• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinggal Landas

Dalam dokumen Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia (Halaman 46-119)

Mulanya memang krisis moneter (krismon) yang menye­ babkan nilai tukar rupiah terus mengempis terhadap USS pada bulan Juli 1997. Keadaan ini mengkhawa tirkan banyak orang . Pelaku bisnis, yang sebelumnya banyak mengandalkan u tang luar negeri, ten tu menjadi makhluk yang paling cemas . Sebab se telah band intervensi diperlebar, nilai Rp lang sung masuk ke jurang yang makin lebar i tu . Artinya bila band intervensi benar- benar dicabut, dapat dipastikan nilai Rp akan terjun bebas. I tulah yang diprediksi oleh pakar- pakar ekonomi semacam Managing Director Econi t waktu i tu Dr. Rizal Ramli, pengamat ekonomi kri tis Kwik Kian Gie dan Fu'ad Bawazier, mantan Dirjen Pajak yang kemudian diangka t Soeharto menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Pembangunan VII .

Namun, suara- suara para pakar ini tertutup oleh suara- suara lain yang lebih lantang, baik di dalam kabinet maupun di luar. Suara- suara lantang yang belakangan i tu justru memberi semangat pemerintah untuk iku t saran

IMF . Mereka menganggap sudah waktunya pemerintah melepas band in tervensi dan membiarkan pasar uang menentukan nilainya . Sistem nilai tukar mengambang ter­ kendali (Managed floating exchange ra te) , yang selama ini diterapkan dengan mendepresiasi rupiah 5 - 6%j tahun, dianggap ke tinggalan zaman . Kebijakan tersebut dinilai boros, karena memaksa pemerintah mencairkan devisanya untuk menjaga s tabilitas nilai Rp . Sebaliknya dengan melepas band in tervensi, maka pemerintah bisa meng­ hemat devisa . I tu alasan pertama . Alasan kedua, funda­ mental ekonomi Indonesia sangat kua t, tak mungkin roboh oleh badai moneter seperti yang menimpa Korea dan Thailand yang nilai mata uangnya mengempis 40% lebih se telah band in tervensi dilepas. Ketiga, Indonesia masih punya cadangan de visa di a tas US$ 21 miliar, cukup

besar untuk menjaga s tabilitas moneter.

Begitulah pemerintah Indonesia di bawah Soeharto kemudian mencabut band in tervensi, dan membiarkan Rp terjun bebas di pasar uang yang penuh spekulan. Maka tiba- tiba fundamental ekonomi yang diaggap kua t i tu bobol dan dunia usaha pun terhempas. Seiring mengem­ pisnya nilai Rp terhadap valu ta asing (valas), teru tama US$, nilai u tang pemerintah dan perusahaan- perusahaan swasta nasional menggelembung hebat. Perusahaan­ perusahaan tak mampu membayar u tang yang membeng­ kak sampai 500% akibat mengempisnya nilai Rp sebesar i tu . Ini pada gilirannya menyere t perbankan di tanah air iku t masuk jurang . Ya siapa yang bisa membayar u tang yang tiba- tiba meningka t 5 kali lipat saa t j a tuh tempo? Artinya bila sebelum krisis 6 a tau 7 tahun lalu mereka meminjam US$ 200 juta a tau Rp 400 miliar dengan kurs Rp 2 . 000jUSS, maka saa t j a tuh tempo mereka harus

membayarnya 5 kali lipa t a tau Rp 1 triliun . Bagaimana caranya? Dengan keuntungan 100% pun i tu tak akan bisa dibayar, apalagi kalau cuma 20%. Di sisi lain harga bahan baku yang mesti diimpor juga meningka t 5 kali lipat, sedang harga tak mungkin bisa dinaikkan 5 kali lipat pula. Artinya perusahaan- perusahaan yang kekenyangan u tang dolar dan penghasilannya dalam Rp, dapat dipastikan langsung megap- megap tak bisa bernapas.

