• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tingkat Kerusakan

Tingkat kerusakan merupakan salah satu parameter uji yang digunkan untuk melihat perubahan yang terjadi selama penyimpanan dengan menghitung besarnya kerusakan yang terjadi. Kerusakan yang terjadi pada bahan pertanian seperti halnya buah salak pondoh bermacam-macam penyebabnya, diantaranya kerusakan yang diakibatkan karena over ripe (lewat matang), kerusakan akibat cendawan, maupun kerusakan fisik dan mekanis seperti kerusakan akibat adanya benturan dan gesekan. Sedangkan yang dimaksud buah rusak adalah apabila buah menunjukkan adanya penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima secara normal oleh panca indera yang dimanifestasikan seperti buah sudah layu, ditumbuhi oleh jamur yang tampak secara visual, menimbulkan bau busuk, daging buah lunak, berair serta tidak layak untuk dikonsumsi. Pada Gambar 6. disajikan histogram yang menunjukkan besarnya tingkat kerusakan buah salak pondoh selama penyimpanan.

Keterangan : A1 = 0% zeolit (kontrol) B1 = Polipropilen vakum B4 = Polietilen vakum A2 = 5% zeolit B2 = Polipropilen normal B5 =Polietilen normal A3 = 10% zeolit B3 = Polipropilen lubang B6 = Polietilen lubang Gambar 6. Laju perubahan tingkat kerusakan buah salak pondoh selama penyimpanan Tingkat kerusakan menggambarkan jumlah persentase buah salak pondoh yang mengalami kerusakan selama penyimpanan dalam tiap-tiap hari pengamatan. Berdasarkan histogram pada Gambar 6. Dapat dilihat bahwa kerusakan tertinggi adalah buah salak yang disimpan tanpa menggunakan tambahan zeolit sebagai bahan penyerap etilen (kontrol). Pada hari ke-17 penyimpanan buah salak pondoh yang disimpan tanpa menggunakan tambahan zeolit sebagai bahan penyerap etilen kerusakan yang terjadi telah mencapai 100%. Sedangkan beberapa perlakuan penyimpanan buah salak pondoh lainnya yang disimpan dengan menggunakan teknik kemasan aktif dengan tambahan zeolit sebagai bahan penyerap etilen besarnya kerusakan yang terjadi kurang dari 50% hingga hari ke-17 penyimpanan, dan beberapa perlakuan mampu bertahan hingga hari ke-23 penyimpanan (Lampiran 3).

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 Laju p e r u b ah an ti n gk at k e r u sak an (% k e r u sak an /h ar i) Perlakuan 80% 90% campuran

18 Tingkat kerusakan terendah untuk buah salak pondoh kematangan 80% adalah penyimpanan dalam kemasan polipropilen dan polietilen normal (tanpa lubang) dosis zeolit 5% dengan laju perubahan 2.001 % kerusakan per hari. Buah salak pondoh kematangan 90% dan campuran tingkat kerusakan terendah adalah penyimpanan dalam kemasan polipropilen normal dosis zeolit 5 dan 10% dengan laju perubahan masing-masing sebesar 2.931 dan 3.022 % kerusakan per hari.

Gambar 7. Kerusakan buah salak pondoh selama penyimpanan (hari ke-21 penyimpanan)

Hasil uji statistik pada selang kepercayaan 95% (α=0.05) perlakuan dosis bahan penyerap

