• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kemasan dan Suhu Penyimpanan terhadap Mutu Buah Salak Pondoh (Salacca edulis R) setelah Transportasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kemasan dan Suhu Penyimpanan terhadap Mutu Buah Salak Pondoh (Salacca edulis R) setelah Transportasi"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

2

INFLUENCE PACKAGING AND STORAGE TEMPERATURE TO QUALITY

OF PONDOH SNAKE FRUIT (

Salacca edulis

R

)

AFTER TRANSPORTATION

Ilah Fadilah

Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, Bogor, West Java,

Indonesia.

e0mail: ilfa_deal@yahoo.com

ABSTRACT

Snake fruit is Indonesia original fruit which has the potential to be developed become export commodity. The problems which there is the packs still traditional, so be needed study about using packs which many used to export market, such as cardboard boxes and plastic buckets. The general purpose this research is to inspect using plastic buckets, cardboard boxes and bamboo baskets for snake fruit distribution. At the beginning of the research, all of the packs have done a transport of simulation on the vibrating table. Then, the packaged was stored at room temperature and 10° C. During storage carried out an observation of mechanical damage, physiological damage, hardness, weights shrinkage, water content, total of dissolved solids, and organoleptic tests. After the simulation of transportation, mechanical damage that occurs is 0% (plastic baskets), 0% (cardboard boxes), and 3.44% (bamboo basket). The results also indicate that changes of the quality that occur in the fruits is hardness and total of dissolved solids are decreased while weights shrinkage and water content have increased. Overall, physiological damage up to 10 days at room temperature is 64.31% (plastic buckets), 68.99% (cardboard box), and 71.08% (bamboo basket), while the physiological damage up to 20 days at 10° C is 39.58% (plastic buckets), 25.26% (cardboard box), and 29.87% (bamboo basket). In organoleptic test showed that of all the parameters tend to decrease, except the fruit taste has increased at room temperature. Based on this research can be concluded that the packaging is good for the quality of snake fruits is cardboard box with the temperature is 10° C.

(2)

1

I. PE DAHULUA

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara penghasil komoditas hortikultura yang potensial, salah satunya buah0buahan sebagai komoditas pertanian yang memiliki potensi tinggi baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun permintaan luar negeri. Perkembangan tersebut juga diikuti dengan peningkatan pendapatan perkapita dari permintaan terhadap buah0buahan. Hal ini terlihat bahwa peningkatan konsumsi perkapita dari 26.52 kg pada tahun 1988 menjadi 27.40 kg pada tahun 1992 dan 30 kg pada tahun 1995 (Winarno 1995). Sedangkan berdasarkan Ditjen Pertanian Tanaman Pangan (1992) di dalam (Satuhu 2004), produksi buah salak mengalami peningkatan selama kurun waktu 10 tahun yaitu 56,858 ton pada tahun 1981 menjadi 160,782 ton pada tahun 1990.

Permintaan buah tahun 2010 diperkirakan mencapai 14 juta ton dan pada tahun 2015 diperkirakan menjadi 20 juta ton, sedangkan produksi buah nasional hanya berkisar sekitar 7 juta ton. Usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsi buah0buahan, pada tahun 1999 dilakukan impor buah sebanyak 83,000 ton dan tahun 2000 sebanyak 235,000 ton dengan nilai sekitar US$ 46 juta pada tahun 1999 dan US$ 136 juta pada tahun 2000 (Pusat Promosi dan Informasi Tanaman Pangan dan Hortikultura 2001).

Salak merupakan salah satu buah asli Indonesia yang unik dan eksotik dengan nilai komersial yang tinggi karena rasanya yang khas dan teksturnya disukai oleh konsumen. Data produksi buah salak menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Dalam kurun waktu 1997 – 2009, produksi salak pondoh di Indonesia meningkat dari 525,461 ton menjadi 829,014 ton (BPS 2010). Salak yang paling digemari adalah salak pondoh sehingga mempunyai peluang besar untuk menjadi primadona di masa mendatang. Kebutuhan terhadap buah salak untuk dikonsumsi dalam negeri maupun ekspor terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah konsumen dan perbaikan pendapatan (Djaafar et al. di dalam bulletin Agro Industri 1998).

Di Indonesia terdapat banyak pusat produksi salak, namun sentra produksi salak pondoh hanya daerah tertentu saja seperti di Sleman, DI Yogyakarta dan sekarang sedang dikembangkan juga di daerah Kuningan, Jawa Barat. Produksi salak pondoh cukup besar saat musim panen yaitu sekitar bulan November – Januari dan bulan Juni – Agustus. Sebagian besar penjualan buah salak pondoh masih dilakukan di pasar lokal dalam bentuk buah segar, sementara daya simpan buah salak cenderung pendek sehingga sering menjadi masalah dalam penjualan yang membutuhkan waktu lebih lama. Oleh karena itu, salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mempertahankan mutu dan kesegarannya adalah dengan pengemasan dan penyimpanan dingin yang tepat.

Di daerah tropis, buah dan sayuran cepat mengalami kerusakan terutama disebabkan oleh kondisi suhu dan kelembaban lingkungan. Kurangnya penanganan pasca panen (pengangkutan, sortasi, pengemasan dan penyimpanan) ikut mempengaruhi nilai perubahan suatu produk. Perubahan mutu selama penyimpanan terjadi karena buah dan sayuran masih berespirasi. Selama respirasi, produk akan mengalami proses pematangan dan kemudian diikuti dengan proses pembusukan. Kecepatan respirasi produk tergantung dari produk itu sendiri, suhu penyimpanan, kelembaban lingkungan, ketersediaan oksigen dan adanya karbon dioksida dalam lingkungannnya (Mohamad 1990).

Transportasi merupakan salah satu mata rantai distribusi yang merupakan penyumbang kerusakan yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 6% 0 30% tergantung dari jarak tempuh dan bahan kemasan yang digunakan (Siregar 2008). Kemasan untuk transportasi salak bervariasi dan dipengaruhi oleh daerah produsen, diataranya adalah peti kayu, karung plastik, karung anyaman pandan (sumpit), dan keranjang bambu. Jenis keranjang plastik yang sering digunakan sebagai bahan kemasan buah0buahan dapat menjadi alternatif kemasan lain.

(3)

2 dibiarkan menjadi penyebab awal bagi kerusakan seperti kerusakan kimiawi dan mikrobiologi. Dengan adanya permasalahan ini diperlukan suatu teknik pengemasan yang tepat dan didukung dengan penyimpanan yang benar.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah

1. Mengetahui persentase kerusakan mekanis buah salak pondoh yang terjadi setelah proses distribusi.

2. Mengetahui perubahan mutu buah salak pondoh setelah proses distribusi pada beberapa perlakuan kemasan dan suhu penyimpanan.

(4)

A. Salak Pondoh

Tanaman salak dengan beberapa spes dan Salacca wullicia antara 4.46 – 6.13 cm Variasi panjang, diam pada tandannya.

Tanaman salak m baik untuk diusahaka Indonesia. Ada pula y Jawa. Pada masa pe seluruh Indonesia, ba sejenis palma dengan Tanaman sala tanaman jantan dan berwarna coklat keme panjang dan mekar s sebagian besar bera Perkembangan akar s tanah, sifat fisik dan batang salak pondoh ruas0ruasnya padat jug

Buah salak te (Gambar 1). Bagian k yang langsung meny Warna sisik buah sa keputihan tergantung

Komposisi kim mengalami perubahan salak bervariasi menu Sleman, salak Bali, d yaitu 72.81, kemudian rasio gula asamnya te

II.

TI JAUA PUSTAKA

salak termasuk suku pinang0pinangan, ordo Spadiceflora a spesies Salacca conferta, Salacca edulis, Salacca affinis

lliciana (Soedibyo 1974). Menurut Suter (1988), panjang .13 cm, diameter 4.28 – 5.67 cm, dan berat buah berkisar an , diameter, dan berat buah salak dipengaruhi oleh kultivar salak merupakan salah satu tanaman buah yang disukai dan sahakan. Daerah asalnya tidak jelas, tetapi diduga dari Th pula yang mengatakan bahwa tanaman salak (Salacca edu

sa penjajahan biji0biji salak dibawa oleh para saudagar sia, bahkan sampai ke Filipina, Malaysia, Brunei dan Mu engan buah yang biasa dimakan (Wikipedia 2011). n salak pondoh merupakan tanaman berumah dua, sehin

dan tanaman betina. Bunga jantan tersusun seperti gen t kemerah0merahan. Sedangkan bunga betina tersusun dari ekar sekitar 103 hari. Perakaran salak pondoh terdiri da berada di dalam tanah dan sebagian lagi muncul akar salak pondoh dipengaruhi oleh cara pengolahan tanah ik dan kimia tanah, air tanah, lapisan bawah tanah, dan ondoh termasuk pendek dan hampir tidak kelihatan secar dat juga tertutup oleh pelepah daun yang tumbuhnya meman lak tersusun atas tiga bagian utama, yaitu kulit, daging,

gian kulit buah terdiri atas sisik0sisik yang tersusun seperti menyelimuti daging buah. Kulit ari berwarna putih tran salak ada yang berwarna coklat kehitaman, coklat ke ntung dari kultivarnya.

Gambar 1. Anatomi buah salak (Sabari 1982) kimia seperti gula, asam organik, tanin, pektin dan seba ubahan selama perkembangan buah (Sabari 1982). Komp i menurut varietas salak. Diantara empat varietas salak, ya

ali, dan salak Condet, ternyata salak pondoh memiliki ras udian disusul oleh salak Sleman 52.44, salak Bali sebesar nya terendah yaitu 38.87 (Suter 1988).

