• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemasan Aktif Buah Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.) dengan Penyerap Gas Etilen dan Gas Karbondioksida

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kemasan Aktif Buah Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.) dengan Penyerap Gas Etilen dan Gas Karbondioksida"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

KEMAS

(

Salacca

GAS ETI

FAK

SAN AKTI

edulis

Rei

ILEN DA

ARYODI

KULTAS T

INSTITUT

IF BUAH

inw.) DEN

AN GAS KA

SKRIPSI

IPUTRO W

F34080021

TEKNOLOG

T PERTANI

BOGOR

2012

SALAK P

NGAN PE

ARBOND

WIDIANTO

1

GI PERTAN

IAN BOGOR

PONDOH

ENYERAP

DIOKSIDA

NIAN

R

(2)

ii   

ACTIVE PACKAGING SNAKE FRUIT (

Salacca edulis

Reinw.) WITH

ETHYLENE SCAVANGER AND CARBONDIOXYDE SCAVANGER

Aryodiputro Widianto

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, West Java, Indonesia

email: aryodiputrow@yahoo.com

ABSTRACT

Snake fruit (Salacca edulis Reinw.) is one of the leading agricultural commodities in Indonesia which is currently widely consumed by the public, unfortunately fruits do not have a long shelf life after harvest. This study was purposed to obtain a combination of absorbing ethylene gases and CO2 gases produced from the respiration of fruits in order to extend shelf life. There are two

combinations of absorbent material used, the chalk with zeolite and lime with activated charcoal. Zeolites and activated charcoal has a role to absorb the ethylene gas produced during the storage of snake fruit, while the role of lime to absorb CO2 gas produced from the salak respiration

during storage. Concentration of each absorber used are: limestone (2.5%), zeolite (2.5%) and activated charcoal (1.5%). Type of plastic used to package the snake fruit is a type of plastic PP and PET with a thickness of 0.8 μm plastic. There are two packaging techniques that applied, with vacuum and normal. Temperature used in the fruits during their storage is 16-20° C with a humidity of 99%. The results of observations, a combination of absorbent materials which can increase the shelf life of salak and produces the smallest percentage of damage is a combination of lime with a zeolite absorbent material in plastic PETnormal. The combination was able to increase the shelf life up to 26 days.

Key words: Snake fruit, active packaging, absorbent  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(3)

iii   

ARYODIPUTRO WIDIANTO. F34080021. KEMASAN AKTIF BUAH SALAK PONDOH

(Salacca edulis Reinw.) DENGAN PENYERAP GAS ETILEN DAN GAS KARBONDIOKSIDA.

Dibawah bimbingan Ir.Sugiarto, M.Si dan Dr. Indah Yuliasih, S.TP, M.Si.

RINGKASAN

  Buah salak pondoh (Salacca edulis Reinw.) merupakan salah satu hasil komoditi pertanian yang saat ini banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas. Salah satu sifat khas dari komoditi pertanian adalah mudah rusak, begitu halnya dengan buah salak pondoh. Salak pondoh yang berasal dari Banjarnegara merupakan salah satu produk buah-buahan unggul yang ada di Indonesia. Salah satu sifat salak pondoh yang berasal dari Banjarnegara adalah kadar airnya yang lebih tinggi dibanding salak pondoh yang berasal dari daerah lainnya, oleh karena itu salak pondoh dari Banjarnegara lebih rentan mengalami kerusakan, baik secara fisik maupun secara kimiawi. Kerusakan secara fisik terjadi karena adanya penanganan yang kurang baik pada saat proses pengemasan ataupun proses distribusi. Benturan fisik antar salak memungkinkan terjadinya kerusakan secara fisik. Sedangkan kerusakan secara kimiawi terjadi karena masih terjadinya proses respirasi buah salak setelah panen sehingga salak masih menghasilkan gas etilen dan juga gas CO2. Kerusakan secara fisik pada salak mengakibatkan kulit buah salak rusak/pecah pada bagian tertentu, sedangkan kerusakan kimiawi terlihat dengan salak yang busuk dan berair. Kerusakan yang sering terjadi pada buah salak mengakibatkan umur simpan salak yang pendek, sangat berbanding terbalik dengan harapan penjual salak yang menginginkan umur simpan salak yang panjang. Salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan salak adalah dengan cara penambahan bahan penyerap pada salak yang telah dikemas untuk memodifikasi atmosfer yang ada di dalam kemasan. Penyimpanan didalam atmosfer termodifikasi pada dasarnya adalah menghambat laju oksidasi biologis (respirasi). Bahan penyerap yang digunakan adalah kapur, zeolit dan arang aktif. Zeolit dan arang aktif memiliki fungsi yang sama, yaitu meyerap gas etilen, gas yang merangsang laju kematangan buah salak. Sedangkan kapur memiliki fungsi untuk menyerap gas CO2 yang dihasilkan dari respirasi buah salak.

Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui pengaruh jenis dan kondisi kemasan serta kombinasi bahan penyerap terhadap karakteristik buah salak pondoh selama penyimpanan.Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk Mendapatkan kombinasi bahan penyerap yang sesuai untuk penyimpanan buah salak pondoh dan untuk mendapatkan jenis dan kondisi kemasan terbaik dalam mengemas buah salak pondoh

Jenis plastik yang digunakan pada penelitian pendahuluan adalah plastik jenis PP dan PET dengan ketebalan plastik 0.8 µm. Adapun perlakuan pada plastik tersebut adalah normal dan dengan vakum. Konsentrasi bahan penyerap kapur yang digunakan adalah 2.5%, bahan penyerap zeolit adalah 2.5% dan bahan penyerap arang aktif adalah 1.5%.Kondisi penyimpanan yang digunakan adalah pada suhu 16-20°C dengan kelembaban 90-99%. Perubahan yang diamati selama penyimpanan salak meliputi susut bobot, tingkat kerusakan, total asam, kadar vitamin C dan total padatan terlarut serta uji organoleptik terhadap salak. Pengamatan dilakukan pada selang waktu yang telah ditentukan. Bahan penyerap kapur dipadukan dengan bahan penyerap zeolit dan arang aktif. Terdapat juga salak yang dikemas dengan plastik yang sama namun tanpa adanya bahan penyerap.