berpengaruh nyata terhadap tingkat kerusakan yang terjadi selama penyimpanan, sedangkan jenis dan kondisi kemasan serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kerusakan yang terjadi (Lampiran 3). Berdasarkan hasil uji lanjut dengan metode Duncan, perlakuan A1 dengan laju prubahan sebesar 7.7363 % keruakan per hari yaitu penyimpanan buah salak pondoh tanpa menggunakan bahan penyerap (kontrol) berbeda signifikan terhadap perlakuan A2 dan A3 yaitu penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan aktif dosis zeolit 5 dan 10% (Lampiran 3). Dosis zeolit 5 dan 10% tidak berbeda secara signifikan, dengan laju perubahan masing-masing sebesar 0.04576 dan 0.04325 % kerusakan per hari. Hal ini menunjukkan bahwa zeolit mampu menenakan laju etilen yang dihasilkan oleh buah selama penyimpanan berlangsung. Etilen merupakan suatu gas yang dihasilakan oleh buah-buahan diamana etilen bertindak sebagai hormon dalam tanaman yang memiliki efek fisiologi yang berbeda-beda pada buah dan sayuran segar. Etilen dapat mempercepat respirasi yang mengarah pada pematangan dan penuaan banyak jenis buah (Ahvenainen, 2003). Dengan adanya etilen maka pematangan buah akan semakin cepat, sehingga kerusakan buah yang banyak diakibatkan oleh buah yang kelewat matang (over ripe) selama penyimpanan akan semakin besar. Cara yang paling umum dan efektif untuk mengurangi jumlah laju etilen yaitu menggunakan bahan penyerap etilen, salah satu bahan yang dapat digunakan adalah zeolit. Dengan struktur tiga dimensi yang terbentuk dari tetrahedral alumina dan silika dengan rongga-rongga yang berisi ion logam maka zeolit dapat digunakan sebagai bahan yang efektif untuk menekan laju etilen yang dihasilkan buah, sehingga penuaan dini atau kerusakan yang diakibatkan karena over ripe dapat diminimalkan.

2. Susut Bobot

Selama proses penyimpanan buah-buahan berlangsung, akan terjadi perubahan fisikokimia berupa penyerapan dan pelepasan air ke lingkungan penyimpanan. Dari peristiwa iniliah pada saat penyimpanan akan terjadi penyusutan susut bobot pada saat fase menuju kematangan. Kehilangan air bukan saja berpengaruh langsung terhadap kehilangan secara kualitatif, tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan tekstur (pelunakan dan pelembekan), kerusakan kandungan gizi dan kerusakan lainnya (kelayuan dan pengerutan) (Kader, 1992). Susut bobot yang terjadi selama penyimpanan dapat digunakan sebagai salah satu indikator penurunan mutu buah yang disimpan, dimana pada umumnya selama penyimpanan akan terjadi kenaikan susut bobot seiring

19 berlangsungnya waktu penyimpanan. Laju peningkatan susut bobot penyimpanan buah salak pondoh disajikan pada Gambar 8.

Keterangan : A1 = 0% zeolit (kontrol) B1 = Polipropilen vakum B4 = Polietilen vakum A2 = 5% zeolit B2 = Polipropilen normal B5 =Polietilen normal A3 = 10% zeolit B3 = Polipropilen lubang B6 = Polietilen lubang

Gambar 8. Laju perubahan susut bobot buah salak pondoh selama penyimpanan

Dari Gambar 8. secara umum dapat diketahui peningkatan susut bobot buah salak pondoh yang disimpan tanpa menggunakan bahan penyerap (kontrol), lebih tinggi dibandingkan dengan buah salak pondoh yang disimpan dalam kemasan aktif penyerap etilen. Buah salak pondoh kematangan 80% yang disimpan dalam kemasan polipropilen normal dosis zeolit 10% memiliki susut bobot paling rendah dibandingkan buah salak pondoh kematangan 80% dengan perlakuan yang lain, dengan laju perubahan sebesar 0.0024 % susut bobot per hari. Buah salak kematangan 90% susut bobot terendah yaitu penyimpanan buah salak dalam kemasan polipropilen vakum dosis zeolit 5% dengan laju perubahan sebesar 0.0030 % susut bobot per hari. Sedangkan buah salak kematangan campuran susut bobot terendah adalah penyimpanan dalam kemasan polietilen vakum dosis zeolit 5 dan 10% dengan laju perubahan sebesar 0.0050 % susut bobot per hari.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan dosis bahan penyerap serta jenis dan kondisi kemasan berpengaruh nyata terhadap susut bobot yang terjadi selama penyimpanan, namun hasil interaksi diantara keduanya tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap perubahan susut bobot yang terjadi (Lampiran 4). Uji lanjut dosis bahan penyerap dengan metode Duncan menunjukkan bahwa perlakuan A1 dengan laju perubahan sebesar 0.0373 % susut bobot per hari yaitu penyimpanan buah salak pondoh tanpa bahan penyerap (kontrol) berbeda signifikan dengan perlakuan A3 dan A2 yaitu penyimpanan buah salak pondoh dengan dosis zeolit 10 dan 5%. Hal ini dapat terjadi diduga karena adanya perbedaan fungsi kemasan yang digunakan. Dimana dalam penyimpanan dengan teknik kemasan aktif, kemasan dikombinasikan dengan zeolit yang dapat aktif menyerap etilen yang dihasilkan buah sehingga susut bobot yang terjadi selama penyimpanan dapat ditekan seminimal mungkin. Sedangkan untuk perlakuan dosis bahan penyerap keduanya tidak berbeda signifikan antara dosis zeolit 10 dan 5% dengan laju perubahan masing-masing sebesar 0.0086 dan 0.0057 % susut bobot per hari (Lampiran 4). Menurut pendapat Wills (1981), selama penyimpanan buah akan mengalami proses repirasi dan transpirasi, sehingga senyawa-senyawa kompleks yang terdapat di dalam sel seperti karbohidrat dipecah menjadi molekul-molekul sederhana seperti karbondioksida dan air yang mudah menguap. Dari peristiwa inilah, peningkatan susut bobot buah-buahan selama