Keterangan: 1. Pangkal buah 2. Ujung buah 3. Kulit luar dan s 4. Daging buah 5. Kulit ari 6. Biji 7. Embrio

3 florae, famili Palmaceae finis, Salacca globoscans, anjang buah salak berkisar isar antara 34.79 – 83.47 g. ltivar serta letak buah salak ai dan mempunyai prospek ari Thailand, Malaysia dan edulis) berasal dari Pulau dagar hingga menyebar ke n Muangthai. Salak adalah sehingga dapat ditemukan ti genteng, bertangkai dan n dari 103 bulir, bertangkai iri dari akar serabut, yang uncul dipermukaan tanah. tanah, pemupukan, tekstur , dan lain0lain. Sedangkan secara jelas, karena selain memanjang.

ging, buah dan bagian biji seperti genting dan kulit ari h transparan (Suter 1988). lat kemerahan, dan coklat

2)

n sebagainya pada buah salak Komposisi kimia pada buah ak, yaitu salak pondoh, salak liki rasio gula asam tertinggi, besar 41.47 dan salak Condet buah

(5)

4 Rasa buah salak pondoh yang selalu manis dan lebih tahan lama disimpan walaupun belum ada kejelasan selisih lama ketahanannya dibandingkan salak biasa. Hal ini merupakan keunggulan dari salak pondoh sehingga petani tertarik untuk mengusahakannya (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi DI Yogyakarta 1989). Sifat khas salak pondoh yang selalu berasa manis dan tidak sepat walaupun masih muda disebabkan oleh kandungan total gula yang cukup tinggi, kandungan total asam yang relatif rendah, dan kandungan tannin yang lebih rendah dibandingkan kultivar salak lainnya (Suter 1988).

Buah salak pondoh muda rasanya manis dan gurih, sedangkan buah salak pondoh tua rasanya manis, gurih, dan masir. Ketebalan daging buahnya antara 0.8 cm sampai 1.5 cm, dan warna daging buahnya putih kapur (Rukmana 1999). Sedangkan kandungan gizi buah salak pondoh dalam tiap 100 gram buah salak segar menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981), dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi buah salak per 100 gram buah Kandungan gizi Proporsi

Kalori 77 kal

Protein 0,40 g

Karbohidrat 20,90 g

Kalsium 28,00 mg

Fosfor 18,00 mg

Zat besi 4,20 mg

Vitamin B 0,04 mg

Vitamin C 2,00 mg

Air 78,00 mg

Bagian yang dimakan 50%

Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981)

Kriteria buah yang sudah siap dipanen dapat ditentukan melalui umur buah atau dengan memperhatikan penampakan buah. Umur panen buah salak pondoh adalah sekitar 5,506 bulan, sedangkan bila melihat dari penampakan buahnya, salak pondoh yang siap dipanen memiliki warna kulit buah bersih dan mengilap, bila dipegang terasa empuk dan kulitnya tidak keras serta beraroma khas (Anarsis 1996). Menurut (Satuhu 2004), ada beberapa cara penentuan tingkat kematangan buah yaitu berdasarkan umur panen, sifat visual atau penampakannya, kendungan kimia, tingkat kekerasan, dan uji organoleptik.

Mutu buah salak yang baik diperoleh bila pemanenan dilakukan pada tingkat kemasakan yang baik. Buah salak yang belum masak, bila dipungut akan terasa sepet dan tidak manis. Maka pemanenan dilakukan dengan cara petik pilih, sehingga diperlukan keterampilan dan pengetahuan standar panen. Buah salak dapat dipanen setelah matang benar di pohon, biasanya berumur 6 bulan setelah bunga mekar (anthesis). Hal ditandai oleh sisik yang telah jarang, warna kulit buah merah kehitaman atau kuning tua, dan bulu0bulunya telah hilang. Ujung kulit buah (bagian buah yang meruncing) terasa lunak bila ditekan. Tanda buah yang sudah tua, menurut sumber lain adalah warnanya mengkilat (klimis), bila dipetik mudah terlepas dari tangkai buah dan beraroma salak (Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2000).

(6)

5

B. Fisiologi dan Kerusakan Pascapanen

Perubahan0perubahan yang dapat menyebabkan kerusakan pada buah dan sayuran setelah dipanen salah satunya disebabkan oleh proses metabolisme, seperti respirasi, transpirasi, dan aktivitas0aktivitas biokomia lainnya, yang masih berlangsung setelah pemanenan (Winarno dan Wiratakusumah 1981). Perubahan tersebut juga dapat mengakibatkan penurunan kekebalan alami buah terhadap aktivitas mikroba, sehingga aktivitas organisme penyebab kerusakan meningkat (Hanson 1976).

Buah0buahan yang sudah dipanen masih melakukan proses respirasi yang menghasilkan CO2 dan panas serta menggunakan O2. Respirasi didefinisikan sebagai reaksi oksidasi dari bahan dalam sel (misalnya pati, gula, dan asam organik) menjadi molekul CO2, air dan energi yang dapat digunakan oleh sel untuk reaksi sintetis (Will et al. 1981). Laju respirasi tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain tingkat perkembangan, susunan kimiawi jaringan, ukuran buah, pelapis alami, dan jenis jaringan. Sedangkan faktor eksternal antara lain suhu, etilen, O2 yang tersedia, CO2, zat0zat pengatur pertumbuhan dan kerusakan buah.

Ditinjau dari penyebabnya, jenis0jenis kerusakan bahan pangan dapat dibagi menjadi kerusakan mekanik, fisik, mikrobiologis dan fisiologis dan biologis serta kerusakan kimiawi (Winarno dan Jenie 1982).

1. Kerusakan Mikrobiologis

Kerusakan ini timbul karena adanya luka bakar atau memar pada buah salak yang berfungsi sebagai pintu gerbang bagi mikroba (Mucor sp) untuk masuk ke dalam daging buah setelah dipetik (Rahmad 1990). Buah salak dapat ditumbuhi kapang dan jamur dan selanjutnya mengakibatkan buah menjadi busuk. Kerusakan ini terutama terjadi pada waktu buah disimpan dan dipercepat dengan luka atau memar pada buah salak (Suter 1988). Hasil pengamatan Noorhakim (1992) menunjukkan mikroba penyebab kerusakan buah salak pondoh berkulit pada suhu kamar dan suhu dingin (10oC) adalah kapang Mucor sp.

2. Kerusakan Mekanis

Kerusakan mekanis terjadi akibat benturan0benturan mekanis antara buah0buah salak itu sendiri. Pemanenan yang kurang hati0hati dan sistem pengangkutan yang buruk banyak mengakibatkan kerusakan mekanis (Winarno dan Jenie 1982). Menurut Suter (1988) kerusakan0kerusakan mekanis yang banyak dijumpai pada buah salak adalah luka (terpotong alat, tertusuk duri pohon salak) dan memar.

3. Kerusakan Fisik

Jenis kerusakan ini disebabkan oleh faktor0faktor fisik seperti suhu dan kelembaban (Winarno dan Jenie 1982). Pada suhu tinggi buah akan kelebihan panas, bila tidak cukup ventilasi dan pendinginan. Buah salak yang disimpan pada kondisi terbuka pada suhu kamar menyebabkan kerusakan0kerusakan pada kulit dan daging buah menjadi kering, keriput serta kulit buah menjadi lebih sulit dikupas dibandingkan buah yang segar (Suter 1988).

4. Kerusakan Fisiologis dan Biologis

Reaksi metabolisme dan aktivitas enzim yang merupakan proses autolisis dapat menimbulkan kerusakan fisiologis (Winarno dan Jenie 1982). Adanya luka pada buah menyebabkan terjadinya pencoklatan pada daging buah dan meningkatkan kecepatan respirasi sehingga mempercepat pelayuan buah (Eskin et al. 1971).

5. Kerusakan Kimiawi

Kerusakan kimiawi biasanya saling berhubungan dengan jenis kerusakan yang lain. Kerusakan fisiologis biasanya juga merupakan kerusakan kimiawi, karena reaksi enzimatis biasanya aktif dalam proses kerusakan tersebut (Winarno dan Jenie 1982). Adanya oksigen menyebabkan terjadinya pencoklatan pada buah salak yang merupakan salah satu bentuk kerusakan kimiawi. Pencoklatan terjadi karena aktivitas enzim0enzim seperti fenolase, polifenol oksidasi, tirosinase, dan katekolase (Richardson 1976).

(7)

6

C. Parameter Penurunan Mutu

Mutu adalah sekelompok sifat atau faktor0faktor pada komoditi yang membedakan tingkat kepuasan atau tingkat penerimaan bagi pembeli (Kramer dan Twigg 1962). Penurunan mutu pada penyimpanan buah segar dapat ditentukan dengan menggunakan suatu parameter yang dapat diukur secara kuantitatif yang mencerminkan kondisi mutu produk tersebut. Menurut Apandi (1984), klasifikasi mutu terdiri atas aspek organoleptik dan aspek non organoleptik. Aspek organoleptik yaitu penampilan (besar, bentuk, cacat, warna, dan kilap), citarasa (bau dan rasa) serta tekstur (perasaan tangan dan perasaan mulut)

Suter (1988) menggunakan beberapa parameter mutu untuk buah salak yaitu kadar air, kadar pati, total gula, asam organik, pH, dan keempukan buah. Sedangkan Lestari (2003) menyatakan bahwa parameter mutu yang digunakan dalam penyimpanan buah salak adalah analisa fisik (susut bobot dan persentase kerusakan), analisa kimia (kadar air, total asam tertitrasi, dan total padatan terlarut), serta analisa organoleptik (kekerasan, warna, tekstur, dan penerimaan umum).

Mutu buah salak sendiri dapat ditentukan berdasarkan standar mutu salak Indonesia yang tercantum pada SNI 01 – 3167 – 1992. Salak dibagi atas 2 (dua) kelas mutu, yaitu mutu I dan II (Tabel 2). Berdasarkan beratnya, kelas mutu salak diklasifikasikan menjadi 3, yaitu ukuran besar untuk salak yang berbobot 61 gram atau lebih per buah, ukuran sedang berbobot 33 – 60 gram/ buah, dan ukuran kecil berbobot 32 gram atau kurang per buah.