(4)

iv   

simpan salak hingga 26 hari dengan kerusakan terkecil pada hari ke-26 sebesar 13.14% dengan slope

0.592. Besar susut bobot respirasi pada hari ke-26 menunjukkan susut bobot terkecil, yaitu sebesar 0.60% dengan slope 0.008. Kadar Vitamin C yang dihasilkan dari perlakuan ini pada hari ke-26 menjadi yang tertinggi yaitu sebanyak 1.49 mg/100 g salak dengan laju penurunan terendah, yaitu dengan slope -0.008. Total asam yang dihasilkan pada hari ke-26 dari perlakuan ini menjadi yang tertinggi yaitu sebanyak 0.25% dengan slope terendah yaitu -0.005. Dan untuk total padatan terlarut, perlakuan ini menghasilkan salak dengan total padatan terlarut terbesar pada hari ke-26, yaitu sebesar 14.50°brix dengan slope -0.073.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(5)

v   

KEMASAN AKTIF BUAH SALAK PONDOH

(Salacca edulis Reinw.) DENGAN PENYERAP

GAS ETILEN DAN GAS KARBONDIOKSIDA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

ARYODIPUTRO WIDIANTO

F34080021

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

vi   

Judul Skripsi

:

Kemasan Aktif Buah Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.)

dengan Penyerap Gas Etilen dan Gas Karbondioksida

Nama :

ARYODIPUTRO

WIDIANTO

NIM :

F34080021

Menyetujui,

Pembimbing I,

Pembimbing II,

(Ir.Sugiarto, M.Si)

(Dr. Indah Yuliasih,S.TP, M.Si)

NIP.19690518 199403 1 002

NIP. 19700718 199512 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti)

NIP. 19621009 198903 2 001

(7)

vii   

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kemasan Aktif Buah Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.) dengan Penyerap Gas Etilen dan Gas Karbondioksida adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

   

         

Bogor, Agustus 2012 Yang membuat pernyataan

Aryodiputro Widianto F34080021 

 

 

 

(8)

viii   

 

 

 

 

 

 

 

@Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya 

 

 

 

 

 

(9)

ix   

BIODATA PENULIS

(10)

x   

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala rahmat, taufik, serta hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul Kemasan Aktif Buah Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.) dengan Penyerap Gas Etilen dan Gas Karbondioksida. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Laboratorium Pengemasan Teknologi Industri Pertanian Bogor.

Selama pelaksanaan dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Ir.Sugiarto, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik pertama atas segala bantuan dalam memberi arahan, doa, serta kesabaran dalam membimbing penulis.

2. Dr. Indah Yuliasih, S.TP, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik kedua atas segala bantuan dalam memberi arahan, doa, serta kesabaran dalam membimbing penulis.

3. Dr. Ir. Muslich, M.Si, selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis. 4. Kedua orang tua, Eddy Widianto dan Dyah Tricahyasari, yang telah memberikan doa, kasih

sayang dan motivasi kepada penulis.

5. Adik tercinta, Virania Widianto yang telah memberikan semangat dan doa kepada penulis. 6. Kakek dan nenek, Prof. Dr. Margono Slamet dan Rumsari Margono, yang telah memberikan doa,

kasih sayang dan motivasi kepada penulis.

7. Rekha Mahendraswari, atas semua dukungan dan semangat yang diberikan.

8. Seluruh civitas Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah membantu dan mengajari penulis saat penelitian berlangsung.

9. Dora Vitra, Dyah Ayu, Nur Rahmawati, Nurul Fitri, Marisa Ratna, Putri Yuliastuti, Sovi Restiani, Moh Rosyid, Olivintya, Lela Melawati, Destania, Melisa Constantia selaku teman satu bimbingan yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis.

10.Keluarga besar TIN 45, atas kebersamaan, semangat dan bantuannya.

11.Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Dengan segala kekurangan yang masih banyak terdapat di dalamnya, penulis berharap tulisan ini dapat mendatangkan manfaat bagi siapapun yang membutuhkannya. Semoga tulisan ini menjadi salah satu amalan baik penulis di hadapan Allah SWT. Amin.

Bogor, Agustus 2012

Aryodiputro Widianto

 

(11)

xi   

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 SALAK PONDOH ... 3

2.2 SIFAT FISIOLOGIS SALAK PASCA PANEN ... 4

2.3 KEMASAN AKTIF ... 5

2.4 PENYIMPANAN SUHU RENDAH ... 5

2.5 PERANAN ETILEN PADA BUAH ... 6

2.6 BAHAN PENYERAP ETILEN DAN KARBONDIOKSIDA ... 6

III. METODOLOGI ... 9

3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 9

3.2 BAHAN DAN ALAT ... 9

3.3 METODE PENELITIAN ... 9

3.3.1 Persiapan Bahan Penyerap ... 9

3.3.2 Persiapan Salak Pondoh ... 9

3.3.3 Pengemasan dan Penyimpanan ... 10

3.3.4 Pengamatan Sampel ... 10

3.3.5 Pengolahan Data ... 10

3.4 RANCANGAN PERCOBAAN ... 10

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 12

4.1 KARAKTERISTIK BUAH SALAK PONDOH BANJARNEGARA... 12

4.2 TINGKAT KERUSAKAN BUAH SALAK PONDOH SELAMA PENYIMPANAN ... 13

4.3 PERUBAHAN KARAKTERISTIK BUAH SALAK PONDOH SELAMA PENYIMPANAN ... 14

4.4 ORGANOLEPTIK ... 18

4.4.1 Warna Daging Salak ... 19

4.4.2 Aroma Salak ... 20

4.4.3 Tekstur Daging Salak ... 21

4.4.4 Rasa Salak ... 23

4.4.5 Penerimaan Umum ... 24

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 26

5.1 KESIMPULAN ... 26

5.2 SARAN ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27

(12)

xii   

DAFTAR TABEL

(13)

xiii   

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Unit Penyusun Zeolit ... 7

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian ... 11

Gambar 3. Laju Perubahan Tingkat Kerusakan Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan ... 13

Gambar 4. Laju Perubahan Kadar Vitamin C Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan ... 16

Gambar 5. Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Warna Daging Salak ... 19

Gambar 6. Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Aroma Daging Salak ... 21

Gambar 7. Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Tekstur Daging Salak ... 22

Gambar 8. Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Rasa Daging Salak ... 23

(14)

xiv   

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur Analisis ... 31

Lampiran 2. Kerusakan Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan ... 33

Lampiran 3. Kerusakan Kemasan Selama Penyimpanan ... 33

Lampiran 4. Analisis Statistik Tingkat Kerusakan Buah Salak ... 34

Lampiran 5. Analisis Statistik Susut Bobot Buah Salak ... 36

Lampiran 6. Analisis Statistik Vitamin C Buah Salak ... 38

Lampiran 7. Analisis Statistik Total Asam Buah Salak ... 40

Lampiran 8. Analisis Statistik Total Padatan Terlarut Buah Salak ... 42

Lampiran 9. Uji Kesukaan Panelis Terhadap Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan ... 44

(15)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara yang kaya akan hasil pertanian, terutama buah-buahan. Salah satu komoditi unggul dari buah-buahan Indonesia adalah buah salak. Terdapat beberapa jenis buah salak, seperti salak bali, salak pondoh, salak condet, salak gading, salak soya dan salak manonjaya. Diantara semua jenis salak yang ada di Indonesia, salak pondoh (Salacca edulis Reinw.) adalah jenis salak yang paling unggul karena memiliki kadar gula yang lebih tinggi di banding dengan jenis salak lainnya. Selain itu, aroma pada salak pondoh lebih khas dibanding salak jenis lain. Hampir semua buah-buahan tidak dapat disimpan dalam waktu lama dan juga mudah mengalami pembusukan, begitu halnya dengan salak pondoh. Sedangkan di sisi lain, konsumen pada umumnya lebih menyukai makan buah-buahan yang masih dalam keadaan segar. Pada umumnya buah salak segar hanya dapat bertahan disimpan selama 5-7 hari pada suhu kamar, lebih dari itu salak akan busuk. Saat ini sudah banyak permintaan salak pondoh untuk diekspor, namun produsen dan distributor belum dapat memenuhi permintaan ekspor tersebut dikarenakan umur simpan salak pondoh yang relatif pendek untuk mekasime ekspor.

