• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak Balita

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.2 Karakteristik Demografi 1 Usia dan Jenis Kelamin Balita

4.2.3 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak Balita

Pola makan berhubungan dengan pengaturan makanan yang seimbang dengan asupan gizi yang dibutuhkan. Gizi yang dibutuhkan tubuh dihasilkan dari zat gizi untuk menjaga kesehatan. Dengan demikian pola makan yang sehat berhubungan dengan aneka ragam makanan yang dapat memenuhi zat gizi yang diperlukan sesuai dengan usia. Kelebihan atau kekurangan gizi akan menyebabkan masalah pada status gizi pada balita dan anak. Ada dua pendekatan yang bisa digunakan sebagai indikator untuk mengukur pola makan balita, yaitu indikator hasil penelitian sebelumnya atau indikator yang sudah ditetapkan oleh WHO/UNICEF. Pola makan balita dapat dilihat dari dua aspek, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Indikator yang bisa digunakan untuk metode kualitatif adalah frekuensi makan dan jenis makanan, sedangkan pada metode kuantitatif adalah jumlah zat gizi makanan yang dikonsumsi.

Tingkat kecukupan zat gizi anak balita dihitung dari konsumsi zat gizi yang diperoleh berdasarkan perhitungan konsumsi pangan balita (metode recall 1x24 jam) dengan ulangan sebanyak dua kali. Selanjutnya hasil perhitungan konsumsi pangan tersebut dikonversi ke dalam nilai energi, protein, lemak, karbohidrat,

24

Tabel 4.2 Hasil uji beda rerata asupan zat gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara.

Zat Gizi Satuan Posyandu Kelapa Gading Posyandu Sukapura Signifikansi Energi kkal 1169 ± 12 1208 ± 62.7 0.484 Protein g 45.9 ± 1.6 43.6 ± 2.1 0.342 Lemak g 41.1 ± 0.8 43.1 ± 4.3 0.574 Karbohidrat g 153.3 ± 3.6 159.6 ± 3.5 0.222 Besi mg 9.5 ± 0.9 5.7 ± 1 0.056 Kalsium mg 603 ± 30.6 457.7 ± 115.3 0.227 Fosfor mg 715.7 ± 26.1 605 ± 98.9 0.266 Vitamin A mcg RE 599.7 ± 111.5 415.9 ± 32.3 0.154 Vitamin C mg 40.5 ± 6.5 20.7 ± 3.7 0.065 Vitamin D mcg 5.9 ± 1.1 2.8 ± 1.2 0.118

besi, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C, dan vitamin D dengan menggunakan program software Nutrisurvey dan daftar komposisi bahan makanan (DKBM). Selanjutnya dihitung nilai rata-rata tingkat kecukupan zat gizi dibandingkan dengan AKG sesuai dengan usia balita. Hasil uji beda rerata asupan zat gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Kategori untuk zat gizi energi dikatakan cukup jika memiliki nilai persentase lebih dari sama dengan 70% dan dikatakan kurang jika memiliki nilai persentase kurang dari 70%. Kategori untuk zat gizi protein dikatakan cukup jika memiliki nilai persentase lebih dari sama dengan 80% dan dikatakan kurang jika memiliki nilai persentase kurang dari 80%. Kategori untuk zat gizi mikro untuk vitamin dan

trace mineral dikatakan memenuhi AKG jika memiliki nilai persentase lebih dari sama dengan 100% dan dikatakan tidak memenuhi AKG jika memiliki nilai persentase kurang dari 100%. Distribusi tingkat kecukupan zat gizi menurut acuan AKG balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara disajikan pada Gambar 4.8.

Masalah gizi dibedakan menjadi masalah gizi makro dan masalah gizi mikro. Masalah gizi makro dapat berbentuk gizi kurang dan gizi lebih, sedangkan untuk masalah gizi mikro hanya dikenal gizi kurang. Masalah gizi makro, terutama masalah KEP, merupakan masalah yang mendominasi perhatian dunia. Kekurangan konsumsi protein mengakibatkan berbagai penyakit. Masalah gizi makro yang sering disebut KEP adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk rawan terkena KEP adalah balita, ibu hamil dan ibu menyusui. Beberapa masalah gizi yang penting antara lain kurang protein, kurang energi atau kombinasi kurang energi dan protein. Masalah gizi mikro, khususnya masalah kurang vitamin A, kurang zat iodium, kurang zat besi, dan kurang zat seng sedangkan masalah gizi lebih, yaitu kelebihan konsumsi energi yang bersumber dari lemak.

Gambar 4.8 Persentase pemenuhan zat gizi pada menu makan balita usia 24- 59 bulan terhadap AKG di posyandu Jakarta Utara.

a

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%.

Kecukupan zat gizi menurut AKG di wilayah posyandu Kelapa Gading yang memiliki nilai energi cukup berjumlah 21 balita (45.7%) dan yang memiliki nilai energi kurang berjumlah 14 balita (58.3%). Zat gizi protein dengan nilai cukup berjumlah 31 balita (49.2%) dan protein dengan nilai kurang berjumlah empat balita (57.1%). Zat gizi besi dengan nilai memenuhi AKG berjumlah 16 balita (72.7%) dan besi dengan nilai tidak memenuhi AKG berjumlah 19 balita (39.6%). Zat gizi vitamin A dengan nilai memenuhi AKG berjumlah 18 balita (50%) dan vitamin A dengan nilai tidak memenuhi AKG berjumlah 17 balita (50%).