Tabel 2. Kelas mutu buah salak berdasarkan SNI 01–3167–1992

Tingkat Mutu I Mutu II

Ketuaan Seragam tua Seragam tua

Kekerasan Keras Cukup keras

Kerusakan kulit buah Utuh Kurang utuh

Ukuran Seragam Kurang seragam

Busuk (bobot/bobot) 1% 1%

Kotoran Bebas Bebas

Sumber: BSN (Badan Standardisasi Nasional)

Wills et al. (1981) menyebutkan bahwa faktor utama yang mendukung penurunan mutu akibat kerusakan yang terjadi setelah buah dipanen adalah pengaruh mekanis saat pemanenan dan penanganan selanjutnya yang dapat mengakibatkan kerusakan pada buah0buahan dan infasi penyakit oleh mikroba. Penurunan mutu juga dapat terjadi pada buah pada saat pemasaran, terutama bila buah yang dipajang dalam waktu lama dengan organisasi pemasaran yang buruk.

D. Pengemasan dan Penyimpanan Dingin

Pengemasan adalah suatu sistem terpadu untuk menyiapkan, menyimpan, dan mengawetkan produk untuk dikirim ke konsumen melalui sistem distribusi dengan aman dan murah (Jaswin 1999). Pengemasan merupakan salah satu proses dalam industri yang memegang peranan penting dalam upaya mencegah terjadinya penurunan mutu produk, karena perlindungan produk dapat dilakukan dengan mengemas produk yang bersangkutan. Pengemasan dilakukan terhadap produk pangan maupun bukan pangan. Pengemasan harus dilakukan dengan benar karena pengemasan yang salah dapat mengakibatkan produk tidak memenuhi syarat mutu seperti yang diharapkan (Buckle et al. 1987).

Pengemasan buah0buahan dan sayuran adalah suatu usaha menempatkan komoditas tersebut ke dalam suatu wadah yang memenuhi syarat, dengan maksud agar mutunya tetap atau hanya mengalami sedikit penurunan, pada akhirnya saat diterima oleh konsumen nilai pasarnya tetap tinggi. Bahan dan bentuk kemasan memberikan peran yang besar terhadap pemasaran buah0 buahan dan sayuran segar apabila mampu menahan kehilangan air (Sacharow dan Griffin 1980).

(8)

7 produk tertentu yang membutuhkan), menyediakan informasi yang memungkinkan identifikasi produk yang dikemas, tempat produsen dan tujuan pengiriman, serta dapat dibongkar dengan mudah tanpa menggunakan buku penunjuk secara khusus (Paine dan Paine 1983).

Menurut Kusumah (2007), kemasan umum dibagi dalam beberapa klasifikasi: 1. Kemasan transportasi

a. Kemasan rigid (kaku)

Kemasan dengan desain kaku akan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap produk yang dikemas. Kekakuannya tinggi sehingga penumpukan dapat lebih tinggi. Bisa dipakai lebih dari satu kali atau berulang kali. Contohnya peti kayu dan kardus karton. b. Kemasan fleksibel

Kemasan dengan desain fleksibel mempunyai bobot ringan dan volume produk yang terkemas dapat disesuaikan dengan keinginan konsumen. Contohnya plastik dan kantong jaring.

2. Kemasan retail

Kemasan retail merupakan desain kemasan eceran atau kemasan terakhir yang sampai pada konsumen. Contohnya kemasan botol minuman dan makanan.

Berdasarkan fungsinya pengemasan dibagi menjadi dua, yaitu: pengemasan untuk pengangkutan dan distribusi (shipping/delivery package), sering disebut sebagai kemasan distribusi atau kemasan transportasi serta pengemasan untuk perdagangan eceran atau supermarket (retail package) atau kemasan eceran. Kemasan distribusi adalah kemasan yang terutama ditujukan untuk melindungi produk yang dikemas selama pengangkutan dari podusen sampai ke konsumen dan penyimpanan (Paine and Paine 1983). Dalam pemilihan material dan rancangan, kemasan distribusi lebih mengutamakan material dan rancangan yang dapat melindungi kerusakan selama pengangkutan dan distribusi, sedang kemasan eceran diutamakan material dan rancangan yang dapat memikat konsumen (Peleg 1985).

Kemasan untuk produk hasil0hasil pertanian (hortikultura) perlu dilubangi sebagai ventilasi. Adanya ventilasi ini menyebabkan sirkulasi udara yang baik dalam kemasan sehingga akan menghindarkan kerusakan komoditas akibat akumulasi CO2 pada suhu tinggi (Hidayati 1993) di dalam (Aspihani 2006). Pantastico (1975) menyatakan bahwa buah0buahan merupakan produk segar (fresh product) sehingga harus tetap dijaga kesegarannya hingga sampai ke tangan konsumen. Peleg (1985) juga menyatakan bahwa untuk mendesain sebuah kemasan baik untuk penyimpanan maupun distribusi buah (produk hortikultura) perlu diperhatikan sirkulasi udara dengan memberikan ventilasi dengan tujuan mempertahankan kesegaran buah.

Perbedaan desain, bentuk, dan ukuran dari lubang ventilasi biasanya disesuaikan dengan tipe produksi, penyimpanan, dan moda transportasi. Pemotongan lubang ventilasi biasanya dilakukan dibagian samping dari kemasan dengan pemberian lubang ventilasi secara horizontal (Peleg 1985). Menurut New et al. (1978) di dalam (Aspihani 2006) lubang ventilasi pada peti karton biasanya dibuat bulat (circle ventilation) atau celah panjang dengan sudut0sudutnya dibulatkan (oblong ventilation). Silvia (2006) juga menyatakan bahwa bentuk lubang ventilasi yang banyak ditemukan dilapangan untuk kemasan distribusi adalah oblong ventilation dan circle ventilation.

Menurut Triyanto (1991), karton gelombang merupakan bahan kemasan distribusi yang paling umum dan paling banyak digunakan untuk berbagai jenis produk, mulai dari buah0buahan sampai dengan peralatan elektronik atau mesin untuk industri. Hal ini disebabkan oleh harganya yang relatif murah dan daya tahan yang dapat dipilih sesuai dengan jenis produk yang dikemas dan jenis transportasi yang digunakan. Walaupun demikian, agar dapat berfungsi dengan maksimal, pemakaian kotak karton gelombang harus memperhatikan penggunaan bahan baku yang baik, pengendalian mutu yang memadai selama proses pembuatan, spesifikasi kotak yang dibuat, baik dari segi ukuran, berat, dan lain0lain.

(9)

Gambar 2. Penggolo

Kemasan dari ada tiga tipe yang um Telescopic Container tersebut dapat dilihat digunakan sebagai kem

Tipe kemasan hortikultura. Perbeda dengan tipe produk, p untuk kemasan distrib (penutup) kemasan, kemasan yang lebih (Peleg 1985). Gambar

Gamba Penyimpanan sampai kepada konsu segar yang berada Penyimpanan buah0bu

nggolongan karton gelombang yaitu (a) single face dengan s face dengan single flute, (c) double wall, (d) triple wa

n dari karton gelombang memiliki banyak tipe kemasan. D ng umum digunakan. Tiga tipe itu adalah Regular Slotted

iner (HTC), dan Full Telescopic Container (FTC). Gamb ilihat pada Gambar 2. Dari ketiga tipe tersebut, tipe RSC d gai kemasan distribusi produk hortikultura yang ada di Indon masan RSC dan FTC banyak digunakan sebagai kema rbedaan desain, bentuk, dan ukuran dari lubang ventilas duk, penyimpanan, dan moda transportasi. Biasanya pemo distribusi banyak dilakukan dibagian samping kemasan da

san, padahal pemotongan ventilasi di bagian samping dapa lebih besar daripada pemotongan di bagian atas dan bawa

ambar tipe kemasan distribusi disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Tipe kemasan distribusi (A) RSC, (B) HTC, dan anan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperpa konsumen dan menyediakannya untuk permintaan pasar. U erada dalam kemasan, maka penyimpanan kondusif

buahan dan sayuran segar dapat memperpanjang daya g

8 gan single flute, (b) double le wall

san. Dari sekian banyak tipe, tted Container (RSC), Half . Gambar ketiga tipe kemasan RSC dan FTC paling banyak i Indonesia (Aspihani 2006). kemasan distribusi produk entilasi biasanya disesuaikan pemotongan lubang ventilasi san dan bukan di bagian atas g dapat mengurangi kekuatan awah kemasan peti karton

, dan (C) FTC

(10)

9 tertentu dapat memperbaiki mutu produk segar tersebut. Selain itu penyimpanan juga dapat menghindarkan banjirnya produk ke pasar (mempertahankan harga jual), memberi kesempatan yang luas untuk memilih buah0buahan dan sayuran sepanjang tahun, membantu pemasaran yang teratur, meningkatkan keuntungan produsen, dan mempertahankan mutu produk segar (Pantastico 1986).

Penyimpanan dingin merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan cara pendinginan pada suhu di atas suhu pembekuannya. Secara umum pendinginan dilakukan pada suhu 2013 oC tergantung pada masing0masing bahan yang akan disimpan (Poerwanto 2002 di dalam Seesar 2009). Penyimpanan di bawah suhu 15 oC dan di atas titik beku bahan dikenal sebagai penyimpanan dingin (Chilling Storage). Penyimpanan dingin merupakan salah satu cara menghambat turunnya mutu buah0buahan, di samping pengaturan kelembaban dan komposisi udara serta penambahan zat0zat pengawet kimia. Penyimpanan akan mengurangi kelayuan karena kehilangan air. Menurunnya laju reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba pada bahan yang disimpan (Watkins 1971). Semakin rendah suhu yang digunakan, semakin lambat pula reaksi kimia, aktivitas enzim, dan pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff 1978).