Penyebab utama buah salak pondoh memiliki umur simpan yang pendek adalah proses respirasi yang terus berjalan selama penyimpanan. Respirasi merupakan pemecahan bahan-bahan kompleks dalam sel, seperti gula dan asam-asam organik menjadi molekul sederhana seperti karbondioksida dan air, bersamaan dengan itu terbentuk juga energi dan molekul lain yang dapat digunakan sel untuk reaksi sintesa. Selain itu, adanya gas etilen yang terus dihasilkan oleh buah itu sendiri semakin merangsang kematangan buah dan akan mempercepat pembusukan. Produksi etilen erat hubungannya dengan laju respirasi. Etilen memacu buah dan sayuran untuk menyerap oksigen lebih banyak dalam proses respirasi sehingga mempercepat proses pematangan. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya etilen, maka buah semakin cepat matang dan tua, yang ditandai dengan adanya perubahan warna, rasa, dan aroma.

(16)

2

1.2

TUJUAN

Terkait dengan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan, tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis dan kondisi kemasan serta kombinasi bahan penyerap terhadap karakteristik buah salak pondoh selama penyimpanan.

Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini diantaranya :

(17)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

SALAK PODOH

Salak pondoh merupakan tanaman asli Indonesia yang banyak diusahakan petani di daerah pedalaman Indonesia. Buah salak adalah buah asli Indonesia yang memiliki pusat produksi di berbagai tempat di Indonesia, diantaranya Bali, Banjarnegara, Yogyakarta, Madura, Malang, Sulawesi dan Sumatera Utara (Ashari, 1995). Menurut Sabari (1983), pemberian nama jenis salak didasarkan atas beberapa cara, yaitu menurut nama daerah asal, misalnya salak bali (Bali), salak condet (Jakarta), salak gondanglegi (Malang) dan salak manonjaya (Tasikmalaya); menurut warna kulit buah, misalnya salak putih atau salak gading; menurut warna daging buah, misalnya salak pondoh; dan menurut rasa daging buah, misalnya salak madu atau salak kopyor. Namun, yang paling terkenal di masyarakat adalah nama salak menurut nama daerah asal yang juga disebut kultivar (Suter, 1988). Salak pondoh memiliki kandungan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia dalam jumlah yang cukup banyak. Kandungan gizi yang ada di salak pondoh disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Gizi Buah Salak Pondoh dalam 100 gram

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan DI Yogyakarta (1989)

Buah salak pondoh adalah jenis salak yang paling unggul dibanding jenis lainnya. Keunggulan utama salak pondoh adalah memiliki rasa yang manis walaupun salak masih muda dan gurih tanpa rasa sepat (Nusmawarhaeni et al., 1989). Dengan adanya keunggulan salak pondoh tersebut, nilai ekonomis salak pondoh lebih tinggi dibanding jenis salak lainnya (Djuwanto, 1989). Rasio gula asam salak pondoh jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan varietas lain seperti salak condet, salak sleman dan salak bali. Rasio gula asam salak pondoh berkisar 72.81%, salak sleman 52.44%, salak bali 41.47% dan salak condet 38.87% (Sabari, 1983). Salak pondoh (Salacca edulis Reinw.) termasuk pada suku pinang-pinangan (palmae), famili Palmaceae. ordo Spadiceflorae dan genus Salacca. Jika dibandingkan dengan salak jenis lainnya, salak pondoh memiliki ukuran yang relatif lebih kecil, memiliki tekstur yang keras, kulit yang lebih hitam dan daging buah yang relatif lebih putih (Hasturi dan Ari, 1988). Bobot salak pondoh antara 30-100 gram dan memiliki biji yang kecil (Sabari, 1983). Ketebalan daging salak pondoh umumnya adalah antara 0,8 sampai 1,5 cm (Rukmana, 1999).

Kandungan Gizi Jumlah

Energi (kalori) 77

Protein (g) 0.4

Karbohidrat (g) 20.9

Kalsium (mg) 28

Fosfor (mg) 18

Zat Besi (mg) 4.2

Vitamin B1 (mg) 0.04

Vitamin C (mg) 2

(18)

4 Daerah sentra produksi salak terbesar di Indonesia adalah di Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Banjarnegara. Pada tahun 2010, besarnya produksi salak di Kabupaten Banjarnegara mencapai 228.226.078 kg atau mencapai 70% dari produksi salak untuk Jawa Tengah (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010 dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara, 2010).

2.2

SIFAT FISIOLOGIS SALAK PASCA PANEN

Buah-buahan termasuk salak, tidak hanya melakukan respirasi untuk melangsungkan hidupnya saat masih berada di pohon, namun juga masih melakukan respirasi saat setelah buah-buahan dipetik (panen). Proses respirasi adalah suatu proses biologis dimana oksigen diserap oleh buah dan digunakan untuk proses pembakaran yang menghasilkan energi dan diikuti sisa pembakaran dalam bentuk karbondioksida (CO2) dan air (H2O) (Phan et al., 1986). Reaksi kimia untuk respirasi adalah sebagai berikut :

C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O

Adanya aktivitas respirasi pada hasil-hasil pertanian akan menyebabkan hasil pertanian menjadi matang dan menjadi tua. Proses matangnya hasil pertanian merupakan perubahan dari warna, aroma dan tekstur berturut-turut menuju ke arah hasil pertanian yang dapat dimakan/dapat digunakan dan memberikan hasil sebaik-baiknya. Proses menjadi tua (senescence) merupakan proses secara normal menuju ke arah kerusakan sejak lewat masa optimal (Hadiwiyoto dan Soehardi, 1981). Selama proses pematangan, terjadi berbagai perubahan buah secara fisik. Perubahan secara fisik tersebut antara lain adalah perubahan warna, perubahan tekstur, susut bobot, layu dan keriput yang menyebabkan turunnya mutu buah (Santoso dan Purwoko, 1995).

Menurut Suter (1988), laju respirasi salak berkisar 11,46-19,60 mg CO2/kg.jam. Laju respirasi tersebut, dekat dengan buah non klimakterik lain seperti anggur (12-16 mg CO2/kg.jam), jeruk (13-17 mg CO2/kg.jam), dan lemon (10 mg CO2/kg.jam). Menurut Kader (1992), jenis buah menurut tingkat laju respirasi setelah dipetik dibagi menjadi dua, yaitu buah klimakterik dan buah non klimakterik. Buah klimakterik dicirikan dengan adanya kenaikan produksi CO2 dan gas etilen yang besar pada saat penuaan. Sedangkan, buah non klimakterik ditunjukkan dengan tidak adanya perubahan dari CO2 dan produksi gas etilen yang signifikan saat penuaan. Tingkat kematangan buah sering ditunjukkan dengan rasio gula dan asam. Kandungan buah yang telah matang menunjukkan kenaikan gula sedangkan kadar asamnya menurun sehingga rasio gula/asam mengalami perubahan yang drastis. Hal ini berlaku pada buah klimaterik, sedangkan pada produk non klimaterik perubahan rasio gula/asam tidak menunjukkan keteraturan pola (Winarno dan Aman, 1981).

