• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sosok pemimpin dengan karakteristik kepemimpinan yang kuat. Kiai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sebagai sosok pemimpin dengan karakteristik kepemimpinan yang kuat. Kiai"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam tradisi masyarakat Islam di Indonesia utamanya kalangan Nahdliyin dikenal istilah kiai yang merujuk pada sosok seorang pemimpin. Kiai terlahir sebagai sosok pemimpin dengan karakteristik kepemimpinan yang kuat. Kiai ditempatkan sebagai gelar sangat terhormat dalam lingkup masyarakat Islam di Indonesia. Oleh sebagian orang, kiai dianggap mampu menciptakan efek kuasa yang luar biasa bagi para pengikutnya. Kiai memang dianggap sebagai figur sentral dan juga sebagai suri teladan dalam masyarakat Islam. Apapun yang berkaitan dengan bidang ilmu-ilmu keislaman seperti fiqh, tauhid, akhlak, dan ibadah, kiai menjadi tempat utama bertanya. Sehingga kepatuhan atas sosok kiai sebagai seorang pemimpin sangatlah tinggi.

Namun jika dilihat dari fenomena yang sudah banyak berkembang di Indonesia, peran utama kiai bukan lagi ditempatkan sebatas sebagai guru berkaitan dengan kedalaman pemahaman bidang ilmu-ilmu Islam seperti fiqh, tauhid, akhlak, dan ibadah, namun sudah mulai ditempatkan oleh masyarakat dengan peran yang lebih luas. Sebagai contoh kiai sudah banyak pula dikait-kaitkan dalam fenomena perpolitikan di Indonesia. Kedekatan dengan figur kiai seringkali diwacanakan oleh sebagian calon pemimpin untuk mendongkrak popularitasnya di mata masyarakat. Tradisi sowan kiai sudah sering kita dengar dalam rangka pencalonan seorang kepala daerah atau bahkan kepala negara.

(2)

Sebagai contoh dalam kampanye pencalonan presiden pada tahun 2014, baik kubu Jokowi-Jusuf Kalla maupun kubu Prabowo-Hatta seolah mewacanakan kedekatan mereka dengan kiai dengan melakukan sowan diantaranya ke kediaman KH. Maimun Zubair dan KH. Mustofa Bisri. Entah apa tujuannya namun para calon pemimpin tersebut menyadari bahwa kiai memang menjadi salah satu sumber daya kekuasaan yang potensial dalam arena pertarungan politik. Basis pengikut kiai sangatlah kuat. Fenomena tersebut di atas hanyalah contoh kecil bahwa ketakjuban masyarakat atas kiai sangatlah tinggi. Bahkan para pemimpin negara pun rela untuk sowan kiai demi memperoleh apa yang disebut keberkahan kiai.

Tidaklah mengherankan jika melihat mayoritas masyarakat Indonesia merupakan masyarakat muslim, dimana istilah kiai telah diakui sebagai gelar tertinggi dalam struktur sosial budaya Islam di Indonesia. Dilihat dari sumber pengaruhnya, bukan sebuah kebetulan hingga pada akhirnya seseorang disebut kiai. Sekalipun dia terlahir sebagai seorang gus1, tidak menjamin dikemudian hari

dia lantas dipanggil kiai. Seseorang dengan segala istiqomahnya memperdalam ilmu agama Islam, mendekatkan diri kepada Allah SWT, berupaya mengamalkannya di masyarakat, hingga akhirnya dia memperoleh pengakuan dari masyarakat atas keutamaan watak dan kedalaman ilmu agama Islam yang dimilikinya. Proses memperoleh gelar kiai yang sangat natural dengan berbasis keutamaan watak dan kedalaman ilmu mengenai ajaran agama Islam itulah yang menjadikan kiai dalam posisinya sangat strategis dan sentral sebagai seorang pemimpin dalam kelompok masyarakat muslim di suatu wilayah tertentu, baik itu

(3)

masyarakat umum ataupun masyarakat pesantren. Hal tersebut dikarenakan keberadaan kiai disokong oleh legitimasi sosio kultural berupa pengakuan dari masyarakat muslim itu sendiri.

Posisi strategis kiai sebagai seorang pemimpin yang disokong oleh legitimasi sosio kultural tersebut tak ayal akan menimbulkan efek kuasa. Kepemimpinan dan kekuasaan memang sudah menjadi sebuah kesatuan. Kepemimpinan dapat pula dimaknai sebagai proses mempertahankan kekuasaan dari waktu ke waktu. Disampaikan oleh Zamakhsari Dhofier bahwa kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan dalam kehidupan dan lingkungan masyarakat pesantren.2

Pada umumnya dalam beberapa kajian kepemimpinan kiai di Indonesia memang akan sangat melekat antara hubungan kiai dan pondok pesantren. Meskipun tidak selalu bahwa seseorang disebut kiai haruslah memiliki ataupun dikenal sebagai pemimpin pondok pesantren. Mungkin tidak ada salahnya jika kita mengulas kepemimpinan kiai pesantren, dalam upaya penulis menggali terbentuknya pengaruh kiai terhadap pengikut-pengikutnya.

Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa seorang kiai memiliki hierarki kekuasaan satu-satunya yang secara eksplisit diakui dalam lingkungan pesantren. Kekuasaan kiai absolut, sehingga santri seumur hidupnya akan senantiasa merasa terikat dengan kiainya3. Sementara Abdurrahman Mas’ud menjelaskan ada 5 (lima) faktor yang menyebabkan kiai menjadi seorang pemimpin di pondok

2 Dhofier, Zamakhsari. 2011. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai dan Visinya

Mengenai Masa Depan Indonesia. cet. Ke-9. Jakarta: LP3ES. Hal. 93-94

3 Wahid, Abdurrahman. 1995. Pesantren Sebagai Subkultur dalam M. Dawam Rahardjo (ed.)

(4)

pesantren. Pertama, Ikatan tradisional. Ikatan tradisional antara kiai dan intern pondok pesantren, dengan pemerintah dan lingkungan, sangat kuat dan terpadu sehingga berpengaruh terhadap dinamika proses kehidupan di desa. Ikatan batin yang terjalin antara elemen-elemen pondok pesantren dengan lingkungan social yang dapat membentuk kekuatan social politik, sehingga ikatan tradisional tersebut mempunyai kekuatan untuk bersama-sama merespon apa yang menjadi kehendak kiai. Kedua, kemampuan intelektual. Kiai biasanya memiliki keunggulan intelektual. Ia mampu mengeliminasi anasir-anasir buruk yang mengancam eksistensi diri dan lembaganya dan mampu memanfaatkan loyalitas keagamaan masyarakat dengan kharismanya. Ketiga, keterikatan hubungan. Dalam persepektif sosiologi, kiai dipandang sebagai sosok yang berstatus tinggi, terhormat dan disegani oleh masyarakat. Di atas kesamaan keyakinan dan nilai-nilai, kiai dapat membangun pola-pola interaksi dan hubungan antara pondok pesantren dengan masyarakat pedesaan. Keempat, kemampuan mobilisasi. Retorika kiai dengan daya memimpin kharismatik yang didukung oleh otoritas moral dan keagamaan mampu memobilisasi masyarakat untuk kepentingan social, termasuk untuk kepentingan politik praktis. Kelima, kekuatan katalisasi. Pesan-pesan kiai pondok Pesan-pesantren di dalam bidang agama, pendidikan dan kemasyarakatan diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum.4

Kiai memegang peranan penting dalam perubahan atau inovasi apapun dalam upaya memajukan pondok pesantren. Besarnya peranan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga penyelenggara pendidikan Islam dalam memainkan peran

4 Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D. 2013. Kiai Tanpa Pesantren. Yogyakarta: Gava Media. hal.

(5)

pemberdayaan (empowerment) dan transformasi civil society secara efektif5 di masyarakat, dianggap tidak dapat terlepas dari nilai-nilai keutamaan yang diajarkan kiai sebagai pemimpin pondok pesantren tersebut.

Seperti dijelaskan Mastuhu6 dalam penelitiannya tentang Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren bahwa sikap tawadhu’ hubungan antara santri dan kiai sangat kental. Umumnya para santri berpendapat bahwa ilmu adalah hal yang sudah mapan dan dapat diperoleh melalui berkah kiai. Para santri ingin menegaskan bahwa yang mereka yakini atas nilai-nilai luhur yang disampaikan oleh kiai sejalan dengan keutamaan Allah SWT. Masih menurut Mastuhu, mendefinisikan kepemimpinan kiai dalam pondok pesantren sebagai suatu bentuk seni untuk memanfaatkan sumber daya (dana, sarana dan tenaga) pondok pesantren untuk mencapai tujuan pondok pesantren. Seni yang dimaksud oleh Mastuhu adalah cara memanfaatkan sumber daya tersebut yang tampak mengarahkan untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan pondok pesantren sesuai kehendak pemimpin pondok pesantren, pemimpin yang dimaksud tak lain adalah kehendak kiai.