Hastuti dan Ari (1988) melaporkan bahwa penyimpanan salak pondoh dalam bentuk tandanan pada suhu dingin (10oC 0 12 oC) dalam keadaan terbuka, dengan kantung plastik berlubang 0.5 % dan 1 % dapat memperpanjang masa simpan salak pondoh menjadi berturut0turut 33 hari, 27 hari dan 33 hari. Hasil pengamatan Indirani (1990) dan Noorhakim (1992) juga menunjukkan bahwa penyimpanan suhu dingin mampu memperpanjang masa simpan salak pondoh. Indirani (1990) melaporkan bahwa salak pondoh dalam bentuk tandanan yang disimpan dalam plastik polietilen pada kondisi atmosfir dan suhu 10oC mempunyai masa simpan 18 hari. Sedangkan menurut Noorhakim (1992) salak pondoh dalam bentuk tandanan yang disimpan pada suhu 10oC dengan kemasan plastik polietilen dalam kondisi atmosfir dan atmosfir termodifikasi mempunyai masa simpan masing0masing 27 hari dan 30 hari.

E. Simulasi Transportasi Hasil Pertanian

Goncangan yang terjadi selama pengangkutan baik di jalan raya maupun di rel kereta dapat mengakibatkan kememaran, susut berat, dan memperpendek masa simpan (Purwadaria 1992). Hal ini terutama terjadi pada pegangkutan produk hortikultura yang tidak dikemas. Meskipun kemasan dapat meredam efek guncangan namun daya redamnya tergantung pada jenis kemasan serta tebal bahan kemasan, susunan komoditas didalam kemasan, dan susunan kemasan dalam pengangkutan. Perlakuan yang kurang sempurna selama pengangkutan mengakibatkan jumlah kerusakan pada komoditas pada waktu sampai ditempat tujuan mencapai lebih kurang 30050%. Pengangkutan melalui jalan darat pada umumnya menggunakan truk ataupun pick up tanpa pendingin. Menurut Purwadaria (1992) untuk pengangkutan antar pulau yang berjarak tempuh lebih dari 5 jam sebaiknya menggunakan kereta api dengan gerbong pendingin.

Pengangkutan merupakan mata rantai yang penting dalam penanganan, penyimpanan, dan distribusi buah0buahan serta sayuran. Pengangkutan dilakukan untuk menyampaikan komoditas hasil pertanian secara cepat dari produsen ke konsumen. Di Indonesia perhubungan lewat darat sangat dominan terhadap pengangkutan buah yang hendak dipasarkan selanjutnya. Alat angkut yang umum digunakan adalah truk, mobil bak terbuka atau sejenisnya, dan menggunakan kereta api (Sutuhu 2004).

Dalam kondisi jalan yang sebenarnya, permukaan jalan ternyata memiliki permukaan yang tidak rata. Permukaan jalan yang tidak rata ini menyebabkan produk mengalami berbagai guncangan selama transportasi. Besarnya guncangan yang terjadi bergantung kepada kondisi jalan yang dilalui. Ketidakrataan ini disebut amplitudo dan tingkat kekerapan terjadinya guncangan akibat ketidakrataan jalan tersebut dinamakan frekuensi. Kondisi transportasi yang buruk ini dan penanganan yang tidak tepat pada komoditi yang ditransportasikan (buah dan sayuran) dapat menyebabkan kerugian berupa turunnya kualitas komoditi yang akan disampaikan ke tangan konsumen. Penurunan kualitas yang sering terjadi adalah kerusakan mekanis pada buah dan sayuran (Sudibyo 1992)

(11)

10 yang sebenarnya. Alat simulasi ini telah disesuaikan dengan jalan yang terdapat di dalam dan luar kota. Dasar yang membedakan antara jalan dalam dan luar kota adalah besarnya amplitude yang terukur. Jalan dalam kota memiliki amplitudo yang lebih rendah dibandingkan jalan luar kota, jalan buruk, dan jalan berbatu. Pada simulasi pengangkutan dengan menggunakan truk guncangan yang dominan adalah guncangan pada arah vertikal. Sedangkan guncangan pada kereta api adalah guncangan horizontal. Guncangan lain berupa puntiran dan bantingan diabaikan karena jumlah frekuensinya kecil sekali (Sudibyo 1992).

Pradnyawati (2006) menyatakan bahwa tingkat kerusakan mekanis yang tertinggi dialami oleh jambu biji dalam kemasan keranjang bambu dengan bahan pengisi daun pisang. Sedangkan tingkat kerusakan mekanis terendah dialami oleh jambu biji dalam kemasan kardus karton dengan bahan pembungkus koran. Sedangkan menurut Kusumah (2007), tingkat kerusakan mekanis mentimun tertinggi dialami oleh perlakuan kemasan peti kayu dengan nilai kerusakan sebesar 40.915% dan yang terendah dialami oleh mentimun dalam kemasan kardus dengan kerusakan sebesar 26.1%

Darmawati (1994) menganalisis dampak goncangan terhadap jeruk dalam kemasan karton bergelombang di atas meja getar dengan kompresor yang dilakukan selama 8 jam dengan frekuensi 6 Hz dan amplitudo 5 cm mengakibatkan kerusakan buah sebesar 5.74%. Kondisi tersebut setara dengan 2490 km jalan beraspal dan 904 km jalan berbatu atau mewakili transportasi antar pulau (pulau jawa dan sumatra).

(12)

11

III.

METODE PE ELITIA

A. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan, mulai bulan Maret 2011 hingga Juni 2011.

B. Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan adalah buah salak pondoh yang diperoleh dari sebuah kebun salak di daerah Cimande, Ciawi, Bogor yang bibitnya diperoleh langsung dari petani Sleman, DI Yogyakarta. Salak pondoh yang telah dipanen dari tiap petani kemudian di bawa ke gudang pengumpul. Salak tersebut diangkut dengan menggunakan karung, kemudian karung tersebut ditimbang untuk menentukan buah salak yang masuk. Setelah itu dilakukan sortasi untuk menyeragamkan sampel buah. Setelah disortasi, buah salak tersebut dikemas dalam kemasan yang sudah dipersiapkan sebelumnya, yaitu keranjang plastik, kotak karton, dan keranjang bambu. Transportasi dilakukan dengan menggunakan kendaraan umum selama 2 jam. Salak yang digunakan memiliki dimensi diameter mayor 4.2 0 4.7 cm dan diameter minor 3 0 3.9 dengan berat per buah berkisar antara 45 0 70 gram. Umur petik buah yang digunakan sekitar 5 0 6 bulan.

Peralatan yang digunakan antara lain meja simulator dengan kompresor untuk simulasi tranportasi, timbangan Mettler PM04800 untuk mengukur susut bobot, Rheometer tipe CR0300DX untuk mengukur kekerasan buah, Refraktometer digital Atago tipe PR0201 untuk menentukan total padatan terlarut, ruang pendingin bersuhu 10oC, Oven dan desicator untuk mengukur kadar air, serta alat penunjang lainnya.

C. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan adalah

1. Pemilihan kemasan dilakukan dengan menghitung volume dari keranjang plastik. Kemudian hasil perhitungan volume tersebut dijadikan dasar volume yang akan digunakan untuk merancang kotak karton dan keranjang bambu. Untuk merancang kemasan kotak karton dilakukan dengan metode trial and error. Sedangkan untuk keranjang bambu digunakan rancangan asli dari kebun karena kapasitas yang diperlukan tidak berbeda jauh dari kapasitas aslinya yaitu 10 Kg.

2. Persiapan bahan atau sampel yaitu pemilihan dan pembersihan pada buah salak yang akan digunakan untuk penelitian. Buah salak terlebih dahulu disortir, dipilih yang kondisinya tidak menunjukkan kerusakan secara fisik dan diseragamkan ukurannya, kemudian salak dibersihkan dari kotoran yang mungkin masih melekat.

3. Buah salak yang telah dibersihkan dan disortasi kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam perlakuan kemasan yaitu kemasan keranjang plastik (41 cm x 31 cm x 13 cm), kemasan kotak karton (30 x 20 x 25) cm dan kemasan keranjang bambu (diameter 27 cm dan tinggi 30 cm). Masing0masing perlakuan kemasan mempunyai berat yang sama yaitu 8 Kg.

4. Kemasan0kemasan tersebut kemudian diatur pada meja getar simulator. Simulasi transportasi dilakukan dengan meja getar berfrekuensi 3.14 Hz dan amplitudo 4.83 cm selama 2 (dua) jam. Penggetaran dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu untuk ulangan ke01 dan ulangan ke02.

5. Setelah penggetaran, dilakukan pengamatan kerusakan mekanis untuk mengetahui jumlah dan presentase kerusakan yang dialami oleh buah salak akibat goncangan selama transportasi. 6. Buah salak kemudian diambil secara acak untuk ditimbang bobot awalnya. Setelah itu, 3 jenis

(13)

12 7. Buah salak yang disimpan digunakan sebagai sampel untuk pengamatan kekerasan, susut bobot, kadar air, total padatan terlarut, dan uji organoleptik. Selain itu, dilakukan pengamatan terhadap presentase kerusakan buah secara fisiologis yang terjadi selama penyimpanan. 8. Pengamatan pada suhu ruang dilakukan sampai hari ke010 sedangkan pengamatan untuk suhu

dingin dilakukan sampai hari ke020. Pengamatan pada suhu ruang dan suhu dingin dilakukan setiap 2 atau 3 hari sekali.

Gambar diagram alir dari metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4. Diagram alir metode penelitian S1 (Suhu ruang)

(26 OC – 30 OC)

Pengamatan:

Susut bobot, Kerusakan fisiologis, Kekerasan, Total Padatan Terlarut, Kadar air, Uji Organoleptik

Salak pondoh

K2 (Kemasan kotak Karton) berkapasitas 8 Kg

K3 (Kemasan keranjang bambu) berkapasitas 8 Kg K1 (Kemasan keranjang

plastik) berkapasitas 8 Kg

S2 (Suhu dingin) (10 OC)

Simulasi transportasi dengan amplitudo 4.83 cm dan frekuensi 3.14 Hz selama 2 jam dengan tidak ada penumpukan

Pengamatan kerusakan mekanis

Pengukuran bobot awal

Penyimpanan

Analisis:

(14)

13

D. Pengamatan

1. Persentase kerusakan mekanis

Kerusakan buah yang dikategorikan atas karakteristik memar, kulit pecah atau tergores. Pengamatan kerusakan ini dilakukan secara visual per satuan buah salak dan selanjutnya dihitung persentase buah yang rusak dari keseluruhan buah salak yang ada dalam satu kemasan. Jumlah kerusakan dalam satu kemasan dapat dihitung dengan Persamaan (1). Perhitungan persentase kerusakan mekanis ini dilakukan sebanyak 2 kali ulangan.

