• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perancangan Kemasan Transportasi Buah Salak (Salacca edulis) Berbahan Baku Pelepah Salak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perancangan Kemasan Transportasi Buah Salak (Salacca edulis) Berbahan Baku Pelepah Salak"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

PERANCANGAN KEMASAN TRANSPORTASI

BUAH SALAK (

Salacca

edulis

) BERBAHAN

BAKU PELEPAH SALAK

WIYANA LEVI SANTI SIREGAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul PERANCANGAN KEMASAN TRANSPORTASI BUAH SALAK (Salacca edulis) BERBAHAN BAKU PELEPAH SALAK adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks ini dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2007

(3)

ABSTRAK

WIYANA LEVI SANTI SIREGAR. Perancangan Kemasan Transportasi Buah Salak (Salacca Edulis) Berbahan Baku Pelepah Salak. Di bawah bimbingan SUTRISNO (Ketua) dan EMMY DARMAWATI (Anggota).

Ruang lingkup penelitian ini adalah perancangan kemasan yang berbahan baku pelepah salak untuk transportasi buah salak. Perancangan kemasan dilakukan dalam 3 (tiga) tahapan yaitu pengukuran dimensi dan uji sifat mekanis buah dan pelepah salak sebagai tahap I, perancangan dimensi kemasan yang optimal sebagai tahap II, dan uji beban tekan maksimum dan simulasi transportasi kemasan hasil rancangan sebagai tahap III. Simulasi transportasi menggunakan meja getar berfrekuensi 3.34 Hz dan amplitudo 4.85 cm selama 3 (tiga) jam atau setara dengan transportasi sejauh 500 km pada jalan luar kota menggunakan truk yang berfrekuensi 1.4 Hz dan amplitudo 1.74 cm. Perlakuan dalam penelitian adalah 3 (tiga) jenis kapasitas kemasan, yaitu 10, 15, dan 20 kg. Buah salak disusun dengan pola susun face centered cubic (fcc) yang dikembangkan oleh Peleg (1985). Fcc adalah suatu pola susun buah berdasarkan jumlah buah dalam suatu kapasitas kemasan.

Hasil pengujian sifat fisik dan mekanis pelepah salak menunjukkan bahwa pelepah salak yang merupakan limbah dari budidaya tanaman salak dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kemasan. Kondisi optimum pelepah salak diperoleh dengan metode pengeringan berupa penjemuran pelepah sampai kadar air kering udara (10 – 20% bb). Kemasan hasil rancangan yang berkapasitas 15 kg memiliki kekuatan beban tekan maksimum, yaitu 438 kg. Kekuatan ini memenuhi persyaratan perancangan yang mengharuskan kemasan mampu menahan beban tumpukan melebihi bioyield buah salak sebesar 34.186 kg yang didapatkan dari hasil uji sifat mekanis buah salak. Berat tiap buah salak bervariasi meski dalam 1 (satu) varietas dan menyebabkan berat bersih kemasan tidak mencapai kapasitas kemasan. Berat bersih kemasan sebesar 9.64 kg, 13.56 kg, dan 18.1 kg, masing – masing untuk kapasitas 10, 15, dan 20 kg. Bentuk buah salak relatif seragam sehingga pola susun fcc adalah pilihan yang tepat karena memudahkan penyusunan buah salak dalam kemasan.

Hasil simulasi transportasi menunjukkan bahwa kapasitas mempengaruhi persentase kerusakan fisik, persentase luas memar pada tiap buah salak dan laba bersih penjualan buah salak. Semakin besar kapasitas kemasan maka makin besar pula persentase memar dan pecah kulit serta luas memar buah. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan disimpulkan bahwa kapasitas 15 kg adalah kapasitas yang optimal karena persentase kerusakan fisik buah salak pada kapasitas 15 kg berbeda nyata dengan 20 kg dan tidak berbeda nyata dengan 10 kg, meskipun kapasitas 15 kg lebih besar daripada 10 kg. Secara ekonomi, estimasi laba bersih penjualan terbesar diperoleh pada kapasitas 15 kg sehingga penggunaan kapasitas 15 kg lebih menguntungkan daripada 10 dan 20 kg. Berdasarkan hasil – hasil uji tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa kapasitas 15 kg adalah kapasitas kemasan yang optimal dibandingkan kapasitas 20 dan 10 kg.

(4)

ABSTRACT

WIYANA LEVI SANTI SIREGAR. Using of Snakefruit (Salacca edulis) Tree Rods as Packaging Material in Snakefruit Transportation Packaging Design. Under supervision of SUTRISNO (Chair) and EMMY DARMAWATI (Member).

High physical damage occurred during transportation of snakefruit could be solved by using appropriate packaging technology. The objective of this research is to design snakefruit packaging for transportation purpose. Package was made from dried snakefruit tree rods and designed in three capacities; they were 10, 15, and 20 kilograms (kgs). Design used face centered cubic (fcc) pattern package which developed by Peleg (1985). Fcc is a fruit pattern package that based on fruit counts and suitable for snakefruit pattern package because snakefruit dimensions (diameters and high) were less variate than its average weight. Package was also tested with transportation simulation for 3 (three) hours by vibrator with 3.34 Hz frequency and 4.85 cm amplitude. The simulation reflected 500 kilometers of snakefruit transportation ride by truck with 1.4 Hz frequency and 1.74 cm amplitude. After simulation, snakefruit was viewed to analyze the percentage of physical damage which consists of bruise, decay, and peel breaking, bruise spot counts and percentage of bruise spot area, firmness and total soluble solid (TSS). Economic analyzation was carried out to estimate economic loss and net profit of snakefruit sale.

The results shown higher packaging capacities increased the percentage of physical damage and percentage of bruise spot area. Firmness and TSS were not always influenced by packaging capacities; they were depended on snakefruit wall cell condition that influenced by fungi infection which decayed snakefruit. Optimal capacity was reached in 15 kgs capacity. Snakefruit physical damage in 15 kgs was lower than 20 kgs but 15 kgs was not significantly different with 10 kgs. Maximum packaging strength was about 438 kg and also reached in 15 kgs capacity. The packaging strength passed snakefruit bioyield value which was snakefruit package designing requirement. Snakefruit bioyield value was 34.186 kgs. Economically, use of 15 kgs capacity gave more profit than other capacities on snakefruit sale. The results shown 15 kgs was the optimal packaging capacity than others (10 and 20 kgs capacities).

(5)

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut

Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik

(6)

PERANCANGAN KEMASAN TRANSPORTASI

BUAH SALAK (

Salacca

edulis

) BERBAHAN

BAKU PELEPAH SALAK

WIYANA LEVI SANTI SIREGAR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Teknologi Pasca Panen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul tesis : Perancangan Kemasan Transportasi Buah Salak (Salacca edulis) Berbahan Baku Pelepah Salak Nama : Wiyana Levi Santi Siregar

NRP : F051020151

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sutrisno, MAgr. Dr. Ir. Emmy Darmawati, MSi.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pasca Panen

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, MAgr. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, atas segala rahmat

yang dilimpahkan sehingga karya ilmiah berupa tesis yang berjudul Perancangan Kemasan Transportasi Buah Salak (Salaccaedulis) Berbahan Baku Pelepah Salak dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi rintisan dalam pengembangan teknologi pengemasan tepat guna yang memanfaatkan pelepah salak sebagai limbah dari budidaya tanaman salak. Karya ini diharapkan pula

dapat dimanfaatkan sebagai bahan informasi mengenai penelitian yang berkaitan dengan transportasi, khususnya transportasi buah sebagai komoditas hortikultura.

Akhirul kalam, terima kasih sebesar – besarnya dihaturkan kepada Dr. Ir. Sutrisno, MAgr. dan Dr. Ir. Emmy Darmawati, MSi. selaku Komisi Pembimbing, Dr. Y. Aris Purwanto, MSc. selaku penguji dalam ujian akhir tesis,

juga kepada Papa, Mama, Udith, Mimi, Mas Adi, TPP 2002 (Mbak Hani, Mas Slamet, Harmi, Bang Munawar, Mas Enrico, Mbak Novi), Pak Sulyaden dan rekan – rekan di Lab. TPPHP (Neng, Tesi, Bang Nurdin, Bang Muhdar, Adnan), teman – teman sejawat (Bang Ucok dan keluarga, Fida, Lisa, Retno, Imatapsel Bogor, Beni, Hamdan, Isma, Fitri, Nia, Neni) dan semua pihak yang telah berperan serta selama penulis menempuh studi di Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2007

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gunung Tua, Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi

Sumatera Utara pada tanggal 23 Oktober 1978 dari ayah Syafruddin Siregar dan ibu Susni S. Pohan. Penulis adalah anak pertama dari 3 (tiga) bersaudara.

