FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ISWANDI ANAS
III. METODE PENELITIAN
4.1.1. Tinggi Tanaman
Pengaruh budidaya padi secara konvensional dan S.R.I. terhadap tinggi tanaman dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Pengaruh budidaya padi secara konvensional dan S.R.I. terhadap tinggi tanaman
Berdasarkan Gambar 5, dapat dilihat bahwa pada minggu ke-2 sampai minggu ke-4 pengaruh perlakuan budidaya konvensional menghasilkan tinggi tanaman yang berbeda nyata dengan ketiga perlakuan lainnya, hal ini dikarenakan pada saat penanaman budidaya S.R.I anorganik, organik maupun semi-organik menggunakan bibit yang lebih muda yaitu berumur 7 hari yang ukurannya relatif lebih kecil dibanding dengan bibit yang digunakan pada budidaya konvensional yang menggunakan bibit berumur 30 hari.
Pada minggu ke-6 tinggi tanaman pada perlakuan budidaya S.R.I anorganik dan S.R.I. semi-organik tidak berbeda nyata dengan perlakuan budidaya konvensional, dan pada minggu ke-8 tinggi tanaman dengan budidaya S.R.I. anorganik sudah mulai dapat menyusul tinggi tanaman konvensional meskipun belum terlihat secara nyata perbedaannya. Tinggi tanaman antar perlakuan S.R.I. anorganik dengan konvensional terlihat nyata perbedaannya pada minggu ke-10. Tinggi tanaman S.R.I semi-organik dan S.R.I. organik juga dapat menyusul tinggi tanaman konvensional pada minggu ke-10 walaupun secara statistik tidak berbeda
21
nyata. Urutan tinggi tanaman dari semua perlakuan pada minggu ke-10 adalah sebagai berikut: S.R.I. anorganik (98.50 cm), S.R.I. semi-organik (95.8 cm), S.R.I. organik (93.50 cm), dan terakhir konvensional (91.25 cm). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sumardi et al. (2007), yang menyatakan bahwa pemberian air pada sekitar kapasitas lapang menghasilkan tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang diberikan air hingga tergenang karena pemberian air dalam kapasitas lapang menyebabkan kadar oksigen yang diperoleh akar lebih banyak sehingga tanaman padi lebih cepat berkembang. Hal tersebut secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap hasil tanaman.
Perlakuan S.R.I organik memiliki tinggi tanaman yang selalu lebih rendah dibanding dengan dua perlakuan S.R.I. lainnya yang diterapkan. Hal ini karena S.R.I organik menggunakan pupuk organik yang memiliki kandungan unsur N, P, dan K yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini menyebabkan pertumbuhan pada perlakuan S.R.I. organik selalu lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya karena unsur hara khususnya nitrogen sangat diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti daun, batang, dan akar (Sarief, 1985).
4.1.2. Jumlah Batang per 100 m2
Pengaruh perlakuan budidaya padi secara konvensional dan S.R.I. terhadap jumlah batang per 100 m2 dapat dilihat dibawah ini (Gambar 6).
Gambar 6. Pengaruh budidaya padi secara konvensional dan S.R.I. terhadap jumlah batang per 100 m2
Perbedaan nyata pada jumlah batang per 100 m2 antara budidaya S.R.I. dengan budidaya konvensional sudah terlihat sejak 2 MST. Perbedaan itu dikarenakan jarak tanam antara budidaya S.R.I. dengan budidaya konvensional berbeda. Budidaya konvensional dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm akan menghasilkan jumlah rumpun per 100 m2 yang lebih banyak yaitu sebanyak 2,500 rumpun, sedangkan budidaya S.R.I. yang memiliki jarak tanam sebesar 30 cm x 30 cm hanya akan menghasilkan 1,111 rumpun per luasan 100 m2 sehingga walaupun jumlah batang per rumpun pada perlakuan budidaya S.R.I. anorganik, S.R.I semi-organik dan S.R.I organik telah melampaui jumlah batang per rumpun perlakuan budidaya konvensional sejak minggu ke-6 sampai minggu ke-10 (Tabel Lampiran 8), tetapi perlakuan budidaya S.R.I. memiliki jumlah batang per 100 m2 yang lebih rendah dibanding budidaya konvensional.