1 . Catatan- Catatan Menjelang Jatuhnya Orde Baru Para pakar dan pelaku ekonomi sebenarnya sejak awal telah menyadari bahwa krisis yang mengharu- biru dunia usaha Indonesia adalah krisis nilai tukar alias kurs . Buktinya tak sulit dicari . Apalagi bila diingat puluhan tahun ekonomi Indonesia, yang menerapkan sistem kurs mengambang terkendali, oke- oke saj a . Bila sistem i tu terus dijalankan, maka kurs Rp terhadap USS akan menjadi Rp 4 . 000jUS$ pada tahun 20 18- 2020 . Artinya dengan depresiasi a tau penyusu tan nilai 5%jtahun, maka kurs yang pada 1997 bertengger di angka Rp 2 . 130jUSS dalam waktu 20 tahun ke depan baru akan menjadi Rp 4000jUS$ . Dalam perjalanan waktu i tu tidak akan terjadi gejolak dan kejutan apa- apa, karena semuanya bisa diperhi tungkan dan terkendali. Sebaliknya dengan meng­ ambil jalan pintas mencabut band in tervensi, demi meng­ hemat devisa, dalam waktu se tahun saja nilai Rp telah menyusut 500%, sehingga menjadi Rp 1 0 . 000jUSS pada

1998 . Penghematan macam apa yang didapat?

Selama tiga dekade sebelumnya Indonesia oke- oke saj a . Padahal u tangnya besar. Pembangunan berjalan lancar. Bahkan dipuji Bank Dunia, IMF dan para pakar. Berbagai lembaga pendanaan luar negeri, ka ta Fu'ad

Bawazier, berlomba- Iomba menawarkan dan melemparkan dananya ke Indonesia. Mereka memuji- muji Indonesia sebagai negeri yang 'very good . ' Fundamen tal ekonomi Indonesia dinilai kua t. Pokoknya semua 'happy . ' Seandai­ nya tidak ada masalah kurs, mungkin sekarang masih oke­ oke aja . Orang masih mampu membayar u tang dalam dan luar negeri . Fu'ad menilai dalam urusan nilai tukar Rp, pemerintah kurang teguh pendirian dan terlalu banyak mendengar suara- suara luar.

Fu'ad mengakui masih banyak yang tidak benar da­ lam ekonomi Indonesia. Ada sistem ekonomi liberal ber­ dampingan dengan monopoli, ta ta niaga, dan sistem perbankan dengan bank sen tralnya yang amburadul . Perbankan sangat dimanjakan lewat program penjaminan, sehingga pengelolaannya menjadi tidak 'pruden t: Meski demikian, dia yakin, semuanya masih bisa dibenahi, asal tidak dalam keadaan panik. Namun kurs sebagai sumber malape taka mesti dikendalikan dulu . Kalau tidak, makin sulit membenahi s truktur ekonomi yang kacau, inefisien dan distortif. Untuk mengatasi masalah kurs ini, Fu'ad menyarankan agar pemerintah menerapkan currency bord system (CBS), sa tu kubu dengan Pe ter F . Gontha yang memboyong S teve Hanky.

Sebaliknya kubu IMF lebih senang membiarkan nilai tukar Rp mengambang seperti i tu . Mereka menganggap nanti juga beres sendiri . Fu'ad sendiri berpendapat resep IMF mungkin akan bermanfaa t, tapi bukan pada saa t u tang pemerintah dan swasta sedang j a tuh tempo . Jika masalah nilai tukar tidak diselesaikan segera, ka ta orang Banyumas i tu, program-program jangka panjang yang dikemas IMF dalam sa tu bundel dengan pinjaman akan sia- sia . Bahkan pak Harto sendiri, ka ta dia, akhirnya

menyadari bahayanya pelepasan band intervensi i tu . Dari situlah muncul ide CBS . Fu'ad sendiri mengaku tak menolak resep generik IMF yang dikenal dengan Le tter of Intent (LoI), asal masalah kurs diselesaikan dulu . Saat masuk Kabinet Pembangunan VII, Fu'ad memang berupaya menggiring USS ke tingka t yang wajar terhadap Rp . Dia mematok Rp 6 . 000jUSS sebagai prasyara t perundingan dengan IMF, tapi Soeharto keburu lengser diterjang reformasi dan Fu'ad tak iku t 'berlari' pada estafe t berikut­ nya di bawah Habibie