Pada tahun 1997, penulis mendapat kesempatan untuk menempuh studi Sarjana Teknologi Pertanian di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan menyelesaikan studi tersebut pada tahun 2002. Pada tahun 2001, penulis menjadi

(10)

DAFTAR SIMBOL

Simbol Keterangan Satuan

2a diameter mayor buah salak cm

2b diameter minor buah salak cm

2c tinggi buah salak saat diasumsikan berbentuk

spheroid cm

a jari - jari mayor buah salak cm

b jari - jari minor buah salak cm

A panjang kemasan cm

B lebar kemasan cm

C tinggi kemasan cm

d diameter spot memar berbentuk lingkaran cm

F beban tekan kg

h tinggi buah salak cm

i ulangan perlakuan percobaan

K kelompok perlakuan (lapisan buah, posisi kemasan)

KA jumlah buah salak pada baris sejajar sumbu x buah

KB jumlah buah salak pada baris sejajar sumbu y buah

KC jumlah buah salak pada baris sejajar sumbu z buah

L panjang bentangan cm

MOE Modulus of Elasticity kg/ cm2

MOR Modulus of Rupture kg/ cm2

N jumlah buah salak dalam satu jenis bobot kemasan buah

P gaya pembebanan maksimum kg

(11)

Simbol Keterangan Satuan

R jari – jari contoh uji pelepah salak cm

r jari – jari buah salak cm

S densitas (kepadatan kemasan) %

s panjang sisi selimut kerucut cm

V volume kemasan m3

Vk volume buah dalam satu jenis bobot kemasan m3 Yi nilai pengamatan percobaan

faktor perlakuan satu

ε galat nilai pengamatan percobaan

µ nilai tengah pengamatan percobaan

∆P selisih beban pada batas proporsional kg

∆x selang antar buah dalam baris sejajar sumbu x cm

∆y selang antar buah dalam baris sejajar sumbu y cm

∆z selang antar buah dalam baris sejajar sumbu z cm

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR SIMBOL ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR LAMPIRAN... vi

PENDAHULUAN Latar belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Penanganan panen dan pasca panen (segar) buah salak ... 3

Pengemasan buah-buahan ... 6

PENDEKATAN MASALAH Pendekatan geometri buah salak ... 21

Perancangan kemasan ... 22

Pengujian (simulasi) transportasi ... 22

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat ... 24

Tempat dan Waktu... 24

Metode Penelitian ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN Dimensi buah salak... 34

Sifat mekanis buah salak... 35

Sifat fisik dan mekanis pelepah salak ... 36

Perancangan kemasan ... 39

Pembuatan kemasan hasil rancangan... 40

Pengujian beban... 44

Simulasi transportasi... 45

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 59

Saran ... 59

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Penggolongan (grading) buah salak bali berdasarkan kelas mutu ... 5

2 Kelas mutu salak berdasarkan SNI 01–3167–1992 ... 19

3 Formulir hasil uji kekerasan buah salak ... 27

4 Formulir hasil uji transportasi... 30

5 Formulir analisis kehilangan secara ekonomi... 32

6 Hasil pengukuran bobot dan dimensi 3 (tiga) varietas buah salak... 34

7 Kekerasan buah salak ... 35

8 Sifat fisik pelepah salak... 36

9 Sifat mekanis pelepah salak... 37

10Hasil perancangan dimensi dalam kemasan hasil rancangan ... 39

11Dimensi dan berat kemasan hasil rancangan... 42

12Hasil uji beban kemasan rancangan ... 44

13 Jumlah spot memar pada tiap buah salak setelah simulasi... 55

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Produksi buah salak di Indonesia... 1

2 Karung anyaman pandan (sumpit) ... 6

3 Keranjang bambu ... 13

4 Keranjang bambu yang diberi penahan pada bagian atas... 14

5 Pengaturan posisi buah di dalam kemasan bantalan ... 15

6 Pola penyusunan buah jeruk dalam kemasan ... 17

7 Ilustrasi pola penyusunan fcc... 18

8 Ilustrasi asumsi bentuk spheroid buah salak... 21

9 Diagram alir penelitian... 25

10Pengukuran dimensi buah salak... 26

11Ilustrasi luas memar buah salak ... 31

12Ketiga kapasitas kemasan rancangan dalam berbagai sudut pandang .... 41

13Pelepah – pelepah salak yang dijepit dengan kawat ... 41

14Susunan fcc buah salak dan pengisian kertas dalam kemasan... 43

15 Kerusakan kemasan saat diberi uji beban... 45

16Susunan kemasan sebelum simulasi transportasi... 45

17Berbagai kondisi tumpukan setelah simulasi... 46

18Kondisi kemasan setelah simulasi... 46

19Susunan buah sebelum dan setelah simulasi ... 47

20Berbagai kerusakan buah salak setelah simulasi ... 48

21Persentase kerusakan fisik buah salak setelah simulasi ... 50

22Persentase luas memar dan jumlah spot memarbuah salak ... 54

23Kekerasan buah salak setelah simulasi transportasi... 56

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Perhitungan pilihan – pilihan KA, KB, KC pada metode fcc... 63

2 Rumus penghitungan nilai MOE dan MOR pelepah salak ... 64

3 Contoh penghitungan sifat mekanis buah salak... 65

4 Penghitungan sifat fisik dan mekanis pelepah salak ... 66

5 Contoh penghitungan dimensi kemasan hasil rancangan... 67

6 Dimensi kemasan hasil rancangan ... 68

7 Berat kemasan hasil rancangan... 69

8 Hasil uji beban (tekan), ansira dan uji BNT kemasan hasil rancangan... 70

9 Perhitungan kesetaraan jarak tempuh simulasi transportasi kemasan hasil rancangan menggunakan truk pada jalan luar kota ... 72

10Hasil uji lanjut Duncan kerusakan fisik total buah salak ... 74

11Hasil uji lanjut Duncan kerusakan fisik memar buah salak ... 75

12Hasil uji lanjut Duncan kerusakan fisik busuk buah salak ... 76

13Hasil uji lanjut Duncan kerusakan fisik pecah kulit buah salak ... 77

14Hasil uji lanjut Duncan persentase luas memar buah salak... 78

15Hasil uji lanjut Duncan jumlah spot memar buah salak... 79

16Hasil uji lanjut Duncan kekerasan buah salak ... 80

17Hasil uji lanjut Duncan TPT buah salak... 81

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Buah salak (Salacca edulis), sebagaimana mangga, pepaya dan manggis, termasuk buah tropik yang eksotik dan memiliki rasa khas yang menjadi kelebihannya dibandingkan dengan buah-buahan lainnya. Buah asli Nusantara ini juga termasuk buah yang populer di masyarakat Indonesia dan cukup banyak pula

varietas yang telah dikembangkan, di antaranya salak pondoh (Sleman, Yogyakarta), manonjaya (Tasikmalaya), condet (Jakarta), bali (Bali), dan sidimpuan (Sumatera Utara). Tingkat harga eceran buah salak yang relatif terjangkau konsumen dari semua golongan dan ketersediaannya sepanjang tahun (Gambar 1) menempatkan buah salak sebagai salah satu mata dagangan yang

berprospek baik.

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000 900000 1000000

1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003tahun produksi

ju

m

la

h

p

ro

d

u

k

si

(

to

n

)

Gambar 1. Produksi buah salak di Indonesia (Deptan, 2006).

(17)

dilaporkan Suharjo et al. (1995), salak bali yang dikemas dengan peti kayu berdimensi 50 x 30 x 30 cm dan disusun dalam bentuk butiran mengalami kerusakan mekanis sebesar 11.8% setelah diangkut melalui jalan darat dari Bali ke

Malang. Pada salak pondoh, kerusakan mekanis yang terjadi sebesar 6.5% setelah diangkut dari Yogyakarta ke Malang. Napitupulu et al. (2001) juga memaparkan bahwa pada salak sidimpuan yang dikemas dalam karung anyaman pandan (sumpit) berkapasitas 35 – 50 kg/ karung, kehilangan pasca panen yang terjadi sebesar 26.3 – 29.8% setelah diangkut selama 18 jam (Padang Sidimpuan –

Medan) dan disimpan selama 1 (satu) hari. Dengan kondisi transportasi dan penyimpanan yang sama, kehilangan pasca panen menjadi 14.3% bila salak sidimpuan dikemas dengan kardus (kotak karton gelombang) berukuran 40 x 30 x 20 cm dan kapasitas 10 – 11 kg. Sedangkan jika salak sidimpuan dikemas menggunakan kemasan berbentuk kotak dari bingkai kayu sebagai kerangka

kemasan dan pelepah salak segar sebagai dinding kemasan yang dirancang oleh Dalimunthe (2002), kehilangan pasca panen yang terjadi sebesar 8.3 – 9.2% setelah diangkut dan disimpan dengan kondisi yang sama.

Untuk menekan kehilangan pasca panen yang cukup besar ini, salah satu solusi adalah merancang kemasan baru yang berprinsip kepada teknologi tepat guna. Pemilihan teknologi tepat guna didasarkan pada upaya mereduksi biaya kemasan dan kemudahan penerapannya di lapangan. Prinsip teknologi tepat guna

tersebut menjadi pedoman dalam penelitian ini. Kemasan yang dirancang dalam penelitian ini adalah kemasan dengan bahan baku pelepah salak yang dikeringkan dengan penjemuran. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif kemasan yang aplikatif dan ekonomis sebab pelepah salak sebagai bahan baku kemasan relatif selalu tersedia di lapangan dan pembuatannya relatif mudah

sehingga dapat dikerjakan sendiri oleh produsen/ petani.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

1. Merancang kemasan transportasi buah salak berbahan baku pelepah salak.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Penanganan panen dan pasca panen (segar) buah salak

Panen

Buah salak dipanen dengan cara memotong tangkai tandan dengan menggunakan sabit, pisau yang tajam atau gergaji. Buah salak termasuk buah non klimaterik sehingga hanya dapat dipanen jika benar-benar telah matang di pohon,

yang ditandai dengan sisik yang telah jarang, warna kulit buah merah kehitaman atau kuning tua, bulu-bulu di kulit telah hilang, bila dipetik mudah terlepas dari tangkai dan beraroma salak.