0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 Laju p e r u b ah an s u su t b o b o t (% s u su t b o b o t/ h ar i) Perlakuan 80% 90% campuran

20 penyimpanan terjadi. Zeolit sebagai bahan penyerap etilen mampu mengurangi laju produksi etilen yang dihasilkan buah, sehingga proses respirasi yang juga dipengaruhi oleh kerja etilen dapat dihambat. Oleh karena itu, buah salak pondoh yang disimpan menggunakan kemasan aktif penyerap etilen memiliki susut bobot lebih rendah dibandingkan dengan penyimpanan buah salak pondoh tanpa menggunakan bahan penyerap etilen.

Hasil uji lanjut jenis dan kondisi kemasan dengan metode Duncan menunjukkkan bahwa perubahan susut bobot tertinggi adalah perlakuan B3 yaitu kemasan polipropilen lubang dengan laju perubahan sebesar 0.021 % susut bobot per hari. Kemasan ini tidak berbeda secara signifikan dengan perlakuan B4 dan B1 yaitu kemasan polietilen vakum dan polietilen lubang dengan laju perubahan masing-masing sebesar 0.018 dan 0.016 % susut bobot per hari. Hal ini dapat terjadi dimungkinkan karena dalam kemasan berlubang sering terjadi kontaminasi dari lingkungan luar tempat penyimpanan ke dalam kemasan melalui lubang yang ada dalam kemasan. Sehingga selama penyimpanan berlangsung, buah salak yang disimpan sering mengalami kerusakan mikrobilogi yang diakibatkan oleh adanya cendawan atau jamur. Kerusakan yang terjadi akibat mikroorganisme inilah yang menyebabkan tingginya peningkatan susut bobot yang terjadi. Sedangkan susut bobot terendah adalah perlakuan B2 yaitu kemasan polipropilen normal dengan laju perubahan sebesar 0.015 % susut bobot per hari. Jenis kemasan ini berbeda secara signifikan dengan perlakuan B3, B4, dan B1 namun tidak berbeda secara signifikan dengan perlakuan B5 dan B6 yaitu kemasan polietilen normal dan lubang (Lampiran 4). Kemasan polipropilen normal memiliki perubahan susut bobot terendah diduga karena selain kemasan polipropilen memiliki permeabilitas yang baik, dalam kemasan normal atau tanpa lubang tidak ada celah bagi mikroorganisme untuk masuk ke dalam kemasan sehingga kerusakan mikrobiologi yang diakibatkan oleh mikroorganisme seperti kapang dan jamur dapat diminimalkan. Pada umumnya kemasan vakum dipilih karena pengemasan secara vakum merupakan salah satu pengemasan dengan atmosfer modifikasi untuk memperpanjang masa simpan buah dan sayuran. Namun dalam penyimpanan buah salak, kemasan vakum tidak dapat berfungsi dengan baik karena dalam aplikasinya banyak kemasan yang bocor atau lepas vakum. Hal ini dikarenakan kemasan sering rusak akibat gesekan dengan kulit buah salak yang kasar dan sedikit berduri. Oleh karena itu perlakuan kemasan vakum dalam penyimpanan buah salak susut bobot yang terjadi lebih tinggi dibandingkan dengan kemasan normal (tanpa lubang).