(19)

5

2.3

KEMASAN AKTIF

Kemasan aktif merupakan salah satu alternatif dalam pengemasan komoditi pertanian guna memperpanjang umur simpan produk pertanian. Kemasan aktif adalah cara pengemasan suatu produk yang mudah rusak dimana komposisi udara dalam kemasan telah diubah, sehingga komposisi udara di dalam kemasan tidak lagi sama dengan kondisi atmosfer (Hintlian dan Hotchkiss, 1986). Komposisi udara yang diperhatikan pada kemasan aktif suatu produk adalah oksigen (O2), gas etilen (CH4) dan karbondioksida (CO2). Kadar CO2 dan O2 harus diperhatikan agar tidak berada di atas ataupun di bawah batas toleransi. Konsentrasi CO2 yang terlalu sedikit akan menyebabkan kerusakan fisiologis pada produk (Jobling, 2001). Pada dasarnya, CO2 dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis jamur yang akan menyebabkan kebusukan, namun jika CO2 terlalu banyak juga maka akan menyebabkan kerusakan dan kebusukan pada produk. Konsentrasi O2 yang terlalu sedikit di dalam kemasan akan menyebabkan terjadinya respirasi anaerobik dan akan menyebabkan terbentuknya aroma yang tidak diinginkan. Dan jika konsentrasi O2 terlalu banyakn maka akan mempercepat laju respirasi serta mempercepat kerusakan dan kebusukan produk.

Salah satu cara untuk mengendalikan gas yang ada di dalam kemasan adalah dengan cara penambahan bahan penyerap yang sesuai. Meskipun cara ini membutuhkan tambahan biaya namun kondisi atmosfer di dalam kemasan dapat dikendalikan sehingga umur simpan produk menjadi lebih panjang.

2.4

PENYIMPANAN SUHU RENDAH

Laju perubahan mutu pangan sangat dipengaruhi oleh suhu, termasuk pada produk segar seperti buah-buahan dan sayuran. Lingkungan yang ditunjang dengan suhu rendah menyebabkan aktivitas metabolisme pasca panen menjadi berkurang dan perubahan kimia yang terjadi akan berlangsung lambat . Selama masa penanganan, buah-buahan akan mengalami penurunan berat karena kehilangan air dan CO2 yang disebabkan oleh penguapan dan respirasi. Apabila buah-buahan didinginkan, maka proses respirasi yang menyebabkan kehilangan CO2 dapat dikurangi. Tetapi proses penguapan air justru dapat menjadi cepat terutama bila kelembaban relatif udara di bawah keadaan optimum (85%-90%) (Soedibyo, 1980). Djaafar dan Mudjisihono (1998) menyimpulkan bahwa untuk memperpanjang umur simpan buah salak pondoh diperlukan perlakuan suhu dingin (± 150C) selama proses penyimpanannya.

(20)

6

2.5

PERANAN ETILEN PADA BUAH

Etilen adalah senyawa yang berbentuk gas pada suhu kamar yang dihasilkan dan dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri untuk proses pertumbuhan dan pematangan hasil pertanian. Gas etilen (C2H4) adalah hormon yang dihasilkan oleh tumbuhan dan merupakan campuran paling sederhana yang mempengaruhi proses fisiologi pada tumbuhan. Proses fisiologi pada tumbuhan diantaranya susut bobot, perubahan warna kulit, perubahan kadar gula, kekerasan dan lain-lain (Winarno dan Aman, 1979). Etilen disebut juga sebagai hormon karena dapat memenuhi persyaratan sebagai hormon yang dihasilkan oleh tanaman, bersifat mobile dalam jaringan tanaman dan merupakan senyawa organik. Senyawa etilen tidak hanya berpengaruh terhadap proses pematangan, namun juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman (Winarno, 2002).

Menurut Julianti dan Nurminah (2006), secara umum etilen merupakan bahan yang tidak diinginkan untuk penyimpanan produk segar, sehingga etilen harus disingkirkan dari lingkungan penyimpanan, hal ini dikarenakan :

 Dalam jumlah sedikit, etilen sudah dapat menurunkan mutu dan masa simpan produk

 Dapat meningkatkan laju respirasi sehingga mempercepat pelunakan jaringan dan kebusukan buah segar

 Mempercepat degradasi klorofil yang kemudian akan menyebabkan kerusakan-kerusakan pasca panen lainnya

Trucker di dalam Saputro (2004) menyatakan bahwa gas etilen (C2H4) adalah jenis bahan yang digunakan untuk memicu kematangan dengan jumlah dan waktu yang berbeda-beda pada setiap buah-buahan. Dengan adanya gas etilen yang dihasilkan oleh salak selama penyimpanan menyebabkan kematangan salak terus meningkat sehingga umur simpan salak menjadi pendek. Keberadaan etilen dalam lingkungan sekitar produk hortikultura harus diikat atau diubah menjadi bentuk yang tidak aktif agar kerusakan produk dapat ditekan sekecil mungkin (Sjaifullah dan Dondy, 1991). Usaha mengurangi etilen akan menyebabkan pengurangan laju kematangan dan mempertahankan kesegaran serta memperpanjang umur simpan (Pantastico et.al, 1986). Pembentukan etilen juga dapat dirangsang oleh kerusakan-kerusakan mekanis dan infeksi seperti luka pada kulit buah, sehingga kerusakan mekanis pada buah dapat mempercepat pematangan buah (Winarno dan Aman 1979). Sehingga, kerusakan mekanis pada buah harus dapat diminimalisir sekecil mungkin.

Laju produksi etilen berbanding terbalik dengan kematangan, semakin matang suatu buah-buahan maka laju produksi etilen semakin menurun. Etilen bersifat autokatalitik, yaitu etilen akan mempercepat respirasi dan sekaligus pembentukan etilen didorong oleh respirasi yang giat. Tetapi perbandingan respirasi dan produksi etilen tidak tetap, karena semakin matang buah maka produksi etilen semakin menurun (Pantastico 1986).

Etilen memegang peranan penting dalam fisiologi pasca panen produk hortikultura. Etilen akan menguntungkan ketika meningkatkan kualitas buah dan sayuran melalui percepatan dan penyeragaman pematangan sebelum dipasarkan, namun etilen memberikan efek yang merugikan dengan meningkatkan laju senesence. Etilen dapat menghilangkan warna hijau pada buah mentah dan sayuran daun, mempercepat pematangan buah selama penanganan pasca panen dan penyimpanan, serta mempersingkat masa simpan dan mempengaruhi kualitas buah, bunga, dan sayur setelah panen (Santoso dan Purwoko, 1995).

