• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.5 Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup setelah larva berumur 4 hari, nilai tertinggi dimiliki oleh spawnprim D sebesar 85,57 ± 2,91, tidak berbeda nyata dengan kontrol ovaprim sebesar 70,75 ± 21,38, sedangkan nilai terendah pada spawnprim

A sebesar 65,95 ± 26,44 (Gambar 4).

Perlakuan

Gambar 3. Derajat penetasan ikan komet pada perlakuan berbeda. Sp. A: Spawnprim A; Sp. B: Spawnprim B; Sp.C: Spawnprim C; Sp. D: Spawnprim D; ov.: Ovaprim; larfis: Larutan Fisiologis NaCl 0,75%.

14 3.2 Pembahasan

Pada Tabel 1 terlihat bahwa seluruh perlakuan spawnprim mampu memicu terjadinya ovulasi seperti halnya pada kontrol ovaprim. Hasil ini memperkuat penelitian Permana (2009) yang menunjukkan bahwa penggunaan spawnprim

dengan dosis perlakuan LHRHa bervariasi antara lain 5, 10, 15 dan 20 mg/l dengan kadar AI 100 mg/l telah mampu merangsang ovulasi ikan sumatera pada jam ke-11 hingga 15. Begitu pula dengan hasil percobaan mengenai spawnprim

yang dilakukan oleh Hidayat (2010), memperlihatkan bahwa dosis AI sebesar 100 mg/l serta komposisi LHRHa masing-masing perlakuan 0, 5, 10 dan 15 mg/l, telah mampu menginduksi ovulasi induk komet pada jam ke-6 dengan presentase keberhasilan sebesar 100%. Sementara itu, hasil serupa tidak ditemukan pada kontrol menggunakan larutan fisiologis, dimana dalam rentang waktu yang sama tidak terjadi ovulasi sama sekali. Artinya, pada penyuntikan menggunakan larutan fisiologis, proses pematangan akhir tetap berlangsung secara alamiah tanpa adanya akselerasi. Menurut Permana (2009), ketiadaan pengaruh tersebut disebabkan sifat larutan fisiologis yang isotonik terhadap cairan tubuh sehingga tidak berpengaruh pada sistem hormon dalam tubuh ikan. Sedangkan keberhasilan perlakuan spawnprim A, B, C dan D dalam merangsang ovulasi menunjukkan peran aktif komponen-komponen penyusunnya yaitu LHRHa, AI dan AD.

LHRHa secara tidak langsung menginduksi pematangan akhir melalui stimulus sekresi Luteinizing Hormone (LH). Proses tersebut dijelaskan oleh Matty (1985), dimana LHRHa yang diinjeksikan pada teleostei menimbulkan peningkatan sekresi plasma Gonadotropine Hormone (GTH) yang terdiri dari LH dan FSH (Follicle Stimulating Hormone). Sebagaimana dijelaskan dalam Basuki (2007), peningkatan LH selanjutnya berakibat pada peningkatan aktivitas 20β -HSD sehingga terjadi peningkatan produksi steroid 17α, 20β -dihydroxy-4-pregnene-3-one (17α,20β-diOHprog) dalam gonad. Sekresi steroid ini terjadi pada saat induk memasuki fase pematangan akhir (Broach, 2009). Setelah itu oosit memasuki tahap GVBD dan berakhir pada ovulasi. Nagahama (1987)

Perlakuan

Gambar 4. Tingkat kelangsungan hidup ikan komet pada perlakuan berbeda. Sp. A: Spawnprim A; Sp. B: Spawnprim B; Sp.C: Spawnprim C; Sp. D: Spawnprim D; ov.: Ovaprim; larfis: Larutan Fisiologis NaCl 0,75%.

15 mengilustrasikan pembentukan steroid 17α,20β-diOHprog seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

Hubungan antara konsentrasi LH dan tingkat ovulasi yang dicapai dapat dilihat pada Gambar 2. Tingkat ovulasi perlakuan ternyata meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi LHRHa dalam spawnprim, mencapai puncaknya pada spawnprim C dan menurun pada spawnprim D. Spawnprim D dengan konsentrasi LHRHa tertinggi yaitu 15 mg/l hanya mampu mencapai tingkat ovulasi sebesar 7,55 ± 0,81 mg/l, sedangkan pada spawnprim B dan C masing-masing sebesar 9,09 ± 5,30 mg/l dan 13,88 ± 2,75 mg/l. Sementara itu, pada

spawnprim A dengan tingkat ovulasi sebesar 5,98 ± 2,83 ternyata belum cukup menyamai tingkat ovulasi ovaprim sebesar 29,44 ± 6,80 mg/l, dan spawnprim C dimana kadar LHRHa sebesar 10 mg/l. Namun spawnprim A mampu menyamai kinerja spawnprim B (kadar LHRHa 5 mg/l dan tingkat ovulasi 9,09 ± 5,30 mg/l) bahkan dengan spawnprim D yang memiliki kadar LHRHa tertinggi 15 mg/l (tingkat ovulasi sebesar 7,55 ± 0,81 mg/l).