D.

PERUBAHAN KIMIA BUAH SALAK PONDOH

1. Total Asam

Kandungan asam pada buah merupakan salah satu parameter dalam penentuan cita rasa. Menurut Suter (1988), berdasarkan hasil pemisahan kromatografi gas dapat diidentifikasi 4 jenis asam organik pada buah salak yaitu asam sitrat, asam suksinat, asam malat dan asam adipat. Selama penyimpanan berlangsung kandungan total asam buah salak pondoh cenderung mengalami penurunan. Secara keseluruhan hasil analisa perubahan total asam penyimpanan buah salak pondoh disajikan dalam Lampiran 5.

Analisa perubahan total asam selama penyimpanan menunjukkan hasil yang fluktuatif dari tiga tingkat kematangan buah salak pondoh yang diujikan. Buah salak pondoh kematangan 80% laju penurunan total asam tertinggi adalah penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polietilen lubang dosis zeolit 5% dengan laju penurunan sebesar 0.026 mg/100 g bahan per hari. Sedangkan penurunan total asam terendahnya adalah penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polietilen normal tanpa menggunakan bahan penyerap (kontrol) dengan laju perubahan sebesar 0.001 mg/100 g bahan per hari. Buah salak pondoh kematangan 90%, penurunan total asam tertinggi adalah

21 penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polipropilen lubang zeolit 10% dengan laju penurunan sebesar 0.076 mg/ 100 g bahan per hari dan penurunan terendahnya adalah kemasan polietilen normal tanpa lubang dosis zeolit 10% dengan laju penurunan sebesar 0.017 mg/100 g bahan per hari. Adapun untuk buah salak pondoh kematangan campuran, penurunan total asam tertinggi dengan laju penurunan sebesar 0.022 mg/100 g bahan per hari adalah penyimpanan buah slaak pondoh dalam kemasan polietilen lubang dosis zeolit 5%, sedangkan penurunan terendahnya dengan laju penurunan sebesar 0.005 mg/100 g bahan per hari adalah penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polipropilen vakum dosis zeolit 10%.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan jumlah dosis bahan penyerap serta jenis dan kondisi kemasan berpengaruh nyata terhadap perubahan total asam selama penyimpanan, sedangkan interaksi antara keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadapa perubahan total asam yang terjadi (Lampiran 5).

Keterangan : A1 = zeolit 0% (kontrol) A2= zeolit 5% A3= zeolit 10% Gambar 9. Histogram laju perubahan total asam terhadap dosis bahan penyerap

Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Gambar 9. laju perubahan perlakuan kontrol sebesar -0.0076 mg/100 g bahan per hari lebih rendah diabandingkan dengan perlakuan dosis zeolit 10 dan 5% sebesar -0.0194 dan -0.0210 mg/100 g bahan per hari. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 5), maka perlakuan dosis bahan penyerap menunjukkan bahwa dosis 5 dan 10% bahan penyerap tidak berbeda secara signifikan antara satu dengan yang lainnya, namun keduanya berbeda signifikan dengan perlakuan penyimpanan tanpa bahan penyerap (kontrol). Hal ini dapat terjadi dimungkinkan karena pada akhir penyimpanan, beberapa perlakuan penyimpanan tanpa menggunakan bahan penyerap mengalami kenaikan total asam yaitu beberapa perlakuan pada tingkat kematangan campuran. Sedangkan pada perlakuan penyimpanan menggunakan bahan penyerap baik 5 dan 10% keduannya mengalami penurunan kandungan asam pada seluruh perlakuan disemua tingkat kematangan. Pada umumnya selama penyimpanan buah-buahan mengalami penurunan kandungan asam, hal ini dikarenakan sebagian besar kandungan asam pada buah akan digunakan dalam kegiatan repirasi untuk menghasilkan energi yang dapat digunakan sebagai media mempertahankan hidup hingga buah mengalami kebusukan. Hal ini sesuai dengan pendapat suter (1998), dimana selama penyimpanan kandungan asam pada buah salak akan menurun yang diakibatkan karena adanya penurunan asam sitrat yang diubah menjadi senyawa lain atau sebagai substrat untuk respirasi dalam siklus krebs. Sedangkan kenaikan total asam yang terjadi ini dapat diakibatkan oleh adanya pembentukan asam sitrat pada saat respirasi. Pada saat respirasi berlangsung akan terjadi pemecahan

