• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyimpanan Buah Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.) Menggunakan Kemasan Aktif Penyerap Etilen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyimpanan Buah Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.) Menggunakan Kemasan Aktif Penyerap Etilen"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

PENYIMPANAN BUAH SALAK PONDOH (Salacca edulis Reinw.) MENGGUNAKAN KEMASAN AKTIF PENYERAP ETILEN

THE STORAGE OF PONDOH SNAKE FRUITS (Salacca edulis Reinw.) USING ACTIVE PACKAGING WITH ETHYLENE SCAVENGER

Moh. Rosyid*), Indah Yuliasih*), dan Sugiarto*)

*)

Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone : 085258022526, e-mail : wedoes_q@yahoo.com

ABSTRACT

Snake fruits is one of the agricultural commodities that have good prospects for development. Snake fruits is a local fruit comodity wich has some chracteristics : perishable and short shelf life. One of techniques to extend the shelf life of fruits is application of active packaging. Zeolit is one type of absorbent that can be used to inhibit growth rate of ethylene to extend the shelf life of fruit. In this study, snake fruits on plastic package is added by zeolit powder with a doses 5 and 10%. This doses of zeolit is calculated from initial weight of snake fruits. The result showed that zeolit doses 5% has better effect based on damaged level of snake fruts during storage compared to doses 10%. Quality changes during storage of snake fruits. This can be seen from the decrease in snake fruits chemical components. The value of total acids, Vitamin C, and total solid suspended levels desreased from the consecutive 0.67-0.58%, 2.20-1.58 mg/100 g, and 16-11ºBrix. Application packaging of zeolit on snake fruits with increased shelf life until 17 days with 50% level of damage. Organoleptic test result showed up to the 10 days of storage, generally snake fruits are acceptable to the panelists. But on the 20 day of storage, generally snake fruits can’t be acceptable by the panelists.

(2)

Moh. Rosyid. F34080093. Penyimpanan Buah Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.) Di bawah Bimbingan Indah Yuliasih dan Sugiarto. 2012

RINGKASAN

Buah salak pondoh lumut (Salacca edulis Reinw.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan. Buah ini memiliki kekhasan dan keistimewaan tersendiri, yang mungkin lebih baik jika dibandingkan dengan buah salak pondoh varietas lain. Salah satu keistimewaannya yaitu buah salak lumut sebagian besar berbiji tiga, daging buah lebih besar dan tebal serta memiliki rasa yang manis walaupun masih muda. Namun seperti halnya buah salak dan buah-buahan lainnya, buah salak pondoh lumut memiliki umur simpan yang relatif pendek. Buah salak lumut akan mengalami perubahan mutu, kondisi, dan penampakan keseluruhan secara cepat setelah buah tersebut dipanen. Oleh sebab itu diperlukan suatu teknik penanganan pascapanen yang baik agar diperoleh masa simpan yang relatif panjang, serta untuk menjaga mutu buah selama pemasaran.

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan zeolit sebagai bahan penyerap etilen dan menentukan jumlah dosis zeolit yang optimal untuk memperpanjang masa simpan buah salak pondoh dengan teknik kemasan aktif, serta mengetahui perubahan mutu buah salak pondoh yang terjadi selama penyimpanan.

Penelitian yang dilakukan terdiri atas tiga tahapan yakni karakterisasi buah salak pondoh, penentuan dosis zeolit, dan aplikasi penyimpanan buah salak pondoh dengan teknik kemasan aktif. Aplikasi yang dilakukan yaitu zeolit yang dikemas dengan kertas multi polietilen berbentuk sachet dikombinasikan dengan buah salak yang dikemas dalam plastik polipropilen dan polietilen dengan kondisi pengemasan secara vakum, normal (tanpa lubang), dan pengemasan dengan lubang. Parameter yang diamati dilakukan berdasarkan pengujian secara visual dengan melihat besarnya kerusakan dan susut bobot yang terjadi. Sedangkan uji kimiawi berupa total asam, Vitamin C, dan total padatan terlarut, serta pengujian organoleptik. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (Blok) Faktorial. Tingkat kematangan dijadikan sebagai kelompok parameter (blok) dengan tiga taraf (buah salak kematangan 80%, 90%, dan campuran), faktor perlakuan jumlah dosis yang terdiri atas tiga taraf (0, 5, dan 10%), dan faktor perlakuan jenis serta kondisi kemasan yang terdiri dari enam taraf (polipropilen vakum, polipropilen normal, polipropilen lubang, polietilen vakum, polietilen normal, dan polietilen lubang). penyimpanan dilakukan selama 30 hari dengan pengamatan pada hari ke-1, 10, 15, 19, 21, 23, 25 dan 27.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dosis zeolit 5 dan 10% tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara keduanya. Hingga hari ke-17 penyimpanan, penyimpanan buah salak dengan dosis zeolit 0% (tanpa bahan penyerap) kerusakan yang terjadi mencapai 100%, sedangkan perlakuan penyimpanan dengan bahan penyerap dosis 5 dan 10% tingkat kerusakan masih dibawah 50%. Laju kerusakan terendah adalah dosis zeolit 10% dengan laju kerusakan sebesar 0.0432 %kerusakan per hari, diikuti dengan dosis zeolit 5% dengan laju kerusakan sebesar 0.0457 %kerusakan per hari. Laju kerusakan tertinggi adalah perlakuan dosis zeolit 0% dengan laju kerusakan sebesar 7.736 %kerusakan per hari.

(3)

padatan terlarut juga mengalami penurunan dari 16 hingga 11ºBrix, yang disebabkan karena perombakan gula. Sedangkan kandungan total asam menurun dari 0.67 menjadi 0.58% yang disebabkan karena perombakan beberapa asam-asam organik pada saat respirasi.

(4)

1

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Buah-buahan merupakan salah satu produk hayati yang masih bisa melanjutkan proses metabolisme hingga waktu tertentu. Proses metabolisme yang berlangsung pada buah-buahan inilah yang penting untuk diperhatikan, mengingat besarnya nilai ekonomi dari komoditas tersebut, terutama dalam bentuk segarnya sangat tergantung pada proses pengendalian dalam penanganan pascapanennya. Dalam pemasaran contohnya, komoditas pertanian ini diupayakan sampai ke tangan konsumen kondisi bahan dalam keadaan optimum atau sama seperti pada saat komoditas tersebut dipanen. Oleh karena itu, produk tersebut harus dipertahankan agar tetap hidup atau segar agar tidak terjadi perubahan fisik atau kimia yang dapat menimbulkan perubahan drastis pada mutu, kondisi, dan penampakan produk secara keseluruhan.

Buah salak pondoh lumut (Salacca edulis R.) termasuk salah satu komoditas pertanian yang mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan. Buah ini memiliki kekhasan dan keistimewaan tersendiri, yang mungkin lebih baik jika dibandingkan dengan buah salak pondoh varietas lain. Salah satu keistimewaannya yaitu buah salak lumut sebagian besar berbiji tiga, daging buah lebih besar dan tebal serta memiliki rasa yang manis walaupun masih muda. Namun seperti halnya buah salak dan buah-buahan lainnya, buah salak pondoh lumut memiliki umur simpan yang relatif pendek. Buah salak lumut akan mengalami perubahan mutu, kondisi, dan penampakan keseluruhan secara cepat setelah buah tersebut dipanen. Oleh sebab itu diperlukan suatu teknik penanganan pascapanen yang baik agar diperoleh masa simpan yang relatif panjang, serta untuk menjaga mutu buah selama pemasaran.

Gas etilen O2 dan CO2 berperan dalam memacu kematangan buah-buahan. Semakin tinggi

produksi etilen, maka laju respirasi akan semakin cepat dan sebaliknya semakin rendah level etilen maka laju respirasi akan semakin lambat. Gas etilen bersifat autokatalitik, dalam hal ini laju respirasi pada buah-buahan akan dipengaruhi oleh etilen. Dengan kata lain semakin cepat laju respirasi maka produksi etilen akan semakin meningkat (Pantastico,1989). Berdasarkan hal tersebut maka pematangan buah-buahan dapat diperlambat dengan menyerap etilen yang dihasilkan oleh buah, seperti halnya buah salak pondoh. Etilen (C2H4) merupakan senyawa tidak jenuh atau memiliki ikatan

rangkap, berbentuk gas dan dapat digolongkan sebagai hormon tanaman yang aktif dalam proses pematangan.

Etilen memiliki peranan penting dalam pematangan buah. Buah sangat sensitif terhadap kehadiran etilen dan dalam tempat penyimpanan kehadirannya tidaklah diinginkan. Buah salak merupakan salah satu buah yang sensitif terhadap etilen, sebab itu mengontrol konsentrasi etilen dalam tempat penyimpanan buah salak pondoh akan sangat menguntungkan, karena kerusakan buah yang diakibatkan oleh adanya proses respirasi yang dipengaruhi adanya kinerja etilen dapat diperlambat dengan teknik penyimpanan menggunakan kemasan aktif.

Pengemasan aktif (active packaging) adalah kemasan yang dirancang sedemikian rupa sehingga kemasan aktif mampu merubah bahan pangan yang dikemas sehingga memiliki masa simpan lebih panjang, lebih aman, dan memiliki sifat sensori (warna, rasa, aroma, tekstur) yang lebih baik dan lebih memenuhi keinginan konsumen (Ahvenainen, 2003). Salah satu jenis pengemasan aktif adalah dengan memasukkan bahan tambahan ke dalam kemasan untuk mengendalikan komposisi udara di sekitar produk (Day, 2002).

(5)

2 dalam industri kemasan bahan pangan. Keuntungan dari kemasan aktif adalah tidak mahal, ramah lingkungan, mempunyai nilai estetika yang dapat diterima dan sesuai untuk sistem distribusi.

Teknik kemasan aktif pada prinsipnya menggunakan metode adsorpsi dalam aplikasinya. Adsorpsi adalah suatu proses pemisahan dimana komponen dari suatu fase fluida berpindah ke permukaan zat padat yang menyerap. Biasanya partikel-partikel kecil zat penyerap dilepaskan pada adsorpsi kimia merupakan ikatan kuat antara penyerap dan zat yang diserap sehingga tidak akan terjadi proses bolak-balik. Dalam adsorpsi digunkaan istilah adsorbat dan adsorben. Adsorbat adalah substansi yang terjerap, sedangkan adsorben merupakan suatu media penyerap.