% = 100%………...…(1)

2. Persentase kerusakan fisiologis

Kerusakan buah yang dikategorikan atas karakteristik buah yang sudah busuk dan berair. Pengamatan kerusakan ini dilakukan secara visual per satuan buah salak dan selanjutnya dihitung persentase buah yang rusak dari keseluruhan buah salak yang ada dalam satu kemasan. Jumlah kerusakan dalam satu kemasan dapat dihitung dengan Persamaan (2). Perhitungan persentase kerusakan fisiologis ini dilakukan sebanyak 2 kali ulangan.

% " #$#% = & ' 100%……….(2)

3. Kekerasan

Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan buah terhadap jarum penusuk dari rheometer tipe CR0300DX. Alat dikondisikan pada kedalaman 10 mm dengan beban maksimum 10 kg. Uji kekerasan dilakukan pada 3 (tiga) titik yang berbeda, yang terdapat pada bagian pangkal buah salak, kemudian hasilnya dirata0ratakan. Letak ketiga titik disajikan pada Gambar 5. Jarum penusuk ditandai dengan tanda panah warna merah. Pengukuran kekerasan ini dilakukan sebanyak 2 kali ulangan.

Gambar 5. Letak tiga titik jarum penusuk pada pengujian kekerasan buah salak 4. Susut bobot

Pengukuran susut bobot dilakukan dengan menggunakan timbangan mettler PM04800. Pengukuran dilakukan sebelum disimpan dan setiap kali akhir pengamatan yaitu setiap 2 atau 3 hari sekali. Persamaan yang digunakan untuk mengukur susut bobot adalah Persamaan (3). Pengukuran susut bobot ini dilakukan sebanyak 2 kali ulangan.

% ( ) *#+#) =, -,, 100%...(3)

Dimana:

Wo = Bobot salak pondoh sebelum disimpan (gram) Wt = Bobot salak pondoh setiap akhir pengamatan (gram) 5. Total Padatan Terlarut

(15)

14 bagian pangkal, tengah dan bawah. Masing0masing bagian tersebut selanjutnya dihancurkan, kemudian diukur nilai Total Padatan Terlarutnya menggunakan Refraktometer (oBrix). Masing0 masing nilai dari bagian tersebut kemudian dirata0ratakan. Pengukuran Total Padatan Terlarut ini dilakukan sebanyak 2 kali ulangan.

6. Kadar air, metode oven

Daging buah salak sebanyak 5 gram yang telah dipotong0potong ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui beratnya. Kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC – 110 oC sampai diperoleh berat tetap, yaitu selama 6 jam. Cawan diangkat, didinginkan dalam desikator dan ditimbang berat akhirnya. Kadar air dapat dihitung dengan Persamaan (4). Perhitungan kadar air ini dilakukan sebanyak 2 kali ulangan.

Kadar air (% b/b) = ( -/) x 100 % ………..(4) Dimana:

a = Berat sampel salak pondoh sebelum dikeringkan (gram) b = Berat sampel salak pondoh setelah dikeringkan (gram) 7. Uji Organoleptik

Uji organoleptik yang digunakan pada penilaian buah salak adalah uji mutu hedonik terhadap kenampakan kulit, kenampakan daging, tekstur buah, rasa, aroma dan penerimaan umum. Skala hedonik yang digunakan adalah 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (netral), 5 (agak suka), 6 (suka) dan 7 (sangat suka). Panelis terdiri dari 10 orang yang terdiri atas mahasiswa dari berbagai fakultas, Uji organoleptik ini dilakukan sebanyak 2 kali ulangan.

E. Kesetaraan Simulasi Transportasi

Kesetaraan simulasi transportasi yang dilakukan dengan menggunakan meja getar dapat dihitung dengan menggunakan persaman di bawah ini:

Input fm = frekuensi meja getar (Hz) Am = amplitudo meja getar (cm) Ft = frekuensi truk (Hz)

Amplitudo rata0rata getaran bak truk (At)

At = ∑ (Ni x Ai)/ ∑ (Ni) ……….…..………….(5)

Dimana :

Ni = jumlah kejadian amplitude ke0i

Ai = amplitudo getaran vertical truk di jalan luar kota pada saat i (cm)

Luas satu siklus bak truk jalan kota ( Lt )

Lt = 1 2) 3 Sin WT Tt dTt ………..……….(6) Dimana :

Tt = 1/ft Tt = periode truk (detik/getaran)

Wt = 2π/Tt Wt = kecepatan sudut truk (getaran/detik)

Jumlah luas seluruh getaran bak truk jalan luar kota selama 0.5 jam (Lt (0.5))

(16)

15 Dimana :

t = lama penggetaran (0.5 jam)

Luas satu siklus getaran vibrator (Lm)

Lm = A ∫T o P Sin WT dT ………..….…....(8) Dimana :

Tm = 1/fm Tm = Periode meja getar (detik/getaran)

W = 2π/Tm Wm = Kecepatan sudut meja getar (getaran/detik)

Jumlah seluruh getaran vibrator selama 1 jam (Gm)

Gm = t x fm ………..………..…....…....(9) Dimana :

T = lama penggetaran (1jam)

Jumlah luas seluruh getaran vibrator selama 1 jam (Lm(1))

Lm(1) = Gm x Lm ………..………..…………(10)

Kesetaraan panjang jalan selama 30 menit dengan 30 km = 4 (5)

4 (6.86.8) x 30 km ………....……(11)

F. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dan factorial dengan dua kali ulangan perlakuan. Factor perlakuan yang digunakan adalah K (jenis kemasan), yaitu K1 (kemasan keranjang plastik), K2 (kemasan kotak karton), dan K3 (kemasan keranjang bambu). Sedangkan faktor perlakuan suhu (S), yaitu S1 (suhu ruang), S2 (suhu 10 oC).

Model umum dari rancangan percobaan tersebut adalah :

Yijk = µ + Ki + Tj (KT)ij + Cijk ……….………(12)

Dimana : Yijk = Pengamatan perlakuan K ke i dan S ke j pada ulangan ke k µ = Nilai rata0rata harapan

Ki = Perlakuan K ke i Sj = Perlakuan S ke j

(KT)ij = Interaksi K ke i dan S ke j

Cijk = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan K ke i dan S ke j pada ulangan ke k

i = 1,2,3,4 (jenis kemasan) j = 1,2 (suhu)

k = 1,2,3 (ulangan)

(17)

IV

A. Pengemasan Buah

Rantai transpo pengumpul kecil, dari pedagang atau dari pen atau pengumpul dalam dan 20 Kg. Dalam pe dengan menggunakan bambu.

Kemasan yang keranjang bambu yang kg. Dalam penelitian Pemilihan keranjang p transportasi buah. Sel berulang0ulang, dan m

Keranjang bam sedangkan kemasan k berukuran 41 cm x 31 dan keranjang bambu kebutuhan. Oleh karen yaitu 8 kg. Denga penyimpangan hasil pengangkutan buah sal

(a) Gambar 6. Kemasa

Untuk kemasa dengan tipe Regular S distribusi produk hort oblong ventilation sebe yang digunakan untuk persentase ventilasi 3 Paklamjeak et al. (19 ventilation diberi pers karton.

Pola penyusun acak (jumple pack). K seperti buah salak. Sed setiap kemasan memil

IV.

HASIL DA PEMBAHASA

uah Salak Pondoh

ransportasi dan distribusi buah salak pondoh sekarang in l, dari pengumpul kecil ke pengumpul besar, dari pengum

ari pengumpul kecil langsung ke pedagang0pedagang. Bias dalam keadaaan dikemas menggunakan keranjang bambu y

am penelitian ini dilakukan simulasi transportasi dari laha nakan tiga jenis kemasan, yaitu keranjang plastik, kotak n yang saat ini sering digunakan dalam proses distribusi bu yang berkapasitas 5 hingga 20 kg dan kemasan kotak karto elitian ini digunakan juga alternatif kemasan lain, yaitu be jang plastik sebagai alternatif kemasan didasarkan pada k h. Selain itu, lebih kuat dari segi ketahanan dan keku dan mudah diatur di dalam alat angkut.

g bambu yang digunakan mempunyai diameter 27 cm asan kotak karton berukuran 30 cm x 20 cm x 25 cm

x 31 cm x 13 cm, seperti ditunjukan pada Gambar 6. Unt ambu adalah disesuaikan dengan ukuran keranjang yang karena itu, kapasitas yang ditampung oleh ketiga kemasa Dengan keseragaman kapasitas tersebut diharapkan

il penelitian. Kapasitas kemasan 8 kg dipilih da ah salak secara umum yang berkisar antara 5 – 20 kg.

(b)

emasan yang digunakan selama penelitian, yaitu (a) Keranja karton, (c) Keranjang bambu.

emasan kotak karton, tipe yang digunakan adalah karton g ar Slotted Container (RSC), karena tipe tersebut paling b k hortikultura. Pada kemasan kotak karton ini ditambahk sebesar 3 %. Tipe oblong ventilation dipilih karena seba untuk transportasi buah salak di masyarakat adalah bertipe lasi 3 % dipilih berdasarkan hasil penelitian terdahulu (M

(1988), dan Won Ok (2003) di dalam Aspihani (200 i persentase luasan ventilasi sebesar 1%, 3%, dan 5% da yusunan buah salak dalam semua kemasan adalah pola p Karena pola ini paling umum digunakan untuk buah Sedangkan di dalam kemasan tidak ada pengisi dan perla emiliki jumlah buah salak sekitar 1200130 buah.