Menurut Sumardi et al. (2007), pemberian air secara intermitten menjamin ketersediaan O2 di zona perakaran dan secara konsisten memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan budidaya sawah yang digenangi terus menerus, hal tersebut secara nyata dapat meningkatkan jumlah anakan produktif, biomasa, tinggi tanaman dan luas daun, hal tersebut yang menyebabkan jumlah batang per rumpun pada perlakuan budidaya S.R.I. dapat melampaui budidaya konvensional pada minggu ke-6 sampai minggu ke-10 (Tabel Lampiran 8).
Berdasarkan jumlah batang per 100 m2 antara S.R.I. anorganik, organik, dan semi-organik, S.R.I. anorganiklah yang memiliki jumlah batang tertinggi. Hal ini karena dosis pupuk urea yang diberikan pada S.R.I. anorganik lebih banyak dibanding dua perlakuan S.R.I. yang lain. Menurut Agustamar dan Zulfadly (2007), nitrogen sangat membantu pada awal pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Budidaya S.R.I. organik selalu memiliki jumlah batang terendah. Hal ini diduga karena S.R.I. organik menggunakan pupuk organik yang memiliki kadar N, P dan K rendah sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukkan anakan.
Jumlah batang per 100 m2 pada budidaya konvensional maksimal pada minggu ke-4, sedangkan pada budidaya S.R.I. pada minggu ke-6 dan pada minggu berikutnya jumlah batang per 100 m2 mulai menurun. Hal ini terjadi karena tanaman telah mencapai fase reproduktif sehingga batang mulai berkurang karena batang banyak yang mulai mati seperti yang dinyatakan Yoshida (1981), fase
23
reproduktif ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan
4.2. Komponen Hasil
Komponen hasil terdiri dari jumlah batang produktif per 100 m2, panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah hampa, jumlah gabah bernas, bobot 1000 butir, Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG). Pengaruh budidaya konvensional dan S.R.I. terhadap jumlah batang total per 100 m2 dan jumlah batang produktif per 100 m2 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh budidaya konvensional dan S.R.I. terhadap jumlah batang produktif per 100 m2
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%
Pada saat panen tidak semua batang pada setiap rumpun menghasilkan malai. Batang yang menghasilkan malai disebut batang produktif. Jumlah batang produktif dipengaruhi oleh jarak tanam, jumlah bibit, dan umur bibit tanam. Jarak tanam yang relatif sempit dapat menyebabkan stres pada tanaman, selain itu umur persemaian yang mencapai usia 30 hari (tua) menyebabkan sistem perakaran bersaing dengan banyak sistem perakaran disekitarnya sehingga tanaman kesulitan dalam mencukupi kebutuhan haranya. Hal tersebut yang menyebabkan jumlah batang produktif pada budidaya konvensional lebih rendah dibanding dengan budidaya S.R.I anorganik dan S.R.I. semi-organik (Tabel Lampiran 9), namun jika jumlah batang produktif dikonversikan ke dalam luasan 100 m2 maka berdasarkan analisis statistik maka akan diperoleh data bahwa jumlah batang produktif per 100 m2 konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan semua perlakuan S.R.I. (Tabel 2). Hal ini dikarenakan perlakuan budidaya konvensional
Sistem Budidaya
Jumlah Batang Total per 100 m2
(14 MST)
Jumlah Batang Produktif per 100 m2 (14 MST)
Konvensional 55,875b 50,625b
S.R.I Anorganik 34,107a 25,053a
S.R.I Organik 27,997a 22,386a
memiliki jumlah rumpun per 100 m2 yang lebih tinggi dibandingkan seluruh perlakuan budidaya S.R.I.