Zeolit sebagai salah satu adsorben dapat digunakan sebagai pilihan untuk mengaplikasikan teknik kemasan aktif. Zeolit umumnya didefinisikan sebagai kristal alumina yang berstruktur tiga dimensi, yang terbentuk dari tetrahedral alumina dan silika dengan rongga-rongga di dalam yang berisi ion-ion logam, biasanya alkali atau alkali tanah dan molekul air yang bergerak bebas. Struktur zeolit sejauh ini diketahui bermacam-macam, tetapi secara garis besar strukturnya terbentuk dari bangunan primer, berupa tetrahedral yang kemudian menjadi unit bangun sekunder polihedral dan membentuk polihedra dan akhirnya struktur zeolit. Karena sifat unik zeolit maka zeolit banyak digunkan untuk berbagai aplikasi industri, diantaranya zeolit digunakan di industri minyak bumi sebagai cracking, di indsutri detergen sebagai penukar ion, pelunak air sadah pada industri pemurnian air, serta aplikasi lain (Sunarya, 2009).

Zeolit memiliki kemampuan menyerap dan memisahkan zat berdasarkan ukuran, bentuk, serta polaritasnya sehingga zeolit diharapkan dapat menjadi penyerap yang baik untuk mengaplikasikan penyimpanan dengan teknik kemasan aktif. Penyimpanan buah salak pondoh menggunakan teknik kemasan aktif dengan tambahan zeolit sebagai bahan penyerap etilen yang dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu dingin dan kelembapan tinggi, maka diharapkan perubahan-perubahan mutu dan kondisi serta penampakan keseluruhan buah salak pondoh akibat proses respirasi selama penyimpanan dapat diminimalkan.

B.

TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah

1. Menentukan dosis penggunaan zeolit pada penyimpanan buah salak pondoh.

2. Mengetahui masa simpan buah salak pondoh yang disimpan dengan menggunakan teknik kemasan aktif penyerap etilen.

(6)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

SALAK PONDOH

Buah salak di Indonesia digolongkan menjadi 3 jenis yaitu: salak jawa Salacca zalacca (Gaertner) Voss yang berbiji 2-3 butir, salak Bali Salacca ambonensis (Becc) Mogea yang berbiji 1-2 butir, dan salak Padang Sidempuan Salacca sumatrana (Becc) yang berdaging merah. Salak pondoh lumut Banjarnegara masuk dalam golongan pertama yaitu salak jawa atau Salacca zalacca dengan dominan biji 3 butir. Adapun klasifikasi buah salak adalah :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Palmales

Suku : Palmae

Marga : Salacca

Jenis : Salacca edulis Reinw. (Anarsis, 1996)

Panjang buah salak pondoh berkisar antara 4.46-6.13 cm, diameter 4.28-5.67 cm, dan berat buah berkisar antara 34.79-83.47 g. Variasi panjang, diameter, dan berat buah salak pondoh dipengaruhi oleh kultivar serta letak buah salak pada tandannya (Suter, 1988).

Gambar 1. Buah salak pondoh lumut Banjarnegara

Salak berakar serabut, daerah penyebarannya sempit dan dangkal sehingga akan mudah rusak apabila kekurangan air. Batang tanaman salak tertutup oleh pelepah daun yang susunannya rapat, apabila tanaman tua batang akan mudah bengkok dan mudah rebah apabila terkena angin kencang. Batang salak tumbuh tunas yang bisa dicangkok untuk bibit vegetatif. Panjang pelepah daun 2-3.5 m daun seperti pedang, pelepah berduri panjang, pangkal dan ujung meruncing atau menyempit cembung bersegmen. Tanaman salak tergolong tanaman berumah dua yaitu satu pohon hanya berbunga sejenis bunga jantan dan betina. Satu bunga jantan terdiri dari 4-15 malai dan tiap malai mengandung ribuan serbuk sari, panjang bunga jantan 15-35 cm dan panjang malai 7-15 cm. Bentuk buah bulat dan bulat telur dengan tangkai meruncing kulit buah bersisik tersusun rapi seperti serap, daging buah salak berwarna bermacam-macam tergantung jenisnya. Buah salak mengandung biji 1-3 biji, biji berkeping, satu biji berbentuk bulat dan sisi dalamnya berbentuk sudut (Thahjadi, 1995).

(7)

4 Sedangkan batang salak pondoh tergolong pendek dan hampir tidak kelihatan secara jelas, karena selain ruas-ruasnya padat juga tertutup oleh pelepah daun yang tumbuh memanjang (Hieronymus, 1990).

Dalam satu bunga betina buah salak pondoh terdiri dari 1-3 malai dan tiap malai mengandung 10-30 bakal buah. Sedangkan satu bunga jantan terdiri dari 14-15 malai dan tiap malai mengandung ribuan serbuk sari, panjang bunga jantan mencapai 13-35 cm dan panjang malai 7-15 cm dan bunga jantan mekar antara 2-3 hari saja setelah itu akan layu dan tidak akan berfungsi untuk persarian atau penyerbukan bunga betina (Thahjadi, 1995).

Buah salak pondoh yang sudah siap dipanen dapat ditentukan melalui umur buah atau dengan cara memperhatikan penampakan buah. Umur panen buah salak pondoh adalah 5-6 bulan, sedangkan bila melihat dari penampakan buahnya, salak pondoh yang siap dipanen memiliki warna buah yang bersih dan mengkilap, bila dipegang terasa empuk dan kulitnya tidak keras serta beraroma khas (Anarsis, 1996).

Untuk salak pondoh, panen raya terjadi pada periode November - Januari, masa panen sedang terjadi pada Mei - Juli, masa panen kecil pada periode Februari - April, dan masa istirahat (kosong) terjadi pada periode Agustus - Oktober. Buah yang masih dapat dipanen pada masa istirahat disebut buah slandren (Arief, 2003). Buah salak pondoh sebenarnya dapat dipanen sebelum berumur 5 bulan (umur bunga) karena rasanya sudah manis dan tidak sepat meski masih muda, namun akan diperoleh buah berukuran kecil dan beraroma lemah karena komponen penyusun aroma buah salak belum terbentuk secara optimal.

Panen dilakukan dalam keadaan cuaca kering (tidak hujan) pada pagi hari (pukul 9 - 10 pagi) saat buah sudah tidak berembun. Jika panen dilakukan pada saat terlalu pagi dan buah masih berembun maka buah akan mudah kotor dan bila luka sangat rentan terserang penyakit. Bila panen dilakukan pada siang hari, buah akan mengalami penguapan sehingga susut lebih banyak, sedangkan bila pada sore hari dapat berakibat lamanya waktu menunggu, kecuali harus bekerja pada malam hari (Sabari, 1983).

Buah salak terdiri dari tiga bagian, yaitu kulit buah, daging buah yang diselubungi selaput tipis dan biji. Setiap buah salak pondoh memiliki satu biji, berwarna coklat kehitam-hitaman, keras, dan pada biji terdapat sisi cembung dan sisi datar (Hieronymus, 1990).

Kandungan buah salak pondoh dalam tiap 100 g salak menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1981) disajikan pada Tabel.1.

Tabel 1. Kandungan gizi buah salak pondoh

Kandungan gizi Jumlah

Kalori (kal) 77

Protein (g) 0.40

Karbohidrat (g) 20.90

Kalsium (mg) 28.00

Fosfor (mg) 18.00

Zat Besi (mg) 4.20

Vitamin B (mg) 0.04

Air (g) 78.00

Bagian yang dikonsumsi (%) 50

(8)

5 Kandungan zat kimia yang terdapat pada daging buah salak akan mengalami perubahan dengan semakin menuanya buah. Pada salak pondoh, perubahan kandungan zat gula tertinggi pada umur 5 bulan, yaitu 23.3% sedangkan pada umur 3.5 bulan kandungan gulanya 15.35 (Sabari, 1983).

Menurut Indriani (1990), dari beberapa varietas salak ada yang paling disukai rasanya yaitu salak pondoh yang mempunyai rasio gula paling tinggi yaitu 89.0. Salak pondoh ini mempunyai beberapa keunggulan antara lain : rasanya sangat disukai, tidak perlu tanah yang gembur sebagai media tumbuh dan harga jual buahnya yang sangat tinggi dibanding harga jenis salak lainnya.

Buah salak termasuk bahan pangan yang mudah rusak dan tidak tahan disimpan. Suhardjo et al., (1995) melaporkan bahwa masa simpan salak setelah pengangkutan dengan kendaraan roda empat pada tingkat kerusakan 10% pada suhu ruang adalah 3.9 hari dan pada suhu dingin (100C) 26.1 hari. Sedangkan kualitas salak Bali selama penyimpanan pada suhu ruang dan suhu dingin setelah pengangkutan dengan kereta api dan pesawat terbang berbeda sekali. Pada tingkat kerusakan 10%, masa simpan pada suhu ruang adalah 9.1 hari dan pada suhu dingin (100C) adalah 26.8 hari.

Salak yang disimpan pada suhu dingin pada umumnya memiliki kualitas dan daya tahan simpan yang lebih baik dari pada salak yang disimpan pada suhu ruang. Hal ini disebabkan bahwa pada suhu dingin aktivitas respirasi menurun dan pertumbuhan mikroba peyebab kebusukan dan kerusakan dapat dihambat (Winarno dan Fardiaz, 1980).

B.

PERUBAHAN FIOLOGI PASCA PENEN BUAH SALAK PONDOH

Secara umum buah salak akan mengalami perubahan fisiko-kimia setelah proses pemanenan. Sebagaian besar perubahan yang terjadi berhubungan dengan metabolisme oksidatif, termasuk di dalamnya proses respirasi. Salak pondoh yang disimpan pada suhu dingin dalam kemasan plastik polietilen pada kondisi atmosfir dan suhu 10ºC mempunyai umur simpan 18 hari (Phan et al., 1975).