Keutamaan watak yang digambarkan oleh para santri terhadap sosok kiai senantiasa dihubung-hubungkan dengan keutamaan watak yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW. Seperti dijelaskan Imron Arifin7 dalam penelitiannya di

Pondok Pesantren Tebuireng berkaitan dengan kepemimpinan kiai dijelaskan bahwa pola interaksi antara kiai, santri dan bawahan (pengikut) didasarkan dan

5 Marzuki Wahid (dalam Mardiyah), Pondok Pesantren dan Penguatan Civil Society, dalam

Majalah Aula No. 02 Tahun XXII, Februari 2000, hal. 76

6 Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. hal. 79

7 Imron Arifin. 1993. Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang:

(6)

sudah terpola sedemikian rupa berdasar nilai-nilai keagamaan sesuai dengan pola kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Lebih lanjut Imron Arifin menjelaskan pola kepemimpinan tersebut tidak dipandang otoriter. Meskipun pengaruh kiai tampak begitu dominan sehingga kaitannya dengan partisipasi santri sangatlah kecil bahkan hampir tidak tampak. Pola kepemimpinan kiai tersebut disebut religio paternalistic, kepatuhan dan kepercayaan atas apa yang diajarkan oleh kiai berdasar nilai-nilai keutamaan Nabi Muhammad SAW sehingga menciptakan hubungan yang sangat erat antara kiai, santri dan pengikutnya. Sejalan pula dengan yang disampaikan Hasyim dalam bukunya “Mencari Ulama Pewaris Para Nabi, Selayang Pandang Sejarah Para Ulama” menyimpulkan bahwa keberadaan kiai sering juga dikait-kaitkan dengan fenomena kekuasaan yang bersifat

supranatural yakni kiai sebagai pewaris risalah kenabian.8

Selanjutnya Nurcholish Majid9 dalam tulisannya berpendapat bahwa keberadaan kiai sangat dikaitkan sebagai sosok yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Tuhan. Kepemimpinan kiai dalam pondok pesantren yang sangat strategis disebabkan oleh kharismatiknya. Max Weber10 sependapat bahwa kiai sebagai pemimpin yang kharismatik karena memperoleh karunia Tuhan dan atau didukung dengan kemampuan memperoleh dan mempertahankan otoritasnya. Tidaklah mengherankan jika kiai dengan kharismatiknya dengan mudah menggerakkan dan mengarahkan santri maupun bawahannya sesuai dengan

8 Hasyim. 1999. Mencari Ulama Pewaris Para Nabi, Selayang Pandang Sejarah Para Ulama.

Surabaya: Bina Ilmu. hal. 214.

9 Nurcholish Madjid. 1995. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.

hal. 95

10 Max Weber. 2006. Essay in Sociology. Terj. Noorkholis. Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka

(7)

kehendak pribadinya, karena kepatuhan santri maupun bawahan atas kepemimpinan kiai sudah terbentuk sebelumnya. Mereka meyakini akan memperoleh dengan apa yang disebut berkah kiai.

Kiai dan pondok pesantren tidak dapat dipungkiri memang menjadi sebuah kesatuan dalam kajian kepemimpinan kiai. Namun kiai dan pondok pesantren tidaklah selalu terlahir secara bersamaan. Diluar daripada itu seperti sudah penulis tegaskan di awal bahwa adapun seseorang memperoleh gelar kekiaian meskipun tidak memiliki ataupun dikenal sebagai pemimpin pondok pesantren. Seperti sebuah fenomena yang diulas dalam buku “Kiai Tanpa Pesantren” karya Abdurrahman Mas’ud11 tentang kiprah beberapa kiai di Kudus tanpa harus dikenal

sebagai pemilik maupun pemimpin sebuah pondok pesantren. Sosok kiai-kiai yang diceritakan dalam buku tersebut yakni KH. Sanusi, KH. R. Asnawi, KH. Abdul Jalil Hamid Al-Falaky, KH. Mawardi, KH. M. Arwani Amin, KH. Yahya Arief, KH. Turaichan Adjhuri, KH. Ma’ruf Asnawi, KH. M. Ma’ruf Irsyad, dan KH. M. Sya’roni Achmadi. Di dalam buku tersebut diulas bagaimana kiai-kiai tersebut berdakwah dengan menyebar luaskan ajaran agama Islam dengan berkeliling dari satu pengajian ke pengajian lain hingga pada akhirnya mereka dikenal luas orang masyarakat Kudus pada khususnya. Media yang dipergunakan oleh para kiai tersebut diantaranya pengajian, masjid dan madrasah. Melalui bagaimana para ahli agama tersebut berdakwah sehingga secara tidak sadar mereka sudah berproses untuk memperoleh legitimasinya di masyarakat hingga disebut kiai oleh sebagian besar masyarakat.

11 Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph.D. 2013. Kiai Tanpa Pesantren. Yogyakarta: Gava Media.

(8)

Berdasarkan pemahaman tersebut, penulis menegaskan bahwa yang dimaksud kiai dalam penelitian ini bukan hanya dibatasi kiai yang mempunyai pondok pesantren namun juga termasuk didalamnya kiai yang tidak mempunyai pondok pesantren.12 Selama orang tersebut dikriteriakan dan diakui oleh sebagian besar masyarakat disekitarnya sebagai kiai dan mereka mengidentifikasikan diri sebagai pengikutnya, maka orang tersebut sudah dapat disebut kiai. Sekaligus menegaskan bahwa apa yang disebut pengikut kiai bukan hanya santri dari sebuah pondok pesantren, namun pengikut kiai juga mencakup masyarakat di luar pondok pesantren yang memang secara terang-terangan patuh terhadap sosok kiai tersebut.

Dari beberapa bacaan tersebut di atas, kiai digambarkan sebagai sosok pemimpin yang mampu menciptakan efek kuasa dalam memegang peranan sebagai sumber pengetahuan. Apapun yang diajarkan kiai kepada pengikutnya dianggap oleh mereka sebagai sebuah kebenaran yang sulit terbantahkan. Sehingga kiai terlahir dengan memiliki kekuasaan. Kiai tampak sebagai seorang pemimpin di atas para pemimpin dengan segala perangkat peran yang dimilikinya. Seolah tidak istilah pemimpin yang lain yang mampu membantah kuasa kiai, kecuali sesama kiai.

Argumen tersebut mengawali ide utama penulis dalam penelitian ini. Belum tampak dibahas dalam kajian kepemimpinan kiai oleh peneliti-peneliti

12 Dijelaskan pula oleh Sukamto (1999: 85-86) bahwa terdapat pula kiai yang mengajarkan agama

dengan cara berceramah dari desa ke desa, menyampaikan fatwa kepada masyarakat luas. Terhadap kiai jenis ini, dijuluki sebagai kiai teko atau kendi (wadah air minum). Para kiai penceramah ini diibaratkan sebuah teko yang berisi air, yang senantiasa menuangkan airnya (diibaratkan sebagai ilmu) dituangkan kepada setiap orang yang memerlukan. Sedangkan julukan kepada kiai yang memiliki pesantren disebut dengan kiai sumur, yang senantiasa ditimba airnya (diibaratkan sebagai ilmu) oleh santrinya.

(9)

terdahulu berkaitan dengan permainan kuasa yang dijalankan oleh kiai yang secara tidak sadar telah melanggengkan posisinya sebagai seorang pemimpin dari masyarakat. Kepemimpinan dalam lingkup sempit memang membatasi bagaimana seorang pemimpin mengontrol diri individu pemimpin tersebut. Namun jika dalam lingkup yang lebih luas, kepemimpinan akan berkaitan dengan bagaimana seorang pemimpin dalam upaya melanggengkan kekuasaannya dari waktu ke waktu. Seperti diungkapkan oleh Soerjono Soekanto menyatakan kepemimpinan dalam Bahasa Inggris berarti leadership adalah kemampuan seseorang (pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (orang yang dipimpin atau para pengikut), sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemimpin.13 Sehingga kepemimpinan menjadi sangat dekat dengan kekuasaan (power). Kekuasaan sendiri didefinisikan oleh Max Weber sebagai setiap kemampuan yang dimiliki pemimpin untuk mempengaruhi pihak lain. Dalam memahami permainan kuasa kiai, penulis mencoba menggunakan teori tindakan sosial Max Weber sebagai sebuah pendekatan. Diharapkan kajian kepemimpinan kiai yang tersaji dalam penelitian ini mampu memenuhi kebaruan dibanding penelitian-penelitian terdahulu dengan penggambaran sisi rasionalitas kiai dalam memainkan kuasanya.

Kawasan wisata religi Mlangi, Sleman, Yogyakarta dipilih penulis sebagai lokasi penelitian ini. Mlangi sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu kawasan wisata religi di Yogyakarta. Disana terdapat 12 (dua belas) pondok pesantren yang masih aktif. Berdasarkan kajian awal secara ringkas banyak

(10)

diceritakan bahwa cikal bakal Mlangi bermula dari sosok Mbah Kiai Nur Iman. Mlangi yang dulunya merupakan tanah perdikan (pemberian raja) kepada Mbah Kiai Nur Iman, berkembang pesat menjadi salah satu kawasan pathok negoro di Yogyakarta.