Perlakuan S.R.I. organik memiliki jumlah batang per 100 m2 terendah dibanding semua perlakuan budidaya S.R.I. Hal ini dikarenakan pupuk yang diberikan pada perlakuan tersebut adalah pupuk kompos yang memiliki kandungan nitrogen yang rendah sehingga pertumbuhan batang pada setiap rumpunnya menjadi terhambat atau kurang maksimal karena menurut Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian (2008), unsur N dan P mempunyai pengaruh yang jelas terhadap pembentukan anakan. Selain itu menurut Siregar (1981), pemberian nitrogen yang cukup akan meningkatkan jumlah batang produktif tanaman, karena nitrogen berperan penting sebagai penyusun protein yang akan digunakan oleh tanaman untuk meningkatkan jumlah malai/rumpun.
Metode tanam muda pada budidaya S.R.I. tidak menyebabkan tanaman stres karena ukuran perakaran saat akan dipindahlapangkan masih relatif pendek dan tanaman masih mempunyai cadangan makanan sehingga tidak akan mengalami kekurangan hara. Umur bibit yang ditanam juga dapat mempengaruhi jumlah batang produktif per rumpun. Menurut Masdar et al. (2006), pindah lapang yang dilakukan pada umur antara 7-14 hari akan menghasilkan batang produktif per rumpun lebih banyak. Hal ini diduga karena kondisi awal bibit umur 7-14 hari tidak mengalami stres saat pindah lapang yang akan berlanjut selama pertumbuhan vegetatif dan reproduktif.
Semakin banyak bibit yang ditanam menyebabkan semakin sedikitnya jumlah batang produktif per rumpun karena persaingan sejak awal antar daun diduga menurunkan kebugaran anakan. Petakan konvensional yang ditanam dengan bibit awal sebanyak 8 buah memperlihatkan jumlah batang produktif per rumpun lebih rendah dibanding dengan S.R.I. anorganik dan S.R.I. semi-organik, sedangkan jumlah batang produktif per rumpun S.R.I. organik tidak melebihi jumlah batang produktif per rumpun konvensional karena pupuk yang diberikan pada perlakuan S.R.I. organik menggunakan pupuk kompos yang memiliki kadar N-total yang lebih rendah dibanding perlakuan konvensional (Tabel Lampiran 9).
25
Tabel 3. Pengaruh budidaya padi terhadap panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%
Perlakuan budidaya S.R.I anorganik dan semi-oganik dapat meningkatkan panjang malai secara nyata dibanding perlakuan konvensional, perlakuan S.R.I. organik juga cenderung meningkatkan panjang malai. Hasil biji dipengaruhi pada jumlah pati yang terakumulasi dalam spikelet dan sangat ditentukan selama fase pengisian biji. Ada tiga faktor yang penting selama proses pengisian biji, yaitu produksi fotosintat yang dihasilkan oleh organ tanaman yang berperan sebagai source, sistem translokasi dari source ke sink dan akumulasi fotosintat pada sink. Hasil dari proses pengisian pada biji padi adalah keseimbangan dari ketiganya (Sumardi et al., 2007). Selain itu kandungan unsur N, P dan K tersedia juga mempengaruhi jumlah gabah per malai. Unsur nitrogen berperan meningkatkan jumlah bulir per rumpun (Rauf et al., 2000), unsur fosfor juga berperan memacu terbentuknya bunga dan bulir pada malai (Rauf et al., 2000) dan unsur kalium juga dapat meningkatkan jumlah bulir per malai (Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian, 2008).
Pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa perlakuan budidaya S.R.I. anorganik memiliki jumlah gabah bernas tertinggi walaupun secara statistik tidak terlihat secara nyata. Menurut Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian (2008), unsur kalium dapat meningkatkan persentase gabah isi. Jumlah gabah hampa pada seluruh perlakuan S.R.I. diduga sebagai akibat dari terlambatnya inisiasi biji menurut waktu yang semestinya karena pada minggu ke-2 tanaman terkena hama lalat bibit sehingga pertumbuhanya terganggu selain itu adanya hama walang sangit juga menyebabkan tingginya jumlah gabah hampa.
Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa S.R.I. anorganik dan semi-organik dapat meningkatkan produksi padi dibandingkan dengan budidaya
Sistem Budidaya Panjang Malai Jumlah Gabah /Malai Jumlah Gabah Hampa per Malai
Jumlah Gabah Isi per Malai
Kenaikan Gabah Isi per Malai
(%)
Konvensional 21.50a 91.05a 33.43a 57.62a -
S.R.I Anorganik 23.42b 122.12c 50.29b 68.19a 18.34 S.R.I Organik 22.02a 105.75b 55.97b 55.25a -4.11 S.R.I Semi-organik 23.34b 119.29c 60.55b 63.81a 19.42
konvensional walau secara statistik perbedaannya tidak nyata. Hal ini karena S.R.I. memiliki beberapa keunggulan seperti tanam bibit saat masih muda dan secara hati-hati. Hal ini dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama tahap pertumbuhan vegetatif, sehingga lebih banyak batang yang muncul dalam satu rumpun, dan lebih banyak bulir padi yang dihasilkan oleh malai.
Budidaya S.R.I. menggunakan bibit yang ditanam tunggal yang dapat menyebabkan tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran. Tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, atau nutrisi dalam tanah sehingga sistem perakaran menjadi sangat baik. Jarak tanam yang lebar memberi kemungkinan lebih besar kepada akar untuk tumbuh leluasa, tanaman juga akan menyerap lebih banyak sinar matahari, udara dan nutrisi. Hasilnya akar dan batang akan tumbuh lebih baik (juga penyerapan nutrisi) serta jumlah anakan akan lebih banyak dibanding sistem konvensional seperti pendapat Sumardi et al. (2007), yang mengatakan bahwa kondisi perakaran yang baik tidak hanya tampak pada morfologi akar saja akan tetapi juga terekspresi pada bagian atas tanaman, seperti jumlah anakan, tinggi tanaman dan persentase anakan produktif, ketiga parameter tersebut merupakan indikator yang paling kuat untuk melihat hasil gabah per rumpun.
Kondisi tanah yang lembab (kapasitas lapang) pada masa vegetatif memungkinkan lebih banyak oksigen yang masuk di zona perakaran. Perakaran yang teroksidasi akan meningkatkan kesuburan tanah dan mendapatkan akar tanaman yang panjang dan lebat (Berkelaar, 2001), selain itu menurut Sumardi et al. (2007), pemberian air pada kapasitas lapang juga dapat mempertahankan tanah pada kondisi aerobik. Pori-pori tanah khususnya pori makro tidak terjenuhi air sehingga memungkinkan lalu lintas CO2 dan O2 dapat berjalan tanpa hambatan. Kondisi demikian juga menguntungkan untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme tanah aerobik yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik. Tingginya jumlah dan aktivitas mikroorganisme tanah berpengaruh positif terhadap sifat fisik (struktur tanah) dan kimia tanah. Pada akhirnya akan memberikan lingkungan tumbuh yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan akar. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Hakim (2009), pada
27
lokasi yang sama yang mengatakan bahwa budidaya S.R.I. memiliki populasi dan keragaman organisme yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan budidaya konvensional.
Tanah tergenang menyebabkan suasana tanah menjadi anaerob. Pada suasana anaerob akar padi membentuk jaringan aerenchym. Semakin lama digenangi jumlah aerenchym semakin banyak dan semakin besar, sehingga porsi sel yang dimanfaatkan untuk menyerap air dan unsur hara menjadi semakin terbatas. Akibatnya proses metabolisme menjadi tergangggu sehingga bahan kering yang dihasilkan tidak mampu mengisi spikelet yang telah terbentuk secara optimal (Sumardi et al., 2007).
