HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.2. Tingkat kecemasan keluarga
Dari tabel 5.2 dibawah ini didapat data bahwa mayoritas keluarga
mengalami kecemasan ringan yaitu 26 orang (52%), mengalami kecemasan
sedang berjumlah 10 orang (20%), mengalami kecemasan berat hanya 4 orang
(8%), dan yang tidak mengalami kecemasan berjumlah 10 orang (20%).
Tabel 5.2 Tingkat kecemasan keluarga merawat pasien prilaku kekerasan di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara.
(n=50)
Kecemasan Frekuensi Persentasi (%)
Tidak ada 10 20
Ringan 26 52
Sedang 10 20
Berat 4 8
5.2. Pembahasan
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Unit Rawat jalan Rumah Sakit Jiwa
daerah Provinsi Sumatera Utara didapatkan bahwa keluarga yang merawat pasien
prilaku kekerasan mayoritas mengalami kecemasan ringan sebanyak 52% (26
orang). Hal ini sesuai dengan Stuart & Sundeen (2002) yang mengatakan
tinggi rendahnya kecemasan seseorang. Tingkat kecemasan ringan menurut Stuart
juga berhubungan ketegangan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.
Kecemasan ini meningkatkan lapang persepsi, dapat memotivasi belajar, dan
menghasilkan pertumbuhan serta kreatifitas. Kecemasan ringan ini menurut
peneliti dikarenakan mayoritas keluarga yaitu 74% keluarga (37 orang) sudah
merawat pasien > 1 tahun, jadi keluarga sudah memiliki pengalaman dalam
merawat keluarga yang mengalami prilaku kekerasan sehingga koping keluarga
juga efektif
Kecemasan dapat dirasakan oleh individu ataupun sekelompok orang
termasuk keluarga, kecemasan meliputi keluarga dan mereka merasa terbebani
dengan kondisi penderita. Bahkan tidak sedikit keluarga yang sama sekali tidak
mengetahui rencana apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi masalah
gangguan jiwa anggota keluarganya. Kecemasan akan semakin meningkat tanpa
pemahaman yang jernih mengenai masalah besar yang dihadapi keluarga.
Terkadang masalah ini tidak dapat dihadapi dan semakin membuat konflik di
dalam keluarga sehingga sering terjadi penolakan terhadap penderita gangguan
jiwa ( Brown & Bradley, 2002).
Dalam jurnal National Institute of Mental Health, Keith (1970)
mengadakan penelitian mengenai pengalaman yang dirasakan keluarga dalam
menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Keluarga lebih
banyak merasakan kecemasan (58,6%) dibanding dengan keluarga yang marah
(12,7%) bahkan ada yang menolak (28,7%) keadaan anggota keluarganya yang
dirasakan oleh keluarga merupakan hal yang wajar dalam menghadapi anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
Tingkat kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, jenis
kelamin, dan pendidikan (Suart & Sundeen, 2002). Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa mayoritas keluarga yang mengalami kecemasan ringan
memiliki umur > 30 tahun yaitu 46% keluarga (23 orang). Bahkan beberapa
keluarga sudah tidak mengalami kecemasan lagi yang memiliki usia > 50 tahun
yaitu 8% (4 orang). Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Stuart & Sundeen
yaitu bahwa seseorang yang mempunyai umur lebih muda lebih mudah
mengalami gangguan kecemasan daripada seseorang yang lebih tua. Umur juga
berhubungan dengan pengalaman dan pengalaman berhubungan dengan
pengetahuan, pemahaman dan pandangan terhadap suatu penyakit atau kejadian
sehingga akan membentuk persepsi dan sikap. Pola prilaku kecemasan yang
terjadi tergantung pada kematangan pribadi, harga diri, mekanisme koping dan
pemahaman dalam menghadapi ketegangan (Long, 1997). Jadi peneliti dapat
menyimpulkan bahwa dengan bertambahnya umur seseorang maka pengetahuan,
pemahaman, dan pengalamannya juga akan akan bertambah, sehingga akan lebih
mudah mengatasi kecemasannya.
Jenis kelamin juga besar pengaruhnya terhadap tingkat kecemasan. Hasil
penelitian didapatkan bahwa mayoritas keluarga yang memiliki kecemasan ringan
adalah berjenis kelamin laki-laki sebesar 40 % (20 orang), sementara ada juga
keluarga yang tidak mengalami kecemasan lagi berjumlah 10% keluarga (5
kecemasan sering dialami oleh wanita karena wanita lebih sensitif dibanding
laki-laki, sebaliknya laki-laki lebih sering memakai logika daripada perasaan.