Kiai oleh masyarakat Mlangi ditempatkan sebagai seorang pemimpin bukan hanya sebatas urusan keagamaan namun juga menyangkut segala urusan kemasyarakatan. Mlangi dipilih oleh penulis karena di lokasi tersebut syarat akan kontestasi kepemimpinan kiai-kiai. Dengan didukung keseragaman status sesama anak keturunan Mbah Kiai Nur Iman sehingga memungkinkan akan menciptakan kontestasi kepemimpinan diantara para kiai di Mlangi. Kepemimpinan kontestatif yang dikaji menggunakan pendekatan tindakan sosial Max Weber menjadi hal menarik lain dalam kajian kepemimpinan ini.

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mengkaji kepemimpinan kontestatif kiai di Mlangi melalui permainan-permainan kuasa dengan memanfaatkan sumber daya kekuasaan yang dimiliki kiai ditinjau dengan pendekatan tindakan sosial.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah sebagaimana dipaparkan di atas, maka secara general peneliti memutuskan rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana kepemimpinan kontestatif kiai di Mlangi?”

Dengan rumusan masalah tersebut diturunkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

(11)

1. Bagaimana implikasi tokoh Mbah Kiai Nur Iman dalam kehidupan masyarakat Mlangi?

2. Bagaimana kiai-kiai di Mlangi memanfaatkan tokoh Mbah Kiai Nur Iman sebagai salah satu sumber daya kekuasaan untuk memperoleh legitimasi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mengungkap kepemimpinan kontestatif kiai di Mlangi.

2. Mengungkap implikasi tokoh Mbah Kiai Nur Iman dalam kehidupan masyarakat Mlangi.

3. Mengungkap tipe praktek kekuasaan dan sumber daya kekuasaan yang dominan muncul diantara kiai yang berkontestasi di Mlangi.

4. Mengungkap kiai-kiai di Mlangi memanfaatkan tokoh Mbah Kiai Nur Iman sebagai salah satu sumber daya kekuasaan untuk memperoleh legitimasi.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat maupun sumbangsih keilmuan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Secara teoritis penelitian ini sangat berguna untuk pengembangan kajian ilmu politik berkaitan dengan praktek kepemimpinan, terutama pemimpin informal (kiai).

(12)

b. Penelitian ini juga sangat penting bagi para akademisi dalam mengembangkan model kajian kepemimpinan dengan tindakan sosial sebagai pendekatan.

c. Hasil penelitian ini juga akan menjadi model penelitian lain sejenis yang akan memperkaya kajian ilmu politik, berkaitan dengan praktek kepemimpinan dalam konteks masyarakat Islam tradisional.

2. Manfaat Praktis

a. Secara praktis penelitian ini sangat berguna bagi masyarakat luas untuk meningkatkan pengetahuan dalam hal memahami praktek kepemimpinan pada umumnya, dan lebih khusus kepemimpinan kiai.

b. Penelitian ini juga sangat berguna bagi para pemimpin maupun calon pemimpin baik formal maupun non formal dalam hal pemahaman tentang pemanfaatan sumber daya dalam praktek kepemimpinan.

E. Landasan Teori

E.1. Konsep Kepemimpinan

Berbicara tentang kepemimpinan secara garis besar kita akan membicarakan bagaimana seorang pemimpin berproses memimpin. Soerjono Soekanto menyatakan kepemimpinan dalam Bahasa Inggris berarti leadership adalah kemampuan seseorang (pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (orang yang dipimpin atau para pengikut), sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemimpin.14

(13)

Sementara Prajudi Atmosudirjo menyatakan beberapa definisi kepemimpinan sebagai berikut:15

1). Kepemimpinan adalah suatu kepribadian seseorang yang mendatangkan keinginan pada kelompok orang untuk mencontohnya atau mengikutinya, atau yang memancarkan suatu pengaruh tertentu, suatu kekuatan atau wibawa, yang sedemikian rupa sehingga membuat sekelompok orang mau melakukan apa yang dikehendakinya.

2). Kepemimpinan adalah penyebab kegiatan-kegiatan atau proses atau kesediaan untuk mengubah pandangan atau sikap baik mental maupun fisik dari kelompok orang-orang, baik dalam hubungan organisasi formal maupun informal.

3). Kepemimpinan adalah suatu seni, kesanggupan, atau teknik untuk membuat sekelompok orang bawahan dalam organisasi formal atau para pengikut atau simpatisan dalam organisasi informal untuk mengikuti atau menaati segala apa yang dikehendakinya, membuat mereka begitu antusias atau bersemangat untuk mengikutinya, atau bahkan mungkin berkorban untuknya.

4). Kepemimpinan adalah suatu bentuk persuasi suatu seni pembinaan kelompok orang-orang tertentu, biasanya melalui human relations dan motivasi tepat, sehingga mereka tanpa adanya rasa takut mau bekerja sama dan membanting tulang untuk memahami dan mencapai segala apa yang menjadi tujuan organisasi.

5). Kepemimpinan adalah suatu sarana, suatu instrumen atau alat, untuk membuat

15 Purwanto, Ngalim. 2004. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja

(14)

sekelompok orang-orang mau bekerja sama dan berdaya upaya menaati segala aturan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Dalam hal ini, kepemimpinan dipandang sebagai dinamika suatu organisasi yang membuat orang-orang bergerak, bergiat, berdaya upaya secara kesatuan organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.

Hiroko Horikoshi dengan menggunakan model kepemimpinan Herbert Feith menyebutkan terdapat 2 (dua) model kepemimpinan dalam masyarakat muslim yakni simbolik dan administratif. Pertama, model kepemimpinan “simbolik”. Model ini mengasumsikan bahwa seseorang menjadi pemimpin karena ia menjadi simbol dari sesuatu yang dianggapnya adiluhung (memiliki kemampuan lebih). Kedua, model kepemimpinan “administratif”, yakni kepemimpinan yang diperoleh seseorang karena posisi yang diperankannya dalam suatu struktur administratif tertentu.16

Sementara tipologi pemimpin menurut sumber pengaruhnya dibagi dalam 2 (dua) tipe sebagai berikut:

1). Formal

Didapat oleh seorang pemimpin apabila ia berada pada posisi jabatan atau manajerial tertentu dalam sebuah kelompok, memiliki dasar legalitas, diangkat secara resmi dan memiliki hak dan kewajiban yang tegas sesuai dengan jabatannya, seperti presiden disebuah negara, ketua umum partai dan direktur sebuah perusahaan.

2). Informal

(15)

Didapat oleh seorang pemimpin dari organisasi atau kelompok masyarakat yang tidak formal, dan tidak tergantung pada acuan formal dan legitimasi. Sumber kepemimpinan informal ini sangat tergantung pada pengakuan kelompok dan komunitasnya. Sehingga pemimpin harus memiliki kualitas yang benar-benar unggul. Contohnya seperti pemuka agama, tokoh masyarakat dan adat.17

Dalam penelitian ini merepresentasikan model kepemimpinan simbolik yang mengasumsikan seseorang menjadi pemimpin karena dianggap adiluhung. Sosok pemimpin dalam penelitian ini dianggap sebagai wakil ataupun simbol kehadiran Nabi di muka bumi. Dilihat dari tipologi pemimpin menurut proses memperolehnya dan sumber pengaruhnya maka sosok pemimpin dalam penelitian ini tergolong ke dalam tipe pemimpin informal. Kecenderungan yang terjadi bahwa sosok pemimpin dalam penelitian ini diakui berdasar atas kemampuan ataupun kedalaman pemahaman atas ajaran Agama Islam sehingga menjadikannya sebagai sosok panutan yang dingggap mendatangkan manfaat bagi kehidupan para pengikut-pengikutnya.

Berkaitan dengan kemampuan pemimpin bahwa kemampuan seorang pemimpin sangat berkaitan dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Dalam hal ini dapat dijelaskan melalui 6 (enam) macam teori kepemimpinan menurut Anasom, yaitu:18

1). Teori kelebihan

17 Rivai, Veithzal dan Deddy Mulyadi. 2010. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta:

Rajawali Pers. hal. 4

18 Anasom. 2002. Kiai, Kepemimpinan dan Patronase. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. hal.

(16)

Membangun asumsi dasarnya seseorang menjadi pemimpin karena memiliki kelebihan-kelebihan dibanding yang lain atau para pengikutnya. Pada dasarnya kelebihan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin mencakup nominal 3 (tiga) kelebihan yaitu; kelebihan ratio, kelebihan rohaniah dan kelebihan badaniah.