Kecepatan respirasi dari buah merupakan salah satu indikator yang sangat baik bagi aktivitas jaringan, oleh karena itu respirasi dapat digunakan sebagai petunjuk terhadap potensi umur simpan buah. Kecepatan respirasi yang tinggi umumnya berhubungan dengan umur simpan yang relatif pendek. Bila kecepatan respirasi buah diukur selama periode perkembangan, pematangan, pemasakan dan pelayuannya maka akan diperoleh pola respirasi tinggi untuk buah yang belum matang dan selanjutnya akan menurun sesuai dengan umurnya (Phan et al., 1975).

Gambar 2. Pola respirasi buah-buahan (Phan et al., 1975)

(9)

6 lainnya seperti anggur (12-16 mg CO2/kg/jam), lemon dan jeruk manis (Biale, 1960). Berdasarkan laju

klasifikasi komoditi holtikultura menurut respirasinya, buah salak tergolong buah dengan laju respirasi tinggi (Kader, 1985)

Tabel 2. Laju respirasi komoditi holtikultura

Kelas Kisaran pada 5ºC Komoditi

Rendah 5-10 Apel, jeruk, kentang

Sedang 10-29 Pisang, tomat, kubis

Tinggi 20-40 Alpukat, strawberry,

Sangat tinggi 40-60 Kubis

Tinggi sekali Lebih 60 Asparagus, jamur, jagung manis

Kader (1985)

Beberapa jenis buah-buahan seperti tomat, mangga, pisang dan apel menunjukkan variasi pola respirasi seperti yang tertera pada Tabel 2. Buah-buahan tersebut mengalami peningkatan kecepatan selama respirasi yang diikuti dengan pemasakan buah, keadaan ini disebut respirasi klimakterik dan kelompok buah demikian disebut buah-buahan klimakterik. Kelompok buah-buahan lainnya seperti jeruk, nenas, alpukat, dan stawberry yang tidak menunjukkan respirasi klimakterik disebut buah buahan non klimakterik.

Tolok ukur lain yang penting untuk membedakan buah klimakterik dan non klimakterik adalah reaksinya terhadap pemberian etilen (C2H4). Biale tahun (1960), menunjukkan bahwa buah non

klimakterik hanya akan mengadakan reaksi terhadap etilen pada tingkat mauapun pada kehidupan prapanen dan pascapanen. Sedangkan buah klimakterik hanya akan mengadakan reaksi respirasi bila etilen diberikan pada tingkat praklimakterik, dan tidak lagi peka terhadap etilen setelah permulaan kenaikan klimakterik terlampaui.

C.

ETILEN

Etilen (C2H4) adalah jenis senyawa tidak jenuh atau memiliki ikatan rangkap yang dapat

dihasilkan oleh jaringan tanaman pada waktu-waktu tertentu, dan pada suhu kamar etilen berbentuk gas. Senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan penting dalam proses pertumbuhan tanaman dan pematangan hasil-hasil pertanian (Winarno, 2002).

Menurut Winarno (2002), etilen disebut hormon karena dapat memenuhi persyaratan sebagai hormon yang dihasilkan oleh tanaman, bersifat mobil dalam jaringan tanaman dan merupakan senyawa organik. Pada tahun 1959 diketahui, bahwa etilen tidak hanya berperan dalam proses pematangan saja, tetapi juga berperan dalam mengatur pertumbuhan tanaman. Etilen dihasilkan oleh komoditas yang mengalami pemasakan, komoditas yang terdekomposisi dan beberapa jenis lampu penerang. Etilen dapat mempengaruhi kemasakan komoditas yang berada disekitarnya.

Menurut Ahvenainen (2003), etilen telah lama dikenal sebagai hormon yang dapat mempercepat proses pematangan pada buah dan sayuran. Hormon yang memiliki rumus kimia C2H4

(10)

7 hubungannya dengan laju respirasi. Etilen memacu buah dan sayuran untuk menyerap oksigen lebih banyak dalam proses respirasi sehingga mempercepat proses pematangan. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya etilen, maka buah semakin cepat matang dan tua, yang ditandai dengan adanya perubahan warna, rasa, dan aroma.

Etilen adalah suatu gas tanpa warna dengan sedikit berbau manis. Etilen merupakan suatu hormon yang dihasilkan secara alami oleh tanaman dan merupakan campuran yang paling sederhana yang mempengaruhi proses fisiologi pada tumbuhan. Proses fisiologi pada tumbuhan antara lain warna kulit, susut bobot, penurunan kekerasan, perubahan kadar gula dan lain-lain (Winarno dan Aman, 1981).

Perubahan fisiologi yang terjadi selama proses pematangan adalah terjadinya proses respirasi klimakterik. Etilen mempengaruhi respirasi klimakterik melalui dua cara, yaitu: (1) Etilen mempengaruhi permeabilitas membran, sehingga permeabilitas sel menjadi besar. Hal ini mengakibatkan proses pelunakan sehingga metabolisme respirasi dipercepat, (2) Selama klimakterik kandungan protein meningkat dan diduga etilen lebih merangsang sintesis protein pada saat itu. Protein yang terbentuk akan terlihat dalam proses pematangan dan proses klimakterik akibatnya terjadi peningkatan enzim-enzim respirasi (Wereing dan Phillips, 1970).

Etilen adalah zat yang secara alami berperan sangat penting pada proses fisiologi pascapanen, baik yang bersifat menguntungkan maupun yang merugikan. Etilen berperan dalam mempercepat senesen dan menurunkan umur simpan atau kesegaran buah-buahan, memicu respirasi klimakterik, mempercepat dan menyeragamkan pemasakan (Kader, 1985).

Perlakuan pada buah dengan menggunakan etilen pada konsentrasi yang berbeda akan mempengaruhi proses pematangan buah. Proses pematangan buah sering dihubungkan dengan rangkaian perubahan yang dapat dilihat, yaitu: warna, aroma, konsistensi, dan flavour (rasa dan bau) (Pantastico, 1989). Perpaduan sifat-sifat tersebut akan mendukung buah-buahan enak untuk dimakan. Kecepatan pematangan buah terjadi karena zat tumbuh mendorong pemecahan tepung dan penimbunan gula.

Usaha untuk mengurangi etilen akan mengakibatkan tertundanya kematangan dan mempertahankan kesegaran serta memperpanjang umur simpan (Pantastico, 1989). Pada buah klimaterik respon etilen hanya berpengaruh pada saat fase pre-klimaterik sedangkan pada buah non klimakterik, aktivitas respirasi dan pematangan dapat dipercepat pada semua fase tahap pematangan. Dengan adanya etilen, proses respirasi akan berlangsung cepat dan ikut dalam proses reaksi pemasakan. Semakin matang buah, produksi etilen semakin menurun. Adanya perlakuan tertentu yang dapat mengurangi kandungan etilen disekitar buah dapat memperpanjang umur simpan buah tersebut.

D.

KEMASAN AKTIF

Kemasanaktif adalah kemasan yang dirancang sedemikian rupa sehingga kemasan secara aktif mampu merubah kondisi bahan pangan yang dikemas sehingga memiliki masa simpan lebih panjang, lebih aman dan memiliki sifat sensori (warna, rasa, aroma) yang lebih baik dan memenuhi keinginan konsumen (Ahvenainen, 2003).

Kemasan aktif untuk meningkatkan masa simpan, kualitas, dan keamanan dari makanan dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu : penyerap (adsorbers), sistem pelepasan (releasing system), dan sistem lain (other system). Salah satu contoh adsorber adalah ethylene absorber berbentuk film atau sachet dengan bahan reaksi (reagents) seperti KMnO4, Zeolit, Arang aktif, Silica gel dan lain-lain,

(11)

8 Prinsip penyerapan etilen menurut Ahvenainen (2003), menyatakan bahwa ikatan rangkap etilen membuatnya menjadi komponen yang reaktif sehingga dapat dengan mudah didegradasi. Etilen dapat diserap oleh beberapa substansi seperti arang aktif, alluminoksilikat kristal, silika gel, aluminium oksida dan beberapa bahan keramik seperti cristobalite, batu Oya, dan zeolit.

Menurut Reynold (1982), adsorpsi adalah suatu proses dimana suatu partikel menempel pada suatu permukaan akibat dari adanya perbedaan muatan lemah diantara kedua benda, sehingga akhirnya membentuk suatu lapisan tipis partikel-partikel halus pada permukaan tersebut. Dalam adsorpsi digunakan istilah adsorbat dan adsorben. Adsorbat adalah substansi yang terjerap atau substansi yang akan dipisahkan dari pelarutnya, sedangkan adsorben merupakan suatu media penyerap. Adsorpsi yang terjadi pada permukaan adsorben dibagi dalam dua jenis yaitu:

1. Adsorpsi Fisika

Adsorpsi fisika terjadi karena adanya gaya van der walls dan biasanya adsorpsi ini berlangsung secara bolak-balik. Ketika gaya tarik-menarik molekul antara zat terlarut dengan adsorben lebih besar dari gaya tarik-menarik zat terlarut dengan pelarut, maka zat terlarut akan cenderung teradsorpsi pada permukaan adsorben.

2. Adsorpsi Kimia

Adsorpsi kimia terjadi karena adanya reaksi kimia antara zat padat dengan adsorbat larut dan reaksi ini tidak berlangsung bolak-balik. Interaksi suatu senyawa organik dan permukaan adsorben dapat terjadi melalui tarikan elektrostatis atau pembentukan ikatan kimia yang spesifik misalnya ikatan kovalen. Sifat-sifat molekul organik seperti struktur, gugus fungsional dan sifat hidrofobik berpengaruh pada sifat-sifat adsorpsi.

Terdapat beberapa bahan yang umum digunakan sebagai bahan penyerap gas, diantaranya zeolit, silika gel, dan arang aktif. Ketiga bahan ini dianggap cukup aman jika diletakkan di sekitar buah selama tidak terjadi kontak langsung antara buah dengan bahan penyerap (Reynold, 1982).