Cholesterol Pregnenolone 17a-hydroxyprogesterone 17a-hydroxyprogesterone 17a,20B-diOHprog 17a,20B-diOHprog GtH-receptor GtH-receptor Gonadotropin 20B-HSD cAMP THECA GRANULOSA OVARIAN FOLLICLE

16 Kombinasi AI dan AD pada spawnprim A memperlihatkan bahwa pengaruh LHRHa cukup signifikan terhadap tingkat ovulasi yang dicapai. Pada

spawnprim B, kandungan LHRHa relatif sedikit sehingga pengaruh terhadap ovulasi tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa LHRHa sama sekali. Perbedaan mulai terlihat pada spawnprim C dimana level LHRHa yang ditambahkan lebih tinggi sehingga dapat memberi hasil yang lebih baik. Penurunan tingkat ovulasi dijumpai pada spawnprim D dimana konsentrasi LHRHa dalam spawnprim lebih tinggi lagi dibandingkan pada spawnprim A, B dan C. Dalam hal ini muncul dugaan, bahwa pada kandungan AI yang relatif tinggi sebesar 150 mg/l, konsentrasi LHRHa pada spawnprim D telah melebihi batas optimum untuk menginduksi ovulasi. Kejadian ini mungkin dapat dijelaskan melalui pernyataan Jones (1987), yang menyebutkan bahwa lonjakan jumlah LH – yang distimulasi oleh pengaruh LHRH, dapat menyebabkan peradangan pada dinding folikel sehingga mempengaruhi kontraksi folikel dalam membantu proses ovulasi. Pengaruh ini diduga bertambah kuat dengan adanya aktivitas AI dalam jumlah yang tinggi (150 mg/l). Hal ini tidak terjadi pada ovaprim, yang memiliki dosis sGnRH yang tinggi –pada kisaran di bawah 1000 mg/l (Syndel Laboratories Ltd., 2008), namun tidak ada kandungan AI di dalamnya. Sedangkan sGnRH sendiri memiliki fungsi yang analog dengan LHRHa pada spawnprim. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada kadar penambahan AI sebesar 150 mg/l, komposisi LHRHa optimum adalah 10 mg/l. Dengan demikian, penambahan AI tersebut mampu menurunkan kebutuhan sGnRH pada ovaprim hingga mencapai 100 kali penyusutan.

Sedangkan AI bekerja menghambat pengaruh enzim aromatase yang mampu mengubah testosteron menjadi estradiol-17β. Testosteron dibutuhkan dalam proses pematangan oosit menuju fase Germinal Vesicle Breakdown

(GVBD). Fase ini merupakan tahapan menjelang ovulasi dimana inti sel terlihat berada lebih dekat ke korion telur. Basuki (2007) menyebutkan testosteron merupakan steroid C19 yang dapat merangsang terjadinya GVBD pada konsentrasi yang tinggi, sedangkan estradiol-17β dan steroid C18 lainnya secara umum tidak efektif dalam merangsang kematangan oosit pada ikan (Basuki, 2007). Estradiol-17β sendiri merupakan jenis hormon estrogen yang umum

17 terdapat dalam cairan ovarium dan merupakan derivat dari 17α -hidroxyprogesterone (Fujaya, 2004). Lebih lanjut Nagahama (1987) menambahkan bahwa kadar testosteron meninggi sedangkan estradiol menurun secara signifikan pada saat periode maturasi. Penurunan estradiol tersebut diduga karena menurunnya aktivitas aromatase dalam sel granulosa. Penambahan AI sebagai inhibitor enzim aromatase dapat membantu meningkatkan jumlah testosteron dalam gonad sehingga terjadi percepatan GVBD pada oosit.