16

SA

ang ini adalah dari lahan ke ngumpul besar ke pedagang0

Biasanya dijual oleh petani mbu yang berkapasitas 5, 10 ri lahan ke pengumpul kecil kotak karton, dan keranjang usi buah salak pondoh adalah karton yang berkapasitas 20 berupa keranjang plastik. pada kebiasaan petani dalam kekuatan, dapat digunakan 27 cm dan tinggi 30 cm, 5 cm dan keranjang plastik ntuk ukuran kotak karton yang dapat dirancang sesuai emasan tersebut adalah sama kan dapat meminimalisasi lih dari rata0rata kapasitas

(c)

eranjang plastik, (b) Kotak

(18)

B. Kerusakan Mekan

Simulasi transpo pengiriman buah salak utama atau pemilik la bahwa pada kemasan k dan kotak karton kond dan memudahkan pen kemasan keranjang pla kondisi rill di lapangan

Hasil konversi f truk selama dua jam di selama 2 jam kendaraa jam waktu tempuh den dan kecepatan truk te tidak hanya dipengaruh

Menurut Widod kerusakan disebabkan Kerusakan mekanis se kurang sempurna sert menurut Gordon et al terjadinya tekanan, ya goncangan (misalnya penumpukan). Ketiga h dipengaruhi oleh tipe s

Pengukuran tingk transportasi. Tingkat ke diasumsikan setara den dari 100 km. Setelah d terjadi. Berdasarkan p keranjang plastik, 0% u yang terjadi pada keran rata0rata tingkat kerusak Tabel 3. R Jenis kemasan

Keranjang plastik 1 Keranjang plastik 2 Kotak karton 1 Kotak karton 2 Keranjang bambu 1 Keranjang bambu 2

ekanis Setelah Transportasi

ransportasi dilakukan dengan menggunakan meja getar sela h salak yang dilakukan oleh kelompok tani di daerah Ci ilik lahan ke pengumpul kecil yaitu kurang lebih 2 jam.

asan keranjang plastik kondisinya ditumpuk sedangkan kem kondisinya tidak ditumpuk. Hal tersebut dilakukan untuk n penyusunan kemasan selama transportasi. Selain itu dia ng plastik tidak berpengaruh terhadap kerusakan buah pada angan yang tidak menumpuk keranjang bambu saat pendist

Gambar 7. Penyusunan kemasan pada mejasimulator versi frekuensi dan amplitudo selama simulasi transportas

jam di jalan luar kota dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdas ndaraan dapat menempuh jarak166.73 Km melalui jalan lua uh dengan kecepatan kendaraan (truk) sebesar 60 Km/jam. ruk tersebut diharapkan kerusakan buah dapat diminimal ngaruhi oleh kondisi transportasinya, tetapi juga dipengaruh dodo et al. (1997), berdasarkan faktor penyebabnya abkan oleh kerusakan biologis, mikrobiologis, fisik, m nis seperti tersobek, luka, dan memar diakibatkan cara pe a serta perlakukan dan cara penanganan produk yang ku

et al. (1986) di dalam (Seesar 2009), kerusakan mekanis an, yaitu kerusakan mendadak (misalnya tubrukan dan ja alnya gesekan pada alat angkut), dan kerusakan karena st etiga hal di atas dapat terjadi secara bersamaan. Kerusakan tipe sistem distribusi, metode tranportasi, ukuran, bentuk, d n tingkat kerusakan mekanis buah salak dilakukan secara m

kat kerusakan mekanis pasca simulasi transportasi dilakuk ra dengan transportasi buah salak dari lahan ke pengumpu elah dilakukan simulasi transportasi dihitung persentase kan pengamatan menunjukan bahwa kerusakan mekanis , 0% untuk kotak karton, dan 3.44 % untuk keranjang bam keranjang bambu disebabkan oleh buah terjatuh dari kem erusakan mekanis setelah simulasi transportasi disajikan pad . Rata0rata tingkat kerusakan mekanis setelah simulasi tr

Jumlah rusak

(buah) Tingkat kerusakan mekanis (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

6 4 4.96 3.22

4 3 3.20 2.38

17 ar selama 2 jam. Berdasarkan

ah Ciawi sebagai distributor jam. Pada Gambar 7 terlihat an kemasan keranjang bambu untuk mengefisienkan tempat itu diasumsikan penumpukan pada perlakuan kemasan dan endistribusian.

ulator

portasi berdasarkan konversi Berdasarkan simulasi tersebut lan luar kota atau sekitar 2.77 /jam. Dengan waktu tempuh inimalisir. Namun kerusakan

garuhi oleh faktor lainnya. bnya maka penyusutan atau sik, mekanis, dan kimiawi. ara pengemasan produk yang ang kurang baik. Sedangkan ekanis dapat dilihat dari cara dan jatuh), kerusakan karena ena statis (kerusakan karena sakan0kerusakan di atas dapat ntuk, dan berat dari kemasan. cara manual setelah simulasi ilakukan selama 2 jam yang umpul kecil berjarak kurang tase kerusakan mekanis yang ekanisnya adalah 0% untuk bambu. Kerusakan mekanis ri kemasan dan sobek. Tabel

(19)

Saat simulasi tra oleh tali pengikat pada antar lubang menjadi berjatuhan. Selain terja buah. Hal tersebut d transportasi. Sedangkan buah salak yang tersobe

Gambar 8. Gej

C. Pengaruh Penggu

Buah Salak Pondoh

Perubahan mu parameter kuantitatif padatan terlarut, kada 1. Kerusakan fisiol Setelah simula bertujuan untuk men simulasi transportasi. berkulit seperti salak melihat tingkat kerus pengaruh reaksi meta fisiologis disajikan pa Berdasarkan G secara fisiologis pa kerusakan fisiologis ruang, namun pada pe sampai akhir masa s semakin lambat pula (Frazier dan Westhof

Tabel 4. Tota Ke Keranj Kota Keranj Keterangan: Berdasarkan T kemasan keranjang b dengan total 39.58 % kerusakannya adalah kemasan kotak karto

lasi transportasi berlangsung kemasan keranjang bambu t pada alat simulasi transportasi sehingga kemasan semakin

njadi terbuka. Hal ini yang menyebabkan buah salak di terjatuh, buah juga mengalami sobekan pada kulit, terutam but dapat disebabkan oleh adanya gesekan dengan k

ngkan untuk luka memar pada buah belum terlihat pada ersobek setelah simulasi transoprtasi disajikan pada Gambar

. Gejala kerusakan mekanis pada buah salak setelah simula

enggunaan Kemasan dan Suhu Penyimpanan

Pondoh

an mutu buah salak yang terjadi selama penyimpanan dapa titatif yang diuji, antara lain kerusakan fisiologis buah, keke

kadar air dan uji organoleptik. fisiologis buah

simulasi transportasi dilakukan penyimpanan pada suhu rua k mengevaluasi kerusakan fisiologis sebagai efek kerus ortasi. Pengamatan kerusakan secara visual sulit dilakuka i salak. Oleh karena itu diperlukan penyimpanan pada

kerusakan fisiologis akibat kerusakan mekanis dan faktor i metabolisme atau enzimatis dalam bahan. Hasil pengam kan pada Gambar 9 dan Gambar 10 serta Lampiran 2. rkan Gambar 11, Gambar 12 dan Lampiran 2 terlihat bahw

is pada salak pondoh sangat dipengaruhi oleh suhu logis mengalami peningkatan yang signifikan selama pe ada penyimpanan suhu 10oC tingkat kerusakan relatif kecil

asa simpan. Hal ini terjadi karena semakin rendah suhu t pula reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan m esthoff 1978).

. Total kerusakan fisiologis buah salak pondoh sampai akhi pada setiap kemasan

Kemasan Suhu ruang (%)* Suhu 10

eranjang plastik 64.31 39.

Kotak karton 68.99 25.

eranjang bambu 71.08 29.

: * = lama penyimpanan 10 hari ** = lama penyimpanan 20 hari

an Tabel 4, perlakuan kemasan yang paling besar persenta jang bambu dengan total 71.08 % pada suhu ruang dan kem

.58 % pada suhu 10oC. Sedangkan perlakuan kemasan yang adalah kemasan keranjang plastik dengan total 64.31 % karton dengan total 25.26 % pada suhu 10oC. Kerusakan

18 yang digunakan tertekan makin melebar dan anyaman lak di dalamnya keluar dan erutama pada bagian pangkal gan kemasan saat simulasi t pada hari pertama. Gambar

ambar 8.

simulasi transportasi

panan terhadap Mutu

n dapat dilihat pada berbagai kekerasan, susut bobot, total

hu ruang dan suhu 10oC yang kerusakan mekanis selama lakukan terhadap buah yang pada kondisi tersebut untuk faktor lainnya seperti adanya engamatan kerusakan secara t bahwa persentase kerusakan suhu penyimpanan. Tingkat ma penyimpanan pada suhu cil dan terjadi peningkatan suhu yang digunakan maka han mikroba di dalam buah

i akhir penyimpanan hu 10oC (%)**

39.58 25.26 29.87

(20)

pada keranjang bamb koran sehingga panas

Berdasarkan u perlakuan jenis kema penyimpanan hari ke umum buah salak h Sedangkan dari perlak penyimpanan hari ke yang berarti. Pengar disajikan pada Tabel Tabel 5 Kemasan

H01

K1 0.000a

K2 0.000a

K3 0.000a

Keterangan: Angka yan 5% Tabel Suhu S1 S2 Keteranga

Apabila kerus kerusakan lain sepe menyebabkan buah m dengan demikian dap yang disimpan pada s

Gambar 9. Gejala k

Gambar 10. Gej

bambu dapat disebabkan karena kemasan terlalu banyak panas menjadi lebih terakumulasi dibandingkan kemasan la rkan uji analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan (Lampi kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap persentase keru ari ke08 dan hari ke020 terdapat perbedaan nyata. Hal terseb alak hanya dapat bertahan selama kurang lebih 1 ming

perlakuan suhu berpengaruh nyata terhadap persentase keru ari ke03. Hal tersebut terjadi karena pada hari ke01 masih b engaruh kemasan dan suhu terhadap kerusakan fisiolog Tabel 5 dan Tabel 6.

el 5. Pengaruh kemasan terhadap kerusakan fisiologis sal Kerusakan fisiologi hari ke0(%)

H03 H06 H08 H010 H013

.000a 3.388a 5.638a 17.905a 7.380a 5.870 .000a 5.148a 10.088a 13.503b 7.398a 2.865 .000a 5.730a 10.633a 14.885b 5.888a 4.380 ka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

Tabel 6. Pengaruh suhu terhadap kerusakan fisiologis salak Suhu Kerusakan fisiologi hari ke0(%)

H01 H03 H06 H08

0.000a 9.510a 17.572a 29.2683a 0.000a 0.000b 0.000b 1.5933b erangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sa

berbeda nyata pada DMRT 5%

kerusakan mekanis dibiarkan terjadi, hal itu merupaka seperti kimiawi, fisiologis dan mikrobiologis. Akiba

uah menjadi busuk pada bagian ujungnya dan buah menja an dapat menurunkan kualitas dan mutu buah. Gambar gejal pada suhu ruang selama penyimpanan dapat terlihat pada Ga

(a) (b)

ejala kerusakan buah salak pada suhu ruang dengan kondisi ( (b) sudah dikupas

. Gejala kerusakan buah salak pada suhu 10oCdengan kond

19 anyak dibungkus oleh kertas

san lain.