2). Teori sifat

Menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin yang baik apabila memiliki sifat-sifat yang lebih daripada yang dipimpin. Teori ini juga mensyaratkan adanya 3 (tiga) kelebihan diatas. Tetapi seorang pemimpin juga dituntut untu memiliki sifat-sifat yang positif sehingga para pengikutnya dapat menjadi pengikut yang baik, dan memberikan dukungan kepada pemimpinya. Sifat-sifat kepemimpinan secara umun harus memiliki seperti sikap melindungi, penuh percaya diri, penuh inisiatif, mempunyai daya tarik, enerjik, persuasif, komunikatif dan kreatif.

3). Teori keturunan

Atau juga disebut teori pembawa lahir, atau ada juga yang menyebut teori genetik yang menyatakan bahwa seorang menjadi pemimpin karena keturunan atau warisan.

4). Teori kharismatik

Menyatakan bahwa seorang menjadi pemimpin karena orang tersebut memiliki kharisma (pengaruh) yang sangat besar. Kharisma itu diperoleh dari kekuatan Tuhan. Dalam hal ini ada suatu keyakinan bahwa orang tersebut merupakan pancaran dari Tuhan. Seorang pemimpin kharismatik sering

(17)

dianggap memiliki kekuatan gaib (supranatural power). Pemimpin yang kharismatik biasanya mempunyai daya tarik, kewibawaan dan pengaruh yang sangat besar.

5). Teori bakat

Menyatukan bahwa seorang menjadi pemimpin karena ada bakat didalamnya. Bakat kepemimpinan seterusnya kemudian dikembangkan sehingga mampu berkembang.

6). Teori sosial

Beranggapan bahwa pada dasarnya setiap orang dapat menjadi pemimpin asalkan orang tersebut diberi kesempatan untuk memimpin. Asumsi dari teori ini bahwa setiap orang bisa dididik menjadi seorang pemimpin, karena kepemimpinan pada dasarnya dapat dipelajari, baik melalui pendidikan formal, maupun melalui praktek.

Gaya kepemimpinan menurut Siagian (2007:12) pada dasarnya dikategorikan menjadi 6 (enam) tipe yakni:

1) Gaya Kepemimpinan Otokratik. Pengambilan keputusan seorang pemimpin yang otokratik akan bertindak sendiri dan memberitahukan bawahannya bahwa ia telah mengambil keputusan tertentu dan para bawahan itu hanya berperan sebagai pelaksana karena tidak dilibatkan sama sekali dalam proses pengambilan keputusan. Memelihara hubungan dengan para bawahannya, pemimpin yang otokratik biasanya dengan menggunakan pendekatan formal berdasarkan kedudukan dan statusnya dalam organisasi dan kurang mempertimbangkan apakah kepemimpinannya dapat diterima dan diakui oleh

(18)

para bawahan atau tidak. Seorang pemimpin yang otokratik biasanya memandang dan memperlakukan para bawahannya sebagai orang-orang yang tingkat kedewasaan atau kematangannya lebih rendah dari tingkat kedewasaan atau kematangan pimpinan yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam interaksi yang terjadi tidak mustahil bahwa ia akan menonjolkan gaya memerintah dan bukan gaya mengajak.

2) Gaya Kepemimpinan Paternalistik. Pemimpin paternalistik menunjukkan kecenderungan-kecenderungan bertindak sebagai berikut: Pengambilan keputusan, kecenderungannya menggunakan cara mengambil keputusan sendiri dan kemudian berusaha menjual keputusan itu kepada para bawahannya. Dengan menjual keputusan itu diharapkan bahwa para bawahan akan mau menjalankan meskipun tidak dilibatkan didalam proses pengambilan keputusan.

3) Gaya Kepemimpinan Kharismatik. Teori kepemimpinan belum dapat menjelaskan mengapa seseorang dipandang sebagai pemimpin yang kharismatik, sedangkan yang lain tidak. Artinya, belum dapat dijelaskan secara ilmiah faktor-faktor apa saja yang menjadi seseorang memiliki kharisma tertentu.

4) Gaya Kepemimpinan Laissez-faire. Karakteristik yang paling nampak dari seseorang pemimpin laissez-faire terlihat pada gayanya yang santai dalam memimpin organisasi. Dalam hal pengambilan keputusan, misalnya, seorang pemimpin laissez-faire akan mendelagisakan tugas-tugasnya kepada bawahannya, dengan pengarahan yang minimal atau bahkan sama sekali

(19)

tanpa pengarahan sama sekali.

5) Gaya Kepemimpinan Demokratis. Pengambilan keputusan pemimpin demokratis pada tindakannya mengikutsertakan para bawahannya dalam seluruh pengambilan keputusan. Seorang pemimpin demokratik akan memilih model dan teknik pengambilan keputusan tertentu yang memungkinkan para bawahan ikut serta dalam pengambilan keputusan. Keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bawahan.

6) Gaya Kepemimpinan Open Leadership. Tipe ini hampir sama dengan tipe demokratis. Perbedaannya terletak dalam hal pengambilan keputusan. Pada tipe open leadership ini menunjukkan bahwa keputusan berada ditangan pemimpin. Bawahan menerima pengaruh dari pemimpin karena mereka menghormati, menyukai, atau menghargai pemimpinnya, bukan hanya karena para pemimpinnya, bukan karena para pemimpin tersebut memegang jabatan dari kekuasaan.

Berdasarkan penjelasan di atas penulis memperoleh kalimat kunci bahwa “kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi” yang dimiliki individu pemimpin yang ditujukan kepada orang lain sesuai dengan kehendak ataupun tujuan tertentu.

Gaya kepemimpinan sangat bergantung pada dimana ruang lingkup kepemimpinan tersebut. Pemimpin pada hakekatnya bersifat tunggal. Sehingga normatifnya, pemimpin merupakan sumber keputusan yang bersifat mutlak. Namun tidak menutup kemungkinan dalam suatu ruang lingkup ataupun situasi tertentu bahwa memungkinkan munculnya lebih dari satu pemimpin sehingga

(20)

akan terjadi kontestasi diantara para pemimpin tersebut. Dalam kondisi semacam ini disebut kepemimpinan kontestatif.

Dalam kajian ini, kepemimpinan ditempatkan sebagai bentuk pergulatan sosial. Pergulatan sosial merupakan suatu bentuk persaingan dan pertentangan diantara individu yang berkepentingan. Seorang ahli menyepakati bahwa dalam pergulatan sosial merupakan manifestasi dari perebutan legitimasi (Max Weber). Legitimasi inilah yang dikontestasikan oleh individu-individu pemimpin. Legitimasi berkaitan dengan kepatuhan.

E.2. Konsep Kekuasaan

Ketika seseorang didaulat menjadi seorang pemimpin maka dia akan mempunyai kekuasaan atas orang lain berkaitan dengan lingkup wilayah yang dipimpinnya. Seorang pemimpin adalah penguasa. Seorang pemimpin sejatinya akan berproses bagaimana dia akan mempengaruhi ataupun mengarahkan pengikutnya dengan mengakumulasi sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai tujuan tertentu.

W.A. Robson mengatakan bahwa ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil. Fokus perhatian tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.19 Charles F. Audrain mendefinisikan kekuasaan merupakan suatu bentuk hak penggunaan sejumlah sumber daya (aset, kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan (tingkah laku

19 W.A.Robson, The University Teaching of Social Sciences: Political Science, Paris, Unisco,

1954, hal.24, dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1985, hal. 10.

(21)

menyesuaikan) dari orang lain.20 Miriam Budiardjo mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan atau tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.21

Max Weber menegaskan pembedaan antara kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan (power) adalah setiap kemampuan yang dimiliki pemimpin untuk mempengaruhi pihak lain, sedangkan wewenang (authority) adalah perluasan dari kekuasaan bahwa pemimpin yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari pihak lain. Penggunaan wewenang timbul tatkala masyarakat mulai mengatur pembagian kekuasaan dan menentukan penggunaannya. Maka kekuasaan tanpa wewenang disebut sebagai kekuatan yang tidak sah.22 Berdasar definisi kekuasaan Max Weber tersebut dapat pula diartikan sebagai bentuk kemampuan subyektif kelas ataupun individu untuk mendominasi kelas ataupun individu lain. Sementara konsep dominasi Max Weber menyatakan perluasan dari kekuasaan yakni berkaitan dengan kepemilikan yang bisa digunakan oleh kelas ataupun individu untuk mendominasi kelas ataupun individu lain. Max Weber dalam menjelaskan kekuasaan mengedepankan prinsip piramida hierarki bahwa kekuasaan bekerja secara vertical, dimana ada kelas atau individu tertentu dengan seperangkat sumber daya kekuasaannya menempati level atasan dan disisi lain ada pula kelas ataupun individu tertentu yang menempati level bawahan.