Tabel 3. Penyerap etilen komersial yang telah dikembangkan

Manufacturer Country Trademark Scavanger

mechanism

Packaging form

Air repair Products, Inc. USA N/A KMnO4 Sachet/blanket

Ethylene Control, Inc. USA N/A KMnO5 Sachets

Extenda Life System USA N/A KMnO6 Sachets

Sekisui Jushi Japan Neupalon Activated

carbon

Sachets

Honsu Paper Ltd Japan Hatofresh Activated

carbon

Paper/board

Mitsubishi Gas Chemical Co. Ltd

Japan SendoMate Activated carbon

Sachet

Cho Yang Heung San Co. Ltd Korea Orega Activated clays/zeolites

Plastic film

Evert-Fresh Coorporation USA Evert-Fresh Activated zeolites

Plastic film

PEAK fresh Products Ltd Australia PEAK fresh Activated zeolites

Plastic film

Food Science Australia Australia N/A Tetrazine derrivative

Plastic film

(12)

9

E.

BAHAN PENYERAP ETILEN (ZEOLIT)

Zeolit umumnya didefinisikan sebagai kristal alumina silika yang berstruktur tiga dimensi, yang terbentuk dari tetrahedral alumina dan silika dengan rongga-rongga di dalam yang berisi ion-ion logam, biasanya alkali atau alkali tanah dan molekul air yang dapat bergerak bebas. Struktur zeolit sejauh ini diketahui bermacam-macam, tetapi secara garis besar strukturnya terbentuk dari unit bangun primer, berupa tetrahedral yang kemudian menjadi unit bangun sekunder polihedral dan membentuk polihendral sampai akhirnya menjadi unit struktur zeolit. Karena sifat unik dari zeolit, maka zeolit banyak digunakan untuk berbagai aplikasi di industri, diantaranya zeolit digunakan di industri minyak bumi sebagai cracking, di industri deterjen sebagai penukar ion, pelunak air sadah dan di industri pemurnian air, serta berbagai aplikasi lain (Sunarya, 2009).

Zeolit juga ditemukan sebagai bantuan endapan pada bagian tanah jenis basalt dan komposisi kimianya tergantung pada kondisi hidrotermal lingkungan lokal, seperti suhu, tekanan uap air setempat dan komposisi air tanah lokasi kejadiannya. Zeolit sebagai katalis hanya mempengaruhi laju reaksi tanpa mempengaruhi kesetimbangan reaksi karena mampu menaikkan perbedaan lintasan molekuler dari reaksi yang terjadi. Katalis berpori dengan pori-pori yang sangat kecil akan memuat molekul-molekul kecil tetapi mencegah molekul besar masuk. Zeolit dapat menjadi katalis yang shape-selective dengan tingkat transisi selektitas atau dengan pengeluaran reaktan pada dasar diameter molekul. Zeolit mampu menjadi katalis asam dan dapat digunakan sebagai pendukung logam aktif atau sebagai reagen, serta dapat digunakan dalam katalis oksida (Sunarya, 2009).

Menurut Sariman (1993), pada dasarnya zeolit dikategorikan atas dua golongan, yaitu zeolit alam dan zeolit sintetis. Zeolit alam terdapat lubang-lubang batuan lava, batuan sedimen terutama sedimen piroklastik berbutir halus, dan terdapat ±40 jenis. Mineral zeolit di alam ada yang berupa batuan dan ada yang terdapat di antara celah-celah batuan atau antara lapisan batuan. Zeolit sintetis dibuat untuk keperluan khusus dan dapat dibedakan berdasarkan komponen Al dan Si-nya.

Zeolit mempunyai struktur berongga dan biasanya rongga ini diisi oleh air dan kation yang bisa dipertukarkan dan memiliki pori tertentu. Oleh sebab itu zeolit dapat dimanfaatkan sebagai penyaring molekuler, penukar ion, penyerap bahan, dan katalisator. Sifat-sifat tersebut didukung oleh struktur, komposisi kimia dan variasi proses perlakuan awal zeolit tersebut. Kerangka struktur zeolit terdiri dari unit-unit tetrahedral AlO4 dan SiO4 yang sering berhubungan melalui atom O dan didapat struktur

tersebut. Si+4 dan dapat diganti dengan Al+3 dan rumus empiris zeolit menjadi : M2nO.Al2O3.xSiO2.yH2O

M = Kation alkali atau alkali tanah n = Valensi logam alkali

X = Bilangan tertentu (2 – 10) Y = Bilangan tertentu (2 – 7) (Sariman, 1993)

(13)

10

III. METODOLOGI

A.

WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Juli 2012. Penelitian dilaksanakan di Laboratoria Pengemasan, Dasar Ilmu dan Teknologi, Teknologi Kimia, dan Pengawasan Mutu Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA) Institut Pertanian Bogor.

B.

BAHAN DAN ALAT

Bahan baku utama yang digunakan adalah salak pondoh lumut yang berasal dari Kabupaten Banjarnegara-Jawa Tengah, dengan tingkat kematangan 80%, 90%, dan hasil panen tanpa grading (campuran). Buah salak didistribusikan menggunakan kendaraan yang dilengkapi dengan cold storage untuk menjaga kesegaran buah selama transportasi. Bahan lain yang digunakan yaitu zeolit, kemasan kertas berlapis (multi) polietilen, kemasan plastik (polietilen dan polipropilen), dan bahan-bahan kimia sebagai bahan penunjang analisa kimia. Peralatan yang digunakan antara lain adalah ruang penyimpanan (chamber), sealer, timbangan, gunting, mesin penggiling, dan refraktometer serta alat-alat gelas yang digunakan untuk analisa kimia.

C.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri atas dua tahap, penelitian tahap awal dilakukan untuk menentukan kemasan bahan penyerap dan dosis zeolit. Sedangkan penelitian selanjutnya dilakukan untuk mengaplikasikan penggunaan zeolit sebagai bahan penyerap etilen pada penyimpanan buah salak pondoh dengan beberapa jenis perlakuan pengemasan.

1. Penentuan Jumlah Dosis dan Jenis Kemasan Bahan Penyerap

Pemilihan dosis bahan penyerap dilakukan untuk mendapatkan dosis zeolit terbaik dan paling optimal dalam penyimpanan buah salak pondoh dengan menggunakan kemasan aktif. Sedangkan pemilihan kemasan bahan penyerap dilakukan untuk memilih kemasan bahan penyerap terbaik yang sesuai dengan karakteristik zeolit sebagai bahan penyerap yang digunakan dalam penelitian ini.

Kombinasi dosis zeolit yang digunakan adalah 0, 5, 10, dan 15% dengan penyimpanan pada suhu ruang dan suhu dingin (17ºC). Sedangkan kemasan bahan penyerap yang digunakan yaitu kertas saring, kain kasa, dan kertas berlapis polietilen yang dibuat dalam bentuk sachet 7x9 cm. Pengamatan dilakukan selama 15 hari berdasarkan penilaian secara visual terhadap penampakan kemasan, penampakan buah salak secara keseluruhan, dan persentase kerusakan yang terjadi.

2. Karakterisasi Buah Salak Pondoh

(14)

11 Buah salak pondoh dikarakterisasi dengan cara pengujian berdasarkan masing-masing kematangan. Pengujian yang dilakukan antara lain kadar air, kadar serat, total padatan terlarut, Vitamin C, kadar protein, total asam, dan organoleptik. Prosedur-prosedur pengujian disajikan pada Lampiran 1.

3. Penyimpanan Buah Salak Pondoh dengan Kemasan Aktif Penyerap Etilen

Tahap pertama yang dilakukan adalah menghaluskan zeolit dengan menggunakan mesin penggiling untuk memperluas permukaan zeolit sehingga bahan diharapkan dapat menyerap dengan optimal. Selanjutnya butiran zeolit halus dimasukkan kedalam kemasan kertas berlapis polietilen yang dikemas dalam bentuk sachet berukuran 7x9cm. Zeolit yang telah dikemas disimpan di dalam oven (50ºC) untuk mendapatkan kadar air yang stabil, sehingga zeolit dapat menyerap dengan optimal.

Gambar 3. Bahan penyerap etilen dalam sachet (zeolit)

(15)

12 Gambar 4. Proses pengemasan dan penyimpanan buah salak pondoh

D.

RANCANGAN PENELITIAN

Dalam penelitian ini pengujian dilakukan dengan melakukan dua kali ulangan. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisa dalam bentuk laju perubahan yang terjadi pada masing-masing parameter yang diamati selama penyimpanan.

Data laju perubahan parameter yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial (RAK) dengan dua faktor dan dua kali ulangan. Kelompok yang digunakan adalah tingkat kematangan buah salak pondoh yang terdiri atas tiga jenis blok kematangan yaitu kematangan 80% (K1), 90% (K2) dan campuran (K3). Faktor pertama yang digunakan adalah dosis zeolit sebagai bahan penyerap yang terdiri atas tiga taraf yaitu kontrol (A1), dosis terpilih 1 (A2), dan dosis terpilih 2 (A3). Faktor kedua yaitu perlakuan jenis dan kondisi kemasan yang terdiri atas enam taraf yaitu kemasan polipropilen vakum (B1), polipropilen normal atau tanpa lubang (B2), polipropilen lubang (B3), polietilen vakum (B4), polietilen normal atau tanpa lubang (B5), dan polietilen lubang (B6). Jika hasil analisa menunjukkan ada perbedaan yang nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan metode Duncan untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing perlakuan.