Panen dilakukan dalam keadaan cuaca kering (tidak hujan) pada pagi hari (pukul 9 – 10 pagi) saat buah sudah tidak berembun. Jika panen dilakukan pada

saat terlalu pagi dan buah masih berembun maka buah akan mudah kotor dan bila luka sangat rentan terserang penyakit. Bila panen dilakukan pada siang hari, buah akan mengalami penguapan sehingga susut lebih banyak, sedangkan bila pada sore hari dapat berakibat lamanya waktu menunggu, kecuali harus bekerja pada malam hari (Sabari, 1983, diacu dalam Mohamad, 1990).

Salak dipanen saat berumur 5 – 6 bulan umur bunga. Untuk salak pondoh, panen raya terjadi pada periode November – Januari, masa panen sedang terjadi

pada Mei – Juli, masa panen kecil pada periode Februari – April, dan masa istirahat (kosong) terjadi pada periode Agustus – Oktober. Buah yang masih dapat dipanen pada masa istirahat disebut buah slandren (Arief, 2003). Buah salak pondoh sebenarnya dapat dipanen sebelum berumur 5 bulan (umur bunga) karena rasanya sudah manis dan tidak sepat meski masih muda, namun akan

diperoleh buah berukuran kecil dan beraroma lemah karena komponen penyusun aroma buah salak belum terbentuk optimal (Suhardjo et al., 1995).

Pada salak bali panen raya berlangsung dari bulan Desember hingga Maret, masa panen kecil yang disebut Gadu terjadi pada periode Juli – Agustus (Damayanti, 1999). Salak bali disarankan untuk dipanen pada umur 5 bulan

(19)

Salak sidimpuan biasanya dipanen pada umur bunga 5.5 bulan. Salak diangkut menggunakan kereta sorong (beko) maupun kuda menuju tempat pengumpulan (Napitupulu et al., 2001). Salak condet dipanen mulai umur bunga 5 bulan karena pada umur tersebut salak condet memiliki kadar gula tertinggi. Kadar gula ini akan menurun pada umur 6 bulan dan disertai dengan penurunan kadar asam dan kadar tanin (Suhardjo et al., 1995).

Pengumpulan dan pembersihan

Buah salak yang dipanen dimasukkan ke dalam keranjang bambu atau peti kayu yang diberi alas daun-daunan. Beberapa petani maju menggunakan peti plastik jenis HDPE (high density polyethylene) untuk membawa salak dari kebun ke kios atau toko yang sekaligus sebagai tempat pengumpulan dan pengemasan. Buah salak diletakkan di tempat yang teduh, seperti di bawah pohon atau

naungan, untuk melindungi dari sengatan matahari yang dapat meningkatkan suhu buah salak sehingga mempercepat kerusakan (Suhardjo et al., 1995).

Kebersihan salak berpengaruh terhadap masa simpan buah salak. Tandan salak sering diletakkan dekat dengan permukaan tanah sehingga kotoran dapat menempel pada buah salak dan menyebabkan binatang-binatang kecil yang menyukai tempat lembab sering bersembunyi di antara buah dalam tandan. Pembersihan buah salak dilakukan dengan menyikat buah menggunakan sikat ijuk

atau plastik dengan gerakan searah susunan sisik (Suhardjo et al., 1995) sehingga buah salak bersih dari kotoran dan sisa-sisa duri. Bersamaan dengan pembersihan dapat dilakukan sortasi dan penggolongan (grading).

Sortasi dan Penggolongan

Sortasi bertujuan memilih buah yang baik, tidak cacat, dan dipisahkan dari buah yang busuk, pecah, tergores atau tertusuk. Juga berguna untuk membersihkan buah salak dari kotoran, sisa – sisa duri, tangkai dan ranting. Khusus pada salak bali dengan tujuan pasar lokal tidak dilakukan sortasi (Damayanti, 1999).

(20)

anyaman pandan, buah salak sidimpuan digolongkan secara manual ke dalam 2 (dua) kelas yaitu kelas ukuran besar dan kelas ukuran sedang yang dicampur dengan ukuran kecil (Napitupulu et al., 2001). Penggolongan buah salak bali didasarkan kepada besar, bentuk, penampilan, warna, corak, bebas penyakit dan tidak cacat atau luka (Tabel 1)

Tabel 1. Penggolongan buah salak bali (Suhardjo et al., 1995)

Kelas Mutu Ciri – ciri

AA (super) 12 buah/ kg, sehat, warna kulit kekuningan

AB (sedang) 15 – 19 buah/ kg, sehat

C (kecil) 25 – 30 buah/ kg, bahan baku manisan

BS (tidak diperdagangkan) Busuk, pecah

Untuk pasar ekspor, persyaratan mutu lebih tinggi dengan mengikuti

persyaratan yang ditetapkan pembeli luar negeri. Pasar Eropa menetapkan persyaratan keutuhan buah, kesegaran, kehalusan permukaan kulit buah, bebas dari kerusakan fisik, mikrobiologis ataupun bau asing, derajat ketuaan yang tepat dan keadaan yang baik sampai tujuan (Suhardjo et al., 1995).

Penyimpanan

Penyimpanan yang dilakukan petani atau pedagang hanya bersifat sementara dan dilakukan di lapangan. Petani/ pedagang belum melakukan kegiatan penyimpanan yang bertujuan untuk memperpanjang masa simpan buah salak sebelum dipasarkan. Buah yang telah disortasi dan digolongkan dikemas ke

dalam karung anyaman pandan atau keranjang menunggu dimuat ke sarana pengangkutan.

Pengangkutan (transportasi) dan pengemasan

Biasanya buah salak dikemas dalam keranjang bambu (besek)

berkapasitas 5, 10, dan 20 kilogram. Pada kemasan salak pondoh, buah salak yang masih utuh pada tandan diletakkan di tengah dan di sekelilingnya diletakkan

(21)

dikemas dalam karung anyaman pandan yang disebut sumpit dengan kapasitas yang bervariasi sekitar 35 sampai 50 kg/ karung menggunakan kemasan pengisi (bantalan) berupa serat pelepah kering tanaman salak (Gambar 2).

Gambar 2. Karung anyaman pandan (sumpit).

Pengangkutan salak sidimpuan dari kebun ke tempat pengumpulan berjarak sekitar 1 km. Untuk penjualan ke pasar lokal setempat, buah salak

diangkut menggunakan sarana angkutan mobil pickup dan biaya transportasi ditanggung oleh petani. Untuk pemasaran di luar daerah Padang Sidimpuan, digunakan truk Fuso dan Colt Diesel yang dilengkapi dengan penutup terpal.

Kapasitas Truk Fuso sekitar 7 ton (± 300 karung anyaman pandan). Untuk pasar

ekspor, buah salak dikemas dengan karton bergelombang yang berkapasitas 10 – 11 kg. Dalam kemasan ini, digunakan daun pisang kering maupun potongan

kertas koran sebagai kemasan pengisi.

Pengemasan buah-buahan

Tujuan dan fungsi pengemasan

(22)

perlindungan produk, kegunaan (utility), dan informasi. Untuk keperluan transportasi, fungsi pengemasan lebih diutamakan untuk pemuatan dan perlindungan. Sedangkan pengemasan eceran (retail) lebih dititik – beratkan pada fungsi kegunaan dan informasi produk (Peleg, 1985).

Buah yang akan diangkut dapat dikemas menggunakan berbagai jenis kemasan, seperti karung goni, kardus, keranjang plastik atau bambu, tray dari stirofoam dan plastik film, dan peti kayu. Disamping itu, terdapat juga jenis kemasan yang khas sentra produksi buah, misalnya kemasan karung anyaman

bambu (sumpit) pada transportasi buah salak sidimpuan.

Kerusakan buah dan kemasan selama transportasi

Selama transportasi, buah-buahan yang dikemas mengalami kerusakan, dapat berupa kerusakan kimiawi, fisik dan mikrobiologis. Kerusakan kimiawi

ditandai dengan adanya perubahan warna buah (discoloration) dan busuk (karat) pada buah akibat terinfeksi mikroorganisme. Kerusakan fisik ditandai dengan adanya pecah (kulit terkelupas), memar dan luka pada buah (Waluyo, 1991). Kerusakan ini diakibatkan oleh benturan (shock) dan getaran (vibration) selama transportasi (Maezawa, 1990), beban tekanan yang dialami buah (stress), varietas, tingkat kematangan, bobot dan ukuran buah, karakteristik kulit buah serta kondisi lingkungan di sekitar buah (Kays, 1991).

Kerusakan fisik dapat juga disebabkan oleh isi kemasan terlalu penuh (over packing) ataupun terlalu kurang (underpacking) dan penumpukan kemasan yang terlalu tinggi. Isi kemasan yang terlalu penuh mengakibatkan bertambahnya tekanan (compression) pada buah, sedangkan isi kemasan yang terlalu kurang akan menyebabkan buah yang terletak pada bagian atas saling berbenturan dan

terlempar karena getaran maupun benturan yang berlangsung selama transportasi. Penumpukan kemasan yang terlalu tinggi menyebabkan buah pada lapisan dasar dalam kemasan yang paling bawah dari tumpukan akan mengalami kerusakan tekan akibat penambahan tekanan dari tumpukan kemasan (Darmawati, 1994).