20 Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hal. 130. 21 Miriam Budiardjo. 1984. "Konsep Kekuasaan: Tinjauan Pustaka". dalam Budiardjo. Aneka

Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Gramedia. hal. 35

(22)

Definisi tersebut menjelaskan bahwa kajian tentang kekuasaan berkaitan dengan hubungan ketidaksetaraan. Ketidaksetaraan akan menimbulkan pergulatan sosial, dimana terkandung di dalamnya parsaingan maupun pertentangan diantara pihak yang berkepentingan. Sangat jelas disini bahwa kekuasaan erat kaitannya dengan kepemimpinan yakni berkaitan dengan kemampuan mempengaruhi. Kekuasaan merupakan sumber daya yang utama untuk bisa menjadi seorang pemimpin. Maka seorang pemimpin salah satunya dengan menggunakan kekuasaannya berupaya memperoleh pengakuan.

Seseorang atau sekelompok orang agar dapat memiliki kekuasaan harus memiliki sumber daya kekuasaan. Sumber daya kekuasaan berfungsi sebagai unsur pembeda diantara pemimpin-pemimpin yang berkontestasi untuk merepresentasikan dirinya layak dipatuhi.

Berdasarkan sumber pengaruhnya Max Weber membagi kekuasaan menjadi 3 (tiga) tipologi, sebagai berikut:23

1). Tradisional

Pemimpin dipilih atas dasar warisan tradisi turun temurun. Dalam tipe ini, pemimpin tidak dilihat kemampuan yang dimiliki pemimpin tersebut, utamanya senantiasa melestarikan tradisi. Namun karena kuatnya keyakinan masyarakat terkait tradisi yang sudah dianut, maka sangat jarang sekali ada pertentangan. Biasanya jangka waktu kepemimpinannya berlaku hingga sampai dia meninggal dunia.

2). Kharismatik

23 Weber, Max. 1947. The Theory of Social and Economic Organization. Ed. Parsons, Talcott.

(23)

Pemimpin dipilih diawali dengan kekaguman masyarakat sekitar atas pemimpin tersebut. Masyarakat menganggap bahwa pemimpin tersebut sebagai anugerah dapat memberikan berkah, keselamatan dan melindungi mereka dengan kemampuan yang dimilikinya sejalan dengan faham yang dianut masyarakat. Bahkan ada kecenderungan irrasional pada kelompok masyarakat tertentu menganggap bahwa pemimpin tersebut mempunyai kekuatan gaib/mantra. Pemimpin tipe ini dapat langgeng manakala masyarakat masih mempercayainya bahwa dia akan memberikan manfaat. Sebaliknya ketika masyarakat sudah berubah faham dan tidak merasakan manfaatnya maka kharismatik pemimpin itu akan memudar.

3). Legal-Rasional

Pemimpin dipilih berdasarkan 2 (dua) prinsip yakni legal dan rasional. Rasional didasarkan atas landasan kemampuan, pengalaman, pendidikan, atau jasa calon pemimpin. Sedangkan legal yakni berlandaskan kaidah hukum atau peraturan yang berlaku dan ditaati dimasyarakat. Biasanya kepemimpinannya dalam jangka waktu tertentu dan terbatas sesuai sebagaimana kaidah hukum yang berlaku.

Sementara menurut Charles F. Andrain, sumber daya kekuasaan itu terdiri atas fisik, ekonomi, keahlian, normatif, dan personal.

1). Fisik

Motifnya adalah didasari kekhawatiran akan cedera fisik jika tidak patuh. 2). Ekonomi

(24)

Bersumber dari sumber daya kekayaan dan kontrol atas barang atau jasa akan memiliki pengaruh terhadap pihak-pihak yang membutuhkan distribusi kekayaan yang dimilikinya.

3). Keahlian

Memiliki modal keahlian seperti informasi, pengetahuan, keahlian teknis dan intelegensi. Untuk menjalankan kekuasaan secara efektif, beberapa informasi menjadi penting, karena itu dalam situasi tertentu informasi dan keahlian dapat mempengaruhi keputusan politik. Atau boleh dikatakan ada ketergantungan terhadap ahli ini karena kemampuannya yang lebih dari yang lain.

4). Normatif

Berasal dari kualitas-kualitas seperti kebijakan religious, kebenaran moral dan wewenang sah. Sumber daya ini memberi mereka hak moral untuk menjalankan kekuasaan karena dalam komunitasnya pemegang kekuasaan melambangkan keyakinan-keyakinan moral yang dianut bersama oleh komunitas tersebut)

5). Personal

Berasal dari sumber daya personal yang dimilikinya berupa kharisma, menawan, menarik atau disayangi, hal inilah yang membuat orang lain tertarik kepadanya. Dalam situasi yang tidak stabil, kepribadian yang kuat dapat mempengaruhi hasil-hasil dari peristiwa politik). Dapat dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:

(25)

Tabel 1.1

Jenis-Jenis Sumber Daya Kekuasaan

No. Jenis Sumber

Daya Contoh Sumber Daya

Motivasi Untuk Mematuhi

1. Fisik Senjata: Senapan, bom,

rudal

B berusaha menghindari cidera fisik yang dapat disebabkan oleh A

2. Ekonomi Kekayaan, pendapatan,

kontrol atas barang dan jasa

B berusaha memperoleh kekayaan dari A

3. Keahlian Informasi, pengetahuan, intelenjensi, keahalian teknis.

B merasa bahwa A

mempunyai pengetahuan dan keahlian yang lebih.

4. Normatif Moralitas, kebenaran,

tradisi, religius,

legitimasi, wewenang

B mengakui bahwa A mempunyai hak moral untuk mengatur perilaku B

5. Personal Kharisma pribadi, daya tarik, persahabatan, kasih sayang, popularitas

B mengidentifikasikan diri merasa tertarik dengan A Sumber: Andrain, Charles F. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. hal. 132

Berdasarkan prakteknya, Charles F. Andrain mengemukakan bahwa kekuasaan dapat dilihat ke dalam 2 (dua) tipe kekuasaan, yakni 1). Kekuasaan berdasarkan paksaan yakni berkaitan dengan pergulatan dominasi dan konflik; 2). Kekuasaan berdasarkan konsensus yakni berkaitan dengan usaha saling berkoordinasi dalam suatu kegiatan dalam upaya pencapaian tujuan bersama.24

Sejalan dengan Antonio Gramsci yang mengemukakan bahwa ada 2 (dua) cara kekuasaan itu dipraktekkan. Pertama, dengan praktek dominasi atau penindasan.

24 Andrain, Charles F. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

(26)

Kekuasaan dibangun dengan cara-cara represi dan kekerasan. Seorang individu, kelompok, atau negara apabila ingin memperoleh dan atau mempertahankan kekuasaan maka ia harus mempunyai atau memiliki akses terhadap instrumen kekerasan. Kedua, dengan cara hegemoni. Kekuasaan diperoleh dan dioperasikan melalui kepemimpinan moral dam intelektual. Ia memperoleh dan memperaktrekkan kekuasaan dengan jalan konsensus.

Tabel 1.2

Tipe Kekuasaan Berdasarkan Prakteknya

No. Tipe

Kekuasaan Paksaan Konsensus

1. Fisik Cidera fisik,

pemenjaraan, kematian

Memberi jalan

memperoleh persenjataan 2. Ekonomi Tidak diberi pekerjaan,

penerapan denda,

kehilangan kontrak

Memberi jalan

memperoleh kekayaan

3. Keahlian Pemberian informasi

yang menguntungkan

orang lain, penyebaran

informasi yang

merugikan orang lain

Penyediaan ilmu

pengetahuan dan

keterampilan

4. Normatif Pengucilan, larangan

memangku jabatan

Memberi jalan

memperoieh wewenang

dan simbol-simbol

kebenaran

5. Personal Hilangnya dukungan

kelompok, persahabatan, popularitas

Pemberian dukungan

kelompok

Sumber: Andrain, Charles F. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. hal. 140

Dari penjelasan terkait konsep kekuasaan tersebut, maka dalam melihat kontestasi kepemimpinan maka penulis secara garis besar membagi 2 (dua) tahapan yang harus dilalui seorang pemimpin. Pertama, melihat bagaimana

(27)

seorang pemimpin dengan mengakomodasi sumber daya kekuasaan yang dimilikinya berproses untuk memperoleh legitimasi. Kedua, menegaskan kepemimpinan adalah manifestasi praktek kuasa seorang pemimpin untuk mencapai tujuan tertentu.

E.3. Tindakan Sosial Sebagai Pendekatan

Dalam teori tindakannya, Max Weber memusatkan perhatiannya pada tindakan yang jelas-jelas melibatkan campur tangan proses pemikiran (dan tindakan bermakna yang ditimbulkan olehnya) antara terjadinya stimulus dengan respons. Secara agak berbeda, tindakan dikatakan terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka. Tindakan terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan-tindakan mereka (penafsiran tindakan menurut makna subjektifnya). Menurut Weber, yang dipersoalkan bukanlah keharusan subjektif mempertimbangkan terhadap suatu hal, namun lebih pada keyakinan bahwa hal ini diperlukan.