Sesuai dengan rancangan yang digunakan maka model matematikanya adalah:

Y

ijkl

= µ + K

i

+ A

j

+ B

k

+ (AB)

jk

+

ε

ijkl

Keterangan:

Yijkl = Respon setiap parameter yang diamati

µ = Nilai rataan umum

Ki = Pengaruh blok tingkat kematangan pada taraf ke-i

Aj = Pengaruh dosis penggunaan zeolit pada taraf ke-j

Bk = Pengaruh perlakuan jenis dan kondisi kemasan pada taraf ke-k

(AB)jk = Pengaruh interaksi dosis penggunaan zeolit pada taraf ke-j dengan perlakuan jenis dan

kondisi kemasan pada taraf ke-k Εijkl = Pengaruh galat percobaan

(16)

13 Gambar 5. Diagram alir penyimpanan buah salak pondoh dengan teknik kemasan aktif

Penimbangan ± 0.5 kg dan pencatatan bobot awal tiap kemasannya

Penambahan zeolit dalam plastik kemasan salak pondoh

Penyimpanan suhu 15-20ºC dan RH 90-99%

Pengamatan

Tingkat kerusakan, susut bobot, total asam, Vitamin C, total padatan

terlarut dan organoleptik Buah salak pondoh

kematangan 80%,

Sortasi Salak busuk

Pengemasan dalam plastik sesuai perlakuan kondisi kemasan

Polipropilen vakum

Polipropilen normal

Polietilen vakum

Polietilen normal Polipropilen

lubang

Polietilen lubang Penimbangan ±

25 g per bungkus

Pengemasan dalam bentuk sachet

Zeolit

(17)

14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

DOSIS DAN KEMASAN BAHAN PENYERAP

Penentuan dosis dilakukan untuk memperoleh dosis zeolit yang paling optimal sebagai bahan penyerap etilen dalam penyimpanan buah salak pondoh menggunakan kemasan aktif. Sedangkan penentuan kemasan bahan penyerap dilakukan untuk mengetahui jenis kemasan bahan penyerap terbaik sesuai dengan karakteristik zeolit.

Tabel 4. Hasil pengamatan penentuan dosis zeolit Dosis zeolit

(%) Hasil pengamatan

0

Mulai timbul kapang pada buah, tekstur daging buah sedikit lembek, warna daging buah kuning kecokelatan, dan terdapat banyak gas di dalam kemasan.

5

Penampakan secara keseluruhan buah baik, tekstur daging buah segar, warna dan bau netral, dan ada sedikit gas di dalam kemasan.

10

Penampakan secara keseluruhan buah baik, tekstur daging buah segar, warna dan bau netral, dan ada sedikit gas di dalam kemasan.

15

Penampakan secara keseluruhan baik, mulai timbul bintik hitam pada daging buah, warna buah kuning kecoklatan, aroma sedikit lebih asam, dan kemasan normal.

Pada Tabel 4. dapat dibandingkan beberapa parameter fisik buah salak pondoh yang disimpan menggunakan kemasan aktif dengan dosis zeolit yang berbeda. Setelah hari ke-7 penyimpanan, buah salak pondoh yang dikemas dengan plastik polietilen dan polipropilen tanpa menggunakan tambahan bahan penyerap mulai timbul kapang pada buah salak yang disimpan. Selain itu, tekstur daging buah sedikit lebih lembek dan kemasan menjadi mengembang akibat adanya tekanan gas yang ada di dalam kemasan. Buah salak pondoh yang disimpan dalam kemasan aktif dosis zeolit 5 dan 10% memiliki hasil yang hampir sama, dimana keadaan buah salak pondoh yang disimpan sama seperti buah salak pada awal penyimpanan dilakukan. Pada dosis bahan penyerap ini, keadaan utuh buah salak masih baik, tekstur daging buah masih segar, warna dan aroma yang dihasilkan juga masih normal yakni warna dan aroma khas salak pondoh. Namun terdapat sedikit gas di dalam kemasannya, sehingga kemasan plastik menjadi sedikit mengembang. Sedangkan buah salak pondoh yang disimpan dalam kemasan aktif dosis zeolit 15%, memiliki penampakan buah salak secara utuh cukup baik, tetapi mulai timbul bintik-bintik hitam di sekitar daging buahnya, selain itu mulai timbula aroma asam pada buah. Berbeda halnya dengan dosis zeolit 5 dan 10%, kemasan aktif dosis zeolit 15% kondisi kemasan cenderung lebih stabil dan tidak mengembang.

(18)

15 Tabel 5. Hasil pengamatan penentuan kemasan bahan penyerap

Kemasan Hasil pengamatan

Kertas saring Tidak dapat dikelim dengan panas (seal), ketersediaan cukup, kurang tahan terhadap air. Kain kasa (mori) Tidak dapat dikelim dengan panas (seal),

ketersediaan cukup, tahan terhadap air.

Kertas berlapis polietilen Dapat dikelim dengan panas (seal), ketersediaan cukup, tahan terhadap air.

Jika dilihat dari pengamatan yang dilakukan berdasarkan pada Tabel 5. maka kertas berlapis polietilen menjadi pilihan yang paling tepat untuk diaplikasikan secara komersial. Selain mudah dalam aplikasinya, karena dapat dikelim dengan panas (seal) kertas berlapis polietilen lebih tahan terhadap air, sehingga kerusakan akibat air yang dihasilkan dari proses respirasi buah dan pengaruh kelempaban pada lingkungan penyimpanan dapat diminimalkan. Kertas saring dan kain mori sebagai kemasan bahan penyerap pada dasarnya memiliki tingkat daya serap yang relatif baik, namun dalam aplikasinya kedua jenis kemasan tersebut memiliki kelemahan yaitu tidak dapat dikelim atau seal sehingga sulit dalam aplikasinya.

Berdasarkan perbandingan yang telah dilakukan pada perlakuan suhu penyimpanan dan dosis bahan penyerap maka diperoleh hasil terbaik adalah penyimpanan suhu dingin dengan dosis zeolit 5 dan 10%. Penyimpanan suhu dingin menjadi pilihan karena salah satu cara untuk menjaga kesegaran buah-buahan adalah penyimpanan pada suhu rendah. Penyimpanan dibawah suhu 15ºC dan diatas titik beku adalah dikenal sebagai penyimpanan dingin (chilled storage). Penyimpanan dingin merupakan salah satu cara untuk menghambat turunnya mutu buah-buahan disamping pengaturan kelembapan dan komposisi udara serta penambahan zat-zat pengawet kimia. Pendinginan juga akan mengurangi kelayuan karena kehilangan air, menurunkan laju reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba pada buah yang disimpan. Selain itu, dengan menggunakan suhu rendah juga akan menghambat atau mencegah reaksi kimia, reaksi enzimatis atau pertumbuhan mikroba (Winarno dan Jenie, 1983). Dosis zeolit 5 dan 10% menjadi pilihan karena keduannya memiliki hasil yang sama baik selama penyimpanan. Sedangkan kemasan bahan penyerap yang dipilih adalah kertas berlapis polietilen karena memiliki ketahanan yang baik dan mudah diaplikasikan. Hasil terbaik yang dipilih pada tahap ini, selanjutnya akan dijadikan taraf perlakuan pada penelitian selanjutnya untuk penyimpanan buah salak pondoh dengan menggunakan teknik kemasan aktif.

B.

KARAKTERISTIK BUAH SALAK PONDOH LUMUT

Buah salak pondoh di Indonesia terdiri dari berbagai macam jenis yang berbeda, baik pada kondisi fisik buah seperti ukuran, warna kulit dan jumlah biji, maupun karakteristik komponen kimia yang ada di dalamnya. Perbedaan jenis dan tingkat kematangan yang ada pada buah salak pondoh akan berpengaruh terhadap masa simpan buahnya.

(19)

16 Tabel 6. Karakteristik buah salak pondoh lumut (dalam 100 g bahan)

Komponen Kematangan (%)

80 90 Campuran

Kadar air (%) 77.05 79.17 78.12

Kadar serat (%) 10.24 7.93 9.09

TPT (oBrix) 15.00 18.00 17.00

Vitamin C (mg/100 g) 2.20 2.40 2.60

Kadar protein (%) 0.50 0.53 0.40

Kadar lemak (%) Organoleptik :

- Kesukaan Panelis (100%) - Warna Kulit

- Warna Daging Buah - Tekstur - Rasa 0.08 100 Cokelat kekuningan Putih kekuningan Getas dan renyah

Manis 0.07 100 Cokelat Kuning Masir Manis 0.08 100 Cokelat kekuningan Kuning Masir Manis

Dari Tabel 6. dapat diketahui bahwa komponen penyusun tertinggi buah salak pondoh lumut adalah air. kadar air tertinggi sebesar 79.17 % adalah buah salak pondoh kematangan 90%, diikuti oleh kematangan campuran sebesar 78.12 % dan kematangan 80% sebesar 77.05 %. Kadar air buah salak pondoh lumut tinggi karena salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah tempat budidaya tanaman tersebut, dimana pada umumnya salak pondoh lumut dibudidayakan di daerah pegunungan. Kandungan kadar air yang tinggi inilah yang membuat ketahanan dan daya simpan buah salak jenis ini sangat rendah. Dalam hal ini, buah salak pondoh kematangan 90% memiliki tingkat ketahanan yang paling rendah dibandingkan dengan kematangan campuran dan 80%. Berbeda dengan kandungan kadar airnya, kandungan serat tertinggi buah salak pondoh lumut dimiliki oleh buah dengan kematangan 80% sebesar 10.24 % yang diikuti oleh kematangan campuran sebesar 9.09 % dan kematangan 90% sebesar 7.93 %. Perbedaan kandungan serat ini dikarenakan perbedaan tekstur buah salak pada masing-masing tingkat kematangan. Buah salak kematangan 80% dan campuran cenderung memiliki tekstur yang renyah dan getas, sedangkan buah salak kematangan 90% tekstur buahnya lebih lembut atau masir. Hasil pengujian nilai total padatan terlarut nilai tertinggi adalah buah salak pondoh kematangan 90% sebesar 18.00 ºBrix, sedangkan kematangan campuran sebesar 17.00ºBrix dan kematangan 80% sebesar 15.00ºBrix. Tinggi rendahnya nilai ºBrix ini berpengaruh pada tingkat kemanisan buah salak pondoh. Dalam hal ini berarti buah salak kematangan 90% memiliki tingkat kemanisan yang paling tinggi dibandingkan dengan kematangan campuran dan 80%.

(20)

17

C.

PERUBAHAN FISIK BUAH SALAK PONDOH

Selama penyimpanan pada umumnya buah-buahan akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimia. Perubahan yang terjadi dapat diakibatkan oleh berbagai macam hal, diantaranya dikarenakan kondisi kemasan dan lingkungan penyimpanan yang kurang mendukung, maupun proses alami yang dilakukan oleh buah-buahan itu sendiri seperti respirasi dan transpirasi. Dalam penyimpanan buah salak pondoh dengan menggunakan teknik kemasan aktif, perubahan-perubahan fisik yang terjadi dapat diketahui dari beberapa parameter pengujian seperti besarnya tingkat kerusakan dan susut bobot yang terjadi selama penyimpanan.