Lampiran 3) diperoleh bahwa e kerusakan, namun pada saat tersebut terjadi karena secara minggu dalam suhu ruang. se kerusakan terutama setelah asih belum terjadi kerusakan isiologis buah salak pondoh

gis salak pondoh

13 H016 H020 5.870a 9.405a 20.785a 2.865a 7.345a 11.770b 4.380a 4.780a 17.525a idak berbeda nyata pada DMRT

s salak pondoh H010 11.777a

2.000b ang sama tidak

pakan awal bagi kerusakan0 Akibat dari kerusakan ini menjadi tidak tahan simpan, r gejala kerusakan buah salak ada Gambar 9 dan 10.

ndisi (a) masih berkulit, dan

(21)

20 Gambar 11. Grafik perubahan persentase kerusakan buah salak pondoh selama

penyimpanan pada suhu ruang

Gambar 12. Grafik perubahan persentase kerusakan buah salak pondoh selama penyimpanan pada suhu dingin 10oC

2. Kekerasan

Kekerasan merupakan salah satu parameter yang menunjukkan kesegaran buah. Kekerasan tergantung pada ketebalan kulit luar buah, kandungan total zat padat, dan kandungan pati yang terdapat pada bahan. Berdasarkan Gambar 13, Gambar 14 dan Lampiran 4 terlihat bahwa nilai kekerasan buah salak pada beberapa kemasan dan suhu mengalami fluktuasi. Secara keseluruhan, buah salak tidak mengalami perubahan kekerasan yang signifikan meskipun ada penurunan. Selama penyimpanan terlihat bahwa pada awal pengukuran tingkat kekerasan cenderung naik dan secara signifikan terjadi puncaknya pada hari ke 6 dengan nilai 2.945 Kgf pada suhu ruang dan hari ke 10 dengan nilai 3.075 Kgf pada suhu 10oC. Pada suhu ruang, nilai kekerasan pada setiap kemasan adalah cenderung sama yaitu menurun setelah hari ke06. Sedangkan pada suhu 100C, kekerasan pada setiap kemasan adalah cenderung menurun setelah hari ke08, dan yang paling tinggi kekerasannya terjadi pada kemasan keranjang plastik sebesar 3.075 Kgf.

Selama penyimpanan, buah salak yang disimpan pada suhu ruang mengalami pengerasan dan pengeringan kulit luar setelah penyimpanan hari ke03, sehingga kulit buah sangat sulit untuk dibuka. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Suter (1988) bahwa buah salak yang disimpan pada kondisi terbuka pada suhu kamar menyebabkan kerusakan0kerusakan berupa kulit dan daging buah menjadi kering, keriput, serta kulit buah menjadi lebih sulit dikupas dibandingkan buah yang segar.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22

K

e

ru

sak

an

(

%

)

Lama Penyimpanan (Hari)

Keranjang plastik Kotak karton Keranjang bambu

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22

K

e

ru

sak

an

(

%

)

Lama Penyimpanan (Hari)

(22)

21 Nilai kekerasan yang berfluktuasi disebabkan oleh kurang seragamnya ukuran dan kematangan sampel yang digunakan sehingga perubahan tidak tampak jelas. Sedangkan adanya Penurunan kekerasan buah disebabkan oleh adanya perubahan komposisi kimia terutama senyawa pectin pada daging buah. Pada proses pematangan, zat pectin yang tidak larut yag disebut protopektin berubah menjadi zat pectin yang dapat larut, sehingga total pectin terlarut bertambah dan zat pectin tak larut berkurang. Keadaan ini yang menyebabkan ketegaran sel menjadi lunak (Kertesz 1951 di dalam Suter 1988).

Berdasarkan hasil uji analisis ragam (Lampiran 5) terlihat bahwa perlakuan jenis kemasan dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap kekerasan buah salak sehingga penggunaan jenis kemasan dan suhu penyimpanan tidak memberikan perbedaan signifikan terhadap penurunan kekerasan. Namun jika dihubungkan dengan salah satu parameter uji organoleptik, yaitu tingkat kesukaan terhadap tekstur buah salak, konsumen lebih menyukai buah salak yang dikemas dalam keranjang plastik dibandingkan buah salak yang dikemas dalam keranjang bambu dan kotak karton. Hal itu dapat terlihat pada suhu ruang maupun suhu 100C. Sehingga dapat dikatakan bahwa konsumen lebih menyukai buah salak yang mempunyai tekstur atau kekerasan yang tinggi.

Gambar 13. Grafik perubahan kekerasan buah salak pondoh selama penyimpanan pada suhu ruang

Gambar 14. Grafik perubahan kekerasan buah salak pondoh selama penyimpanan pada suhu 10oC

3. Susut bobot

Kehilangan bobot dapat terjadi selama proses transportasi maupun penyimpanan. Jika produk mengalami susut bobot yang tinggi, secara ekonomi mengakibatkan kerugian karena massa produk dan nilai jual berkurang. Susut bobot setelah transportasi lebih banyak disebabkan oleh faktor metabolisme buah salak, yaitu respirasi dan transpirasi.

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22

K

e

k

e

ras

an

(

K

g

f)

Lama penyimpanan (Hari)

Keranjang plastik Kotak karton Keranjang bambu

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22

K

e

k

e

ras

an

(

K

g

f)

Lama penyimpanan (Hari)

(23)

22 Selama penyimpanan, senyawa0senyawa kompleks yang terdapat di dalam sel buah salak seperti karbohidrat dipecah menjadi molekul0molekul sederhana seperti CO2 dan H2O yang mudah menguap. Penguapan komponen0komponen tersebut menyebabkan buah mengalami pengurangan bobot buah (Wills et al, 1981). Hasil perubahan susut bobot disajikan pada Gambar 15 dan Gambar 16 serta Lampiran 6. Pada penelitian ini tidak dilakukan perbandingan dengan susut bobot tanpa perlakuan simulasi transportasi.

Berdasarkan Gambar 15, Gambar 16 dan Lampiran 6, susut bobot buah salak selama penyimpanan mengalami peningkatan. Jika membandingkan kedua suhu penyimpanan pada masing0masing kemasan menunjukkan bahwa rata0rata susut bobot pada penyimpanan suhu ruang lebih tinggi daripada suhu 10oC, yaitu 25.38 % pada kemasan keranjang bambu , 19.38 % pada kemasan keranjang plastik dan 19.37 % pada kemasan kotak karton. Pada suhu ruang, laju susut bobot mengalami peningkatan yang tinggi dan yang paling besar terjadi pada perlakuan kemasan keranjang bambu, sedangkan pada suhu 10oC peningkatannya kecil dan tidak signifikan antar kemasan.

Menurut Tubagus (1993) bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju respirasi juga semakin tinggi. Respirasi menyebabkan kehilangan air pada bahan (Kader 1986 di dalam Dhani 2008). Kehilangan air ini penyebab langsung kehilangan secara kuantitatif (susut bobot), kerusakan tekstur (kelunakan dan kelembutan), kerusakan kandungan gizi dan kerusakan lainnya (kelayuan dan pengerutan) (Dhani 2008). Selain itu, menurut Suter (1988), kenaikan susut bobot ini disebabkan oleh kehilangan air dalam buah melalui proses transpirasi. Akumulasi panas di lingkungannya dapat menyebabkan terjadinya transpirasi yang tinggi. Pada kemasan keranjang bambu kemungkinan terjadi transpirasi yang tinggi. Hal tersebut terjadi karena pada kemasan keranjang bambu terdapat lebih banyak lubang ventilasi, sehingga lebih banyak interaksi antara panas di dalam kemasan dengan lingkungan. Oleh karena itu, kemasan jenis ini memungkinkan susut bobot yang tinggi, baik pada suhu ruang maupun pada suhu 10oC.

Menurut Chace dan Pantastico (1975), produk sayuran dan buah0buahan dianggap tidak layak dipasarkan bila mengalami susut bobot sekitar 5%010%. Susut bobot semakin besar sejalan dengan bertambahnya waktu simpan, dan juga tergantung pada suhu dan kelembaban tempat penyimpanan serta cara penyimpanan (Suhardjo et al. 1995).