Tindakan manusia dianggap sebagai sebuah bentuk tindakan sosial ketika tindakan itu ditujukan pada orang lain. Tindakan sosial menurut Max Weber adalah suatu tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer 1975). Suatu tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati tidak masuk dalam kategori tindakan sosial. Suatu tindakan akan dikatakan sebagai tindakan sosial ketika tindakan tersebut benar-benar diarahkan kepada orang lain (individu lainnya). Meski tak jarang tindakan sosial dapat berupa tindakan yang

(28)

bersifat membatin atau bersifat subjektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Bahkan terkadang tindakan dapat berulang kembali dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Weber dalam Turner 2000).

Ada 5 (lima) ciri pokok Tindakan sosial menurut Max Weber sebagai berikut: 1). Jika tindakan manusia itu menurut aktornya mengandung makna subjektif dan

hal ini bisa meliputi berbagai tindakan nyata.

2). Tindakan nyata itu bisa bersifat membatin sepenuhnya. Biasanya aktor menghindari konfrontasi langsung dengan aktor lain, namun lebih pada menciptakan sebuah media yang secara nyata meminta respon dan tanggapan orang lain meskipun hanya dalam hati.

3). Tindakan itu bisa berasal dari akibat pengaruh positif atas suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang, atau tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam dari pihak mana pun.

4). Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu. 5). Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang

lain itu.

Tujuan Weber tak lain adalah memfokuskan perhatian pada individu, pola dan regularitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas, "Tindakan dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secaru subjektif hanya hadir sebagai perilaku seorang atau beberapa orang manusia individual" (Weber, 1921/1968: 13). Weber mengakui bahwa untuk beberapa tujuan kita mungkin harus memperlakukan kolektivitas sebagai individu, "namun untuk menafsirkan

(29)

tindakan subjektif, kolektivitas-kolektivitas ini harus diperlakukan semata-mata sebagai resultan dan mode organisasi dari tindakan individu tertentu, karena semua itu dapat diperlakukan sebagai agen dalam tindakan yang dapat dipahami secara subjektif (1921/1968:13). Tampaknya bahwa Weber hampir tidak dapat mengelak lagi bahwa tindakan pada akhirnya berkutat pada individu, bukan kolektivitas.

Weber menggunakan metodologi tipe idealnya untuk menjelaskan makna tindakan dengan cara mengidentifikasi 4 (empat) tipe tindakan dasar. Tipologi ini tidak hanya sangat penting untuk memahami apa yang dimaksud Weber dengan tindakan, namun, juga menjadi salah satu dasar bagi minat Weber pada struktur dan institusi sosial yang lebih luas. Yang terpenting adalah pembedaan yang di-lakukan Weber terhadap kedua tipe dasar tindakan rasional. Yang pertama adalah rasionalitas sarana-tujuan, atau tindakan 'yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan-harapan ini digunakan sebagai 'syarat' atau 'sarana' untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional" (Weber, 1921/1968:24). Yang kedua adalah rasionalitas nilai, atau tindakan yang "ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya" (Weber, 1921/1968:24-25). Tindakan afek-tual (yang hanya sedikit diperhatikan Weber) ditentukan oleh kondisi emosi aktor. Tindakan tradisional (yang lebih mendapatkan tempat dalam karya Weber) ditentukan oleh cara bertindak aktor yang biasa dan telah lazim dilakukan. Harus dicatat bahwa meskipun Weber membedakan empat bentuk tindakan ideal-tipikal,

(30)

ia sepenuhnya sadar bahwa tindakan tertentu biasanya terdiri dari kombinasi dari keempat tipe tindakan ideal tersebut.

a. Tindakan Rasionalitas Sarana-Tujuan/Instrumental

Tindakan ini dilakukan seseorang dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara yang digunakan dengan tujuan yang akan dicapai. Tindakan “yang ditentukan oleh harapan perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain, harapan-harapan ini digunakan sebagai ‘syarat’ atau ‘sarana’ untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional”.

b. Tindakan Rasionalitas Berorientasi Nilai

Tindakan ini bersifat rasional dan memperhitungkan manfaatnya, tetapi tujuan yang hendak dicapai tidak terlalu dipentingkan oleh si pelaku. Pelaku hanya beranggapan bahwa yang paling penting tindakan itu termasuk dalam kriteria baik dan benar menurut ukuran dan penilaian masyarakat di sekitarnya. Tindakan “yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius, atau bentuk perilaku-perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya”.

c. Tindakan Afektif

Tindakan ini sebagian besar dikuasai oleh perasaan atau emosi tanpa pertimbangan-pertimbangan akal budi. Seringkali tindakan ini dilakukan tanpa perencanaan matang dan tanpa kesadaran penuh. Jadi dapat dikatakan sebagai reaksi spontan atas suatu peristiwa. Tindakan yang ditentukan oleh kondisi emosi aktor. Ledakan kemarahan seseorang misalnya. Atau ungkapan rasa cinta, kasihan, adalah contoh dari tindakan afektif ini.

(31)

d. Tindakan Tradisional

Tindakan ini merupakan tindakan yang tidak rasional karena berorientasi kepada tradisi masa lampau. Seseorang melakukan tindakan hanya karena kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tanpa menyadari alasannya atau membuat perencanaan terlebih dahulu mengenai tujuan dan cara yang akan digunakan. Tindakan yang ditentukan oleh cara bertindak aktor yang sudah terbiasa dan lazim dilakukan. Mekanisme tindakan semacam ini selalu berlandaskan hukum – hukum normatif yang telah ditetapkan secara tegas oleh masyarakat.25

Teori tindakan sosial Max Weber penulis gunakan sebagai pendekatan untuk mendeskripsikan kepemimpinan kontestatif kiai di Mlangi. Sebagaimana dugaan awal penulis bahwa tindakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh kiai-kiai di Mlangi dengan segala macam motifnya tujuannya untuk memperoleh kepatuhan masyarakat Mlangi.

Pergulatan sosial dalam konteks kepemimpinan menjadi sebuah kesatuan yang bersifat sistemik dan dinamis. Pemahaman dasar yang menjadikan proses tersebut bersifat sistemik dan dinamis karena dialektika yang terjadi dalam proses tersebut. Pemahaman khusus adalah tindakan sosial menjadi salah satu aspek yang menjadikan pergulatan sosial berlanjut dalam kondisi yang sistemik dan dinamis. Tindakan sosial dapat dimaknai sebagai tindakan individu dimana tindakan itu mengandung makna subyektif yakni strategi atau cara yang diwujudkan untuk mempengaruhi orang lain sesuai dengan kehendak individu.

25 Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi; dari Sosiologi sampai Perkembangan Teori Post Modern.

(32)

E.4. Kiai

Sosok pemimpin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kiai. Penulis memasukkan kiai ke dalam kategori pemimpin informal karena dalam pengangkatannya sebagai pemimpin tidak tergantung pada acuan formal administratif. Kiai dipilih sebagai seorang pemimpin atas pengakuan masyarakat yang mempercayai keutamaan watak dan kemampuannya dapat mendatangkan manfaat bagi kehidupan masyarakat muslim disekitarnya.

Kiai sebagai pemimpin informal sejalan dengan pendapat Kuntowidjojo yang menceritakan bahwa pada banyak kasus, peran kiai dalam masyarakat pedesaan tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan yang menyangkut keagamaan. Di tengah kebudayaan yang didominasi ketokohan kiai, berbagai masalah sehari-hari menyangkut urusan rumah tangga, perjodohan, perekonomian, bahkan pengobatan sering menempatkan kiai sebagai tumpuan. Hal ini tentu saja melahirkan hubungan emosional yang diliputi ketergantungan dengan tingkat kepercayaan yang tidak perlu dipertanyakan. Masyarakat Islam di sekitar kiai dengan sendirinya akan senantiasa berusaha menyesuaikan pandangan hidup dan perilakunya dengan ketokohan kiai. Kiai menjadi pemimpin informal yang lebih didengar petuah dan keputusannya dibanding tokoh manapun.26

Zamakhsyari Dhofier mengibaratkan kiai sebagai raja kecil yang memegang sumber mutlak kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam tatanan sosial masyarakat pesantren, di mana pesantren disimbolkan sebagai miniatur kehidupan masyarakat luas yang sesungguhnya. Kiai memiliki

(33)

kekuatan otoritas kultural yang tidak hanya berkutat pada lingkaran masyarakat sekitar pesantren, melainkan menyebar hingga menembus jaringan-jaringan sosial dalam skala makro. Dalam penelitiannya pula ia menyatakan asal-usul kiai dalam bahasa jawa dipakai untuk 3 (tiga) jenis gelar yakni:27

1). Gelar kehormatan bagi benda-benda yang dianggap kramat. Contohnya: “Kiai Garuda Kencana” yakni kereta emas milik Keraton Yogyakarta.

2). Gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya.

3). Gelar yang diberikan kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau yang menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santri.