Pada parameter tingkat ovulasi, perlakuan dengan hasil terbaik terdapat pada spawnprim C dengan prosentase sebesar 13,88 ± 2,75. Spawnprim C mengandung komposisi LHRHa 10 mg/l, domperidone 10 mg/ml, serta AI sebesar 150 mg/l. Hasil yang didapat berbeda nyata dengan prosentase yang dicapai kontrol ovaprim yaitu sebesar 29,44 ± 6,80. Pada penelitian percepatan ovulasi ikan komet yang dilakukan oleh Hidayat (2010), didapat spawnprim dengan tingkat ovulasi terbaik sebesar 23,39% memiliki kandungan LHRHa 10 mg/l,

domperidone 10 mg/ml, serta AI sebesar 100 mg/l, dengan keberhasilan ovulasi dicapai pada jam ke-6 setelah penyuntikan. Jika dibandingkan dengan penelitian Hidayat (2010), maka dapat dikatakan bahwa level konsentrasi AI yang berbeda dalam spawnprim menimbulkan perbedaan pengaruh terhadap parameter tingkat ovulasi. Perbandingan pengaruh AI sebesar 150 mg/l tidak memberikan hasil yang lebih baik daripada kandungan AI 100 mg/l, pada striping mulai jam ke-6. Diduga, kandungan AI yang relatif tinggi pada penelitian ini menyebabkan oosit tidak mampu berovulasi dengan baik (incomplete ovulation). Kemungkinan yang lain adalah pada perlakuan menggunakan AI 150 mg/l, telur telah mencapai fase kematangan akhir lebih awal dari jam ke-6 sehingga keterlambatan striping menyebabkan telur membusuk (overripe) dan diserap kembali oleh kantung telur (atresia). Hal ini dijelaskan oleh Harvey dan Carolsfeld (1993), bahwa ketiadaan rangsangan untuk memijah maupun artifisial striping pada induk yang telah berada pada fase kematangan akhir (final maturation) akan menyebabkan atresia. Lebih lanjut dijelaskan, pada spesies ikan yang membutuhkan artifisial striping setelah mengalami ovulasi, waktu maksimal untuk dilakukan striping adalah 1 jam sebelum terjadi atresia. Sementara itu, pada habitat alamiahnya ikan komet umumnya memijah saat terjadi pergantian temperatur yang mencolok (Wikipedia,

18 2010). Sedangkan kondisi media perlakuan sendiri cenderung stabil pada temperatur 25 C sehingga tidak ada rangsangan bagi ikan untuk memijah. Dengan demikian harus segera dilakukan artifisial striping pada ikan sesaat setelah terjadi ovulasi (Lampiran 14).

Sumantri (2006) menghubungkan tingginya dosis AI sebesar 250 mg/kg dengan aktivitas aromatase pada otak yang menimbulkan efek negatif terhadap kontrol hormon reproduksi. Atterwill dan Flack (1992) menyebutkan adanya suatu steroid gonad yang menghambat kinerja LH maupun FSH. Konsentrasi AI yang terlalu tinggi diduga berpengaruh pada aktivitas steroid tersebut serta menyebabkan terhambatnya oogenesis, perkembangan ovari dan atresia (Sumantri, 2006). Kondisi ini dapat dibandingkan dengan perlakuan menggunakan ovaprim dimana tingkat ovulasinya mencapai 29,44 ± 6,80 mg/l. Dalam ovaprim tidak terdapat kandungan AI sehingga kecil kemungkinan terjadi efek atresia. Selain itu pada penelitian yang dilakukan Permana (2009), kadar AI yang lebih rendah yaitu sebesar 100 mg/l dan dikombinasikan dengan AD, serta LHRH 5, 10, 15 dan 20 mg/l mampu memicu ovulasi induk ikan sumatera dengan tingkat ovulasi lebih baik yaitu mencapai 30% hingga 79%.

Konsentrasi domperidone 10 mg/ml dalam ovaprim (Syndel Laboratories Ltd., 2008) maupun dalam semua perlakuan spawnprim mampu menghambat kerja dopamin dan mendukung mekanisme percepatan ovulasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Permana (2009) yang menggunakan dosis domperidone yang sama dalam spawnprim dan mampu merangsang ovulasi ikan sumatra (Puntius tetrazona). Demikian pula percobaan penggunaan spawnprim oleh Hidayat (2010) yang mampu menginduksi ovulasi ikan komet (Carassius auratus auratus) pada komposisi domperidone 10 mg/ml.