2.6

BAHAN PENYERAP ETILEN DAN KARBONDIOKSIDA

(21)

7 1986). Cara yang paling umum dan efektif untuk mengurangi jumlah etilen yaitu dengan menggunakan bahan penyerap gas etilen. Terdapat beberapa bahan penyerap gas etilen yang digunakan untuk mengurangi jumlah gas etilen yang dihasilkan buah-buahan saat penyimpanan, diantaranya adalah karbon aktif, kalium permanganat (KMnO4), zeolit dan mineral-mineral lainnya. Bahan penyerap gas etilen yang digunakan dalam penelitian ini adalah zeolit dan karbon aktif. Kedua bahan penyerap tersebut dianggap cukup aman jika diletakkan di sekitar buah selama tidak terjadi kontak langsung antara buah dengan bahan penyerap. Pada umumnya bahan-bahan penyerap tersebut dimasukkan ke dalam kemasan bahan penyerap berupa sachet dan dimasukkan ke kemasan produk.

Prinsip penyerapan gas etilen menurut Ahvenainen (2003) yakni ikatan rangkap etilen membuatnya menjadi komponen yang sangat reaktif sehingga dapat dengan mudah didegradasi. Etilen dapat diserap oleh beberapa substansi seperti karbon aktif, alluminosilikat kristal, silika gel, alumunium oksida, dan beberapa bahan keramin seperti cristobalite, batu Oya dan zeolit.

Zeolit umumnya didefinisikan sebagai kristal alumina silika yang berstruktur tiga dimensi, yang terbentuk dari tetrahedral alumina dan silika dengan rongga-rongga di dalam yang berisi ion-ion logam, biasanya alkali atau alkali tanah dan molekul air yang dapat bergerak bebas. Zeolit jenis modernit, klinoptilotit, dan analsim adalah jenis zeolit alam yang lazim terdapat di Indonesia. Ketiga jenis zeolit alam tersebut sedang dipelajari karakteristik dan sifat-sifat penyerapannya didalam proses penundaan pemasakan buah-buahan. Struktur zeolit sejauh ini diketahui bermacam-macam, tetapi secara garis besar strukturnya terbentuk dari unit bangun primer, berupa tetrahedral yang kemudian menjadi unit bangun sekunder polihedral dan membentuk polihendra dan akhirnya unit struktur zeolit. Karena sifat unik dari zeolit, maka zeolit banyak digunakan untuk berbagai aplikasi di industri, diantaranya zeolit digunakan di industri minyak bumi sebagai cracking, di industri deterjen sebagai penukar ion, pelunak air sadah dan di industri pemurnian air, serta berbagai aplikasi lain (Sunarya, 2009).

Struktur rangka utama zeolit ditempati oleh atom silikon atau aluminium dengan empat atom oksigen di setiap sudutnya. Ini merupakan sisi aktis zeolit yang menyebabkan zeolit memiliki kemapuan sebagai penukar ion, adsorben dan katalis. Rumus kimia zeolit adalah sebagai berikut :

Mex/n [(AlO2)x(SiO2)y] zH2O

Unit pembangun utama yang membangun struktur mineral zeolit adalah SiO2 dan Al2O3 yang membentuk tetrehidral, dimana setiap atom oksigen menempati/berada pada keempat sudutnya. Struktur yang terbetuk adalah jaringan tiga dimensi dengan setiap atom oksigen digunakan bersama oleh dua tetrahidral Struktur zeolit disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Unit Penyusun Zeolit Sumber : Sunarya, 2009

(22)

8 Karbon aktif merupakan senyawa karbon amorph, yang dapat dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan cara khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. Karbon aktif dapat mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa kimia tertentu atau sifat adsorpsinya selektif, tergantung pada besar atau volume pori-pori dan luas permukaan. Daya serap karbon aktif sangat besar, yaitu 25-1000% terhadap berat karbon aktif (Djatmiko, et.al., 1983).

Terdapat dua jenis karbon aktif yang dapat dibedakan menurut fungsinya, yaitu karbon penyerap gas (gas adsorben carbon) dan karbon fasa cair (liquid-phase carbon). Karbon penyerap gas digunakan untuk menyerap gas. Pori-pori yang terdapat pada arang jenis ini adalah mikropori yang menyebabkan molekul gas akan mampu melewatinya, tapi molekul dari cairan tidak akan melewatinya. Karbon jenis ini dapat ditemui pada karbon tempurung kelapa. Karbon fasa cair digunakan untuk menyerap zat yang tidak diinginkan dari cairan atau larutan. Jenis pori-pori dari karbon ini adalah makropori yang memungkinkan molekul berukuran besar untuk masuk. Karbon jenis ini biasanya berasal dari batu bara dan selulosa (Setyaningsih, 1995). Terdapat dua macam bentuk dari karbon aktif, yaitu bentuk bubuk dan granular. Karbon aktif berbentuk bubuk digunakan untuk adsorbsi dalam larutan, misalnya untuk menghilangkan warna. Sedangkan karbon aktif berbentuk granular digunakan untuk adsorbsi gas dan uap.

Karbon aktif dengan berbagai katalis logam juga secara efektif menyerap etilen. Karbon aktif telah banyak digunakan untuk menghilangkan etilen pada gudang penyimpanan buah-buahan dan sayur-sayuran dan juga diproduksi dalam kemasan sachet yang dimasukkan ke dalam kantongan pengemas atau kotak kayu pada penyimpanan hasil pertanian (Abeles et al., 2002). Karbon aktif, atau sering juga disebut dengan arang aktif, adalah suatu jenis karbon yang memiliki luas permukaan yang sangat besar. Hal ini dapat dicapai dengan mengaktifkan karbon tersebut. Aktivasi karbon bertujuan untuk memperluas permukaan arang dengan membuka pori-pori yang tertutup, sehingga memperbesar kapasitas penyerapan (Ketaren, 1986).

Untuk hasil respirasi salak selama penyimpanan yang berupa air (H2O) dan karbondioksida (CO2) dapat diserap dengan beberapa macam bahan penyerap, diantaranya asam askorbat, kapur tohor (CaO), Ba(OH)2 dan serbuk besi. Bahan penyerap kapur tohor (CaO) adalah salah satu bahan penyerap air (H2O) dan karbondioksida (CO2) yang memiliki nilai ekonomis yang relatif lebih murah dibandingkan dengan bahan penyerap lainnya. Selain itu, Ba(OH)2 memiliki sifat yang reaktif terhadap produk. Kalsium ada kandungan utama yang terdapat pada kapur tohor.

(23)

9

III.

METODOLOGI

3.1

WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan selama tiga bulan, yakni dari bulan April 2012 hingga Juni 2012. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengemasan Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB.

3.2

BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan diantaranya adalah buah salak pondoh dari Banjarnegara dengan tingkat kematangan campuran, kapur tohor, zeolit, karbon aktif, plastik PET, plastik PP, etanol, aquades, dan bahan untuk analisis seperti kapas, asam askorbat (Vitamin C), NaOH 0,1 N, indikator pp, pati 1 % dan iod 0,01 N.

Sedangkan alat-alat yang digunakan pada penelitian ini diantaranya adalah refraktometer, alat pengemasan vakum, sealer, pisau, timbangan, blower, dan alat-alat untuk analisis selama pengamatan seperti gelas piala, gelas ukur, Erlenmeyer, parutan, timbangan analitik, sudip, labu takar, corong dan biuret dan chamber.