Pada pengemasan buah salak, kerusakan yang terjadi umumnya adalah

(23)

dan hangat dalam kemasan selama pengangkutan mendorong pembusukan berlangsung lebih cepat. Buah yang mengalami luka fisik juga lebih cepat busuk, sehingga memberikan tampilan yang buruk untuk dijual.

Hasil – hasil penelitian terdahulu

Hasil penelitian Singh dan Xu (1993) menunjukkan bahwa kerusakan fisik pada buah apel Mc-Intosh dipengaruhi oleh jenis kemasan dan vibrasi kendaraan transportasi (truk). Dalam penelitian ini tingkat kerusakan fisik diuji dengan

simulasi transportasi menggunakan meja getar elektrohidraulik. Uji mengacu pada Metode A, ASTM D4728-87 dan merefleksikan transportasi pada 2 (dua) jenis suspensi truk yaitu suspensi pegas daun (leaf spring suspension) dan suspensi bantalan udara (air-ride suspension) yang mensimulasikan perjalanan sejauh 88 km/jam (55 mph) pada jalan tol antar daerah selama 180 menit

menggunakan truk bermuatan 8.172 kg (18,000 lb). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemasan FTHS (full telescopic half slotted) berkapasitas 96 buah apel dan menggunakan tray polistiren adalah kemasan yang terbaik dalam mengurangi kerusakan fisik dengan persentase kememaran sebesar 5.2% jika diangkut menggunakan truk dengan suspensi pegas daun dan sebesar 1.0% dengan suspensi bantalan udara. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penggunaan suspensi bantalan udara untuk truk (kendaraan transportasi) lebih optimal dalam

mengurangi kerusakan fisik daripada penggunaan suspensi pegas daun.

Hasil dari penelitian Ög t et al. (1999) menunjukkan jenis kemasan bantalan berpengaruh nyata terhadap modulus elastisitas (P < 0.01) setelah transportasi pada buah peach (Golden Elberta cling). Tingkat perubahan terkecil (modulus elastisitas sebelum dan sesudah simulasi transportasi) terjadi pada

bantalan papan kertas (paperboard) sedangkan tingkat perubahan modulus elastisitas terbesar terjadi pada bantalan kayu.

Studman (1999) meneliti pengaruh kemasan terhadap tingkat kerusakan fisik (memar) akibat transportasi dengan menggunakan metode finite element pada buah apel di Selandia Baru. Hasil percobaan menunjukkan bahwa persentase

(24)

rendah daripada buah apel yang disusun dalam kardus berkapasitas 88 buah apel, masing – masing berkisar 15 – 73% dan 53 - 94%.

Hasil penelitian Waluyo (1990) menunjukkan bahwa kerusakan fisik

buah-buahan selama proses transportasi dipengaruhi oleh varietas buah, jenis kemasan, pola susunan buah dalam kemasan dan lama transportasi. Penelitian dilakukan terhadap 3 (tiga) varietas buah jeruk (Citrus sinensis, C. nobilis, dan C.

reticulata). Semakin lama transportasi maka kerusakan fisik yang terjadi juga makin besar, kerusakan fisik buah jeruk yang mengalami simulasi transportasi

selama 8 (delapan) jam mencapai 4.40% sedangkan pada simulasi selama 4 (empat) jam mencapai 1.99%. Simulasi pengangkutan truk selama 4 (empat) dan 8 (delapan) jam masing – masing setara dengan perjalanan sepanjang 653 kilometer dan 1,307 km dengan amplitudo getaran 1.74 cm pada jalan luar kota.

CGS Noer (1998) memaparkan bahwa pada transportasi jarak dekat, jenis

kemasan tidak berpengaruh nyata dalam mereduksi kerusakan fisik pada komoditi tomat segar. Dari hasil uji transportasi menggunakan truk selama 6 (enam) jam sejauh 230 kilometer (Brastagi – Tanjung Balai), dibuktikan bahwa perlakuan jenis kemasan dan cara penyusunan buah dalam kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap kerusakan fisik, pH, total padatan terlarut dan derajat kematangan tomat segar. Namun cara penyusunan buah dalam kemasan berpengaruh nyata terhadap susut bobot dan kekerasan tomat segar.

Suatu program komputer perancangan kemasan karton gelombang untuk transportasi buah-buahan telah disusun Darmawati (1994). Buah yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jeruk siam pontianak. Kemasan hasil rancangan diuji dengan simulasi transportasi meja getar selama 8 (delapan) jam setara dengan pengangkutan dengan truk dalam jarak tempuh 2,490 km panjang jalan

beraspal baik atau 905 km panjang jalan buruk berbatu. Hasil percobaan menunjukkan tingkat kerusakan buah dalam kemasan yang dinyatakan sebagai persentase penurunan nilai kekerasan dan IKS (Indeks Kememaran Setara) dipengaruhi oleh tipe flute dan ketebalan karton gelombang.

Shahabasi et. all (1995) telah meneliti pendugaan ketinggian tumpukan

(25)

pada umur petik 1 hari dan hanya dapat ditumpuk setinggi 3 meter pada umur simapn 45 hari dalam penyimpanan dingin.

Chen dan Yazdani (1991) meneliti pengaruh ketinggian benturan dan jenis

bantalan terhadap tingkat kememaran apel varietas Golden Delicious. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa apel Golden Delicious sangat rentan terhadap memar, karena itu sebaiknya apel tersebut tidak mendapat perlakuan jatuhan (dropping) bahkan dari ketinggian jatuh yang rendah. Untuk menghindari memar, yang terbaik adalah menggunakan bantalan setebal 6.35 mm, karena volume

memar yang terjadi hanya berkisar 0 – 0.5 cm3 pada ketinggian jatuh 0 – 40 cm. Abrar (2000) meneliti tentang pengukuran tingkat kememaran buah Salak Pondoh menggunakan pengolahan citra. Dari penelitian ini didapatkan persamaan laju kerusakan memar buah salak pada suhu 26 oC dan suhu penyimpanan 10 oC, masing – masing adalah M26 = 100e-0.0041t dan M10 = 100e-0.0016t. Kadar gula buah

salak yang memar mengalami peningkatan dengan bertambahnya waktu, dengan koefisien determinasi hubungan kadar gula dan luas memar untuk suhu 26 oC adalah 0.5624 dan 0.066 untuk suhu penyimpanan 10 oC. Kekerasan buah salak yang memar menurun dengan bertambahnya umur simpan dengan koefisien determinasi hubungan kekerasan dan luas memar untuk suhu 26 oC adalah 0.7289 dan 0.8991 untuk suhu penyimpanan 10 oC.

Suhardjo et al. (1995) memaparkan beberapa informasi mengenai kerusakan fisik buah salak akibat transportasi di Indonesia yang berkaitan dengan kondisi transportasi dan jenis kemasan. Pada salak manonjaya, buah salak dikemas dengan keranjang bambu (besek) yang berkapasitas 30 – 40 kg dan disusun secara acak. Salak pondoh juga dikemas dalam keranjang bambu berbobot 5, 10 dan 20 kg dan disusun dengan meletakkan buah salak yang masih

melekat pada tandannya di tengah-tengah kemasan dan di sekelilingnya diletakkan buah salak yang berbentuk butiran. Buah salak bali disusun sama dengan cara susun salak pondoh, namun kemasan yang digunakan adalah peti kayu dengan berat kotor 10 kg (50 x 30 x 30 cm). Kerusakan fisik pada cara susun tersebut lebih kecil daripada cara susun butiran. Pada salak bali yang disusun dalam peti

(26)

Pada salak bali, kerusakan fisik dalam bentuk tandan sebesar 6.3% dan dalam bentuk butiran 6.5% setelah transportasi dari Yogyakarta ke Malang.

Alternatif pengemasan buah salak menggunakan kemasan atmosfir

termodifikasi (MAP) untuk transportasi dengan kereta api telah diteliti oleh Mohamad (1990). Hasil penelitian menunjukkan kombinasi konsentrasi gas CO2

dan O2 yang optimal adalah 10% O2dan 2.0% CO2. Setelah simulasi transportasi,

secara organoleptik buah salak pondoh masih disukai konsumen sampai penyimpanan hari ke – 20 dan mengandung total padatan terlarut 17.8%.

Hasil penelitian Dalimunthe (2002) menunjukkan bahwa kemasan transportasi buah salak dapat dibuat dari pelepah-pelepah salak segar, namun di dalam laporan penelitiannya tidak terdapat informasi tentang dimensi dan kekuatan (mekanis) kemasan. Kemasan yang dirancang Dalimunthe (2002) adalah kemasan berbentuk kotak dengan bingkai (kerangka) kemasan dari kayu

dan dinding kemasan dari pelepah-pelepah salak segar. Dari hasil uji transportasi menggunakan truk selama 10 jam (Padang Sidimpuan – Medan) ditunjukkan bahwa kerusakan fisik buah salak yang paling rendah yaitu sebesar 8.3 – 9.2% didapatkan pada kemasan berbobot 10 kg dengan masa penyimpanan 2 (dua) hari dibandingkan dengan kemasan berbobot 15 kg dan 20 kg dan masa simpan 4 (empat) dan 6 (enam) hari setelah transportasi.