-0,025 -0,02 -0,015 -0,01 -0,005 0 A1 A2 A3 Laju p e r u b ah an to tal as am (m g/ 100 g b ah an /h ar i)

22 polisakarida menjadi gula kemudian oksidasi gula menjadi menjadi asam piruvat dan setelah itu transformasi asam piruvat dan asam-asam organik lainnya secara aerobik menjadi CO2, air, dan

energi. Asam sitrat dapat dibentuk dari asam piruvat karena asam sitrat merupakan salah satu asam organik yang dibentuk pada siklus krebs (Phan et al., 1986).

Keterangan : B1 = polipropilen vakum B2 = polipropilen normal B3 = polipropilen lubang B4 = polietilen vakum B5 = polietilen normal B6 = polietilen lubang Gambar 10. Histogram laju perubahan total asam terhadap jenis dan kondisi kemasan

Gambar 10. menunjukkan bahwa perubahan total asam tidak dipengaruhi oleh jenis kemasan, namun perubahannya lebih cenderung dipengaruhi oleh kondisi kemasan. Kondisi kemasan berlubang baik pada jenis kemasan polipropilen maupun polietilen menunjukkan penurunan total asam tertinggi. Berdasarkan uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 5), perlakuan jenis dan kondisi kemasan menunjukkan bahwa penurunan kandungan asam terendah adalah perlakuan penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polipropilen vakum dengan laju perubahan sebesar -0.0102 mg/100 g bahan per hari dan jenis kemasan ini tidak berbeda dengan perlakuan penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polipropilen normal, polietilen normal, dan polietilen vakum. Namun beberapa jenis dan kondisi perlakuan penyimpanan menggunakan tipe kemasan tersebut semuanya berbeda signifikan dengan perlakuan penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polipropilen dan polietilen lubang. Hal ini dapat terjadi diduga karena adanya perubahan yang dipengaruhi oleh proses respirasi dan besarnya laju kerusakan yang terjadi selama penyimpanan. Pada kondisi normal buah salak mengandung asam, namun dalam jumlah yang sedikit. Selama penyimpanan buah akan mengalami kegiatan alami yakni metabolisme, termasuk di dalamnya adalah proses respirasi. Selama proses respirasi berlangsung asam yang terkandung dalam buah akan dipecah menjadi rantai pendek yang bersifat volatil sehingga secara tidak langsung kandungan asam akan menurun. Dalam kemasan berlubang kegiatan respirasi lebih besar terjadi dibandingkan pada kemasan vakum dan kemasan normal, hal ini dapat diketahui dari besarnya tingkat kerusakan yang terjadi pada kemasan berlubang baik polipropilen maupun polietilen. Semakin cepat kegiatan respirasi berlangsung, maka semakin banyak jumlah kandungan asam yang akan dirombak untuk menghasilkan energi yang digunakan buah-buahan mempertahankan hidup hingga buah mengalami kebusukan.

2. Vitamin C

Nilai Vitamin C menunjukkan banyaknya mg asam askorbat dalam 100 g bahan berupa salak pondoh. Kandungan Vitamin C salak pondoh diawal penyimpanan sebesar 2.20 mg /100 gram buah

-0,03 -0,025 -0,02 -0,015 -0,01 -0,005 0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 Laju p e r u b ah an to tal as am (m g/ 100 g b ah an /h ar i)

23 untuk buah salak kematangan 80%, 2.240 mg/100 gram buah untuk buah salak kematangan 90%, dan 2.60 mg/100 gram buah untuk buah salak kematangan campuran. Pada umumnya akan terjadi penurunan kadar Vitamin C dalam penyimpanan buah-buahan. Dalam penyimpanan salak pondoh ini selama penyimpanan juga terjadi penurunan kadar Vitamin C baik pada buah salak pondoh tingkat kematangan 80%, 90% maupun campuran.