3.3

METODE PENELITIAN

3.3.1

Persiapan Bahan Penyerap

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuanita (2012) dan Rosyid (2012), bahan penyerap kapur dan zeolit dengan dosis 5% dan 10% mampu memberikan umur simpan buah salak selama 26 hari tanpa terlihat perbedaan yang nyata dalam pengaruhnya terhadap umur simpan, sehingga dosis yang dipilih adalah konsentrasi terkecil yaitu 5%. Sedangkan bahan penyerap karbon aktif, dosis terpilih adalah 3% karena antara dosis 3% dan 6% juga tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap umur simpanyang sama-sama memberikan umur simpan 26 hari (Ekasari, 2012).

Aplikasinya pada penelitian utama, dosis yang digunakan pada masing-masing penyerap diambil 50% dari dosis yang terbaik, hal ini karena pada penelitian utama digunakan kombinasi dua penyerap dalam satu kemasan. Kombinasi bahan penyerap yang digunakan adalah kapur dengan zeolit dan kapur dengan karbon aktif. Kombinasi bahan penyerap kapur dan zeolit, dosis yang digunakan adalah 2.5%. Sedangkan pada kombinasi bahan penyerap kapur dengan karbon aktif, dosis yang digunakan adalah 2.5% untuk kapur dan 1.5% untuk karbon aktif.

Bentuk awal bahan penyerap zeolit dan karbon aktif adalah butiran kasar. Zeolit dan karbon aktif dihaluskan dengan cara penggilingan guna memperluas permukaan bahan penyerap, sedangkan kapur tidak dilakukan penggilingan karena bentuk awal kapur sudah halus. Untuk kapur dan zeolit, dimasukkan masing-masing ke dalam kemasan penyerap berukuran 5x10 cm sedangkan karbon aktif dimasukkan ke dalam kemasan penyerap berukuran 7x10 cm. Kemasan penyerap yang telah berisi bahan penyerap direkatkan dengan sealer agar bahan penyerap tidak keluar dari kemasan.

3.3.2

Persiapan Salak Pondoh

(24)

10

3.3.3

Pengemasan dan Penyimpanan

Salak yang telah disortir, kemudian dikemas dengan plastik PP (Polipropilen) dan plastik PET dua layer (PET/LLDPE). Masing-masing kemasan tersebut memiliki ketebalan yang sama yaitu 0.8 µm. Bobot salak dalam satu kemasan plastik adalah 500 g. Bahan penyerap yang sudah dikemas dimasukkan ke dalam masing-masing kemasan. Untuk kombinasi kapur dengan zeolit dalam satu kemasan salak, bobot kapur dan zeolit yang digunakan masing-masing adalah 12.5 g dalam 500 g salak. Sedangkan untuk kombinasi kapur dengan karbon aktif, bobot kapur adalah 12.5 g dan bobot karbon aktif adalah 7.5 g dalam 500 g salak.

Kemasan yang telah berisi salak dan bahan penyerap dikondisikan pada dua macam kondisi kemasan yaitu kemasan vakum dan kemasan normal. Untuk kemasan normal, dilakukan perekatan kemasan dengan sealer, sedangkan untuk kemasan vakum sudah merekat pada saat proses vakum dengan sealer yang ada pada alat vakum. Penyimpanan salak dilakukan di dalam chamber pada suhu 16-20°C dengan kelembaban 90-99%. Salak yang disimpan di dalam chamber disusun di dalam krat. Di dalam satu krat disusun 16 kemasan salak.

3.3.4

Pengamatan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara berkala sampai hari ke-26. Sampel yang diambil untuk setiap pengamatan sebanyak dua sampel tiap perlakuan. Total sampel dalam satu kali pengamatan adalah sebanyak 24 sampel. Sampel salak diambil langsung dari chamber pada setiap waktu pengamatan. Beberapa parameter yang diuji pada setiap pengamatan, yaitu kadar Vitamin C, total asam, total padatan terlarut, persen kerusakan, susut bobot dan organoleptik.

3.3.5

Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan mengambil nilai rata-rata dari dua ulangan pada setiap perlakuan. Hasil rata-rata data tersebut dibuat menjadi slope untuk diketahui laju perubahannya pada setiap pengamatan. Pada akhirnya data tersebut diuji dengan analisis statistik untuk diketahui pengaruh perlakuan terhadap buah salak pondoh.

3.4

RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor pertama adalah kombinasi bahan penyerap (A) yang terdiri atas tiga taraf yakni:

A1 = kapur (2.5%) dan zeolit (2.5%) (KZ)

A2 = kapur (2.5%) dan karbon aktif (1.5%) (KKA)

A3 = tanpa penyerap (TP)

Faktor kedua adalah kombinasi perlakuan jenis dan kondisi kemasan (B) yang terdiri atas empat taraf yakni:

B1 = jenis kemasan plastik PP, vakum (PP/V) B2 = jenis kemasan plastik PP, normal (PP/N) B3 = jenis kemasan plastik PET, vakum (PET/V) B4 = jenis kemasan plastik PET, normal (PET/N)

(25)

11 Keterangan:

Yij = Respon setiap parameter yang diamati

µ = Nilai rataan umum

Ai = Pengaruh kombinasi bahan penyerap pada taraf ke-i Bj = Pengaruh jenis dan kondisi kemasan pada taraf ke-j

(AB)ij = Pengaruh interaksi kombinasi bahan penyerap pada taraf ke-i dengan jenis dan kondisi kemasan pada taraf ke-j

εijk = Pengaruh galat percobaan

i = 1, 2, 3

j = 1, 2, 3, 4

Penelitian dilakukan sesuai dengan urutan metodologi yang telah ditentukan. Diagram Alir penelitian ini secara lengkap disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian Perlakuan kondisi kemasan -Vakum

-Normal

Pengamatan -% Kerusakan -Susut bobot respirasi -Kadar vitamin C -Total asam

-Total padatan terlarut -Organoleptik

Salak

Sortasi

Penimbangan

Pengemasan dengan 2 jenis plastik

-PP -PET

Kapur 2.5% + Zeolit 2.5%

Penambahan bahan penyerap

Kapur 2.5% + Karbon aktif 1.5%

Tanpa Penyerap

(26)

12

VI.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

KARAKTERISTIK BUAH SALAK PONDOH BANJARNEGARA

Karakterisasi salak pondoh dilakukan untuk mengetahui karakteristik awal buah salak pondoh yang digunakan dalam penelitian. Kadar air salak pondoh cukup tinggi, yaitu 78.12%. Kadar air yang tinggi pada buah salak dapat mempercepat proses kebusukan dan kerusakan buah salak, hal ini diduga dengan meningkatnya jumlah air maka laju pertumbuhan mikroorganisme juga semakin tinggi. Kadar abu buah salak pondoh yang diamati adalah sebesar 0.58%. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah mineral dan bahan organik lainnya sangat kecil pada buah salak pondoh. Selain itu, terdapat lemak dengan kadar yang sangat kecil pada buah salak pondoh, yaitu sebesar 0.07%. Di dalam buah salak pondoh juga terdapat serat yang terdiri dari lignin, selulosa dan pentosa. Kadar serat yang terdapat pada buah salak relatif kecil yaitu sebesar 2.89%.