Perancangan kemasan transportasi buah – buahan

Syarat-syarat perancangan

Kemasan transportasi untuk komoditi hortikultura, khususnya buah, lebih ditujukan untuk melindungi buah dari kerusakan yang dapat menurunkan mutu buah, maka aspek teknis menjadi pertimbangan utama dalam perancangan kemasan tersebut. Aspek teknis perancangan mencakup pemilihan bahan kemasan, bentuk dan dimensi kemasan, serta uji-uji sifat fisik dan reologi yang

berkaitan dengan aspek tersebut dan tetap mempertimbangkan sifat-sifat kritis komoditi hortikultura yang mempengaruhi perubahan mutu komoditi tersebut selama transportasi.

(27)

mengutamakan bahan yang dapat melindungi produk dari kerusakan fisik selama transportasi. Kemasan harus mampu menahan beban tumpukan, dampak pemuatan dan pembongkaran buah dari sarana transportasi, serta getaran dan

benturan selama perjalanan (Waluyo, 1990). Dengan kata lain, kemasan harus mampu menahan beban dan bersifat kaku (rigid) sehingga tidak mentransfer beban apapun kepada buah (Hilton, 1993).

Dalam merancang kemasan transportasi untuk komoditi hortikultura perlu diperhatikan persyaratan – persyaratan berikut (Soedibjo, 1972, diacu dalam

Waluyo, 1990) :

1. Kemasan harus benar – benar berfungsi sebagai wadah yang dapat diisi produk.

2. Kemasan harus tahan dan tidak berubah bentuk selama pengangkutan. 3. Permukaan bagian dalam kemasan harus halus sehingga produk tidak rusak

selama pengangkutan.

4. Ventilasi kemasan harus cukup, sehingga dapat mengeluarkan gas hasil metabolisme produk dan menurunkan panas yang timbul. Selain itu, juga dapat menahan laju transpirasi dan respirasi dari produk.

5. Bahan untuk kemasan harus cukup kering sehingga beratnya tetap (konstan), dan tidak mengabsorpsi air dan perisa (flavour) produk.

6. Kemasan harus bersih dan tidak memindahkan infeksi penyakit ke produk,

bahan kemasan juga harus tahan serangan jamur, gigitan serangga dan tikus. 7. Kemasan harus mudah diangkat dan dapat disusun pada bak – bak alat

angkut dengan sistem pallet (khusus untuk ekspor).

8. Kemasan harus ekonomis dan bahan kemasan terdapat di sentra produksi. Persyaratan perancangan serupa juga dipaparkan oleh Roswita dan Erma

(1999) untuk kemasan transportasi buah markisa, yaitu :

1. Kemasan cukup kuat sehingga dapat melindungi buah dari memar, getaran dan tekanan dari tumpukan kemasan.

2. Mempunyai sirkulasi udara yang baik.

3. Mempunyai permukaan yang halus agar buah tidak luka

(28)

Fungsi proteksi terhadap buah dapat dipenuhi dengan baik dalam penggunaan kemasan peti kayu, stirofoam, dan keranjang plastik yang keras (crates), sedangkan pada kardus (kotak karton gelombang) hanya mampu bila ditumpuk setinggi 6 – 7 tumpukan saja. Selain itu jika isi kardus terlalu padat atau RH lingkungan tinggi, maka kardus tidak mampu lagi menahan beban dan mentransfer beban tersebut kepada buah. Compressive strength kardus menurun sekitar 35% jika kadar air meningkat dari 10% ke 15% (Hilton, 1993).

Hal tersebut sejalan dengan Marcondes (1992) yang menyatakan bahwa

RH yang tinggi akan menurunkan compressive strength bahan-bahan dari papan serat korugasi (corrugated fibreboard). Penurunan kemampuan kardus dalam menahan beban akibat RH yang tinggi dapat diatasi dengan pemberian lapisan lilin (waxing) pada bagian dalam dan luar kemasan kardus, atau cukup pada bagian dalam kemasan agar lebih ekonomis (Hilton, 1993).

Penggunaan keranjang bambu kurang efektif sebagai kemasan transportasi, karena penampang kemasan yang berbentuk lingkaran, daripada kemasan lain yang berpenampang segi empat seperti kayu dan kardus. Bentuk penampang lingkaran pada keranjang bambu menyebabkan keranjang bambu bersifat fleksibel saat dikenai beban tumpukan terutama bila diisi penuh (padat) sehingga buah juga akan menerima beban tumpukan tersebut (Gambar 3).

Gambar 3. Keranjang bambu.

(29)

(Gambar 4). Selain itu pengisian buah diatur sedemikian rupa sehingga keranjang tidak terlalu padat (overfilled) (Hilton, 1993).

Gambar 4. Keranjang bambu yang diberi penahan pada bagian atas.

Kapasitas kemasan ditentukan berdasarkan sistem penanganan yang akan

digunakan pada transportasi. Menurut Peleg (1985), kapasitas kemasan untuk penanganan sesuai kemampuan manusia (suitable for carrying man) adalah 15 – 30 kilogram dan sekitar 200 – 500 kilogram untuk sistem penanganan mesin (suitable for forklifthandling).

Menurut Hilton (1993) vibrasi dan benturan selama transportasi dapat

diredam dengan penggunaan kemasan bantalan. Pada jenis kemasan yang terbuat dari kayu atau plastik (hard plastic), kemasan bantalan harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat meredam vibrasi dan benturan sekaligus dapat menjaga posisi buah tidak berubah di dalam wadah kemasan bantalan selama proses transportasi dan tidak menyentuh dasar kemasan primer (Gambar 5).

Komoditi hortikultura bersifat mudah rusak (perishable) dan masih melakukan metabolisme sebagai aktivitas hidup maka pemuatan produk dalam kemasan harus dilakukan secara efisien untuk menghindari kerusakan produk selama transportasi. Penggunaan 60 – 65% volume kemasan adalah penggunaan volume kemasan yang baik untuk mengurangi kerusakan produk karena masih tersedianya ruang dalam kemasan untuk pertukaran gas – gas yang dihasilkan dari

(30)

Waluyo (1990) memaparkan produk (buah) yang dikemas akan semakin rusak bila frekuensi alat angkut (kendaraan transportasi) sesuai dengan natural

frequency buah karena timbul resonansi sehingga buah akan berbenturan dengan lebih kuat dan sering. Natural frequency adalah getaran yang dialami suatu sistem massa pegas (spring mass system) pada frekuensi tertentu yang bersifat tetap setelah sistem massa pegas tersebut (dalam hal ini buah-buahan) diberi beban tekanan (Maezawa, 1990).

Agar natural frequency buah yang dikemas tidak sama dengan frekuensi gaya yang diberikan (forced frequency), maka dapat digunakan kendaraan yang frekuensi suspensinya berbeda dengan natural frequency buah yang diangkut (Hilton, 1993) atau dengan cara menambah massa buah yang dikemas sehingga memperkecil damping ratio. Penambahan massa buah harus tetap memperhatikan beban tumpukan yang diterima buah pada lapisan paling bawah kemasan tidak

melebihi beban maksimum (bioyield) yang dapat diterima buah (Waluyo, 1990). Nilai naturalfrequency buah dapat ditentukan dengan menggunakan kurva relaksasi buah yang menunjukkan sifat viskoelastis buah sebagai salah satu sifat reologi buah. Apabila sifat tersebut telah diketahui, maka dapat digunakan untuk mencari nilai tetapan model Maxwell – Kelvin yang disederhanakan (Simplified

Maxwell – Kelvin Model) untuk memperkirakan perilaku buah dalam kemasan.

Gambar 5. Pengaturan posisi buah di dalam kemasan bantalan.

Pada perancangan kemasan transportasi komoditi hortikultura juga dilakukan serangkaian pengujian untuk menilai kemasan hasil rancangan tersebut. Secara garis besar, pengujian-pengujian ini dapat digolongkan pada 2 (dua) jenis

kurang tepat

Kemasan primer

tepat berlebihan

(31)

uji yaitu pengujian terhadap kemasan hasil rancangan dan pengujian terhadap komoditi hortikultura. Pengujian terhadap kemasan hasil rancangan berupa uji beban tekan (compression testing) dan uji ketinggian jatuh (dropping testing) dengan sampel uji tiap kemasan hasil rancangan. Untuk pengujian kemasan hasil rancangan secara tumpukan, dilakukan uji transportasi baik berupa simulasi di laboratorium maupun uji langsung di lapangan sesuai jalur transportasi yang ditentukan (Peleg, 1985). Adapun pengujian terhadap komoditi yang diangkut bertujuan untuk menganalisis kerusakan yang timbul sebelum dan sesudah proses

transportasi, biasanya berupa pengukuran sifat-sifat kritis komoditi yang mempengaruhi mutu komoditi, seperti sifat fisik, reologi, kimia, fisiologik dan organoleptik. Contoh dari sifat fisik dan reologi yang diuji adalah persentase kememaran, firmness, modulus elastisitas dan susut bobot. Sifat kimia misalnya total padatan terlarut, pH, dan kadar vitamin C, dan sifat fisiologik misalnya laju

respirasi (Purwanto, 1986; Waluyo, 1990; Mohamad, 1990; Ög t et al., 1997; CGS Noer, 1998; Darmawati, 1994; Dalimunthe, 2002; Anwar, 2005).

