputi ketergantungan dengan tingkat kepercayaan yang tidak perlu dipertanyakan. Masyarakat Islam di sekitar kiai dengan sendirinya akan senantiasa berusaha menyesuaikan pandangan hidup dan perilakunya dengan ketokohan kiai. Kiai menjadi pemimpin informal yang lebih didengar petuah dan keputusannya dibanding tokoh manapun.26

Zamakhsyari Dhofier mengibaratkan kiai sebagai raja kecil yang memegang sumber mutlak kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam tatanan sosial masyarakat pesantren, di mana pesantren disimbolkan sebagai miniatur kehidupan masyarakat luas yang sesungguhnya. Kiai memiliki

kekuatan otoritas kultural yang tidak hanya berkutat pada lingkaran masyarakat sekitar pesantren, melainkan menyebar hingga menembus jaringan-jaringan sosial dalam skala makro. Dalam penelitiannya pula ia menyatakan asal-usul kiai dalam bahasa jawa dipakai untuk 3 (tiga) jenis gelar yakni:27

1). Gelar kehormatan bagi benda-benda yang dianggap kramat. Contohnya: “Kiai Garuda Kencana” yakni kereta emas milik Keraton Yogyakarta.

2). Gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya.

3). Gelar yang diberikan kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau yang menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santri.

Sementara Max Weber telah menggunakan istilah “kharisma” untuk menjelaskan sebuah bentuk pengaruh yang didasarkan bukan atas tradisi atau kewenangan namun atas persepsi para pengikut bahwa kepada sang pemimpin tersebut telah dikaruniai kemampuan-kemampuan yang luar biasa. Kharisma, terjadi bilamana terjadi krisis sosial, yang pada krisis itu, seorang pemimpin dengan kemampuan pribadi yang luar biasa tampil dengan sebuah visi yang radikal yang member suatu pemecahan terhadap krisis tersebut, dan pemimpin tersebut menarik perhatian para pengikut yang percaya pada visi itu dan merasakan bahwa pemimpin tersebut sangat luar biasa.28

Max Weber29 menjelaskan bahwa kiai sebagai pemimpin kharismatik

27 Dhofier, Zamakhsari. 2011. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. cet. Ke-9. Jakarta: LP3ES. Hal. 55.

28 Anasom. 2002. Kiai, Kepemimpinan dan Patronase. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. hal. 10-11.

29 Max Weber. 2006. Essay in Sociology. Terj. Noorkholis. Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 297

karena memperoleh karunia Tuhan dan atau didukung dengan kemampuan memperoleh dan mempertahankan otoritasnya. Tidaklah mengherankan jika kiai dengan kharismatiknya dengan mudah menggerakkan dan mengarahkan santri maupun bawahannya sesuai dengan kehendak pribadinya, karena kepatuhan santri maupun bawahan atas kepemimpinan kiai sudah terbentuk sebelumnya. Mereka meyakini akan memperoleh dengan apa yang disebut berkah kiai. Kiai dapat pula disebut orang alim yakni seseorang yang memiliki pemahaman mendalam tentang agama Islam. Dalam menunjukkan kekhususannya dapat pula ditunjukkan dalam bentuk berpakaian yang merupakan simbol kealiman yaitu kopiah dan surban.30

Menurut Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya An-Nashaihud Diniyah mengemukakan sejumlah kriteria atau ciri-ciri kiai.31

Bagi dirinya sendiri dia senantiasa: 1). Dia takut kepada Allah;

2). Bersikap zuhud pada dunia;

3). Selalu bergegas melakukan ibadah; 4). Tidak bersikap kasar;

5). Hatinya tidak keras; 6). Berakhlak baik;

7). Merasa cukup (qana`ah) dengan rezeki yang sedikit dan menyedekahkan harta yang berlebih dari kebutuhan dirinya.

Kepada masyarakat dia senantiasa:

30 Ibid. Hal. 56.

31 Bisri, A. Mustofa. 2003. Percik-percik Keteladanan Kiai Hamid Ahmad Pasuruan. Rembang: Lembaga Informasi dan Studi Islam, Yayasan Ma`had as-Salafiyah. hal. xxvi.

1). Suka memberi nasehat, ber amar ma`ruf nahi munkar dan menyayangi mereka serta suka membimbing ke arah kebaikan dan mengajak pada hidayah.