Tabel 4. Produksi gabah kering dengan budidaya konvensional dan S.R.I.
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%
*: Bobot GKG pada kadar air gabah 14 %
Terlihat dari Tabel 4, bahwa Gabah Kering Panen (GKP) antara keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Gabah Kering Panen (GKP) yang dihasilkan S.R.I. anorganik sebesar 4.35 ton/ha sedangkan konvensional hanya 3.59 ton/ha, berarti terjadi peningkatan sebesar 21.17% akibat penerapan budidaya S.R.I. anorganik. Nilai Gabah Kering Giling (GKG) S.R.I. anorganik mencapai 3.05 ton/ha sedangkan konvensional hanya mencapai 2.35 ton/ha, yang berarti terjadi peningkatan sebesar 29.79%. Nilai Gabah Kering Giling (GKG) juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara keempat perlakuan. Jika antar perlakuan diurutkan berdasarkan produksi GKP, urutannya adalah sebagai berikut: S.R.I. anorganik 4.35 ton/ha, S.R.I semi-organik 3.96 ton/ha, konvensional 3.59 ton/ha dan terakhir S.R.I. organik dengan GKP 3.55 ton/ha, sedangkan berdasarkan bobot GKG dengan urutan: S.R.I. anorganik 3.05 ton/ha, S.R.I semi-organik 2.43 ton/ha, konvensional 2.35 ton/ha dan terakhir S.R.I. organik dengan GKG 2.33 ton/ha
Sistem Budidaya GKP (ton/ha) Kenaikan GKP (%) GKG* (ton/ha) Kenaikan GKG (%) Bobot 1000 Butir
Konvensional 3.59a - 2.35a - 23.40a
S.R.I Anorganik 4.35a 21.17 3.05a 29.79 22.82a S.R.I Organik 3.55a -1.11 2.33a -1.58 23.03a S.R.I Semi-organik 3.96a 10.31 2.43a 3.40 23.29a
Bobot 1000 butir pada budidaya konvensional dan budidaya S.R.I. tidak menunjukan perbedaan yang nyata, bobot 1000 butir paling tinggi pada perlakuan konvensional, hal ini dikarenakan pada saat masa pengisian bulir padi S.R.I. hama seperti walang sangit muncul dan mengisap bulir yang masih matang susu sehingga pengisian bulir pada budidaya S.R.I. tidak optimal, sedangkan pada saat itu padi konvensional sudah mulai matang penuh sehingga hama-hama tadi tidak terlalu mempengaruhi bobot bulir tersebut (Tabel 4). Selain itu unsur hara yang tinggi juga mempengaruhi bobot 1000 butir. Menurut Rauf et al. (2000), unsur nitrogen berperan untk merangsang pertumbuhan vegetatif, meningkatkan jumlah anakan, dan meningkatkan jumlah bulir per rumpun; unsur fosfor berperan memacu terbentuknya bunga, bulir pada malai, menurunkan arborsitas, perkembangan akar halus dan akar rambut, memperkuat jerami sehingga tidak mudah rebah, dan memperbaiki kualitas gabah (meningkatkan ukuran berat gabah); sedangkan unsur kalium dapat meningkatkan jumlah bulir per malai, persentase gabah isi, dan bobot 1000 butir (Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian, 2008). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kusumawardhany (2009), yang menyatakan bahwa bobot 1000 butir pada perlakuan konvensional memiliki nilai tertinggi dibandingkan perlakuan yang lain karena dipengaruhi oleh suplai hara N, P dan K bagi tanaman. Dimana gabungan dari ketiga unsur tersebut jika tersedia secara berimbang pada tanaman akan menghasilkan bobot 1000 butir yang lebih tinggi.