Pola penyusunan buah dalam kemasan

Secara garis besar, pola penyusunan buah dalam kemasan dapat digolongkan dalam 2 cara, yaitu pola penyusunan buah secara acak (jumble pack), dan pola penyusunan secara teratur (pattern pack). Pola penyusunan buah secara acak adalah pola yang paling umum digunakan, terutama untuk buah – buahan yang berharga murah. Pola ini adalah pola yang paling tua, paling sederhana dan berbiaya rendah daripada semua pola penyusunan secara teratur. Namun pola ini menyebabkan kerusakan buah yang tinggi, kepadatan buah dalam kemasan yang lebih rendah dan penampilan yang kurang menarik.

(32)
[image:32.612.177.496.77.254.2]

Gambar 6. Pola penyusunan buah jeruk dalam kemasan.

Penelitian Waluyo (1990) terhadap buah jeruk yang dikemas dalam peti

kayu menunjukkan bahwa pola susunan 3-2 lebih unggul daripada pola 3-3. Setelah simulasi transportasi selama 8 (delapan) jam, kekerasan buah jeruk yang disusun dengan pola 3-2 sebesar 4.9733 kg/cm2 sedangkan kekerasan buah jeruk dengan pola 3-3 sebesar 4.0800 kg/cm2.

Peleg (1985) mengembangkan pola penyusunan buah secara teratur berdasarkan jarak (selang) antara buah dalam 3 (tiga) dimensi atau sesuai dengan

sumbu cartesius (x, y, z) dan disebut sebagai Pola Region I, Pola Region II dan Pola fcc (face-centered cubic). Di antara ketiga pola tersebut, pola fcc merupakan pola susun yang optimal. Pola susun fcc adalah suatu cara penyusunan dalam kemasan dengan bentuk susunan yang mirip kubus. Bentuk kubus ini ditunjukkan dengan 5 (lima) buah sebagai contoh susunan, dimana 1 (satu) buah sebagai pusat yang diletakkan di tengah – tengah (titik pusat) kubus dan 4 (empat) buah masing

(33)

Gambar 7. Ilustrasi pola penyusunan fcc.

Pola susun fcc diawali dengan menentukan jumlah buah dalam kemasan (N). Selanjutnya jumlah buah dalam kemasan menjadi acuan dalam menentukan jumlah buah pada tiap baris/ lajur kemasan (KA, KB, KC). Adapun kombinasi nilai

KA, KB, KC didasarkan pada jenis pola baris buah, yaitu pola baris simetris atau

non simetris.

Rumusan pola baris non simetris: N = (KAKBKC)/ 2...(1)

Disebabkan N harus suatu bilangan bulat, setidaknya salah satu dari KA,

KB dan KCharus suatu bilangan genap agar didapatkan pola baris non simetris

tersebut.

Rumusan pola baris simetris: N = (KAKBKC+ 1)/ 2...(2)

Sedangkan pola baris simetris, KA, KB, dan KCharus termasuk bilangan

ganjil agar N tetap suatu bilangan bulat.

Setelah pola baris KA, KB, dan KC ditentukan, selanjutnya dapat dihitung

ukuran dimensi kemasan dengan rumusan:

A = (1.41 KA + 0.59)a ………...(3)

B = (1.41 KB + 0.59)b ………...….(4)

C = (1.41 KC + 0.59)b ………...(5)

Dan volume kemasan ditentukan dengan rumus:

V = ABC...(6) Sedangkan volume total buah dalam kemasan adalah:

c B A

k ab K K K

V 2

3 2

π

(34)

Sehingga kepadatan (densitas) kemasan didapatkan:

S = Vk/ V...(8) Adapun jarak antar buah dalam pola fcc diatur dalam 3 (tiga) dimensi sesuai 3 (tiga) sumbu cartesius (sumbu x, y, z) ditentukan dengan rumusan:

∆x = 0.82a ………...(9)

∆y = 0.82b ………...(10)

∆z = 0.82b ………...(11)

Salah satu keuntungan dari pola susun fcc ini dibandingkan pola susun konvensional adalah penggunaan volume kemasan yang lebih baik sehingga dapat menghemat biaya transportasi, penyimpanan dan bahan kemasan dengan tetap

mempertahankan mutu buah-buahan yang dikemas.

Standar Mutu Salak

Standar mutu salak Indonesia tercantum pada SNI 01 – 3167 – 1992. Salak dibagi atas 2 (dua) kelas mutu, yaitu mutu I dan mutu II (Tabel 2). Ukuran

[image:34.612.131.504.477.591.2]

berat dibagi atas ukuran besar untuk salak yang berbobot 61 gram atau lebih per buah, ukuran sedang berbobot 33 – 60 gram/ buah, dan ukuran kecil berbobot 32 gram atau kurang per buah.

Tabel 2. Kelas mutu salak berdasarkan SNI 01–3167–1992

Tingkat Mutu I Mutu II

Ketuaan Seragam tua Kurang seragam

Kekerasan Keras Keras

Kerusakan kulit buah Utuh Kurang utuh

Ukuran Seragam Seragam

Busuk (bobot/bobot) 1% 1%

(35)

PENDEKATAN MASALAH

Kerugian akibat kerusakan pasca panen setelah transportasi pada buah salak

masih cukup besar. Besarnya kehilangan ini tidak hanya disebabkan oleh sifat buah salak

yang mudah rusak (

perishable

), tetapi dipengaruhi oleh kondisi transportasi, seperti

kemasan yang digunakan dan sarana transportasi serta penanganan yang kurang tepat

selama pengangkutan. Kemasan transportasi yang layak adalah kemasan yang mampu

meminimalisir kerusakan sehingga dapat mempertahankan mutu buah salak yang

diangkut. Akan lebih baik lagi bila kemasan transportasi tersebut tidak menelan biaya

yang besar sehingga membantu mereduksi biaya yang ditanggung produsen. Dalam hal

ini, pembuatan kemasan yang berprinsip kepada teknologi tepat guna menjadi suatu

pilihan. Tujuan ini dapat dicapai dengan pembuatan kemasan dari pelepah salak sebagai

bahan baku.

Pelepah salak adalah bahan yang relatif murah dan selalu tersedia di lapangan,

sehingga dapat mengurangi biaya kemasan tanpa mengabaikan aspek – aspek teknis

kemasan yang layak untuk transportasi. Salah satu aspek teknis yang harus dipenuhi

adalah kemasan hasil rancangan harus mampu menahan beban tumpukan agar beban

tersebut tidak diteruskan kepada buah salak yang disusun dalam kemasan, sehingga buah

salak hanya menerima beban dari buah – buah salak yang disusun di atasnya dalam suatu

kemasan.

Selain bahan kemasan, aspek yang perlu dicermati untuk mengurangi kerusakan

buah salak adalah penyusunan buah di dalam kemasan. Penyusunan buah yang baik akan

menghasilkan susunan buah yang kokoh dan penggunaan volume kemasan yang lebih

baik. Cara susun buah dengan metode

fcc

adalah pilihan yang tepat untuk memperoleh

kedua hal tersebut.

Pola penyusunan buah

fcc

dikembangkan oleh Peleg (1985). Pola susunan

fcc

dipilih karena susunan buah yang dibentuk lebih kokoh daripada pola susunan buah yang

lain. Dengan pola susunan

fcc

, jarak antar buah ditentukan secara khusus, sehingga tidak

(36)

goncangan selama transportasi. Selain itu dapat menyebabkan susunan buah dalam

kemasan menjadi berantakan. Pada pola susunan

fcc

, setiap buah mengalami kontak

dengan permukaan buah – buah tetangganya, sehingga susunan buah menjadi kokoh

(

tightest packing

). Susunan buah yang kokoh ini akan sangat membantu dalam

mengurangi kerusakan mekanis yang terjadi selama transportasi.

Pendekatan bentuk geometri buah salak

Pola susunan

fcc

hanya berlaku untuk buah yang berbentuk

spheroid

dan

ellipsoid

. Bentuk buah salak lebih mendekati

ellipsoid

daripada

spheroid

, maka

[image:36.612.180.434.401.639.2]

diasumsikan buah salak berbentuk

ellipsoid

. Bentuk

ellipsoid

didapatkan dengan asumsi

bahwa bagian buah yang meruncing diabaikan (Gambar 8). Pengabaian ini tidak

menimbulkan masalah saat penyusunan buah dalam kemasan, karena bagian yang

meruncing tersebut akan berada di antara buah pada lapisan di atasnya. Bagian

meruncing yang diabaikan ini adalah setengah dari tinggi buah salak (1/2 h) sesuai

dengan pengamatan selama penelitian terhadap bagian yang meruncing pada buah salak.

Gambar 8. Ilustrasi asumsi bentuk spheroid buah salak.

2c

2a

(37)

Perancangan kemasan

Agar sesuai dengan kemampuan penanganan menggunakan tenaga manusia,

kapasitas kemasan yang akan dirancang ditentukan pada 3 (tiga) taraf kapasitas kemasan,

yaitu 10, 15 dan 20 kilogram. Adapun prosedur penentuan ukuran dimensi dalam

kemasan sesuai metode

fcc

diuraikan sebagai berikut :

i.

Penghitungan jumlah buah (N) dalam 1 (satu) perlakuan kapasitas kemasan

N = jumlah buah/ kg x kapasitas kemasan (kg) …………...…(12)

ii.

Penentuan volume seluruh buah dalam kemasan sesuai dengan Persamaan 7.

iii.