Kecukupan zat gizi menurut AKG di wilayah posyandu Sukapura yang memiliki nilai energi cukup berjumlah 25 balita (54.3%) dan yang memiliki nilai energi kurang berjumlah 10 balita (41.7%). Zat gizi protein dengan nilai cukup berjumlah 32 balita (50.8%) dan protein dengan nilai kurang berjumlah tiga balita (42.9%). Zat gizi besi dengan nilai memenuhi AKG berjumlah enam balita (27.3%) dan besi dengan nilai tidak memenuhi AKG berjumlah 29 balita (60.4%). Zat gizi vitamin A dengan nilai memenuhi AKG berjumlah 18 balita (50%) dan vitamin A dengan nilai tidak memenuhi AKG berjumlah 17 balita (50%). Data dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Asupan makanan merupakan zat gizi yang dikonsumsi oleh tubuh untuk beraktifitas serta untuk mencapai kesehatan yang optimal. Asupan makanan yang dilihat dalam penelitian ini adalah asupan energi, protein, lemak, karbohidrat, besi, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C, dan vitamin D. Kebutuhan energi total untuk anak balita diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi basal dan untuk beraktifitas. Energi yang dibutuhkan berasal dari zat gizi yang dikonsumsi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Dari hasil penelitian diketahui bahwa asupan energi, protein dan vitamin A masih berada pada nilai rata-rata AKG sedangkan zat gizi besi (Fe) yang tidak memenuhi AKG menduduki nilai paling besar (lebih dari 50%) terutama di wilayah posyandu Sukapura yaitu sebesar 82.9%.

26

Tabel 4.3 Persentase balita terhadap tingkat pemenuhan zat gizi balita usia 24-59 bulan di posyandu Jakarta Utara.

Variabel Posyandu Kelapa Gading Posyandu Sukapura jumlah responden (n) % jumlah responden (n) % Rerata AKG Energi

Cukup ( ≥ 70% ) Kurang ( < 70% ) 21 14 60 40 25 10 71.4 28.6 Rerata AKG Protein

Cukup ( ≥ 80% ) Kurang ( < 80% ) 31 4 88.6 11.4 32 3 91.4 8.6 Rerata AKG Lemak

Memenuhi AKG ( ≥ 100% )

Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )

8 27 22.9 77.1 10 25 28.6 71.4 Rerata AKG Karbohidrat

Memenuhi AKG ( ≥ 100% )

Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )

10 25 28.6 71.4 8 27 22.9 77.1 Rerata AKG Besi

Memenuhi AKG ( ≥ 100% )

Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )

16 19 45.7 54.3 6 29 17.1 82.9 Rerata AKG Kalsium

Memenuhi AKG ( ≥ 100% )

Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )

8 27 22.9 77.1 4 31 11.4 88.6 Rerata AKG Phosfor

Memenuhi AKG ( ≥ 100% )

Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )

26 9 74.3 25.7 23 12 65.7 34.3 Rerata AKG Vitamin A

Memenuhi AKG ( ≥ 100% )

Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )

18 17 51.4 48.6 18 17 51.4 48.6 Rerata AKG Vitamin C

Memenuhi AKG ( ≥ 100% )

Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )

9 26 25.7 74.3 4 31 11.4 88.6 Rerata AKG Vitamin D

Memenuhi AKG ( ≥ 100% )

Tidak Memenuhi AKG ( < 100% )

4 31 11.4 88.6 0 35 0 100

Salah satu mikronutrien esensial bagi manusia adalah Fe atau zat besi yang merupakan mineral mikro yang paling banyak di dalam tubuh yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh (Almatsier, 2004). Sumber zat besi paling utama dan paling baik adalah pada makanan hewani, seperti daging, ayam, ikan dan makanan hasil olahan darah. Sumber zat besi yang baik lainnya adalah telur, serealia, kacang- kacangan, biji-bijian, sayuran hijau, dan buah-buahan. Disamping jumlah besi, perlu diperhatikan kualitas besi di dalam makanan yang dimakan dan ketersediaan biologisnya. Besi dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan

biologis sedang, dan besi dalam sebagian besar sayuran, terutama yang mengandung oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologis rendah.

Menurut Indonesian Pediatric Society kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi kognitif, tingkah laku, dan pertumbuhan seorang bayi. Gejala yang paling sering ditemukan adalah pucat yang berlangsung lama (kronis) dan gejala komplikasi antara lain lemas, mudah lelah, mudah infeksi, gangguan prestasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan gangguan perilaku (Anonim 2015).

Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2010 secara konsisten menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalori dan protein anak balita masih di bawah AKG. Akibat dari keadaan tersebut, anak balita perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6.7 cm dan 7.3 cm lebih pendek daripada standar rujukan WHO 2005 (Bappenas 2012). Anisa (2012), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan kejadian stunting.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dewi dan Kadek (2014), ada pengaruh yang bermakna pada konsumsi protein, konsumsi seng dan riwayat penyakit infeksi terhadap kejadian pendek. Faktor dominan yang mempengaruhi kejadian pendek di wilayah kerja Puskesmas Nusa Penida III adalah konsumsi seng (p=0.006 OR=9.94 artinya konsumsi seng mempunyai peluang 9.94 lebih baik dibandingkan yang tidak mengonsumsi seng terhadap kejadian pendek di wilayah kerja Puskesmas Nusa Penida III) dan riwayat penyakit infeksi anak (p=0.025 OR=5.41 artinya riwayat penyakit infeksi anak mempunyai peluang 5.41 untuk mempengaruhi kejadian pendek di wilayah kerja Puskesmas Nusa Penida III ).

Dokumen terkait