• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Kekritisan Lahan Mangrove

Lahan hutan mangrove di Kabupaten Aceh Timur dari tahun-ketahun semakin berkurang luasannya. Hal ini disebabkan berubahnya fungsi kawasan lahan hutan mangrove menjadi lahan pertanian, sementara luas kawasan pertanian berubah juga fungsinya (terkonversi) menjadi areal pemukiman. Di sisi lain masalah jumlah penduduk di kawasan Kabupaten Aceh Timur semakin meningkat. Dari fenomena tersebut kita dapat melihat bahwa kebutuhan akan lahan untuk beraktivitas maupun untuk bermukim akan semakin tinggi seiring makin tingginya pertambahan jumlah penduduk. Perubahan penggunaan lahan yang disebabkan oleh fenomena alam dan aktifitas manusia tersebut akan menyebabkan degradasi lahan. Tanpa adanya usaha perbaikan, lahan yang ada akan semakin menurun kualitasnya dan pada akhirnya akan menjadi lahan kritis di Kabupaten Aceh Timur.

Secara umum lahan kritis merupakan salah satu indikator adanya degradasi (penurunan kualitas) lingkungan sebagai dampak dari berbagai jenis pemanfaatan sumber daya lahan yang kurang bijaksana. Dalam penelitian ini tingkat kekritisan lahan mangrove ditentukan berdasarkan penggabungan jumlah dari tiga kriteria, yaitu Jenis tutupan lahan (Jpl), Kerapatan tajuk (Kt), dan Ketahanan tanah terhadap abrasi (Kta).

Berikut ini akan disajikan data tingkat kekritisan lahan mangrove di Kabupaten Aceh Timur berikut dengan luasnya. Untuk memudahkan dalam melakukan analisis, maka data disajikan dalam bentuk tabel seperti Tabel 34. Peta Kekritisan mangrove Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam disajikan pada Gambar 31. Tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Aceh Timur diklasifikasikan menjadi 3 kategori kerusakan yaitu rusak berat, rusak dan tidak rusak.

Hasil perhitungan tingkat kekritisan lahan mangrove di Kabupaten Aceh Timur bahwa kategori kerusakan yang paling luas yaitu kategori rusak berat, merupakan kategori kerusakan yang memiliki luas yang terbesar di seluruh kecamatan. Adapun luasnya adalah, 36.064 ha atau bila dipersentasekan adalah sebesar 49,85 %. Kecamatan yang memiliki kategori rusak berat dalam jumlah yang besar adalah Pante Bidari. Adapun luas kerusakkanya adalah 12.374 ha. Kerusakan lahan mangrove dalam kategori rusak berat yang terdapat di Kecamatan Pante Bidari disajikan pada Gambar 32.

Gambar 32. Lahan mangrove kategori rusak berat

Gambar 32 menunjukkan lahan mangrove yang telah di konversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Hutan mangrove yang secara alami terdapat di sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Timur merupakan salah satu lhutan mangrove terbaik yang dimiliki oleh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bahkan ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa hutan mangrove Aceh Timur merupakan hutan mangrove terbaik di Indonesia. Namun, sejak awal tahun 1980an dengan dikeluarkannya izin HPH kepada beberapa perusahaan dalam pengelolaan hutan mangrove yang merupakan bahan baku untuk pembuatan arang (sebagian untuk di ekspor) telah menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem hutan mangrove secara berkala. Perusahaan yang memegang izin HPH juga memperkerjakan masyarakat wilayah pesisir Kabupaten Aceh Timur diperusahaannya didalam pembuatan arang mangrove. Pembuatan arang mangrove skala rumah tangga yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Aceh Timur pada saat ini disajikan pada Gambar 33.

Hal ini diperparah lagi dengan masuknya perusahaan-perusahaan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi areal budidaya tambak udang yang diusahakan secara intensif. Pada akhir tahun 1990an banyak perusahaan yang meninggalkan areal HPH dan areal tambak udang. Hal ini terjadi selain karena tidak menguntungkan lagi secara ekonomis (hutan mangrove sudah rusak sehingga tidak ada lagi bahan baku untuk pembuatan arang dan udangnya banyak yang diserang penyakit), juga disebabkan oleh situasi keamanan yang tidak kondusif. Maka semakin banyak juga hutan mangrove yang telah berubah menjadi areal terbuka akibat dari perbuatan oknum-oknum yang memanfaatkan situasi tidak kondusifnya keamanan untuk memperkaya diri sendiri tanpa mengindahkan arti pentingnya hutan mangrove. Apalagi permintaan ekspor arang mangrove dari negara tetangga (Malaysia dan Singapura) semakin tinggi.

Pada awal tahun 2000an, seiring dengan kondusifnya keamanan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada umumnya dan Kabupaten Aceh Timur pada khususnya telah mengundang kembali perusahaan-perusahaan luar daerah untuk mencari keuntungan sesaat dengan cara membeli izin untuk mengkonversi kembali hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal ini didorong oleh faktor sangat sesuainya kelapa sawit tumbuh di sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Timur, juga disebabkan semakin sempitrnya areal perkebunan kelapa sawit di daerah lain dan tingginya harga CPO dipasaran dunia. Land clearing hutan mangrove menjadi areal perkebunan kelapa sawit disajikan pada Gambar 34.