1. Tingkat Kerusakan

Tingkat kerusakan merupakan salah satu parameter uji yang digunkan untuk melihat perubahan yang terjadi selama penyimpanan dengan menghitung besarnya kerusakan yang terjadi. Kerusakan yang terjadi pada bahan pertanian seperti halnya buah salak pondoh bermacam-macam penyebabnya, diantaranya kerusakan yang diakibatkan karena over ripe (lewat matang), kerusakan akibat cendawan, maupun kerusakan fisik dan mekanis seperti kerusakan akibat adanya benturan dan gesekan. Sedangkan yang dimaksud buah rusak adalah apabila buah menunjukkan adanya penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima secara normal oleh panca indera yang dimanifestasikan seperti buah sudah layu, ditumbuhi oleh jamur yang tampak secara visual, menimbulkan bau busuk, daging buah lunak, berair serta tidak layak untuk dikonsumsi. Pada Gambar 6. disajikan histogram yang menunjukkan besarnya tingkat kerusakan buah salak pondoh selama penyimpanan.

Keterangan : A1 = 0% zeolit (kontrol) B1 = Polipropilen vakum B4 = Polietilen vakum A2 = 5% zeolit B2 = Polipropilen normal B5 =Polietilen normal A3 = 10% zeolit B3 = Polipropilen lubang B6 = Polietilen lubang

Gambar 6. Laju perubahan tingkat kerusakan buah salak pondoh selama penyimpanan

Tingkat kerusakan menggambarkan jumlah persentase buah salak pondoh yang mengalami kerusakan selama penyimpanan dalam tiap-tiap hari pengamatan. Berdasarkan histogram pada Gambar 6. Dapat dilihat bahwa kerusakan tertinggi adalah buah salak yang disimpan tanpa menggunakan tambahan zeolit sebagai bahan penyerap etilen (kontrol). Pada hari ke-17 penyimpanan buah salak pondoh yang disimpan tanpa menggunakan tambahan zeolit sebagai bahan penyerap etilen kerusakan yang terjadi telah mencapai 100%. Sedangkan beberapa perlakuan penyimpanan buah salak pondoh lainnya yang disimpan dengan menggunakan teknik kemasan aktif dengan tambahan zeolit sebagai bahan penyerap etilen besarnya kerusakan yang terjadi kurang dari 50% hingga hari ke-17 penyimpanan, dan beberapa perlakuan mampu bertahan hingga hari ke-23 penyimpanan (Lampiran 3).

(21)

18 Tingkat kerusakan terendah untuk buah salak pondoh kematangan 80% adalah penyimpanan dalam kemasan polipropilen dan polietilen normal (tanpa lubang) dosis zeolit 5% dengan laju perubahan 2.001 % kerusakan per hari. Buah salak pondoh kematangan 90% dan campuran tingkat kerusakan terendah adalah penyimpanan dalam kemasan polipropilen normal dosis zeolit 5 dan 10% dengan laju perubahan masing-masing sebesar 2.931 dan 3.022 % kerusakan per hari.

Gambar 7. Kerusakan buah salak pondoh selama penyimpanan (hari ke-21 penyimpanan)

Hasil uji statistik pada selang kepercayaan 95% (α=0.05) perlakuan dosis bahan penyerap

berpengaruh nyata terhadap tingkat kerusakan yang terjadi selama penyimpanan, sedangkan jenis dan kondisi kemasan serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kerusakan yang terjadi (Lampiran 3). Berdasarkan hasil uji lanjut dengan metode Duncan, perlakuan A1 dengan laju prubahan sebesar 7.7363 % keruakan per hari yaitu penyimpanan buah salak pondoh tanpa menggunakan bahan penyerap (kontrol) berbeda signifikan terhadap perlakuan A2 dan A3 yaitu penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan aktif dosis zeolit 5 dan 10% (Lampiran 3). Dosis zeolit 5 dan 10% tidak berbeda secara signifikan, dengan laju perubahan masing-masing sebesar 0.04576 dan 0.04325 % kerusakan per hari. Hal ini menunjukkan bahwa zeolit mampu menenakan laju etilen yang dihasilkan oleh buah selama penyimpanan berlangsung. Etilen merupakan suatu gas yang dihasilakan oleh buah-buahan diamana etilen bertindak sebagai hormon dalam tanaman yang memiliki efek fisiologi yang berbeda-beda pada buah dan sayuran segar. Etilen dapat mempercepat respirasi yang mengarah pada pematangan dan penuaan banyak jenis buah (Ahvenainen, 2003). Dengan adanya etilen maka pematangan buah akan semakin cepat, sehingga kerusakan buah yang banyak diakibatkan oleh buah yang kelewat matang (over ripe) selama penyimpanan akan semakin besar. Cara yang paling umum dan efektif untuk mengurangi jumlah laju etilen yaitu menggunakan bahan penyerap etilen, salah satu bahan yang dapat digunakan adalah zeolit. Dengan struktur tiga dimensi yang terbentuk dari tetrahedral alumina dan silika dengan rongga-rongga yang berisi ion logam maka zeolit dapat digunakan sebagai bahan yang efektif untuk menekan laju etilen yang dihasilkan buah, sehingga penuaan dini atau kerusakan yang diakibatkan karena over ripe dapat diminimalkan.

2. Susut Bobot

(22)

19 berlangsungnya waktu penyimpanan. Laju peningkatan susut bobot penyimpanan buah salak pondoh disajikan pada Gambar 8.

Keterangan : A1 = 0% zeolit (kontrol) B1 = Polipropilen vakum B4 = Polietilen vakum A2 = 5% zeolit B2 = Polipropilen normal B5 =Polietilen normal A3 = 10% zeolit B3 = Polipropilen lubang B6 = Polietilen lubang

Gambar 8. Laju perubahan susut bobot buah salak pondoh selama penyimpanan

Dari Gambar 8. secara umum dapat diketahui peningkatan susut bobot buah salak pondoh yang disimpan tanpa menggunakan bahan penyerap (kontrol), lebih tinggi dibandingkan dengan buah salak pondoh yang disimpan dalam kemasan aktif penyerap etilen. Buah salak pondoh kematangan 80% yang disimpan dalam kemasan polipropilen normal dosis zeolit 10% memiliki susut bobot paling rendah dibandingkan buah salak pondoh kematangan 80% dengan perlakuan yang lain, dengan laju perubahan sebesar 0.0024 % susut bobot per hari. Buah salak kematangan 90% susut bobot terendah yaitu penyimpanan buah salak dalam kemasan polipropilen vakum dosis zeolit 5% dengan laju perubahan sebesar 0.0030 % susut bobot per hari. Sedangkan buah salak kematangan campuran susut bobot terendah adalah penyimpanan dalam kemasan polietilen vakum dosis zeolit 5 dan 10% dengan laju perubahan sebesar 0.0050 % susut bobot per hari.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan dosis bahan penyerap serta jenis dan kondisi kemasan berpengaruh nyata terhadap susut bobot yang terjadi selama penyimpanan, namun hasil interaksi diantara keduanya tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap perubahan susut bobot yang terjadi (Lampiran 4). Uji lanjut dosis bahan penyerap dengan metode Duncan menunjukkan bahwa perlakuan A1 dengan laju perubahan sebesar 0.0373 % susut bobot per hari yaitu penyimpanan buah salak pondoh tanpa bahan penyerap (kontrol) berbeda signifikan dengan perlakuan A3 dan A2 yaitu penyimpanan buah salak pondoh dengan dosis zeolit 10 dan 5%. Hal ini dapat terjadi diduga karena adanya perbedaan fungsi kemasan yang digunakan. Dimana dalam penyimpanan dengan teknik kemasan aktif, kemasan dikombinasikan dengan zeolit yang dapat aktif menyerap etilen yang dihasilkan buah sehingga susut bobot yang terjadi selama penyimpanan dapat ditekan seminimal mungkin. Sedangkan untuk perlakuan dosis bahan penyerap keduanya tidak berbeda signifikan antara dosis zeolit 10 dan 5% dengan laju perubahan masing-masing sebesar 0.0086 dan 0.0057 % susut bobot per hari (Lampiran 4). Menurut pendapat Wills (1981), selama penyimpanan buah akan mengalami proses repirasi dan transpirasi, sehingga senyawa-senyawa kompleks yang terdapat di dalam sel seperti karbohidrat dipecah menjadi molekul-molekul sederhana seperti karbondioksida dan air yang mudah menguap. Dari peristiwa inilah, peningkatan susut bobot buah-buahan selama

(23)

20 penyimpanan terjadi. Zeolit sebagai bahan penyerap etilen mampu mengurangi laju produksi etilen yang dihasilkan buah, sehingga proses respirasi yang juga dipengaruhi oleh kerja etilen dapat dihambat. Oleh karena itu, buah salak pondoh yang disimpan menggunakan kemasan aktif penyerap etilen memiliki susut bobot lebih rendah dibandingkan dengan penyimpanan buah salak pondoh tanpa menggunakan bahan penyerap etilen.