Buah salak pondoh kematangan 80%, penurunan kadar vitamin C paling tinggi adalah penyimpanan dalam kemasan polietilen lubang dosis zeolit 5% dengan nilai laju penurunan sebesar 0.062 mg/100 g bahan per hari. Dan nilai penurunan kadar Vitamin C terendah adalah penyimpanan buah salak dalam kemasan polietilen vakum dosis zeolit 10% dengan nilai laju penurunan sebesar 0.005 mg/100 g bahan per hari. Buah salak pondoh kematangan 90%, penurunan kadar Vitamin C tertinggi adalah penyimpanan dalam kemasan polipropilen vakum tanpa menggunakan bahan penyerap (kontrol) dengan nilai laju penurunan sebesar 0.119 mg/100 g bahan per hari. Sedangkan nilai penurunan kadar Vitamin C terendahnya adalah buah salak pondoh yang dikemas dalam kemasan polietilen vakum dosis zeolit 10% dengan nilai laju penurunan sebesar 0.001 mg/100 g bahan per hari. Buah salak pondoh kematangan campuran menunjukkan bahwa penurunan kadar Vitamin C tertinggi dengan nilai laju penurunan sebesar 0.123 mg/100 g bahan per hari adalah buah salak yang disimpan dalam kemasan polietilen lubang dosis zeolit 5%. Sedangkan laju penurunan terendahnya dengan nilai laju penurunan sebesar 0.042 mg/100 g bahan per hari adalah buah salak yang dikemas dalam kemasan polipropilen normal dosis zeolit 5%.

Berdasarkan hasil uji statistik pada tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa

seluruh perlakuan yang diberikan baik dosis bahan penyerap, jenis dan kondisi kemasan, maupun interaksi antara keduanya semua berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar Vitamin C selama penyimpanan (Lampiran 6).

Keterangan : A1 = zeolit 0% (kontrol) A2= zeolit 5% A3= zeolit 10% Gambar 11. Histogram laju perubahan Vitamin C terhadap dosis bahan penyerap

Dari Gambar 11. dapat diketahui penurunan kadar Vitamin C tertinggi terdapat pada perlakuan A1 yaitu penyimpanan buah salak pondoh tanpa menggunakan bahan penyerap (kontrol) yaitu sebesar -0.0743 mg/100g bahan per hari. Selanjutnya disusul oleh perlakuan A2 dan A1 yaitu perlakuan penyimpanan buah salak pondoh dengan dosis zeolit 10% dan 5%, dengan nilai laju penurunan masing-masing perlakuan adalah -0.01170 dan -0.1620 mg/100 g bahan per hari. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan, menunjukkan bahwa perlakuan jumlah dosis yang diberikan, berbeda siginifikan antara satu perlakuan dengan perlakuan lainnya. Baik perlakuan dosis zeolit 0% (kontrol),

-0,18 -0,16 -0,14 -0,12 -0,1 -0,08 -0,06 -0,04 -0,02 0 A3 A2 A1 Laju p e r u b ah an V itam in C (m g/ 100 g b ah an p e r h ar i)

24 dosis zeolit 5%, maupun dosis zeolit 10% (Lampiran 6). Perlakuan buah salak pondoh yang disimpan tanpa menggunakan bahan penyerap (dosis 0%), memiliki penurunan kandar Vitamin C paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan penyimpanan dengan menggunakan bahan penyerap. Hal ini dapat terjadi diduga karena ada kaitannya dengan besarnya laju kerusakan yang terjadi selama penyimpanan. Selama penyimpanan, buah salak pondoh yang disimpan cenderung mengalami penurunan kadar Vitamin C yang bisa diakibatkan karena adanya proses oksidasi pada saat buah mengalami kerusakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Smith (1963), dimana saat penyimpanan berlangsung kerusakan yang terjadi dapat mengakibatkan terjadinya proses oksidasi. Proses oksidasi selanjutnya akan mendegradasi asam askorbat yang terkandung dalam buah menjadi asam dehidro- askorbat, sehingga menyebabkan kandungan Vitamin C dalam buah berkurang.