Gambar 34. Pekerjaan land clearing hutan mangrove (Latar belakang alat berat/ Becko).

Tabel 34. Hasil penilaian kekritisan ekosistem mangrove di wilayah Kabupaten Aceh Timur.

No Kecamatan

Luas (ha) Setiap Tingkat Kekritisan

Total Rusak Berat Rusak

Tidak Rusak 1 Banda Alam 1.635 1.635 2 Bireum Bayeun 598 1.960 4.756 7.314 3 Darul Aman 1.768 244 2.012 4 Idi Rayeuk 2.052 2.052 5 Julok 1.776 1.200 2.976 6 Nurussalam 2.542 385 2.927 7 Pante Beudari 12.374 13.403 940 26.717 8 Peudawa 102 102 9 Peureulak 1.279 2.155 3.434 10 Peureulak Barat 865 177 1.041 11 Peureulak Timur 1.202 1.484 53 2.740 12 Rantau Selamat 2.740 646 1.189 4.575 13 Ranto Peureulak 303 1.924 2.228 14 Simpang Ulim 2.734 1.897 211 4.842 15 Sungai Raya 3.856 3.256 399 7.511 Jumlah 36.064 28.729 7.548 72.341

Sumber : Hasil interpretasi citra satelit landsat tahun 2005.

Luas kategori kerusakan yang memiliki wilayah terluas kedua adalah rusak. Adapun luasnya adalah 28.729 ha atau bila dipersentasekan adalah sebesar 39,71 %. Kecamatan yang memiliki kategori rusak dalam jumlah yang besar adalah Pante Bidari. Adapun luas kerusakannya adalah 13.403 ha. Kerusakan lahan mangrove dalam kategori rusak yang terdapat di Kecamatan Pante Bidari disajikan pada Gambar 35.

Gambar 35. Lahan mangrove kategori rusak

Kategori kerusakan lahan hutan mangrove dalam kriteria tidak rusak merupakan jenis kerusakan yang memiliki luas terkecil yang terdapat di lahan

hutan mangrove Kabupaten Aceh Timur. Adapun luasnya adalah 7.548 ha atau bila dipersentasekan sebesar 10,43 %. Kecamatan yang memiliki kategori tidak rusak dalam jumlah yang besar adalah Bireum Bayeun dan Rantau Selamat. Adapun luasnya adalah 4.756 ha dan 1.189 ha. Kerusakan lahan mangrove dalam kategori tidak rusak yang terdapat di Kecamatan Bireum Bayeun disajikan pada Gambar 36.

Gambar 36. Lahan mangrove kategori tidak rusak

Rehabilitasi lingkungan yang dilakukan berupa penghijauan kawasan pesisir sebagai green belt yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Timur, beberapa lembaga lokal yang bekerjasama dengan lembaga asing maupun lokal melalui penglibatan masyarakat secara aktif dan pasif. Kegiatan penghijauan pesisir yang dilakukan berupa penanaman mangrove, dan tanaman pantai lainnya.

Gambar 37. Kegiatan penghijauan dengan mangrove jenis Rhizopora mucronata

Gambar 37 menunjukkan kegiatan penghijauan dengan mangrove dari jenis Rhizopora mucronata pada lahan bekas tambak. Kegiatan penghijauan pesisir diharapkan dapat menahan laju abrasi, intrusi air laut, dan sebagai pelindung kawasan pemukiman dari hembusan angin laut. Fungsi penting vegetasi pantai sangat dirasakan oleh masyarakat saat vegetasi tersebut rusak. Hembusan angin yang membawa udara panas dari arah laut sangat dirasakan oleh masyarakat terutama pada musim angin barat (Juli-November). Musim tersebut hembusan angin kencang dari Selat Malaka menerjang kawasan Kabupaten Aceh Timur wilayah pesisir tanpa ada penghalang. Pada musim ini gelombang laut oleh angin dapat mencapai ketinggian + 3 meter.

Rehabilitasi lingkungan terutama kegiatan rehabilitasi mangrove pada umumnya dilakukan dengan penanaman mangrove jenis Rhizophora sp. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa jenis Rhizophora yang ditanam berasal dari jenis Rhizopora mucronata. Pemilihan jenis ini selain ketersediaan bibit yang relatif mudah juga didasarkan pada kondisi substrat pasir berlumpur dan kemampuan tumbuh jenis ini yang tinggi. Tanpa disadari kegiatan rehabilitasi mangrove telah mengarah kepada monospecies. Kondisi ini dalam jangka pendek dapat memberikan keuntungan terhadap ekosistem mengingat pertumbuhan mangrove jenis Rhizopora sp lebih cepat dan daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dibandingkan dengan mangrove jenis lainya. Dalam jangka panjang dikhawatirkan terjadi pengurangan spesies mangrove alami akibat dominansi satu jenis tanaman. Kekhawatiran lainnya adalah rentannya mangrove rehabilitasi terhadap serangan hama akibat sistem monospecies. Disarankan kepada pelaku rehabilitasi untuk menanam mangrove dari berbagai jenis sesuai dengan kesesuaian lahan untuk lokasi penanaman.

 

 

Gambar 31. Peta kekritisan mangrove Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Dokumen terkait