Hasil uji lanjut jenis dan kondisi kemasan dengan metode Duncan menunjukkkan bahwa perubahan susut bobot tertinggi adalah perlakuan B3 yaitu kemasan polipropilen lubang dengan laju perubahan sebesar 0.021 % susut bobot per hari. Kemasan ini tidak berbeda secara signifikan dengan perlakuan B4 dan B1 yaitu kemasan polietilen vakum dan polietilen lubang dengan laju perubahan masing-masing sebesar 0.018 dan 0.016 % susut bobot per hari. Hal ini dapat terjadi dimungkinkan karena dalam kemasan berlubang sering terjadi kontaminasi dari lingkungan luar tempat penyimpanan ke dalam kemasan melalui lubang yang ada dalam kemasan. Sehingga selama penyimpanan berlangsung, buah salak yang disimpan sering mengalami kerusakan mikrobilogi yang diakibatkan oleh adanya cendawan atau jamur. Kerusakan yang terjadi akibat mikroorganisme inilah yang menyebabkan tingginya peningkatan susut bobot yang terjadi. Sedangkan susut bobot terendah adalah perlakuan B2 yaitu kemasan polipropilen normal dengan laju perubahan sebesar 0.015 % susut bobot per hari. Jenis kemasan ini berbeda secara signifikan dengan perlakuan B3, B4, dan B1 namun tidak berbeda secara signifikan dengan perlakuan B5 dan B6 yaitu kemasan polietilen normal dan lubang (Lampiran 4). Kemasan polipropilen normal memiliki perubahan susut bobot terendah diduga karena selain kemasan polipropilen memiliki permeabilitas yang baik, dalam kemasan normal atau tanpa lubang tidak ada celah bagi mikroorganisme untuk masuk ke dalam kemasan sehingga kerusakan mikrobiologi yang diakibatkan oleh mikroorganisme seperti kapang dan jamur dapat diminimalkan. Pada umumnya kemasan vakum dipilih karena pengemasan secara vakum merupakan salah satu pengemasan dengan atmosfer modifikasi untuk memperpanjang masa simpan buah dan sayuran. Namun dalam penyimpanan buah salak, kemasan vakum tidak dapat berfungsi dengan baik karena dalam aplikasinya banyak kemasan yang bocor atau lepas vakum. Hal ini dikarenakan kemasan sering rusak akibat gesekan dengan kulit buah salak yang kasar dan sedikit berduri. Oleh karena itu perlakuan kemasan vakum dalam penyimpanan buah salak susut bobot yang terjadi lebih tinggi dibandingkan dengan kemasan normal (tanpa lubang).

D.

PERUBAHAN KIMIA BUAH SALAK PONDOH

1. Total Asam

Kandungan asam pada buah merupakan salah satu parameter dalam penentuan cita rasa. Menurut Suter (1988), berdasarkan hasil pemisahan kromatografi gas dapat diidentifikasi 4 jenis asam organik pada buah salak yaitu asam sitrat, asam suksinat, asam malat dan asam adipat. Selama penyimpanan berlangsung kandungan total asam buah salak pondoh cenderung mengalami penurunan. Secara keseluruhan hasil analisa perubahan total asam penyimpanan buah salak pondoh disajikan dalam Lampiran 5.

(24)

21 penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polipropilen lubang zeolit 10% dengan laju penurunan sebesar 0.076 mg/ 100 g bahan per hari dan penurunan terendahnya adalah kemasan polietilen normal tanpa lubang dosis zeolit 10% dengan laju penurunan sebesar 0.017 mg/100 g bahan per hari. Adapun untuk buah salak pondoh kematangan campuran, penurunan total asam tertinggi dengan laju penurunan sebesar 0.022 mg/100 g bahan per hari adalah penyimpanan buah slaak pondoh dalam kemasan polietilen lubang dosis zeolit 5%, sedangkan penurunan terendahnya dengan laju penurunan sebesar 0.005 mg/100 g bahan per hari adalah penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polipropilen vakum dosis zeolit 10%.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan jumlah dosis bahan penyerap serta jenis dan kondisi kemasan berpengaruh nyata terhadap perubahan total asam selama penyimpanan, sedangkan interaksi antara keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadapa perubahan total asam yang terjadi (Lampiran 5).

Keterangan : A1 = zeolit 0% (kontrol) A2= zeolit 5% A3= zeolit 10%

Gambar 9. Histogram laju perubahan total asam terhadap dosis bahan penyerap

Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Gambar 9. laju perubahan perlakuan kontrol sebesar -0.0076 mg/100 g bahan per hari lebih rendah diabandingkan dengan perlakuan dosis zeolit 10 dan 5% sebesar -0.0194 dan -0.0210 mg/100 g bahan per hari. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 5), maka perlakuan dosis bahan penyerap menunjukkan bahwa dosis 5 dan 10% bahan penyerap tidak berbeda secara signifikan antara satu dengan yang lainnya, namun keduanya berbeda signifikan dengan perlakuan penyimpanan tanpa bahan penyerap (kontrol). Hal ini dapat terjadi dimungkinkan karena pada akhir penyimpanan, beberapa perlakuan penyimpanan tanpa menggunakan bahan penyerap mengalami kenaikan total asam yaitu beberapa perlakuan pada tingkat kematangan campuran. Sedangkan pada perlakuan penyimpanan menggunakan bahan penyerap baik 5 dan 10% keduannya mengalami penurunan kandungan asam pada seluruh perlakuan disemua tingkat kematangan. Pada umumnya selama penyimpanan buah-buahan mengalami penurunan kandungan asam, hal ini dikarenakan sebagian besar kandungan asam pada buah akan digunakan dalam kegiatan repirasi untuk menghasilkan energi yang dapat digunakan sebagai media mempertahankan hidup hingga buah mengalami kebusukan. Hal ini sesuai dengan pendapat suter (1998), dimana selama penyimpanan kandungan asam pada buah salak akan menurun yang diakibatkan karena adanya penurunan asam sitrat yang diubah menjadi senyawa lain atau sebagai substrat untuk respirasi dalam siklus krebs. Sedangkan kenaikan total asam yang terjadi ini dapat diakibatkan oleh adanya pembentukan asam sitrat pada saat respirasi. Pada saat respirasi berlangsung akan terjadi pemecahan

-0,025 -0,02 -0,015 -0,01 -0,005 0

A1 A2 A3

(25)

22 polisakarida menjadi gula kemudian oksidasi gula menjadi menjadi asam piruvat dan setelah itu transformasi asam piruvat dan asam-asam organik lainnya secara aerobik menjadi CO2, air, dan

energi. Asam sitrat dapat dibentuk dari asam piruvat karena asam sitrat merupakan salah satu asam organik yang dibentuk pada siklus krebs (Phan et al., 1986).

Keterangan : B1 = polipropilen vakum B2 = polipropilen normal B3 = polipropilen lubang B4 = polietilen vakum B5 = polietilen normal B6 = polietilen lubang

Gambar 10. Histogram laju perubahan total asam terhadap jenis dan kondisi kemasan

Gambar 10. menunjukkan bahwa perubahan total asam tidak dipengaruhi oleh jenis kemasan, namun perubahannya lebih cenderung dipengaruhi oleh kondisi kemasan. Kondisi kemasan berlubang baik pada jenis kemasan polipropilen maupun polietilen menunjukkan penurunan total asam tertinggi. Berdasarkan uji lanjut dengan metode Duncan (Lampiran 5), perlakuan jenis dan kondisi kemasan menunjukkan bahwa penurunan kandungan asam terendah adalah perlakuan penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polipropilen vakum dengan laju perubahan sebesar -0.0102 mg/100 g bahan per hari dan jenis kemasan ini tidak berbeda dengan perlakuan penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polipropilen normal, polietilen normal, dan polietilen vakum. Namun beberapa jenis dan kondisi perlakuan penyimpanan menggunakan tipe kemasan tersebut semuanya berbeda signifikan dengan perlakuan penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polipropilen dan polietilen lubang. Hal ini dapat terjadi diduga karena adanya perubahan yang dipengaruhi oleh proses respirasi dan besarnya laju kerusakan yang terjadi selama penyimpanan. Pada kondisi normal buah salak mengandung asam, namun dalam jumlah yang sedikit. Selama penyimpanan buah akan mengalami kegiatan alami yakni metabolisme, termasuk di dalamnya adalah proses respirasi. Selama proses respirasi berlangsung asam yang terkandung dalam buah akan dipecah menjadi rantai pendek yang bersifat volatil sehingga secara tidak langsung kandungan asam akan menurun. Dalam kemasan berlubang kegiatan respirasi lebih besar terjadi dibandingkan pada kemasan vakum dan kemasan normal, hal ini dapat diketahui dari besarnya tingkat kerusakan yang terjadi pada kemasan berlubang baik polipropilen maupun polietilen. Semakin cepat kegiatan respirasi berlangsung, maka semakin banyak jumlah kandungan asam yang akan dirombak untuk menghasilkan energi yang digunakan buah-buahan mempertahankan hidup hingga buah mengalami kebusukan.

2. Vitamin C

Nilai Vitamin C menunjukkan banyaknya mg asam askorbat dalam 100 g bahan berupa salak pondoh. Kandungan Vitamin C salak pondoh diawal penyimpanan sebesar 2.20 mg /100 gram buah

-0,03 -0,025 -0,02 -0,015 -0,01 -0,005 0

B1 B2 B3 B4 B5 B6

(26)

23 untuk buah salak kematangan 80%, 2.240 mg/100 gram buah untuk buah salak kematangan 90%, dan 2.60 mg/100 gram buah untuk buah salak kematangan campuran. Pada umumnya akan terjadi penurunan kadar Vitamin C dalam penyimpanan buah-buahan. Dalam penyimpanan salak pondoh ini selama penyimpanan juga terjadi penurunan kadar Vitamin C baik pada buah salak pondoh tingkat kematangan 80%, 90% maupun campuran.

Buah salak pondoh kematangan 80%, penurunan kadar vitamin C paling tinggi adalah penyimpanan dalam kemasan polietilen lubang dosis zeolit 5% dengan nilai laju penurunan sebesar 0.062 mg/100 g bahan per hari. Dan nilai penurunan kadar Vitamin C terendah adalah penyimpanan buah salak dalam kemasan polietilen vakum dosis zeolit 10% dengan nilai laju penurunan sebesar 0.005 mg/100 g bahan per hari. Buah salak pondoh kematangan 90%, penurunan kadar Vitamin C tertinggi adalah penyimpanan dalam kemasan polipropilen vakum tanpa menggunakan bahan penyerap (kontrol) dengan nilai laju penurunan sebesar 0.119 mg/100 g bahan per hari. Sedangkan nilai penurunan kadar Vitamin C terendahnya adalah buah salak pondoh yang dikemas dalam kemasan polietilen vakum dosis zeolit 10% dengan nilai laju penurunan sebesar 0.001 mg/100 g bahan per hari. Buah salak pondoh kematangan campuran menunjukkan bahwa penurunan kadar Vitamin C tertinggi dengan nilai laju penurunan sebesar 0.123 mg/100 g bahan per hari adalah buah salak yang disimpan dalam kemasan polietilen lubang dosis zeolit 5%. Sedangkan laju penurunan terendahnya dengan nilai laju penurunan sebesar 0.042 mg/100 g bahan per hari adalah buah salak yang dikemas dalam kemasan polipropilen normal dosis zeolit 5%.