Tabel 2. Karakterisasi Awal Buah Salak Pondoh

Analisis Nilai

Kadar air (%) 78.12

Kadar abu (%) 0.58

Kadar lemak (%) 0.08

Kadar serat (%) 2.89

Total Asam (mg/100 g) 2.58

Kadar Vitamin C (mg/100 g) 2.6

TSS (°brix) 17

Total padatan terlarut (TSS) yang diamati adalah gula, karena gula adalah padatan terlarut terbesar yang terdapat pada salak pondoh. Gula merupakan komponen utama yang menentukan rasa dari buah salak pondoh. Semakin tinggi kadar gula maka penerimaan konsumen terhadap buah salak semakin tinggi. Total padatan terlarut awal dari buah salak pondoh adalah sebesar 17 °brix.

(27)

13

4.2

TINGKAT KERUSAKAN BUAH SALAK PONDOH SELAMA

PENYIMPANAN

Selama penyimpanan, buah salak pondoh yang diamati mengalami kerusakan yang beraneka ragam. Tingkat kerusakan buah salak pondoh terus meningkat sampai pada hari penyimpanan terakhir, yaitu hari ke-26, baik salak pondoh yang diberi bahan penyerap ataupun tanpa bahan penyerap. Laju perubahan tingkat kerusakan buah salak pondoh selama penyimpanan dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 3.

Keterangan :

PP-N : Jenis kemasan PP kondisi normal TP : Tanpa penyerap

PET-N : Jenis kemasan PET kondisi normal KZ : Kapur - Zeolit

PP-V : Jenis kemasan PP kondisi vakum KKA : Kapur – Karbon Aktif

PET-V : Jenis kemasan PET kondisi vakum

Gambar 3. Laju Perubahan Tingkat Kerusakan Buah Salak Pondoh Selama Penyimpanan

Pada Gambar 3. dapat dilihat bahwa buah salak pondoh yang disimpan dengan berbagai perlakuan menunjukkan laju peningkatan kerusakan selama penyimpanan. Hal ini ditunjukkan oleh slope yang positif. Buah salak pondoh yang dikemas dengan plastik PET kondisi normal memiliki laju peningkatan kerusakan yang relatif kecil selama penyimpanan yaitu dengan slope rata-rata 1.102. Plastik PET menyebabkan laju kerusakan salak terkecil karena plastik PET memiliki sifat permeabilitas gas oksigen (O2) yang lebih rendah dibanding plastik PP, hal ini mengakibatkan terhambatnya gas oksigen (O2) yang masuk ke dalam kemasan, sehingga laju respirasi buah salak terhambat. Laju respirasi yang terhambat, menyebabkan hasil respirasi berupa karbondioksida (CO2) dan air (H2O) berkurang. Berkurangnya air yang dihasilkan dapat memperpanjang umur simpan buah salak, karena jika air yang dihasilkan banyak, maka kerusakan buah salak akan semakin cepat. Adanya air menyebabkan ketegaran buah salak berkurang dan dapat menyebabkan air masuk kembali ke dalam buah salak dan mempercepat kebusukan dan kerusakan salak.

Pada perlakuan lain yaitu Plastik PP kondisi vakum memiliki laju peningkatan kerusakan buah salak yang tertinggi selama penyimpanan yaitu dengan slope rata-rata 4.160. Hal ini dikarenakan plastik PP memiliki permeabilitas oksigen (O2) yang lebih tinggi dibanding plastik PET. Banyaknya

PP-N PET-N PP-V PET-V

TP 2,070 2,022 4,066 3,133

KZ 4,057 0,529 4,114 4,026

KKA 3,561 0,756 4,299 3,912

(28)

14 oksigen (O2) yang masuk ke dalam kemasan menyebabkan peningkatan laju respirasi salak sehingga air (H2O) dan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan meningkat. Banyaknya air dalam kemasan menyebabkan kerusakan salak dalam kemasan.

Kemasan plastik kondisi normal menghasilkan tingkat kerusakan salak yang rendah. Pada kondisi ini buah salak tidak mendapatkan tekanan pada saat proses vakum, sehingga tidak terjadi memar pada daging salak. Kondisi vakum pada kemasan salak dapat menyebabkan memar pada daging salak pada saat awal vakum, namun pada dasarnya kemasan vakum bertujuan untuk menahan laju respirasi buah salak pondoh, karena dengan vakum oksigen yang terdapat di dalam kemasan dikeluarkan sebelum dilakukan penyimpanan. Semakin banyak oksigen yang ada di dalam kemasan akan meyebabkan laju proses respirasi akan meningkat dan akan mempercepat kebusukan salak. Lepas vakum menjadi salah satu penyebab kemasan vakum menghasilkan umur simpan yang pendek. Kondisi lepas vakum dapat terjadi karena adanya proses respirasi anaerobik yang terjadi pada salak yang menghasilkan karbondioksida (CO2). Selain itu, kerusakan yang banyak terjadi pada kemasan vakum dapat terjadi karena salak mengalami proses respirasi anaerobik karena kekurangan oksigen, dan hasil respirasi anaerobik diduga menyebabkan adanya alkohol hasil dari fermentasi sehingga dapat merusak fisiologis salak dan merusak cita rasa salak seperti rasa, aroma, tekstur dan warna buah salak tersebut.

Pada hasil analisis ragam dengan α = 5%, perlakuan kemasan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kerusakan buah salak selama penyimpanan. Pada uji lanjut duncan, kemasan yang terpilih sebagai kemasan terbaik dalam pengaruhnya terhadap tingkat kerusakan buah salak pondoh selama penyimpanan adalah kemasan plastik PET dengan kondisi normal. Selain perlakuan kemasan, terdapat perlakuan bahan penyerap yang digunakan pada buah salak selama penyimpanan. Dari hasil yang didapatkan, salak yang disimpan tanpa penyerap memiliki laju tingkat kerusakan yang terkecil yaitu dengan slope rata-rata 2.823. Sementara salak yang dikemas dengan kombinasi bahan penyerap kapur menggunakann zeolit dan kapur dengan karbon aktif menyebabkan laju kerusakan buah salak yang lebih tinggi dibanding salak tanpa penyerap yaitu masing-masing memiliki slope rata-rata 3.181 dan 3.132. Namun dapat dilihat bahwa slope yang dihasilkan pada setiap perlakuan penyerap tidak berbeda nyata. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis ragam α = 5% yang menunjukkan bahwa perlakuan penyerap tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap perubahan tingkat kerusakan buah salak selama penyimpanan. Hal ini diduga ada tidaknya penyerap tidak mempengaruhi tingkat kerusakan pada buah salak jika tanpa adanya pengaruh jenis kemasan, namun setelah perlakuan penyerap berinteraksi dengan pelakuan kemasan dapat dilihat pengaruhnya yang lebih nyata terhadap tingkat kerusakan salak. Hal ini dibuktikan dengan analisis ragam α = 5%, interaksi antara kemasan dengan penyerap berbeda nyata pengaruhnya terhadap tingkat kerusakan buah salak. Pada uji lanjut duncan yang dilakukan terhadap interaksi antara kemasan dengan penyerap, terpilih interaksi antara kemasan PET normal dengan kombinasi bahan penyerap kapur dengan zeolit menjadi interaksi yang terbaik.Tingkat kerusakan terkecil selama penyimpanan, terjadi pada buah salak pondoh yang dikemas dengan kemasan plastik PET normal dengan kombinasi bahan penyerap kapur dengan zeolit. Pada hari ke-26, kombinasi tersebut memiliki tingkat kerusakan terkecil yaitu sebesar13.14 %.