Berdasarkan hasil uji analisis ragam dan uji lanjut Duncan (Lampiran 7) terlihat bahwa perlakuan jenis kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap susut bobot buah salak sedangkan perlakuan suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap susut bobot buah salak. Dari perlakuan jenis kemasan, hanya penyimpanan hari ke03 yang berbeda nyata. Hal tersebut disebabkan oleh adanya hubungan dengan kadar air. Pada penelitian ini terlihat bahwa kadar air mengalami penurunan pada penyimpanan hari ke03. Menurut Suter (1988), proporsi penurunan kadar air yang lebih besar pada awal penyimpanan dapat disebabkan karena air yang diuapkan pada awal panyimpanan adalah air bebas. Sedangkan dari perlakuan suhu, penyimpanan setelah hari ke03 terdapat perbedaan nyata. Hal tersebut terjadi karena pada penyimpanan hari ke01 masih belum terjadi susut bobot. Pengaruh kemasan dan suhu terhadap susut bobot buah salak pondoh disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8.

Tabel 7. Pengaruh kemasan terhadap susut bobot salak pondoh

Kemasan Susut bobot hari ke0(%)

H01 H03 H06 H08 H010 H013 H016 H020

K1 0.000a 3.7050ab 8.1175a 10.443a 13.260a 9.200a 10.115a 11.075a K2 0.000a 3.0525b 7.2050a 9.680a 13.500a 9.060a 9.560a 10.670a K3 0.000a 4.0900a 8.6400a 12.168a 16.103a 9.425a 10.540a 11.605a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%

Tabel 8. Pengaruh suhu terhadap susut bobot salak pondoh

Suhu Susut bobot hari ke0(%)

H01 H03 H06 H08 H010

S1 0.000a 5.9933a 11.9467a 15.803a 21.373a S2 0.000a 1.2383b 4.0283b 5.723b 7.202b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak

(24)

23 Gambar 15. Grafik perubahan persentase susut bobot buah salak pondoh selama

penyimpanan pada suhu ruang

Gambar 16. Grafik perubahan persentase susut bobot buah salak pondoh selama penyimpanan pada suhu 10oC

4. Total Padatan Terlarut

Total padatan terlarut menunjukkan kadar gula yang terkandung pada buah. Semakin tinggi nilai total padatan terlarut maka semakin besar pula kadar kemanisan buah. Berdasarkan Gambar 17, Gambar 18 dan Lampiran 8 terlihat bahwa total padatan terlarut buah salak pada beberapa kemasan dan suhu penyimpanan cenderung mengalami fluktuasi, sehingga digunakan regresi linier untuk mengetahui seberapa besar penurunannya. Nilai total padatan terlarut buah salak selama penyimpanan adalah berkisar 18.26 0 19.75 % Brix. Nilai total padatan terlarut yang paling tinggi sampai akhir penyimpanan adalah pada kemasan kotak karton, baik pada suhu ruang maupun suhu 10oC.

Bila membandingkan kedua suhu penyimpanan terlihat bahwa nilai total padatan terlarut pada suhu ruang lebih cepat mengalami penurunan dibandingkan dengan suhu 10oC. Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu 10oC lebih mampu mempertahankan nilai total padatan terlarut buah salak selama penyimpanan berlangsung dibandingkan suhu ruang. Selama penelitian dapat terlihat juga bahwa selama penyimpanan pada suhu ruang terdapat perombakan kadar gula di dalam salak, yaitu dari bagian tengah buah ke bagian pangkal buah. Hal tersebut sudah mulai terlihat pada penyimpanan hari ke03. Namun pada suhu dingin sampai hari terakhir penyimpanan pun tidak terlihat.

Fluktuasi yang terjadi disebabkan oleh kesetimbangan proses respirasi dengan proses degradasi gula dalam glikolisis pada buah salak. Menurut Winarno dan Aman (1981), total gula pada buah0buahan meningkat karena terjadinya degradasi dari karbohidrat dan akan menurun pada hari tertentu karena gula yang digunakan untuk proses respirasi akan diubah menjadi senyawa lain. Selain itu, dapat juga disebabkan karena kurang seragamnya ukuran dan kematangan sampel yang digunakan sehingga perubahan tidak tampak jelas terlihat.

0 5 10 15 20 25 30

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

S

u

su

t

b

o

b

o

t

(%

)

Lama penyimpanan (Hari)

Keranjang plastik Kotak karton Keranjang bambu

0 5 10 15 20 25 30

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22

S

u

su

t

b

o

b

o

t

(%

)

Lama penyimpanan (Hari)

(25)

24 Berdasarkan hasil uji analisis ragam (Lampiran 9) terlihat bahwa perlakuan jenis kemasan dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai total padatan terlarut buah salak sehingga penggunaan jenis kemasan dan suhu penyimpanan tidak memberikan perbedaan signifikan terhadap penurunan nilai total padatan terlarut. Namun jika dihubungkan dengan salah satu parameter uji organoleptik, yaitu tingkat kesukaan terhadap rasa buah salak, konsumen paling tidak menyukai buah salak yang dikemas dalam keranjang bambu pada suhu ruang dan keranjang plastik pada suhu 10oC. Hal ini menunjukkan bahwa rasa yang terlalu manis pada salak justru tidak terlalu disukai oleh konsumen. Kebanyakan dari mereka lebih menyukai buah salak yang agak sedikit masam. Menurut Suter (1988), buah salak yang disukai ialah buah salak yang memiliki aroma yang agak tajam, rasa manis asam seimbang sampai dominan manis, serta rasa tidak sepet sampai sedikit rasa sepet.

Gambar 17. Grafik perubahan total padatan terlarut buah salak pondoh selama penyimpanan pada suhu ruang

Gambar 18. Grafik perubahan total padatan terlarut buah salak pondoh selama penyimpanan pada suhu 10oC

5. Kadar air

Berdasarkan Gambar 19, Gambar 20 dan Lampiran 10 terlihat bahwa kadar air buah salak pada beberapa kemasan dan suhu penyimpanan mengalami fluktuasi sehingga digunakan regresi linier untuk mengetahui seberapa besar kenaikannya. Selain itu, terlihat juga bahwa pada awal penyimpanan yaitu pada hari ke03 mengalami penurunan yang cukup signifikan, baik itu pada suhu ruang ataupun pada suhu 10oC. Menurut Suter (1988), proporsi penurunan kadar air yang lebih besar pada awal penyimpanan dapat disebabkan karena air yang diuapkan pada awal panyimpanan adalah air bebas.

Fluktuasi yang terjadi disebabkan oleh tekstur atau kekerasan daging yang semakin melunak akibat proses kerusakan secara biologis dan mikrobiologis. Menurut Setyoningrum

18,00 18,50 19,00 19,50 20,00

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22

T

P

T

(

%

B

ri

x

)

Lama penyimpanan (Hari)

Keranjang plastik Kotak karton Keranjang bambu Linear (Keranjang plastik) Linear (Kotak karton) Linear (Keranjang bambu)

18,00 18,50 19,00 19,50 20,00

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22

T

P

T

(

%

B

ri

x

)

Lama penyimpanan (Hari)

(26)

25 (2009), kadar air erat hubungannya dengan total padatan terlarut, semakin besar kadar air maka semakin kecil total padatan terlarut. Oleh karena itu, dengan semakin menurunnya total padatan terlarut buah salak maka nilai kadar air buah salak akan meningkat dan sebaliknya.

Bila membandingkan kedua suhu penyimpanan terlihat bahwa kadar air pada suhu ruang lebih cepat mengalami kenaikan dibandingkan dengan suhu 10oC. Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu 10oC lebih mampu mempertahankan kadar air buah salak selama penyimpanan berlangsung dibandingkan suhu ruang. Namun, jika dilihat dari persentase nilainya maka kadar air pada suhu 10oC lebih besar jika dibandingkan dengan kadar air pada suhu ruang. Hal tersebut terjadi karena pada suhu dingin, buah yang disimpan tidak terlalu banyak kehilangan air. Pada suhu ruang, nilai kadar air tertinggi terjadi pada kemasan keranjang plastik, sedangkan pada suhu 10oC, nilai kadar air tertinggi terjadi pada kemasan kotak karton.

Berdasarkan hasil uji analisis ragam (Lampiran 11) terlihat bahwa perlakuan jenis kemasan dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air buah salak sehingga penggunaan jenis kemasan dan suhu penyimpanan tidak memberikan perbedaan signifikan terhada

Gambar

Gambar 27. Grafik perubahan nilai organoleptik terhadap rasa buah salak pondoh selama penyimpanan pada suhu ruang
Gambar 31. Grafik perubahan nilai organoleptik terhadap penerimaan umum buah salak pondoh selama penyimpanan pada suhu ruang
Tabel 9. Kondisi terbaik perlakuan (jenis kemasan dan suhu penyimpanan) berdasarkan
Gambar 33. Grafik hubungan nilai kekerasan buah salak terhadap skor hedonik  o
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya hasil penelitian dengan metode penyemprotan pada seluruh permukaan buah menunjukkan konsentrasi kitosan berpengaruh nyata terhadap susut bobot, persentase

Pada ketiga jenis kapasitas tersebut ditunjukkan bahwa perbedaan ukuran dimensi dalam kemasan hanya terdapat pada ukuran lebar kemasan dan jumlah buah pada tiap baris

Secara umum, tingkat kekerasan buah salak yang diberikan perlakuan simulasi La Nina mengalami penurunan yang lebih tinggi dibandingkan pada buah salak tanpa simulasi

Karakter salak pondoh bila dilihat pada berbagai tingkat mutu, persentase bagian yang dapat dimakan, ketebalan, kadar air, gula total, asam total dan tanin daging

Kardus berventilasi dan keranjang plastik merupakan kemasan yang paling baik dalam menekan susut bobot dan kerusakan buah jeruk selama penyimpanan yang dapat memperpanjang masa

Berdasarkan uji statistik, susut bobot salak dengan perlakuan A dan B tidak berbeda nyata sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan kantong LDPE individu pada buah salak

Secara umum, tingkat kekerasan buah salak yang diberikan perlakuan simulasi La Nina mengalami penurunan yang lebih tinggi dibandingkan pada buah salak tanpa simulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Buah Salak pada Beberapa Daerah MA pada Suhu Penyimpanan 10 Gambar 1 sampai dengan Gambar 4 memperlihat kan perubahan kekerasan dan warna daging