Keterangan : B1 = polipropilen vakum B2 = polipropilen normal B3 = polipropilen lubang B4 = polietilen vakum B5 = polietilen normal B6 = polietilen lubang Gambar 12. Histogram laju perubahan Vitamin C terhadap jenis dan kondisi kemasan

Dari gambar 12. dapat diketahui bahwa perubahan kadar Vitamin C selama penyimpanan tidak disebabkan karena jenis kemasan, tetapi disebabkan karena kondisi kemasan. Berdasarkan hasil uji lanjut perlakuan jenis dan kondisi kemasan dengan metode Duncan, menunjukkan bahwa perlakuan pengemasan buah salak pondoh dalam kemasan polipropilen dan polietilen tidak berbeda signfikan, namun keduanya berbeda signifikan dengan beberapa perlakuan lainnya (Lampiran 6). Kemasan polietilen dan polipropilen lubang memiliki penurunan kandungan Vitamin C tertinggi dibandingkan dengan beberapa perlakuan lainnya pada jenis kemasan yang sama dengan kondisi pengemasan secara vakum dan normal, hal ini dapat terjadi dimungkinkan karena dipengaruhi oleh besarnya tingkat kerusakan dan susut bobot yang terjadi pada tipe pengemasan tersebut. Kondisi pengemasan dengan lubang memiliki tingkat kerusakan dan susut bobot paling tinggi dibandingkan dengan kondisi pengemasan lainnya seperti vakum dan normal (tanpa lubang). Semakin tinggi kerusakan yang terjadi, maka oksidasi Vitamin C akan berlangsung cepat sehingga menyebabkan penurunan kadar Vitamin C yang tajam. Menurut pendapat Niam RK (2009), Vitamin C mudah teroksidasi dan dipercepat oleh panas, alkali, enzim, oksidator, serta katalis tembaga dan besi. Enzim oksidatif akan aktif jika terjadi perubahan sel akibat adanya kerusakan mekanis dan pembusukan ataupun pelayuan. Jika tidak ada enzim, oksidasi Vitamin C masih akan berlangsung namun dalam kecepetan yang lebih lambat.

-0,09 -0,08 -0,07 -0,06 -0,05 -0,04 -0,03 -0,02 -0,01 0 B1 B2 B5 B4 B3 B6 Laju p e r u b ah an V itam in C (m g/ 100 g b ah an /h ar i)

25 Keterangan : A1 = 0% zeolit (kontrol) B1 = Polipropilen vakum B4 = Polietilen vakum

A2 = 5% zeolit B2 = Polipropilen normal B5 =Polietilen normal A3 = 10% zeolit B3 = Polipropilen lubang B6 = Polietilen lubang Gambar 13. Histogram perubahan Vitamin C terhadap dosis dan jenis serta kondisi kemasan

Dari gambar 13. dapat diketahui bahwa penurunan kadar Vitamin C tertinggi dihasilkan oleh seluruh perlakuan pengemasan tanpa menggunakan bahan penyerap (kontrol). Selain itu penurunan kadar Vitamin C tertinggi juga dihasilkan pada penyimpanan buah salak pondoh dalam kondisi kemasan berlubang baik polipropilen mapun polietilen dengan dosis zeolit 5 dan 10%. Penurunan kandungan Vitamin C terendah adalah perlakuan penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polipropilen vakum dengan dosis zeolit 5%. Berdasarkan hasil uji lanjut interaksi jumlah dosis bahan penyerap dengan jenis dan kondisi kemasan dengan metode Duncan, seluruh perlakuan penyimpanan tanpa menggunakan bahan penyerap tidak berbeda secara signifikan antara satu dengan yang lainnya

Dokumen terkait