Masalah kurs Rp ini sebenarnya memang tak bisa dianggap enteng . Agar lebih mudah dipahami, marilah kita ambil contoh PLN . Di samping karena berbagai salah urus, kebocoran, in efisiensi dan proyek listrik swasta yang mahal, perusahaan listrik negara ini sangat dirugikan oleh kurs . Menuru t Diru t PLN Eddie Widiono, dalam sebuah wawancara dengan penulis untuk majalah SWA, pada tahun 1996, PLN berhasil menuai laba Rp 1,2 triliun . Kurs waktu i tu cuma Rp 2 . 407jUS$ (kurs ini sebenarnya ke tinggian, tahun i tu cuma seki tar Rp 2 . 100- 2 . 300jUSS). Masih menuru t Eddie pada 1997 ketika nilai rupiah meloro t menjadi ra ta- ra ta Rp 4 . 673jUSS, PLN membukukan rugi Rp 0,6 tiliun . Tahun 1998 kerugian PLN meningka t menjadi Rp 9,2 triliun, kurs Rp 8 . 065jUSS . Tahun 1999 kerugian mem­ bangkak lagi menjadi Rp 1 1,4 triliun, kurs Rp 8 . 136jUS$ . Tahun 2000 kerugian PLN meningka t drastis menjadi Rp 23,4 triliun, selnng mengemplsnya kurs menjadi Rp 9 . 643jUSS.

Melihat angka- angka kerugian di a tas, ten tu masuk akal bila banyak pakar ingin menerapkan kurs te tap lewat CBS a tau kembali ke sistem 'managed floating ra te : Dengan demikian rakya t tidak perlu iku t menanggung

kerugian kurs tersebut dengan membayar listrik lebih mahal, sesuai saran IMF . Kwik Kian Gie sendiri, dalam kesempatan wawancara dengan penulis majalah SWA, menganggap kurs yang wajar adalah sekitar Rp 1 . 800jUSS . Pa tokannya sederhana saj a : harga pake t McDonald di AS dan di Indonesia disandingkan, lalu dikurs, maka didapatlah angka i tu . Namun baik pendukung CBS maupun managed floating ra te semacam Kwik, tak didengar Soeharto . Sang penguasa orba sudah lebih dulu menadatangani kesepaka tan dengan IMF . Tanpa disadari bu tir- butir kesepaka tan yang mendetil i tu telah mencabut kedaulatan Negara . Artinya pemerintah dan pemimpin negeri ini kehilangan kemandiriannya untuk mencari solusi kreatif a tas krisis yang menimpa negaranya . Ki ta akan kembali lagi ke bu tir- butir kesepaka tan tersebut nanti pada sub bab ten tang GBHN Super dari Bawah Meja IMF.

Keputusan pemerintah Rl menerima solusi buatan IMF untuk mengatasi krisis i tu berbeda secara diameteral dari pemerintah Malaysia. Perdana Menteri Malaysia waktu i tu Mahathir Muhammad memilih untuk menolak IMF . Dia menetapkan fixed ra te buat RM (Ringgit Malay­ sia). Pokoknya USS 1 dipa toknya sama dengan RM 3,4. Bukan cuma i tu . Guna mencegah pelarian modal dan agar RM tidak menjadi bulan-bulanan para spekulan di pasar uang di London sana, Dr. M, begitu dia disapa, memberi ultimatum: ringgit yang ada di luar Malaysia, bila tak masuk kembali dalam waktu sa tu bulan se telah dite tap­ kannya kurs te tap, maka dianggap tak laku !

Tanpa IMF, pada 5 Desember 1997 pemerintah diraja Malaysia menggelindingkan pake t pengencangan ika t pinggang yang mengutamakan kemandirian. Pake t i tu

melipu ti instrumen yang sangat luas, makro maupun mikro . Anggaran belanjda negara dipangkas 18% dan proyek- proyek raksasa yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakya t banyak ditangguhkan. Target pertumbuhan di turunkan dari 7% menjadi 4-5% saja . Lalu defisit neraca berjalan diciu tkan menjadi 3% dari PDB (sebelumnya 4%) dan pertumbuhan kredit diba tasi maksimal 15% per tahun dari sebelumnya 30% . Di sisi lain pembiayaan sektor a tau kegiatan nonproduktif dan spekula tif dihentikan sama sekali . Pada saa t sama, untuk memulihkan kepercayaan di pasar modal, Pemerintah menutup izin pencata tan (listing) saham baru, rights issue, serta langkah- Iangkah restrukturisasi perusahaan seperti saling bertukar saham (share swap). Ini adalah sua tu keputusan yang berani dan sangat fokus untuk mengatasi krisis yang mulai mendekat.