19 Gambar 6. Mekanisme dopamin dalam menghambat GnRH, dan anti dopamin (domperidone) meniadakan fungsi dopamin (Yanong et al., 2009)

Pada parameter pendukung derajat pembuahan, derajat penetasan dan tingkat kelangsungan hidup, antar perlakuan spawnprim maupun dengan ovaprim menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan bahan dalam campuran mampu mengondisikan telur untuk siap dibuahi. Seperti yang telah dibahas pada parameter keberhasilan ovulasi, terlihat bahwa seluruh perlakuan serta kontrol ovaprim telah berhasil mencapai ovulasi. Selain faktor kualitas telur, derajat pembuahan berhubungan dengan kecepatan dan kemampuan sperma untuk membuahi sel telur yang telah diovulasikan. Setelah mengalami ovulasi, maka telur harus segera dikeluarkan (oviposisi) dan dibuahi hingga batas maksimal viabilitas oosit dapat bertahan (Stacey, 1984). Sehingga pada saat pecahnya dinding folikel dan sel-sel mikropil yang menutupi lubang mikropil berpisah, pada saat itu terjadi oviposisi hingga akhirnya spermatozoa dapat menembus korion (Fujaya, 2004). Pembuahan dilakukan secara buatan menggunakan media larutan fisiologis yang umum digunakan dalam kegiatan pemijahan buatan.

20 Fertilitas telur akan menurun ketika mulai memasuki media air hingga akhirnya hilang sama sekali dimana akselerasinya berbeda-beda pada tiap ikan dan bergantung pada kondisi media itu sendiri. Sementara bila tidak segera dibuahi oleh sperma, telur dapat membusuk dan mati. Menurut Suzuki dalam

Ginzburg (1972), pada temperatur 18-21ºC, pergerakan sperma hanya mampu bertahan sekitar 3 menit. Selama itu pula sebuah sperma harus dapat melakukan penetrasi ke lubang mikrofil untuk dapat membuahi sel telur. Pembuahan yang melibatkan sebuah sel sperma membuahi sebuah sel telur dinamakan fertilisasi monospermi. Ginzburg (1972) menjelaskan, ciri ikan yang memiliki tipe fertilisasi monospermi yaitu pembuahannya dilakukan secara eksternal (di luar tubuh ikan). Sedangkan pembuahan internal (di dalam tubuh ikan) memungkinkan fertilisasi dilakukan secara monospermi atau polispermi (beberapa sperma membuahi satu sel telur). Ikan komet melakukan pembuahan di luar tubuh ikan sehingga tipe fertilisasinya tergolong monospermi.

Hasil fertilisasi spawnprim rata-rata berada di bawah 50% kecuali pada

spawnprim D mencapai 59,07%, tidak berbeda nyata dengan kontrol ovaprim yang mencapai fertilitas 60,5%. Hasil ini menunjukkan sekitar setengah dari total telur tidak terbuahi maupun rusak. Telur dapat tidak terbuahi apabila memiliki viabilitas yang rendah. Sedangkan telur yang rusak dapat terjadi apabila sperma terlalu pekat sehingga terjadi kompetisi yang ketat antar sel sperma untuk memasuki lubang mikrofil pada lapisan kortikuler telur. Adanya kompetisi tersebut pada akhirnya menimbulkan over-penetrasi sperma sehingga merusak proses morfogenesis dan menimbulkan kematian pada telur.

Hasil yang tidak berbeda nyata antar perlakuan dan ovaprim juga ditunjukkan pada parameter derajat penetasan. Pada percobaan ini, telur perlakuan maupun kontrol ovaprim yang telah dibuahi dapat menetas jangka waktu kurang lebih 2-3 hari setelah pencampuran dengan sperma. Kandungan bahan pada perlakuan maupun ovaprim memiliki pengaruh yang sama terhadap embriogenesis yang berlangsung selama pembuahan hingga telur siap menetas. Secara internal, Hakim (2010) menyebutkan bahwa pengaruh AI secara tidak langsung berdampak negatif terhadap perkembangan embrio dan penetasan telur. Perkembangan embrio membutuhkan suplai vitelogenin (kuning telur) dalam jumlah cukup

21 sebagai sumber energi. Sementara AI dapat mengurangi kandungan vitelogenin dengan cara mengalihkan proses vitelogenesis menuju proses pematangan akhir. Perkembangan embrio yang terhambat pada akhirnya dapat menurunkan derajat penetasan telur. Namun di samping itu, faktor lingkungan turut berperan dalam penetasan telur. Pengaruh ini tampak pada kecepatan penetasan telur seperti halnya pada goldfish yang telah memijah, telur menetas dalam 4-5 hari pada temperatur inkubasi berkisar pada 20oC.