Sementara Max Weber telah menggunakan istilah “kharisma” untuk menjelaskan sebuah bentuk pengaruh yang didasarkan bukan atas tradisi atau kewenangan namun atas persepsi para pengikut bahwa kepada sang pemimpin tersebut telah dikaruniai kemampuan-kemampuan yang luar biasa. Kharisma, terjadi bilamana terjadi krisis sosial, yang pada krisis itu, seorang pemimpin dengan kemampuan pribadi yang luar biasa tampil dengan sebuah visi yang radikal yang member suatu pemecahan terhadap krisis tersebut, dan pemimpin tersebut menarik perhatian para pengikut yang percaya pada visi itu dan merasakan bahwa pemimpin tersebut sangat luar biasa.28

Max Weber29 menjelaskan bahwa kiai sebagai pemimpin kharismatik

27 Dhofier, Zamakhsari. 2011. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai dan Visinya

Mengenai Masa Depan Indonesia. cet. Ke-9. Jakarta: LP3ES. Hal. 55.

28 Anasom. 2002. Kiai, Kepemimpinan dan Patronase. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. hal.

10-11.

29 Max Weber. 2006. Essay in Sociology. Terj. Noorkholis. Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka

(34)

karena memperoleh karunia Tuhan dan atau didukung dengan kemampuan memperoleh dan mempertahankan otoritasnya. Tidaklah mengherankan jika kiai dengan kharismatiknya dengan mudah menggerakkan dan mengarahkan santri maupun bawahannya sesuai dengan kehendak pribadinya, karena kepatuhan santri maupun bawahan atas kepemimpinan kiai sudah terbentuk sebelumnya. Mereka meyakini akan memperoleh dengan apa yang disebut berkah kiai. Kiai dapat pula disebut orang alim yakni seseorang yang memiliki pemahaman mendalam tentang agama Islam. Dalam menunjukkan kekhususannya dapat pula ditunjukkan dalam bentuk berpakaian yang merupakan simbol kealiman yaitu kopiah dan surban.30

Menurut Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya An-Nashaihud Diniyah mengemukakan sejumlah kriteria atau ciri-ciri kiai.31

Bagi dirinya sendiri dia senantiasa: 1). Dia takut kepada Allah;

2). Bersikap zuhud pada dunia;

3). Selalu bergegas melakukan ibadah; 4). Tidak bersikap kasar;

5). Hatinya tidak keras; 6). Berakhlak baik;

7). Merasa cukup (qana`ah) dengan rezeki yang sedikit dan menyedekahkan harta yang berlebih dari kebutuhan dirinya.

Kepada masyarakat dia senantiasa:

30 Ibid. Hal. 56.

31 Bisri, A. Mustofa. 2003. Percik-percik Keteladanan Kiai Hamid Ahmad Pasuruan. Rembang:

(35)

1). Suka memberi nasehat, ber amar ma`ruf nahi munkar dan menyayangi mereka serta suka membimbing ke arah kebaikan dan mengajak pada hidayah.

2). Bersikap tawadhu’, berlapang dada dan tidak tamak pada apa yang ada pada mereka serta tidak mendahulukan orang kaya daripada yang miskin.

Sementara dari ciri-ciri tersebut, menurut Hamdan Rasyid bahwa kiai mempunyai tugas-tugas sebagai berikut:32

1). Melaksanakan tablikh dan dakwah untuk membimbing umat. Kiai mempunyai kewajiban mengajar, mendidik dan membimbing umat manusia agar menjadi orang-orang yang beriman dan melaksanakan ajaran Islam.

2). Melaksanakan amar ma`ruf nahi munkar. Seorang kiai harus melaksanakan amar ma`ruf dan nahi munkar, baik kepada rakyat kebanyakan (umat) maupun kepada para pejabat dan penguasa Negara (umara), terutama kepada para pemimpin, karena sikap dan perilaku mereka banyak berpengaruh terhadap masyarakat.

3). Memberikan contoh dan teladan yang baik kepada masyarakat. Para kiai harus konsekuen dalam melaksanakan ajaran Islam untuk diri mereka sendiri maupun keluarga, saudara-saudara, dan sanak familinya. Salah satu penyebab keberhasilan dakwah Rasulullah SAW, adalah karena dia dapat dijadikan teladan bagi umatnya.

4). Memberikan penjelasan kepada masyarakat terhadap berbagai macam ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Para kiai harus

32 Rasyid, Hamdan. 2007. Bimbingan Ulama: Kepada Umara dan Umat. Jakarta: Pustaka Beta. hal.

(36)

menjelaskan hal-hal tersebut agar dapat dijadikan pedoman dan rujukan dalam menjalani kehidupan.

5). Memberikan solusi bagi persoalan-persoalan umat. Kiai harus bisa memberi keputusan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat secara adil berdasarkan al-Qur`an dan al-Sunnah.

6). Membentuk orientasi kehidupan masyarakat yang bermoral dan berbudi luhur. Dengan demikian, nilai-nilai agama Islam dapat terinternalisasi ke dalam jiwa mereka, yang pada akhirnya mereka memiliki watak mandiri, karakter yang kuat dan terpuji, ketaatan dalam beragama, kedisiplinan dalam beribadah, serta menghormati sesama manusia. Jika masyarakat telah memiliki orientasi kehidupan yang bermoral, maka mereka akan mampu memfilter infiltrasi budaya asing dengan mengambil sisi positif dan membuang sisi negatif.

7). Menjadi rahmat bagi seluruh alam terutama pada masa-masa kritis seperti ketika terjadi ketidak adilan, pelanggaran terhadap hak asasi manusia, bencana yang melanda manusia, perampokan, pencurian yang terjadi dimana-mana, pembunuhan, sehingga umatpun merasa diayomi, tenang, tenteram, bahagia, dan sejahtera di bawah bimbingannya.

Mudjahirin Tohir mendefinisikan ke-kiai-an seseorang dapat dilihat melalui 3 (tiga) parameter mendasar yakni: Pertama, penguasaan dan pemahaman keagamaan yang relatif lebih tinggi dan lebih baik dibandingkan pengetahuan masyarakat di lingkungannya. Kedua, sikap atau mentalitas yang baik, tercermin dalam visi geraknya yakni mampu memegang komitmen pada ajaran amar ma’ruf

(37)

nahi munkar. Ketiga, mampu memberikan pengaruh berupa keteladanan, komitmen serta konsistensi terhadap perilakunya.33

Sementara sedikit berbeda menurut Endang Turmudzi, terdapat 2 (dua) faktor utama yang mendukung posisi kuat kiai di hadapan masyarakat yakni: Pertama, kiai haruslah berpengetahuan luas. Sosok kiai ditempatkan oleh masyarakat untuk meminta pertimbangan dalam banyak hal ataupun persoalan hidup yang dihadapi, sehingga faktor tersebut menjadikan kiai sangat dekat hubungannya dengan masyarakat. Kedua, faktor ekonomi ataupun kekayaan. Kekayaan menjadi salah satu penopang kharisma kiai. Pada umumnya keluarga kiai relatif kaya. Melalui kekayaannya tersebut, kiai dapat menciptakan “pola patronase” yang bisa menghubungkan kepada kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat, hal ini sangat menopang kualitas kedudukan dan kepemimpinan kulturalnya di hadapan umat.34

F. Kerangka Berpikir

Dalam kajian ini, kepemimpinan ditempatkan sebagai bentuk pergulatan sosial. Pergulatan sosial merupakan suatu bentuk persaingan dan pertentangan diantara individu yang berkepentingan. Seorang ahli menyepakati bahwa dalam pergulatan sosial merupakan manifestasi dari perebutan legitimasi (Max Weber). Legitimasi inilah yang dikontestasikan oleh individu-individu pemimpin. Legitimasi berkaitan dengan kepatuhan.

Pergulatan sosial dalam konteks kepemimpinan menjadi sebuah kesatuan

33 Thohir, Mudjahirin. 1999. Wacana Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisiran. Semarang:

Penerbit Bendera. Hal. 58.

(38)

yang bersifat sistemik dan dinamis. Pemahaman dasar yang menjadikan proses tersebut bersifat sistemik dan dinamis adalah karena dialektika yang terjadi dalam proses tersebut. Pemahaman khusus, adalah terkait dengan tindakan sosial menjadi salah satu aspek yang menjadikan pergulatan sosial berlanjut dalam kondisi yang sistemik dan dinamis. Tindakan sosial dapat dimaknai sebagai tindakan individu dimana tindakan itu mengandung makna subyektif yakni strategi atau cara yang diwujudkan untuk mempengaruhi orang lain sesuai dengan kehendak individu.

G. Metode Penelitian G.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian kualitatif digunakan agar dapat meminimalkan jarak antara peneliti dan informan. Penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.35 Penelitian ini dilakukan tidak hanya sebatas mengumpulkan data dari lapangan, namun juga menginterpretasikan data-data atau objek yang diteliti tersebut secara teoritis dan konseptual. Penelitian kualitatif memfokuskan pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan pola gejala yang ada dalam kehidupan manusia.36 Penelitian kualitatif bertujuan untuk memperoleh gambaran secara utuh berkaitan dengan suatu hal menurut pandangan manusia

35 Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Offset. hal. 4

(39)

yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif, peneliti ditempatkan sebagai alat penelitian utama.