Menuru t Sritua Arief dalam artikelnya di Kompas (8

Januari 1998) berbeda dari negara lain yang memilih

menelan pil pahit IMF, Malaysia tidak mengurangi a tau menghapuskan subsidi. Tidak pula menaikkan harga- harga

barang dan jasa (public utilities) . Kon traksi fiskal i tu

sepenuhnya ditujukan untuk mengurangi konsumsi

barang-barang mewah impor. I tu bisa dicapai hanya dengan menghapus proyek- proyek mewah . Malaysia lebih mengutamakan investasi bagi pemenuhan kebutuhan pokok rakya t. Penurunan target pertumbuhan bukanlah akibat peng- hematan, tapi penegasan bahwa jika s tra tegi pro rakya t dijalankan dengan benar, pertumbuhan pasti diraih. Ini sesuai dengan pemikiran kaum s trukturalis bahwa redistribusi dilakukan bersama pertumbuhan, bukan redis tribusi dari pertumbuhan .

an memperbesar dukungan bagi industri- industri kecil dan menengah, teru tama yang dimiliki orang Malaysia (Melayu), melalui semacam panitia khusus yang mem­ proses permohonan kredit. Kebijakan ini didukung larangan a tau pembatasan ke ta t kredit untuk proyek- proyek perumahan mewah dan konsumsi mewah . Jadi pemerintah Malaysia menyadari bahwa yang menyebabkan o ver­ heated economy bukan kredit secara keseluruhan, te tapi kredit kepada sektor- sektor konsumsi mewah . Hasilnya?

Hasil dari pake t kebijakan kreatif i tu sangat luar biasa, sesuatu yang tak pernah dipikirkan oleh IMF dan para pendukungnya sendiri . Wonder boven w onder alias aneh bin ajaib : dengan menolak resep IMF, krisis tak jadi mampir di Malaysia sampai sekarang . Bahkan negeri jiran i tu mampu berekspansi ke luar negerinya untuk ber­ investasi dan membeli aset- ase t Indonesia yang dijual murah oleh Badan Penyeha tan Perbankan Nasional (BPPN) .

Sebaliknya di Indonesia akibat menjadi pak turu t IMF, krisis moneter i tu tanpa dapat dibendung terus berkembang menjadi krisis ekonomi berkepanjangan . Keadaan menjadi lebih parah lagi, teru tama se telah pemerintah menerapkan kebijakan uang ke ta t ( tight money policy) dengan menaikkan suku bunga se tinggi­ tingginya, untuk mencegah pelarian modal . Memang modal tak jadi lari, tapi juga tak bisa dimanfaa tkan untuk memutar roda ekonomi. Sebagian besar mengendap di bank a tau Sertifika t Bank Indonesia dan menjadi beban baru . Akibatnya uang beredar menjadi sedikit. Bank mengalami ,nega tive spread', tak berani menyalurkan kredit ke dunia usaha . Sektor riil mati suri . Banyak per­ usahaan tak mampu lagi membiayai operasional dan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Keadaan ini secara simultan menciptakan kesengsaraan di kalangan rakya t banyak, di samping frustrasi dan putus asa . Akibatnya ra tusan ribu orang kehilangan pekerjaan. Sementara angka tan kerja baru, bahkan yang baru lulus dari Perguruan Tinggi, tak bisa diserap. Indonesia tiba­ tiba kebanjiran seki tar 20 juta penganggur baru .

BJ Habibie

Toh bencana yang menimpa Indonesi tidak berhenti sampai di situ . Puluhan ribu Tenaga Kerja Indo­ nesia (TKI) di mancanegara diusir pula secara tidak hormat. Yang paling mengenaskan ten tu kejadian di negara jiran terdeka t kita sesama Melayu, Malaysia. Di negerinya Dr. M i tu . 7 orang TKI tewas ditembak kaki tangan kerajaan dalam 'Operasi Nyah' pada akhir 1997. Wakil Presiden (wapres) BJ Habibie yang sempat berkunjung ke Malaysia se telah peristiwa tersebut, sayangnya tak sempat menanyakan kepada pemerintah Malaysia : mengapa kaki tangan kerajaan sampai menembak warga negara Indo­ nesia? Mereka bukan kriminal! Mereka cuma mencari kerja agar peru t tak keroncongan, sebab negeri sendiri tak mampu memberi pekerjaan dan penghasilan yang layak.