Beberapa ahli teori sosial berpendapat bahwa wanita memiliki risiko yang lebih
besar untuk menderita gangguan kecemasan karena posisi mereka dalam
masyarakat dan sifat-sifat dasar mereka dalam menjalin hubungan dengan orang
lain (Chodorow, 1978; Horney, 1934/67; Miller, 1976). Secara umum, wanita
kurang meiliki power dalam masyarakat dibanding dengan laki-laki, status mereka
secara tipikal juga terikat pada laki-laki yang terkait dengan mereka. Hal ini
menyebabkan wanita seringkali menempel atau melekat pada orang lain, berperan
secara pasif dan patuh terhadap aturan-aturan dalam menjalin hubungan. Kondisi
ini membuat mereka lebih rawan atas serangan dan kehilangan pertahanan, serta
menjadi terlalu waspada terhadap tanda-tanda yang menunjukkan permasalahan
dalam hubungan mereka. Supresi terhadap hasrat mereka dan ketakutan-ketakutan
akan kehilangan bagaimanapun, akan menyebabkan kehidupan wanita secara
kronis mencemaskan. Serangan panik dan phobia mudah sekali secara ekstrim
terekspresi dari kecemasan yang terus berlanjut pada wanita. Jadi peneliti
menyimpulkan bahwa kecemasan sering terjadi pada wanita disebabkan oleh
perasaan wanita yang sangat halus dan sensitive, juga dikarenakan wanita lebih
lemah dibanding laki-laki sehingga hal-hal ini tentu sangat mempengaruhi tingkat
kecemasan mereka
Pendidikan juga memiliki andil yang besar terhadap tingkat kecemasan
seseorang, dari hasil penelitian yang saya dapatkan bahwa mayoritas keluarga
keluarga (10 orang), tingkat Pendidikan PT yaitu 12% keluarga (6 orang). Bahkan
ada keluarga yang tidak mengalami kecemasan lagi yaitu 8% keluarga ( 4 orang)
yang tingkat pendidikannya adalah Perguruan tinggi. Hal ini juga sejalan dengan
yang dikatakan Witkin-Laonil (1996); Hutapea (2005); Notoadmodjo (1993)
bahwa dngan tingkat pendidikan yang tinggi, seseorang akan memiliki pandangan
hidup yang matang, dan mempunyai peluang kerja yang lebih besar. Dengan
bekerja, seseorang akan mengaktualisasi diri untuk meningkatkan harga dirinya,
mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas,
mempunyai banyak teman untuk saling berbagi, terutama dalam menghadapi
masalah, memiliki dukungan sosial yang cukup dari lingkungannya sehingga
beban hidup dan stress akan berkurang. Stuart & Sundeen (2002) juga
berpendapat bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin
tinggi pula pengetahuan yang dimilikinya. Jadi dapat disimpulkan bahwa
pendidikan sangat mempengaruhi tingkat kecemasan seseorang, dengan
pendidikan yang tinggi maka pengetahuan juga akan bertambah sehingga
memiliki pandangan hidup yang mantap dan akan lebih mudah mengatasi
kecemasannya
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 100% keluarga (50 orang)
mengalami rasa khawatir melihat kondisi anggota keluarganya yang mengalami
Prilaku Kekerasan. Rasa khawatir yang dialami keluarga ini dikarenakan keluarga
merasa takut dan terancam jika sewaktu-waktu pasien menyerang mereka,
dikatakan oleh Nasir (2001) bahwa perasaan takut atau perasaan khawatir akan
timbul apabila seseorang merasa terancam.
Hasil penelitian didapat bahwa 72% (34 orang) keluarga merasakan
kegelisahan. Kegelisahan yang dialami keluarga disebabkan karena keluarga
merasa tidak berdaya, tertekan dan stress menghadapi situasi bahwa anggota
keluarganya yang mengalami Prilaku Kekerasan. Kegelisahan juga dapat diartikan
sebagai sebuah perasaan kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang
berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Gail W Start, 2009).
Mayoritas keluarga kehilangan minat melakukan kegiatan atau pekerjaan
sehari-hari yaitu 56% (28 orang) keluarga. Hal ini terjadi karena pikiran keluarga
terlalu fokus untuk satu hal yaitu kondisi anggota keluarganya yang mengalami
gangguan prilaku kekerasan sehingga otomatis keluarga juga kehilanga minat
untuk melakukan hal-hal yang lain. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh
Nasir (2011), bahwa kecemasan dan ketakutan akan mengalihkan kita dari
hari-hari atau kegiatan kita akan menjadi terganggu akibat perasaan yang selalu merasa
ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi.
Kemunduran daya ingat juga dialami oleh keluarga yang merawat pasien
Prilaku Kekerasan. Didapat hasil bahwa 28% (14 orang keluarga) keluarga
mengalami kemunduran daya ingat. Keluarga yang mengalami kecemasan pada
umumnya mengalami penurunan konsentrasi, distrakbilitas meningkat,
kemunduran memori jangka panjang maupun jangka pendek, (Gray Toft dan
Didapatkan juga hasil bahwa 46% (23 orang) keluarga merasa putus asa
saat merawat anggota keluarganya yang mengalami Prilaku Kekerasan, hal ini
dikarenakan karena keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami
gangguan jiwa tidak akan pernah sembuh kembali. Berdasarkan penelitian dari
badan National Mental Health Association / NMHA (2001), diperoleh bahwa
banyak ketidakmengertian ataupun kesalahpahaman keluarga mengenai gangguan
jiwa, keluarga menganggap bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa
tidak dapat sembuh kembali. Namun faktanya, NMHA mengemukakan bahwa
orang yang mengalami gangguan jiwa dapat sembuh dan mulai kembali
melakukan aktivitasnya (Foster, 2001). Horney (1939) juga mengungkapkan
kecemasan juga dipengaruhi oleh suatu kontradiksi yang banyak terjadi di
BAB 6