2). Bersikap tawadhu’, berlapang dada dan tidak tamak pada apa yang ada pada mereka serta tidak mendahulukan orang kaya daripada yang miskin.

Sementara dari ciri-ciri tersebut, menurut Hamdan Rasyid bahwa kiai mempunyai tugas-tugas sebagai berikut:32

1). Melaksanakan tablikh dan dakwah untuk membimbing umat. Kiai mempunyai kewajiban mengajar, mendidik dan membimbing umat manusia agar menjadi orang-orang yang beriman dan melaksanakan ajaran Islam.

2). Melaksanakan amar ma`ruf nahi munkar. Seorang kiai harus melaksanakan amar ma`ruf dan nahi munkar, baik kepada rakyat kebanyakan (umat) maupun kepada para pejabat dan penguasa Negara (umara), terutama kepada para pemimpin, karena sikap dan perilaku mereka banyak berpengaruh terhadap masyarakat.

3). Memberikan contoh dan teladan yang baik kepada masyarakat. Para kiai harus konsekuen dalam melaksanakan ajaran Islam untuk diri mereka sendiri maupun keluarga, saudara-saudara, dan sanak familinya. Salah satu penyebab keberhasilan dakwah Rasulullah SAW, adalah karena dia dapat dijadikan teladan bagi umatnya.

4). Memberikan penjelasan kepada masyarakat terhadap berbagai macam ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Para kiai harus

32 Rasyid, Hamdan. 2007. Bimbingan Ulama: Kepada Umara dan Umat. Jakarta: Pustaka Beta. hal. 22

menjelaskan hal-hal tersebut agar dapat dijadikan pedoman dan rujukan dalam menjalani kehidupan.

5). Memberikan solusi bagi persoalan-persoalan umat. Kiai harus bisa memberi keputusan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat secara adil berdasarkan al-Qur`an dan al-Sunnah.

6). Membentuk orientasi kehidupan masyarakat yang bermoral dan berbudi luhur. Dengan demikian, nilai-nilai agama Islam dapat terinternalisasi ke dalam jiwa mereka, yang pada akhirnya mereka memiliki watak mandiri, karakter yang kuat dan terpuji, ketaatan dalam beragama, kedisiplinan dalam beribadah, serta menghormati sesama manusia. Jika masyarakat telah memiliki orientasi kehidupan yang bermoral, maka mereka akan mampu memfilter infiltrasi budaya asing dengan mengambil sisi positif dan membuang sisi negatif.

7). Menjadi rahmat bagi seluruh alam terutama pada masa-masa kritis seperti ketika terjadi ketidak adilan, pelanggaran terhadap hak asasi manusia, bencana yang melanda manusia, perampokan, pencurian yang terjadi dimana-mana, pembunuhan, sehingga umatpun merasa diayomi, tenang, tenteram, bahagia, dan sejahtera di bawah bimbingannya.

Mudjahirin Tohir mendefinisikan ke-kiai-an seseorang dapat dilihat melalui 3 (tiga) parameter mendasar yakni: Pertama, penguasaan dan pemahaman keagamaan yang relatif lebih tinggi dan lebih baik dibandingkan pengetahuan masyarakat di lingkungannya. Kedua, sikap atau mentalitas yang baik, tercermin dalam visi geraknya yakni mampu memegang komitmen pada ajaran amar ma’ruf

nahi munkar. Ketiga, mampu memberikan pengaruh berupa keteladanan, komitmen serta konsistensi terhadap perilakunya.33

Sementara sedikit berbeda menurut Endang Turmudzi, terdapat 2 (dua) faktor utama yang mendukung posisi kuat kiai di hadapan masyarakat yakni: Pertama, kiai haruslah berpengetahuan luas. Sosok kiai ditempatkan oleh masyarakat untuk meminta pertimbangan dalam banyak hal ataupun persoalan hidup yang dihadapi, sehingga faktor tersebut menjadikan kiai sangat dekat hubungannya dengan masyarakat. Kedua, faktor ekonomi ataupun kekayaan. Kekayaan menjadi salah satu penopang kharisma kiai. Pada umumnya keluarga kiai relatif kaya. Melalui kekayaannya tersebut, kiai dapat menciptakan “pola patronase” yang bisa menghubungkan kepada kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat, hal ini sangat menopang kualitas kedudukan dan kepemimpinan kulturalnya di hadapan umat.34

Dokumen terkait