Dalam hal membela warga negaranya, Indonesia sebenarnya bisa meniru Filipina, yang membela Con tem­ plasion, tenaga kerja wanita negeri i tu yang diperlakukan tidak adil di Singapura . Fidel Ramos, sang presiden waktu i tu, bahkan rela kehilangan berbagai kon trak bisnis dengan Singapura demi membela harga diri rakya tnya . Namun Pemerintah Indonesia mungkin memang sedang banyak urusan yang lebih besar, misalnya mencari dana

pembangunan . Maklum roda ekonomi mesti terus berpu tar. Salah- salah gara- gara membela TKI, modal dari negeri jiran i tu tak jadi masuk. Apalagi di tengah paceklik dana pembangunan, harga- harga membubung tinggi pula iku t dolar, teru tama sembilan bahan pokok (sembako) . Alam kemudian menyempurnakan penderitaan i tu dengan EI Nino, bencana kekeringan plus berbagai hama tanaman yang menggagalkan panen produk- produk pertanian.

Akiba t paling buruk dari akumulasi bencana tersebut, ka ta pengamat politik UI Arbi Sanit, Orde Baru (orba) kehilangan legitimasi ekonominya . Orba yang selama 30 tahun menggemborkan pertumbuhan ra ta- ra ta 7% seba­ gai prestasi, dan oleh karena i tu mendapat 'kepercayaan' untuk mengurus kepentigan rakyat, limbung hanya dalam 6 bulan. Pendapa tan per kapita Indonesia yang telah mencapai US$ 1 . 000, akiba t mengempisnya nilai Rp terhadap uss yang mencapai 500%, kembali ke tahun­ tahun sebelum 1967 yai tu seki tar USS 214. Angka ini masih bisa menurun apabila nilai Rp terus menyusut terhadap US$, kecuali kita mau menghitungnya ber­ dasarkan sistem onocoroko yang tak bisa dipertanggung­ jawabkan. Menjelang Millenium ke tiga, se telah melewa ti 6

kali pelita (pembangunan lima tahun), Indonesia 'urung' tinggal landas . Sebagai gantinya, pemerintah Soeharto kembali menggiring Indonesia ke ti tik nol dalam pelukan IMF .

Rakyat, yang selama ini diam, memang kehilangan kesabarannya . Mereka iku t- iku tan berunjuk rasa di seluruh tanah air. Seluruh lapisan masyaraka t, teru tama kelas menengah- bawah seperti terluka dan meradang di se antero negeri . Maklum banyak orang tua kehilangan kemampuannya membiayai pendidikan anak- anaknya .

Kemarahan rakya t ini lantas membuat Dunia kampus menggeliat dari tidur panjangnya . Gelia t inilah yang kemudian menjadi cikal- bakal gerakan reformasi, yang menuntu t perubahan di segala bidang, termasuk per­ gantian pucuk pimpinan negara . Dunia kampus kembali mendapa tkan peranan sosial politiknya .

Begitulah masyaraka t, mahasiswa, para alumni per­ guruan tinggi, organisasi massa (ormas), dan Lembaga Swadaya Masyaraka t (LSM) tidak lagi hanya menuntu t di turunkanya harga- harga, tapi secara bersama- sama menuntu t reformasi politik, sesuatu yang selama ini paling di taku ti rezim orde baru (orba). Soeharto bersama jajarannya dianggap biang keladi yang mengakiba tkan lemahnya fundamental ekonomi Indonesia. Rezim ini telah membengkalaikan sektor informal, pertanian, pe ternakan, dan perikanan rakya t yang mengakiba tkan Ibu Pertiwi tak mampu mencukupi pangan penduduknya . Di sisi lain orba lewa t kebijakan dan keputusan politik telah memberi segala peluang dan fasilitas kepada segelintir pengusaha untuk menjadi guri ta bisnis yang memasung usaha pribumi .

Kaum reformis menilai se tidaknya ada 79 Kepu tusan Presiden (Keppres), yang sangat merugikan rakya t dan menguntungkan bisnis kroninya, telah dikeluarkan Soeharto selama 32 tahun masa kekuasaannya . Di antara 79 keppres i tu ada 2 yang khusus dihadiahkan bua t kelancaran proyek properti mewah Grup Salim di Teluk Naga . Mega Proyek tersebut rencananya dibangun di a tas lahan 80 ha, separuhnya didapat dari reklamasi pantai. Sedang yang 40 ha merupakan wilayah hunian penduduk yang terdiri dari 13 desa : 7 desa nelayan dan 6 desa pertanian beririgasi teknis . Selama se tengah tahun kedua