Tabel 6 menjelaskan hubungan temperatur lingkungan terhadap kecepatan menetas telur pada ikan koki (Abe, 1983):

Tabel 6. Periode inkubasi berdasarkan temperatur

Temperatur (ºC) 10,0 12,5 14,0 19,0 21,0 24,0 25,0 27,0 Periode inkubasi (hari) - 14,5 10,0 5,0 4,0 3,2 3,0 2,0

Parameter tingkat kelangsungan hidup berkaitan dengan daya tahan larva terhadap kondisi lingkungan di mana asupan energi larva diperoleh dari kuning telurnya. Proses pembentukan kuning telur (vitellogenesis) dipengaruhi oleh kinerja kandungan bahan dalam spawnprim. Persentase hasil yang tinggi dan tidak berbeda nyata pada seluruh perlakuan menunjukkan pengaruh positif dari komponen bahan-bahan yang terkandung di dalamnya. Walaupun pada perlakuan menggunakan AI terjadi pengalihan proses vitellogenesis menuju ke arah pematangan gonad sehingga kuning telur yang dihasilkan tidak mencapai ukuran maksimal (Sumantri, 2006), namun larva masih mampu bertahan hingga hari ke-4 setelah penetasan. Daya tahan larva tersebut turut didukung oleh kondisi lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhan larva. Menurut Abe (1983) ikan komet merupakan spesies eurythermal dimana mampu hidup dalam temperatur yang berfluktuasi antara 0-35ºC. Temperatur pada akuarium pemeliharaan larva di tiap perlakuan masih berada pada rentang tersebut yaitu rata-rata berkisar pada 33ºC.

Faktor temperatur berpengaruh terhadap kinerja hormonal dalam tubuh ikan. Dalam perlakuan, temperatur rata-rata terukur 25 C. Angka ini telah memenuhi kriteria temperatur minimum yang dibutuhkan untuk menginisiasi vitellogenesis dan ovulasi yaitu 20 C (Stacey, 1984). Sementara itu, kadar

22 oksigen terlarut atau dissolve oxygen (DO) bagi cyprinid berkisar antara 6-7 mg/l, dapat turun hingga mencapai 3 mg/liter. Sedangkan pH ideal adalah netral atau cenderung basa, yaitu antara 7-8 (Huet & Timmermans 1970). Pada perlakuan didapat DO rata-rata sebesar 7,08 mg/l dan pH rata-rata 6,82. Pada kondisi media seperti ini, induk masih dapat berovulasi karena diketahui bahwa ikan komet memiliki ketahanan terhadap faktor lingkungan yang cukup baik dibandingkan dengan jenis ikan hias lainnya (Martawiguna, 2007)..

Pemilihan spawnprim untuk kegiatan produksi benih dapat dilakukan dengan membandingkan biaya per telur (Tabel 7). Asumsi yang digunakan adalah jumlah telur di dalam gonad masing-masing induk sebanyak 5000 butir. Biaya per telur adalah besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu telur dengan asumsi penyuntikan dilakukan terhadap seekor induk dengan volume penyuntikan 0,01 ml, sedangkan volume total adalah 10 ml/produk.

Biaya terendah terdapat pada spawnprim A yaitu Rp. 0,02/telur, disusul oleh spawnprim B dengan biaya Rp. 0,12/telur. Biaya per telur kedua produk ini masih di bawah biaya ovaprim yang mencapai Rp. 0,13/telur. Sedangkan

spawnprim C dan D mencapai biaya di atas ovaprim yaitu Rp. 0,15/telur dan Rp. 0,41/telur. Bila dibandingkan, spawnprim A lebih ekonomis dibanding produk lain. Namun bila mempertimbangkan tingkat ovulasi (produksi telur), maka

spawnprim A memiliki nilai paling rendah (tidak cukup efektif). Berbeda dengan

spawnprim C yang memiliki tingkat ovulasi tertinggi di antara perlakuan

spawnprim serta kisaran biayanya tidak terlalu jauh dengan ovaprim.. Pada

spawnprim B biaya per telur lebih rendah dibandingkan spawnprim C, hanya saja memiliki nilai simpangan baku yang lebih besar (Lampiran 4) sehingga tidak memberikan akurasi tingkat ovulasi yang lebih baik. Sementara spawnprim D memiliki biaya per telur yang terlalu tinggi dan tingkat ovulasinya relatif rendah. Tabel 7. Biaya per telur

Produk Tingkat ovulasi (%)

Jumlah telur yang diovulasikan (butir) Biaya/ produk (Rp.) Biaya/suntik (Rp.) Biaya/telur (Rp.) Spawnprim A 5,98 299 5348,33 5,35 0,02 Spawnprim B 9,09 454 55348,33 55,35 0,12 Spawnprim C 13,88 694 104681,67 104,68 0,15 Spawnprim D 7,55 377 154681,67 154,68 0,41 Ovaprim 29,44 1472 185000,00 185,00 0,13

Dokumen terkait