Dari ketiga budidaya S.R.I. yang diterapkan, perlakuan S.R.I. semi-organiklah yang memiliki bobot 1000 butir tertinggi karena penambahan pupuk urea, SP-18 dan KCl yang disertai penambahan biofertilizer yang mengandung Mikrob Pelarut Fosfat (MPF) dan Azotobacter dapat mempercepat proses terjadinya unsur hara nitrogen dan fosfor bagi tanaman (Tabel 4). Menurut Suwena (2002), pemanfaatan biofertilizer yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dan organik memberikan prospek cukup baik untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah, selain itu mikroba yang terkandung pada biofertilizer dapat mempercepat tersedianya unsur hara bagi tanaman. Hal tersebut sangat menguntungkan karena produktifitas tanah yang baik dan tersedianya unsur
29
hara seperti nitrogen dan fosfor bagi tanaman dapat meningkatkan hasil produksi tanaman.
Jumlah batang produktif per 100 m2 berbanding terbalik dengan jumlah gabah per malai dan jumlah gabah bernas. Walaupun jumlah batang produktif per 100 m2 lebih banyak pada budidaya konvensional, akan tetapi dengan tingginya komponen hasil yang lain seperti panjang malai, jumlah batang per rumpun, jumlah gabah per malai dan jumlah gabah bernas dapat meningkatkan hasil lebih besar dengan budidaya S.R.I. Hal ini sejalan dengan penelitian Kusumawardhany (2009), yang menyatakan bahwa budidaya S.R.I. memiliki kecenderungan dapat meningkatkan komponen hasil seperti jumlah gabah per malai dan jumlah gabah isi. Sehingga walaupun pada budidaya S.R.I. jumlah batang per 100 m2 dan jumlah batang produktif per 100 m2 memiliki hasil yang lebih rendah, tetapi pada GKP dan GKG budidaya S.R.I. memiliki hasil yang lebih tinggi dari konvensional. Selain itu menurut Masdar (2006), jarak tanam yang lebih lebar memberi hasil terbaik dibanding jarak tanam yang sempit. Walaupun jumlah rumpun per m2 pada jarak tanam lebar lebih sedikit, namun dua variabel, yaitu jumlah anakan produktif per rumpun dan jumlah bulir per malai berperan nyata pada harapan produksi.
Hasil dari semua perlakuan pada penelitian ini tidak melebihi produksi padi nasional yang mencapai 4.87 ton/ha. Hal ini disebabkan karena padi terserang beberapa hama, selain itu waktu tanam yang tidak serempak dengan daerah sekitarnya juga menjadi salah satu sebab tanaman diserang hama sehingga produksi padi menurun.
Selain kadar unsur hara yang rendah dibandingkan dengan perlakuan lain dan unsur hara tersedia secara perlahan-lahan (slow release), pertumbuhan dan hasil yang rendah pada perlakuan budidaya S.R.I. organik disebabkan pula oleh pemberian bahan organik berupa kompos yang belum terbiasa dilakukan pada lokasi ini. Produksi padi pada budidaya S.R.I. organik yang cukup rendah dibanding perlakuan S.R.I. organik yang pernah dilakukan, karena pada umumnya S.R.I. organik yang dilakukan ditambah dengan mikroorganisme lokal (MOL) yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan padi. Pemberian MOL yang tidak dilakukan karena dalam penelitian ini tidak hanya melihat pengaruh
terhadap pertumbuhan dan produksi padi semata namun juga dilakukan untuk melihat perbedaan jumlah dan keragaman mikroorganisme antara sistem budidaya S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik yang menggunakan biofertilizer.
Hasil ini serupa dengan penelitian di Kecamatan Kebon Pedes, Sukabumi. Kusumawardhany (2009), melaporkan hasil panen yang kurang baik dengan hasil GKP sebagai berikut S.R.I anorganik 5.32 ton/ha, S.R.I. semi-organik 4.97ton/ha, S.R.I. organik 4.72 ton/ha dan konvensional sebesar 4.58 ton/ha. Hasil yang rendah tersebut disebabkan oleh gangguan hama dan penyakit terutama hama walang sangit yang menyerang padi pada saat masa pengisian bulir sehingga bulir padi tidak terisi penuh.