tahun 1996 penduduk Teluk Naga menolak proyek tersebut, juga Gubernur Jabar waktu i tu Nuriana . Yang paling krusial adalah masalah ganti rugi, karena tanah mereka cuma dipatok seharga Rp 7 ribu- 14 ribu/m2, sesuai nilai jual obyek pajak se tempat (NJOP) . Tentu saja i tu tak salah, tapi pengamat properti Panangian Sima­ nungkalit menganggap cara penghitungan nilai tanah seperti i tu sudah kuno dan tak bisa digeneralisir. "Mesti­ nya yang dihitung adalah nilai masa depan tanah i tu (future value) . Artinya harus dilihat dulu lahan i tu nantinya untuk apa? Bila peruntukanya untuk perumahan mewah dan hotel bintang lima, maka nilainya ten tu jauh lebih tinggi dibanding bila dia diperuntukkan bua t mem­ bangun sekolah, perpustakaan dan rumah sangat seder­ hana (RSS)," ka tanya ketika ditemui penulis untuk majalah SWA, ketika protes penduduk Teluk Naga sedang marak.

Menuru t Panangian bila yang mau dibangun memang service apartemen mewah dan hotel bintang lima seperti direncanakan, maka nilai tanah i tu mestinya bisa men­ capai USS 1 . 500/m2 kali 30 (bila yang dibangun 30 lantai). Bila di situ juga akan dibangun rumah sederhana (RS) dan RSS, sesuai formula 1 : 3 : 6 (satu rumah mewah, 3 RS dan 6 RSS), plus sekolah, perpustakaan dan berbagai fasili tas umum, maka nilainya nanti dira ta­ ra takan. Cara pandang pengamat property i tu sangat progresif dan pemerintah nampaknya sudah harus mulai menerapkan cara penilaian seperti i tu demi melindungi kepentingan rakya t banyak. Taruhlah se telah dikem­ bangkan Salim tanah i tu akhirnya bernilai US$ 1 . 500/m2. Nilai i tulah yang mesti dibagi tiga, yai tu si pemilik semula mendapat sepertiga, karena telah merelakan tanahnya

plus benefi t ekonomi yang bisa diperolehnya dari tanah i tu seumur hidupnya untuk dikembangkan oleh Salim a tau siapa saj a . Si pengusaha mendapa tkan sepertiga bagian, karena telah bekerja keras mengelola dan menaikkan nilai tanah i tu . Sedang sepertiga lagi menjadi hak pemerintah, karena telah menjaga segala sesuatunya sehingga bisa dikembangkan dan aman . Artinya dengan carfa baru ini pemerintah bisa mendapa tkan USS 500/m2 tanah di Teluk Naga i tu . Ini jauh lebih besar dibanding 20- 30% dari NJOP yang cuma Rp 7- 14 ribu/m2 yang pembebasannya memerlukan kekerasan dan menimbulkan kesengsaraan .

Akar- akar masalah semacam i tulah yang dituntu t gerakan reformasi untuk dicabut. Setidaknya agar rakya t negeri ini kembali mendapa tkan hak- haknya untuk ber­ kembang dan makmur dari sisi ekonomi . Kaum reformis yakin selama akar masalah i tu tidak dicabu t, selama reformasi politik dan ekonomi tidak dilakukan, maka kesalahan dan penderitaan yang sama akan terulang . "Sesungguhnya desakan reformasi politik yang di teriakkan mahasiswa a tas nama masyaraka t bukan sekadar me­ ngembalikan pembangunan kepada s tandar kehidupan manusia yang wajar. Lebih dari i tu . Reformasi politik dan ekonomi adalah untuk menghindari pengulangan kekeliruan yang sam a . Orba telah membengkalaikan kemampuan ekonomi rakyatnya selama 30 tahun lebih dengan akhir kegagalan yang menyaki tkan," jelas Arbi serius ketika ditanya apa sebenarnya yang di tuju oleh gerakan reformasi .

Namun tun tu tan dan keinginan rakya t banyak i tu tak digubris pula oleh wakil- wakil rakya t di DPR/MPR hasil pemilihan umum 1997, yang memakan banyak korban. Bukti paling nya ta adalah dipilihnya kembali Soeharto

sebagai presiden untuk ketujuhkalinya secara aklamasi pada bulan Mare t 1998 . Para wakil ini seakan tak mampu mendengar dan melihat kenya taan, bahwa rakya t sudah bosan dengan gaya kepemimpinan orba yang gagal memberikan kemakmuran dan keamanan bagi rakya tnya . Sidang yang sama juga mengangka t BJ Habibie sebagai Wapres, sa tu posisi yang menjadi semakin s tra tegis

Dalam dokumen Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia (Halaman 46-119)

Dokumen terkait