Berdasarkan hasil uji statistik pada tingkat kepercayaan 95% (α=0.05) menunjukkan bahwa

seluruh perlakuan yang diberikan baik dosis bahan penyerap, jenis dan kondisi kemasan, maupun interaksi antara keduanya semua berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar Vitamin C selama penyimpanan (Lampiran 6).

Keterangan : A1 = zeolit 0% (kontrol) A2= zeolit 5% A3= zeolit 10%

Gambar 11. Histogram laju perubahan Vitamin C terhadap dosis bahan penyerap

Dari Gambar 11. dapat diketahui penurunan kadar Vitamin C tertinggi terdapat pada perlakuan A1 yaitu penyimpanan buah salak pondoh tanpa menggunakan bahan penyerap (kontrol) yaitu sebesar -0.0743 mg/100g bahan per hari. Selanjutnya disusul oleh perlakuan A2 dan A1 yaitu perlakuan penyimpanan buah salak pondoh dengan dosis zeolit 10% dan 5%, dengan nilai laju penurunan masing-masing perlakuan adalah -0.01170 dan -0.1620 mg/100 g bahan per hari. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan, menunjukkan bahwa perlakuan jumlah dosis yang diberikan, berbeda siginifikan antara satu perlakuan dengan perlakuan lainnya. Baik perlakuan dosis zeolit 0% (kontrol),

-0,18 -0,16 -0,14 -0,12 -0,1 -0,08 -0,06 -0,04 -0,02 0

A3 A2 A1

(27)

24 dosis zeolit 5%, maupun dosis zeolit 10% (Lampiran 6). Perlakuan buah salak pondoh yang disimpan tanpa menggunakan bahan penyerap (dosis 0%), memiliki penurunan kandar Vitamin C paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan penyimpanan dengan menggunakan bahan penyerap. Hal ini dapat terjadi diduga karena ada kaitannya dengan besarnya laju kerusakan yang terjadi selama penyimpanan. Selama penyimpanan, buah salak pondoh yang disimpan cenderung mengalami penurunan kadar Vitamin C yang bisa diakibatkan karena adanya proses oksidasi pada saat buah mengalami kerusakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Smith (1963), dimana saat penyimpanan berlangsung kerusakan yang terjadi dapat mengakibatkan terjadinya proses oksidasi. Proses oksidasi selanjutnya akan mendegradasi asam askorbat yang terkandung dalam buah menjadi asam dehidro-askorbat, sehingga menyebabkan kandungan Vitamin C dalam buah berkurang.

Keterangan : B1 = polipropilen vakum B2 = polipropilen normal B3 = polipropilen lubang B4 = polietilen vakum B5 = polietilen normal B6 = polietilen lubang

Gambar 12. Histogram laju perubahan Vitamin C terhadap jenis dan kondisi kemasan

Dari gambar 12. dapat diketahui bahwa perubahan kadar Vitamin C selama penyimpanan tidak disebabkan karena jenis kemasan, tetapi disebabkan karena kondisi kemasan. Berdasarkan hasil uji lanjut perlakuan jenis dan kondisi kemasan dengan metode Duncan, menunjukkan bahwa perlakuan pengemasan buah salak pondoh dalam kemasan polipropilen dan polietilen tidak berbeda signfikan, namun keduanya berbeda signifikan dengan beberapa perlakuan lainnya (Lampiran 6). Kemasan polietilen dan polipropilen lubang memiliki penurunan kandungan Vitamin C tertinggi dibandingkan dengan beberapa perlakuan lainnya pada jenis kemasan yang sama dengan kondisi pengemasan secara vakum dan normal, hal ini dapat terjadi dimungkinkan karena dipengaruhi oleh besarnya tingkat kerusakan dan susut bobot yang terjadi pada tipe pengemasan tersebut. Kondisi pengemasan dengan lubang memiliki tingkat kerusakan dan susut bobot paling tinggi dibandingkan dengan kondisi pengemasan lainnya seperti vakum dan normal (tanpa lubang). Semakin tinggi kerusakan yang terjadi, maka oksidasi Vitamin C akan berlangsung cepat sehingga menyebabkan penurunan kadar Vitamin C yang tajam. Menurut pendapat Niam RK (2009), Vitamin C mudah teroksidasi dan dipercepat oleh panas, alkali, enzim, oksidator, serta katalis tembaga dan besi. Enzim oksidatif akan aktif jika terjadi perubahan sel akibat adanya kerusakan mekanis dan pembusukan ataupun pelayuan. Jika tidak ada enzim, oksidasi Vitamin C masih akan berlangsung namun dalam kecepetan yang lebih lambat.

-0,09 -0,08 -0,07 -0,06 -0,05 -0,04 -0,03 -0,02 -0,01 0

B1 B2 B5 B4 B3 B6

(28)

25 Keterangan : A1 = 0% zeolit (kontrol) B1 = Polipropilen vakum B4 = Polietilen vakum

A2 = 5% zeolit B2 = Polipropilen normal B5 =Polietilen normal A3 = 10% zeolit B3 = Polipropilen lubang B6 = Polietilen lubang

Gambar 13. Histogram perubahan Vitamin C terhadap dosis dan jenis serta kondisi kemasan

Dari gambar 13. dapat diketahui bahwa penurunan kadar Vitamin C tertinggi dihasilkan oleh seluruh perlakuan pengemasan tanpa menggunakan bahan penyerap (kontrol). Selain itu penurunan kadar Vitamin C tertinggi juga dihasilkan pada penyimpanan buah salak pondoh dalam kondisi kemasan berlubang baik polipropilen mapun polietilen dengan dosis zeolit 5 dan 10%. Penurunan kandungan Vitamin C terendah adalah perlakuan penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polipropilen vakum dengan dosis zeolit 5%. Berdasarkan hasil uji lanjut interaksi jumlah dosis bahan penyerap dengan jenis dan kondisi kemasan dengan metode Duncan, seluruh perlakuan penyimpanan tanpa menggunakan bahan penyerap tidak berbeda secara signifikan antara satu dengan yang lainnya dan seluruhnya berbeda signifikan dengan perlakuan lain yang menggunakan bahan penyerap.

Berdasarkan Gambar 13. Interaksi antara jumlah dosis bahan penyerap dengan jenis dan kondisi kemasan ada beberapa perlakuan yang mengalami kenaikan kadar Vitamin C pada akhir penyimpanan. Pristiwa ini dapat terjadi karena dalam beberapa kondisi, asam askorbat dapat terbentuk dari substrat hasil proses respirasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Phan et al., (1986) dimana banyak senyawa-senyawa penting disintesis dari hasil-hasil daur glikolitik dan daur krebs pada proses respirasi. Glukosa-6-PO4 yang dihasilkan dari pemecahan polisakarida dapat berperan sebagai substrat dalam pembentukan asam askorbat.

3. Total Padatan Terlarut

Total padatan terlarut terdiri atas komponen yang larut dalam air seperti glukosa, fruktosa, sukrosa dan protein yang larut dalam air. Total padatan terlarut menunjukkan kadar gula yang terkandung pada buah. Semakin tinggi nilai total padatan terlarut maka semakin besar pula kadar kemanisan buah. Analisis mengenai total padatan terlarut disajikan pada Lampiran 7.

Buah salak pondoh kematangan 80%, penurunan total padatan terlarut tertinggi yaitu buah salak pondoh yang disimpan dalam kemasan polipropilen vakum dosis zeolit 0% (kontrol) dengan nilai laju penurunan sebesar 0.115 ºBrix per hari, sedangkan penurunan terendahnya adalah penyimpanan dalam kemasan polipropilen vakum dosis zeolit 10% dengan nilai laju penurunan sebesar 0.010 ºBrix per hari. Selanjutnya untuk buah salak pondoh kematangan 90%, penurunan total padatan terlarut tertinggi adalah penyimpanan buah salak pondoh dalam kemasan polietilen lubang dosis zeolit 10% dengan nilai laju penurunan sebesar 0.350 ºBrix per hari, sedangkan penurunan terendahnya adalah penyimpanan dalam kemasan polipropilen lubang dosis zeolit 10% dengan nilai

(29)

Gambar

Gambar 15. Histogram tingkat kesukaan tekstur buah salak pondoh tingkat kematangan 80%
Gambar 17. Histogram tingkat kesukaan tekstur buah salak pondoh kematangan campuran
Gambar 18. Histogram tingkat kesukaan aroma buah salak pondoh kematangan 80%
Gambar 20. Histogram tingkat kesukaan aroma buah salak pondoh kematangan campuran.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) laju respirasi cenderung fluktuatif pada penyimpanan suhu dingin dibandingkan pada suhu ruang, (2) nilai TPT dari kedua perlakuan suhu tidak

(1986) produk hortikultura dianggap tidak layak untuk dipasarkan ketika susut bobot telah mencapai 5-10% sehingga susut bobot yang tinggi pada salak pondoh yang disimpan

Telah dilakukan penelitian mengenai Dosis Efektif Antidiare Sari Buah Salak Pondoh (Zallaca edulis Reinw) Pada Mencit Dengan Metode Proteksi Oleh Oleum Ricini.. Sampel yang

Semakin panjang pola saluran pemasaran akan berpengaruh pada harga jual dari salak pondoh tersebut, maka akan semakin besar pula biaya yang dikeluarkan

Pada Tabel 3 tekstur tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap perlakuan jenis penggunaan kemasan selama penyimpanan buah.. Buah salak yang baru dipetik

Pada Tabel 3 tekstur tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap perlakuan jenis penggunaan kemasan selama penyimpanan buah.. Buah salak yang baru dipetik menunjukkan

Karakter salak pondoh jika dilihat pada berbagai jenis salak menunjukkan bahwa warna, ketebalan, tekstur, dan kadar gula total daging buah tidak berbeda

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifi- kasi jenis-jenis kapang yang terdapat dalam manisan buah salak, serta mengetahui pengaruh kadar gula, waktu penyimpanan dan penambahan