Adapun pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi kasus. Dimana peneliti berusaha untuk mengetahui bagaimana kepemimpinan kontestatif kiai di Mlangi. Robert Yin mendefinisikan bahwa studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas, dan dimana multi sumber bukti dimanfaatkan. Studi kasus lebih banyak berkutat pada atau berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan “how” (bagaimana) dan “why” (mengapa), serta pada tingkatan tertentu juga menjawab pertanyaan “what” (apa). Penelitian ini mendeskripsikan kepemimpinan kontestatif kiai di Mlangi sesuai dengan keadaan sebenarnya yang terjadi di lokasi penelitian ini. Peneliti memutuskan untuk menggunakan pendekatan studi kasus karena menyesuaikan dengan hasil observasi awal bahwa dalam upaya mengungkap kepemimpinan kontestatif diantara para kiai harus dilihat melalui beberapa fenomena konflik sosial, baik itu yang saat ini masih berlangsung maupun sudah berakhir. Dengan melihat beberapa fenomena konflik sosial, baik saat ini maupun lampau tersebut sangat membantu peneliti untuk mengetahui kronologi mengapa kiai-kiai di Mlangi bisa saling berkontestasi.

G.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Mlangi, Kecamatan Nogotirto, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Mlangi secara administratif merupakan merujuk nama sebuah dusun,

(40)

namun dalam konteks penelitian ini, berdasarkan perkembangan data dan keterangan dari berbagai narasumber maka lokasi penelitian yang penulis maksud dengan Mlangi tidak hanya membatasi dalam lingkup wilayah Dusun Mlangi semata, karena apa yang disebut dengan Mlangi oleh masyarakat Mlangi secara kultural mencakup Dusun Mlangi dan Dusun Sawahan.

G.3. Sumber Data

Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi mengenai data. Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) sumber data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil wawancara dengan narasumber yang berkaitan dengan penelitian ini. Penulis mewawancarai beberapa narasumber yang penulis anggap sebagai narasumber yang memang memahami konteks penelitian ini, diantara kiai, santri, dan masyarakat Mlangi secara umum. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui literatur, artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan dengan informasi utamanya berkaitan dengan konteks kepemimpinan, kekuasaan, dan utamanya berkaitan dengan kajian tentang Mlangi.

G.4. Teknik Pengumpulan Data

Asmussen & Creswell (dalam Creswell, 1998) menampilkan pengumpulan data melalui matriks sumber informasi untuk pembacanya. Matriks ini mengandung 4 (empat) tipe data yaitu:

(41)

1). Kiai Hasan Abdullah: dia merupakan putra mantu dari Kiai Suja’i. Dia salah seorang pengasuh Pondok Pesantren As-Salifiyah. Dia salah seorang pengurus inti takmir Masjid Jami’ Pathok Negoro Mlangi. Dia juga aktif sebagai dewan Tanfizdiyah di Pengurus Wilayah NU DIY. 2). Kiai Musta’in: dia merupakan salah seorang imam rutin Masjid Jami’

Pathok Negoro Mlangi.

3). Kiai Salaman: dia merupakan salah seorang imam rutin Masjid Jami’ Pathok Negoro Mlangi.

4). Kiai Sami’an: dia merupakan pimpinan sekaligus pengasuh Pondok Pesantren An-Nasth, Mlangi.

5). Kiai Salimi: dia merupakan pimpinan sekaligus pengasuh Pondok Pesantren As-Salimiyah

6). Kiai Abdul Wahid: dia merupakan salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Kuno. Dia adik kandung Kiai Asrori.

7). Gus Rifky: dia merupakan putra dari almarhum Kiai Zamruddin. Dia saat ini merupakan salah seorang pimpinan sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Al Falahiyah, Mlangi.

8). Gus Mustahfid: dia merupakan pimpinan sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Aswaja Nusantara. Dia putra dari Kiai Abban.

9). Mbah Sri Pujo: dia merupakan salah seorang sesepuh Mlangi dan keturunan keraton.

10). Bapak Nur Salim: dia merupakan kepala dusun/dukuh Mlangi.

(42)

dan salah seorang pengikut Muhammadiyah di Mlangi.

12). Bapak Mustaghfirin: dia merupakan salah seorang warga pendatang yang tinggal di wilayah Dusun Mlangi.

13). Ibu Badriah: dia merupakan salah seorang warga yang tinggal di wilayah Dusun Mlangi.

14). Ibu Nur Faidati: dia merupakan salah seorang warga yang tinggal di wilayah Dusun Sawahan (termasuk dalam kultural Mlangi).

b. Observasi. Penulis telah melakukan observasi diantaranya: 1). Pemetaan geografis wilayah Mlangi, 2). Pemetaan geografis lokasi tiap pondok pesantren di Mlangi, 3). Situasi tata pergaulan sosial dan peribadatan masyarakat Mlangi, 4). Situasi fenomena konflik sosial di Mlangi, dan berbagai situasi lain yang mendukung pemenuhan data dalam penelitian ini. c. Dokumen. Beberapa dokumen yang penulis peroleh, diantaranya: 1). Naskah

Sekilas Sejarah Mbah Kiai Nur Iman yang dipinjamkan oleh Bapak Hamamun; 2). Bukti silsilah hubungan kekerabatan beberapa kiai di Mlangi dengan Mbah Kiai Nur Iman

d. Materi audio-visual. Penulis mengabadikan setiap momen wawancara

dengan narasumber dalam bentuk rekaman suara.

G.5. Teknik Analisis Data

Creswell mengungkapkan strategi analisis penelitian kualitatif, salah satunya menurut Huberman & Miles (1994) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus

(43)

menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu: data reduction, data display, dan conclusion.37

a. Data Reduction (Reduksi Data)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. Reduksi data bisa dibantu dengan alat elektronik seperti: komputer, dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu. Dengan reduksi, maka peneliti merangkum, mengambil data yang penting, dan membuat kategorisasi. Data yang tidak penting dibuang.

Penulis telah melakukan reduksi data dalam bentuk catatan-catatan kecil yang penulis kategorikan berdasarkan kesamaan fenomena-fenomena yang telah diceritakan oleh narasumber. Seperti dalam fenomena konflik sosial terkait masuknya pengaruh Muhammadiyah di Mlangi, dimana semua narasumber bercerita bahwa kontestasi kepemimpinan memunculkan tokoh Kiai Ibrohim yang pro budaya NU dengan Kiai Muhammad yang pro Muhammadiyah.

b. Data Display (Penyajian Data)

Setelah data direduksi, maka langkah berikutnya adalah penyajian data. Penyajian data dalam penelitian kualitatif bisa dilakukan dalam bentuk: uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sebagainya. Dalam

(44)

penelitian ini penulis lebih banyak menampilkan data dalam bentuk naratif, sebagai contoh dalam pembahasan utama penulis mencoba menarasikan beberapa fenomena konflik sosial yang terjadi di Mlangi untuk mengungkap kontestasi kepemimpinan diantara para kiai di Mlangi. Sebagian besar berbentuk kutipan wawancara dengan narasumber yang memang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini.

c. Conclusion Drawing/Verification

Langkah ketiga adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun bila kesimpulan memang telah didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel (dapat dipercaya). Kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada di lapangan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih belum jelas, sehingga setelah diteliti menjadi jelas.

Referensi

Dokumen terkait

JABATAN PENGAMAT GUNUNG API

Populasi lalat buah (Fam. Tephritidae) dengan penggunaan kompos gulma siam pada tanaman cabai menunjukkan nilai terendah yaitu 9.50 individu, walaupun pada

Penggunaan kombinasi ekstrak bulbus bawang putih dan rimpang kunyit pada penelitian ini dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa, hal ini menunjukkan perbaikan kemampuan sel

perbedaan antara baja carbon ST 50 tanpa perlakuan gas carburizing dan dengan perlakuan gas carburizing yaitu: tanpa perlakuan gas carburizing menunjukkan struktur

Permasalahan dengan system tersebut adalah sering terjadinya kendala dalam kegiatan yang berhubungan dengan distribusi yaitu data depo - depo yang belum

Teka-teki silang ini dianggap dapat membantu siswa untuk mempelajari kosakata seperti halnya scrable. Teka-teki silang ini juga dapat diterapkan pada pembelajaran

Pengamatan User Experience dan Kebutuhan Pengguna pada penerapan metode cetakan custom implan pada bedah cranioplasty dan craniofacial yang dicetak dengan printer 3D

Gaya kepemimpinan Telling adalah gaya kepemimpinan yang ditandai perilaku pemimpin yang tidak mempercayai bawahannya dan banyak memberikan instruksi kepada bawahan