Berdasarkan penelitian Nurwitasari (2009), di Kecamatan Limo, Depok, faktor lain yang dapat menyebabkan hasil panen S.R.I. rendah adalah akibat cekaman air yang terjadi pada saat fase pembentukan malai. Cekaman air pada penelitian tersebut menyerang padi S.R.I. pada usia 64 hari. Hasil GKP padi yang diperoleh pada perlakuan S.R.I. sebagai berikut S.R.I.anorganik 2.75 ton/ha, S.R.I. semi-organik 2.4 ton/ha dan S.R.I. organik sebesar 1.83 ton/ha, GKP padi pada perlakuan konvensional memiliki bobot yang lebih tinggi yaitu sebesar 3.38 ton/ha karena pada saat terjadi cekaman air perlakuan konvensional berumur lebih tua dan tanaman padi tersebut telah melewati tahap pembentukan malai sehinggga waktu cekaman air yang dialami sistem budidaya konvensional lebih pendek daripada sistem budidaya lainnya.
31
4.3. pH dan Eh
Gambar 7. Pengaruh budidaya padi secara konvensional dan S.R.I. terhadap tingkat kemasaman tanah
Nilai pH tanah pada perlakuan konvensional cenderung lebih mendekati suasana netral dibandingkan semua perlakuan S.R.I. (Gambar 7), walaupun pemberian air secara tergenang maupun macak-macak pada petakan percobaan tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Hal ini sesuai dengan pernyataan De Datta (1981), yang mengatakan bahwa penggenangan akan meningkatkan nilai pH tanah masam dan menurunkan pH tanah alkali sehingga pH tanah masam dan alkali akan bertemu pada pH antara 6 dan 7 atau mendekati netral.
Perubahan pH setelah penggenangan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perubahan besi ferri menjadi ferro, sulfat menjadi sulfida, karbon dioksida menjadi metan serta pemupukan amonium. Meningkatnya pH tanah sawah yang tergenangi terjadi karena reaksi reduksi-oksidasi. Menurunnya pH tanah sawah tergenangi yang bersifat alkalis terjadi karena perombakan bahan organik oleh mikroba tanah. Tercapainya tingkat pH setelah penggenangan tergantung pada nisbah H+/OH- dalam reaksi reduksi-oksidasi (Situmorang dan Sudadi, 2001).
Potensial redoks merupakan parameter yang berguna untuk mengukur intensitas reduksi pada tanah dan untuk mengidentifikasi reaksi utama yang terjadi (Situmorang dan Sudadi, 2001). Reduksi dapat terjadi jika ada bahan organik namun tidak ada pasokan oksigen serta adanya mikroorganisme anaerob dalam lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya (Wang dan Hagan, 1981). Pada
tanah yang tergenang, mikroorganisme anaerob atau anaerob fakultatif berkembang cepat dan mengambil alih proses dekomposisi bahan organik, menggunakan komponen-komponen tanah teroksidasi (bukan udara) sebagai akseptor elektron. Produk-produk tersebut tereduksi menurut urutan termodinamis, yaitu: nitrat, senyawa-senyawa Mn, senyawa-senyawa ferri, produk dari dekomposisi organik, sulfat dan sulfit (Sanchez, 1976).
Gambar 8. Pengaruh budidaya padi secara konvensional dan S.R.I.terhadap potensial redoks pada kedalaman 10 cm dari permukaan tanah
Menurut Suprihati (2007), perlakuan penggenangan terus menerus maupun macak-macak tidak berpangaruh terhadap Eh tanah namun dalam penelitian perlakuan budidaya konvensional memperlihatkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan budidaya S.R.I. Selama masa pertumbuhan nilai potensial