Penentuan jumlah baris/ lajur buah dalam kemasan (K

A

, K

B

, K

C

) berdasarkan

jumlah buah dalam 1 (satu) kapasitas kemasan (N) yang didasarkan pada kepadatan

kemasan tertinggi dari hasil perhitungan terhadap pilihan – pilihan nilai K

A

, K

B

, K

C

yang dicantumkan dalam metode

fcc

(Peleg, 1985) dan berpedoman kepada nilai N

(Lampiran 1).

iv.

Penentuan selang antar buah dalam kemasan (

x,

y,

z) yang diatur dalam 3

(tiga) dimensi sesuai dengan 3 (tiga) sumbu cartesius (sumbu x, y, z) menggunakan

rumusan yang telah ditentukan oleh Peleg, sebagaimana yang dicantumkan pada

Persamaan 9 sampai dengan Persamaan 11.

v.

Penentuan dimensi kemasan (A, B,C dan V) sesuai Persamaan 3 sampai dengan

Persamaan 5.

vi.

Penentuan volume kemasan sesuai dengan Persamaan 6.

vii.

Penentuan kepadatan kemasan sesuai dengan Persamaan 8.

Pengujian (simulasi) transportasi

(38)

bergantung pada kondisi lalu lintas selama transportasi. Selain itu, waktu simulasi lebih

singkat daripada uji transportasi langsung di lapangan karena dapat didekati dengan

konsep kesetaraan jarak tempuh sesuai jenis jalan yang dilalui. Waktu uji yang lebih

singkat ini sangat berguna untuk segera mendapatkan hasil uji yang akan digunakan

dalam evaluasi kekurangan – kekurangan dari kemasan hasil rancangan sebelum kemasan

tersebut diaplikasikan pada kondisi transportasi sesungguhnya.

Kemampuan kemasan hasil rancangan dalam meminimalisir kerusakan dapat

ditinjau dari persentase kerusakan fisik buah salak setelah simulasi. Salah – satu jenis

(39)

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan – bahan penelitian ini terdiri atas pelepah salak, kawat, paku dan buah salak. Dalam penelitian tahap I digunakan 3 (tiga) varietas buah salak, yaitu manonjaya, pondoh, dan sidimpuan pada 3 (tiga) hari umur panen. Pada

penelitian tahap III digunakan buah salak manonjaya yang berumur panen 2 (dua) hari. Adapun alat – alat yang digunakan terdiri atas alat – alat pertukangan, jangka sorong (vernier caliper), oven pengering, timbangan digital, Universal Testing Machine, meja getar (vibrator), rheometer dan refractometer.

Tempat dan Waktu

Penelitian tahap I dilakukan di Laboratorium Keteknikan Kayu, Fakultas Kehutanan, IPB untuk pengujian sifat fisik mekanis pelepah dan buah salak, dan Laboratorium Energi Dan Elektrifikasi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB untuk pengukuran kadar air pelepah salak. Penelitian tahap II dilakukan

menggunakan komputer dengan program Microsoft Excel XP dan Autocad 2002 untuk perancangan kemasan. Penelitian tahap III dilakukan di Laboratorium Mekanik Kayu, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor untuk pengujian beban tekan maksimum kemasan hasil rancangan dan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB untuk simulasi transportasi kemasan. Semua data hasil penelitian tahap III diolah

menggunakan program Microsoft Excel XP dan SAS versi 6.12. Keseluruhan tahapan penelitian dilakukan dari Februari sampai dengan Desember 2006.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri atas 3 (tiga) tahapan yang disajikan pada Gambar 9,

yaitu :

1. Pengukuran dimensi dan uji sifat mekanis buah dan pelepah salak 2. Perancangan dimensi kemasan yang optimal

(40)
[image:40.612.137.504.108.685.2]

Gambar 9. Diagram alir penelitian. h Salak

• Uji sifat mekanis Bioyield

Strain Deformasi Stress Firmness

• Pengukuran Berat tiap buah Dimensi tiap buah

T

a

h

a

p

I

Pengawetan pelepah salak dengan metode penjemuran hingga kadar air kering udara (10- 20 % bb)

Penghitungan jumlah buah dalam satu jenis kapasitas kemasan (N)

Penentuan volume seluruh buah dalam 1 jenis kapasitas kemasan (Vk)

Penentuan Ka, Kb, dan Kc dengan metode fcc (Peleg,1985)

Tahap II

Pelepah Salak

• Uji sifat fisik Uji kadar air Uji penyusutan

• Uji sifat mekanis Uji kekuatan tekan MOR (kelenturan) MOE (kekakuan)

Penentuan selang antar buah dalam kemasan (∆x, ∆y, ∆z)

Penentuan dimensi kemasan (A, B, C, V)

Uji beban tekan kemasan hasil rancangan

Uji simulasi transportasi kemasan hasil rancangan di laboratorium

(41)

Uji sifat fisik bahan kemasan dan sifat mekanis produk (Tahap I)

Pengukuran dimensi buah salak

Dimensi buah salak yang diukur terdiri atas diameter mayor (2a), diameter

minor (2b) dan tinggi buah (h) (Gambar 10). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan jangka sorong (vernier caliper).

[image:41.612.211.428.207.421.2]

Gambar 10. Pengukuran dimensi buah salak.

Karena belum tersedia dimensi buah salak, maka untuk mendapatkan data hasil uji (pengukuran) yang representatif dilakukan teknik pengambilan data sampel (sampling) dengan batasan populasi adalah buah salak kelas mutu ukuran besar (bobot buah salak 61 gram) sesuai SNI.

Uji sifat mekanis buah salak

Pengujian dilakukan pada tiap individu buah salak dengan memberikan

gaya statis (beban) (3 ulangan) dengan mesin Instron Universal Testing Machine. Data hasil pengujian berbentuk kurva beban pada kertas grafik. Pemberian beban dihentikan jika kurva menunjukkan penurunan setelah mencapai puncak. Posisi buah salak saat pengujian adalah posisi vertikal, sesuai dengan posisi buah salak bila disusun dalam kemasan hasil rancangan. Uji ini bertujuan untuk mengetahui

2a

h

(42)
[image:42.612.131.507.156.209.2]

bioyield (beban tekan maksimum yang ditahan satu buah salak), firmness, deformasi, regangan (strain).

Tabel 3. Formulir hasil uji kekerasan buah salak

Perlakuan Ulangan Bioyield

(kg)

Deformasi (mm)

Strain Firmness

(kg/mm)

Uji sifat fisik dan mekanis pelepah salak

Data sifat fisik dan mekanis pelepah salak dibutuhkan untuk mengetahui kekuatan pelepah salak sebagai bahan baku kemasan. Karena penelitian sifat fisik pelepah salak belum pernah dilakukan, maka metode yang digunakan pada

penelitian ini mengacu kepada metode uji sifat fisik kayu – kayu yang telah dilakukan. Tiap jenis uji dilakukan sebanyak 3 (tiga) ulangan.

Uji sifat fisik yang dilakukan berdasarkan ASTM D 143 (2002), yang meliputi :

1. Uji kadar air

a. contoh uji diambil dari tiap pelepah salak (3 ulangan) dengan ukuran

2.5 x 2.5 x 10 cm (1 x 1 x 4 inchi).

b. contoh uji ditimbang untuk menentukan berat awal, lalu dikeringkan dalam oven dengan suhu 103 ± 2 oC hingga berat konstan selama 24 jam dan ditimbang berat akhirnya (berat kering tanur)

c. Kadar air dihitung dengan rumus

) 14 ...( ... ... %... 100 ker ker ) 13 ...( ... ... %... 100 ker x oven ing Berat oven ing Berat awal Berat Kabk x awal Berat oven ing Berat awal Berat Kabb − = − =

2. Uji penyusutan

a. contoh uji diambil dari tiap pelepah salak (3 ulangan) dengan ukuran 2.5 x 2.5 x 10 cm (1 x 1 x 4 inchi).

(43)

c. Penyusutan dihitung dengan rumus ) 15 ...( ... %... 100 tan x awal Volume akhir Volume awal Volume

Penyusu = −

3. Uji keteguhan tekan

a. contoh uji diambil dari tiap pelepah salak (3 ulangan) dengan ukuran

2 x 2 x 10 cm.

b. contoh uji dipasang di tempat alat/ mesin uji tekan.Pembebanan diberikan sampai terjadi kerusakan pada contoh uji dan beban yang dicatat adalah beban maksimum.

c. Keteguhan (tekan sejajar serat) dihitung dengan rumus

) 16 ...( ) ( ) ( )

( = 2

cm kg A tekan bidang permukaan Luas P maks Beban T tekan Keteguhan

4. Uji keteguhan lentur (MOR) dan sifat kekakuan (MOE)

a. contoh uji diambil dari tiap pelepah salak (3 ulangan) dengan ukuran

2.5 x 2.5 x 41 cm untuk masing – masing uji (MOR dan MOE)

b. beban diberikan di tengah – tengah contoh uji dengan jarak sangga 36 cm dan defleksi dicatat sampai mencapai beban maksimum. Pembacaan beban dilakukan setiap kenaikan 1 kg beban.

c. Dari hasil pengamatan beban dan defleksi selanjutnya dihitung nilai

MOE dan MOR dengan rumusan (Lampiran 2):

) 17 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... 12 4 3 R PL MOE γπ ∆ ∆ =

)

18

...(

...

...

...

...

...

...

...

...

3

R

PL

MOR

π

=

Penjemuran pelepah salak

(44)

kadar air kering udara pada pelepah salak ditentukan berkisar 10% sampai dengan 20% bb tergantung dari kondisi kelembaban lingkungan sekitarnya.

Perancangan kemasan (Tahap II)

Kemasan dirancang menggunakan metode fcc (Peleg, 1985). Tahap perancangan kemasan diawali dengan menentukan jumlah buah dalam 1 (satu) jenis kapasitas kemasan menggunakan nilai bobot rataan buah salak manonjaya dengan menggunakan Persamaan 12. Nilai N ini akan digunakan untuk

menentukan jumlah buah tiap baris (KA, KB dan KC) sesuai pilihan – pilihan

metode fcc (Lampiran 1). Selanjutnya dihitung volume kemasan dan volume seluruh buah dalam kemasan sesuai Persamaan 6 dan Persamaan 7. Selanjutnya dihitung jarak antar buah dalam 3 (tiga) sumbu cartesius (sumbu x, y, z) sesuai Persamaan 9 sampai dengan Persamaan 11. Kemudian dihitung dimensi kemasan

(A, B, C) sesuai Persamaan 3 sampai dengan Persamaan 5. Hasil penghitungan dimensi kemasan tersebut menjadi pedoman dimensi dalam kemasan pada pembuatan kemasan hasil rancangan.

Uji kemasan hasil rancangan (Tahap III)

Uji beban tekan maksimum

Uji beban dilakukan untuk menentukan beban tumpukan maksimum kemasan hasil rancangan. Uji dilakukan terhadap kemasan kosong. Perlakuan dalam uji ini adalah kapasitas kemasan, yang terdiri atas 10, 15, 20 kg buah salak. Jumlah ulangan uji beban adalah 3 (tiga) ulangan untuk tiap perlakuan kapasitas kemasan. Posisi kemasan saat diuji beban berada dalam posisi vertikal sesuai posisi kemasan saat digunakan pada uji simulasi transportasi. Pemberian beban

dilakukan menggunakan Universal Testing Machine. Pembebanan dihentikan jika kemasan hasil rancangan mengalami deformasi permanen (retak, patah), beban ini dinyatakan sebagai beban maksimum yang dapat ditahan kemasan.

Uji transportasi (simulasi)

(45)

kapasitas kemasan terhadap tingkat kerusakan fisik pada buah salak. Uji dilakukan sebanyak 2 (dua) ulangan untuk tiap perlakuan kapasitas kemasan. Pengamatan parameter kerusakan dilakukan pada lapisan atas, tengah, dan bawah

dari tiap kemasan perlakuan. Parameter kerusakan terdiri atas persentase kerusakan fisik setelah simulasi, persentase kememaran buah, tingkat kekerasan buah dan total gula (total padatan terlarut).

Pengamatan dilakukan sampai keseluruhan buah salak sampel membusuk sehingga pengamatan dilakukan selama 5 (lima) hari. Sampel pengamatan

parameter sebanyak 2 (dua) buah salak (sebagai dua ulangan) pada tiap hari pengamatan, sehingga sampel buah salak yang diamati dari tiap lapisan pada tiap ulangan jenis kapasitas kemasan berjumlah 18 (delapan belas) buah salak. Dari tiap buah salak diambil 2 (dua) suku daging buah salak untuk diamati. Hasil pengamatan tiap suku buah salak dirata – ratakan untuk masing – masing sampel

buah salak tersebut.

Parameter kerusakan persentase kerusakan fisik setelah simulasi adalah jumlah kumulatif buah salak yang mengalami kerusakan berupa memar, busuk, kulit terkelupas, dan pecah/ retak yang dibagi dengan jumlah total buah dalam kemasan sampel pengamatan. Sampel buah salak yang busuk pada pengamatan hari ke – 0 tidak diamati meski terjadi kebusukan setelah simulasi transportasi

[image:45.612.135.507.527.581.2]

karena penyebab buah salak menjadi busuk pada hari tersebut adalah infeksi laten cendawan dari kebun bukan akibat simulasi transportasi.

Tabel 4. Formulir hasil uji transportasi

Kerusakan fisik setelah simulasi Hari

ke

-Kapasitas

(kg) Memar Pecah/ Retak Kulit terkelupas Jumlah

(46)
[image:46.612.245.399.155.272.2]

Persentase kememaran buah adalah persentase dari perbandingan antara luas memar kumulatif yang terjadi pada 1 (satu) buah salak hasil pengamatan dengan luas permukaan daging buah salak (Gambar 11).

Gambar 11. Ilustrasi luas memar buah salak.

Luas bagian yang memar pada buah diasumsikan sebagai luas lingkaran atau luas setengah elips tergantung pada bentuk luas bagian yang memar. Luas permukaan daging buah salak diasumsikan sebagai luas permukaan (dinding) kerucut. Rumusannya: ) 22 ...( ... ... ... lim ) 21 ...( ... ... ... ... ... 4 1 ) 20 ...( ... ... ... ... ... ... 4 1 ) 19 ..( ... ... %... 100 2 2 rs r ut se Luas alas Luas permukaan Luas pq elips setengah memar spot Luas d lingkaran memar spot Luas x buah daging permukaan luas kumulatif memar luas memar Persentase π π π π + = + = = = =

Perubahan kekerasan buah salak diukur menggunakan Rheometer dengan cara menusukkan jarum rheometer pada daging buah salak sampel. Kemudian nilai kekerasan (kgf) dibaca pada alat tersebut. Perubahan total gula ditentukan dengan mengukur total padatan terlarut (totalsolublesolid) buah salak. Prosedur pengukuran diawali dengan menghancurkan setiap sampel daging buah salak, lalu diperas dan airnya diteteskan pada wadah kaca Refractometer (alat ukur total padatan terlarut). Kemudian dilakukan pembacaan pada alat refraktrometer yang

(47)

memiliki skala 0 – 60% ( obrix). Pengukuran kekerasan dan TPT dilakukan pada tiap sampel buah salak pada tiap hari pengamatan.

Analisis ekonomi

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kerugian secara ekonomi akibat kerusakan fisik setelah simulasi dengan penggunaan kemasan hasil rancangan. Analisis ini adalah analisis ekonomi sederhana berdasarkan penjualan buah salak yang disusun dalam kemasan hasil rancangan dalam 1 (satu) kali

[image:47.612.128.507.291.419.2]

proses pengangkutan menggunakan truk.

Tabel 5. Formulir analisis ekonomi

Bobot kemasan pelepah salak (kg) Parameter (Rp.)

10 15 20

Modal awal Modal kemasan Sewa Angkutan Laba awal

Harga jual buah salak Kerugian

Kerusakan (%) Laba bersih

Rancangan percobaan

Dalam penelitian ini digunakan 2 (dua) jenis rancangan percobaan, yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 (satu) faktor untuk hasil uji beban dan

Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan (satu) faktor untuk hasil simulasi transportasi.

Rancangan percobaan uji beban

Rancangan yang digunakan dalam uji ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 1 (satu) faktorial dan 3 (tiga) kali ulangan untuk tiap perlakuan. Faktor

perlakuan (satu faktor) adalah jenis kapasitas kemasan dengan 3 taraf perlakuan, yang terdiri atas:

(48)

Model umum dari rancangan percobaan ini adalah :

Yi= µ + Ai + εεεε(ik)...(23)

Rancangan percobaan uji (simulasi) transportasi

Untuk menganalisis pengaruh kapasitas kemasan terhadap parameter –

parameter kerusakan pada simulasi transportasi tersebut digunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 1 (satu) faktorial dan 2 (dua) kali ulangan untuk tiap perlakuan dan tiap parameter pada tiap hari pengamatan. Faktor perlakuan (satu faktor) adalah jenis kapasitas kemasan dengan 3 taraf perlakuan pada tiap hari

pengamatan, te

Gambar

Gambar 6.  Pola penyusunan buah jeruk dalam kemasan.
Tabel 2.  Kelas mutu salak berdasarkan SNI 01–3167–1992
Gambar 8.  Ilustrasi asumsi bentuk spheroid buah salak.
Gambar 9.  Diagram alir penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi dengan judul “Pengaruh Metode Pembelajaran Peer Tutoring Terhadap Hasil Belajar Matematika Materi Pokok Trigonometri Siswa Kelas-X SMA Negeri I

Kegiatan Usaha Bergerak dalam bidang industri spare parts kendaraan bermotor khususnya pegas Jumlah Saham yang ditawarkan 210.000.000 Saham Biasa Atas Nama dengan Nilai Nominal

11 SILABUS MANAJEMEN PENDIDIKAN 12 BAHAN AJAR MANAJEMEN PENDIDIKAN 21 SILABUS MANAJEMEN PELATIHAN 22 BAHAN AJAR MANAJEMEN PELATIHAN 31 SILABUS MANAJEMEN PERPUSTAKAAN 32 BAHAN

Untuk lebih jelasnya ikutilah contoh soal berikut ini

Lembar kerja harus memenuhi paling tidak kriteria yang berkaitan dengan tercapai/tidaknya sebuah kompetensi dasar yang dikuasai oleh peserta didik (Majid, 2009: 176). LKS

kegunaan lain dari amonium klorida adalah sebagai bahan baku dalam industri. pupuk dan bahan penunjang dalam industri farmasi, pembuatan

Alhamdulillahirrobbil’alamin, atas karunia dan rahmat Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efektivitas ekstrak etanol kulit manggis ( Garcinia mangostana

Bab ini berisikan tentang Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Prosedur Pemeriksaan Korban KDRT dalam proses Peradilan pidana, Aturan di dalam Undang-Undang