4.3

PERUBAHAN KARAKTERISTIK BUAH SALAK PONDOH SELAMA

PENYIMPANAN

(29)

15 padatan terlarut dan total asam. Terdapat keterkaitan antara satu karakteristik dengan karakteristik lainnya, sehingga antar karakteristik saling mempengaruhi.

Buah salak mengalami penurunan bobot (susut bobot) selama penyimpanan. Pada penelitian, terjadi peningkatan susut bobot buah salak selama penyimpanan. Hal ini dikarenakan selama penyimpanan, buah mengalami proses respirasi dan transpirasi, dimana senyawa-senyawa kompleks yang ada di dalam sel seperti karbohidrat dipecah menjadi senyawa-senyawa sederhana seperti CO2 dan H2O, dimana senyawa sederhana ini mudah menguap dan keluar dari buah sehingga buah mengalami pengurangan bobot (Wills, 1981). Peningkatan susut bobot selama penyimpanan dapat ditekan dengan cara menggunakan bahan pengemas (kemasan plastik) dan bahan penyerap yang sesuai.

Susut bobot terjadi karena buah salak pondoh kehilangan air karena transpirasi, hal ini dapat dicegah dengan penyimpanan suhu rendah agar umur simpan salak menjadi lebih panjang (Santoso, 2005). Selain itu menurut Soedibyo (1979), kondisi penyimpanan suhu rendah dapat menekan laju respirasi dan transpirasi agar kedua proses tersebut berjalan lebih lambat sehingga umur simpan salak dapat lebih panjang.

Buah salak yang dikemas dengan kemasan plastik PET dengan kondisi normal memiliki laju peningkatan susut bobot buah salak terkecil selama penyimpanan, yaitu dengan slope rata-rata 0.024, diikuti dengan kemasan plastik PP kondisi vakum dengan slope rata-rata 0.042, kemasan plastik PET kondisi vakum dengan slope rata-rata 0.070 dan kemasan plastik PP kondisi normal dengan slope rata-rata 0.077. Pada hasil analisis ragam pada α = 5%, menunjukkan bahwa perlakuan kemasan tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap perubahan susut bobot buah salak selama penyimpanan. Perlakuan kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan susut bobot buah salak selama penyimpanan karena pada dasarnya susut bobot buah salak terjadi karena proses respirasi, yaitu pengeluaran air dari dalam jaringan buah. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi transpirasi, yaitu faktor internal (morfologi/anatomi, kerusakan fisik dan umur panen) dan faktor eksternal (suhu, RH, pergerakan udara dan tekanan atmosfer). Dapat dilihat bahwa perlakuan kemasan tidak memberikan pengaruh terhadap kedua faktor, baik faktor internal dan faktor eksternal.

Pada perlakuan bahan penyerap, salak yang dikemas dengan perlakuan pemberian bahan penyerap dengan kombinasi kapur dengan zeolit, kapur dengan karbon aktif dan tanpa penyerap menunjukkan laju peningkatan susut bobot buah salak selama penyimpanan yang tidak berbeda nyata, yaitu masing-masing memiliki slope rata-rata 0.050, 0.081 dan 0.062. Pada hasil analisis ragam α = 5% menunjukkan bahwa perlakuan penyerap tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap perubahan susut bobot buah salak selama penyimpanan. Interaksi antara perlakuan kemasan dengan perlakuan penyerap juga tidak berbeda nyata pada analisis ragam α = 5%. Hal ini diduga karena faktor eksternal yang lebih mempengaruhi terjadinya proses transpirasi pada buah salak, sedangkan pada penelitian ini semua buah salak disimpan pada kondisi eksternal yang sama, baik suhu, RH, dan tekanan atmosfer. Susut bobot buah salak yang terkecil pada hari ke-26 terjadi pada buah salak yang dikemas dengan kemasan PET kondisi normal dengan kombinasi bahan penyerap kapur dengan zeolit, yaitu dengan susut bobot 0.60%.

(30)

16 Keterangan :

[image:30.612.132.511.79.324.2]

PP-N : Jenis kemasan PP kondisi normal PP-V : Jenis kemasan PP kondisi vakum PET-N : Jenis kemasan PET kondisi normal PET-V : Jenis kemasan PET kondisi vakum

Gambar 4. Laju Perubahan Kadar Vitamin C Buah Salak Pondoh selama Penyimpanan

Laju perubahan kadar Vitamin C pada buah salak selama penyimpanan menunjukkan slope negatif, hal ini menunjukkan bahwa laju perubahan yang terjadi adalah laju penurunan kadar Vitamin C pada buah salak selama penyimpanan. Pada perlakuan penyerap, masing-masing perlakuan penyerap menghasilkan slope rata-rata yang tidak berbeda nyata. Slope rata-rata dari perlakuan penyerap kombinasi kapur dengan zeolit, kapur dengan karbon aktif dan tanpa penyerap adalah masing-masing -0.015, -0.025 dan -0.022. Pada hasil analisis ragam α = 5% menunjukkan bahwa perlakuan penyerap tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap perubahan Vitamin C buah salak selama penyimpanan.

Pada perlakuan jenis dan kondisi kemasan, buah salak yang dikemas dengan kemasan plastik PET kondisi normal menunjukkan laju penurunan kadar Vitamin C yang terendah selama penyimpanan yaitu dengan slope rata-rata -0.011 diikuti dengan kemasan plastik PET kondisi vakum, kemasan plastik PP kondisi vakum dan kemasan plastik PP kondisi normal dengan slope rata-ratamasing-masing adalah -0.016, -0.026, dan -0.030. Laju penurunan kadar Vitamin C yang terendah merupakan salak yang dikemas dengan plastik PET dengan kondisi normal, hal ini dikarenakan tingkat kerusakan pada jenis dan kondisi plastik tersebut adalah yang terendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kerusakan salak sangat mempengaruhi perubahan dari kadar Vitamin C pada buah salak pondoh selama penyimpanan. Pada hasil analsis ragam α = 5% menunjukkan bahwa perlakuan kemasan berbeda nyata pengaruhnya terhadap perubahan kadar Vitamin C buah salak selama penyimpanan. Perlakuan jenis dan kondisi kemasan berpengaruh nyata terhadap perubahan Vitamin C buah salak selama penyimpanan karena perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang nyata terhadap terjadinya kerusakan buah salak.

Kerusakan buah salak selama penyimpanan dapat disebabkan karena adanya air (H2O) yang dihasilkan dari respirasi, dengan adanya bahan penyerap kapur dan karbon aktif, sebagian air yang dihasilkan dapat ikut terserap sehingga mengurangi kerusakan yang terjadi pada buah salak. Ketersediaan oksigen dan kerusakan salak mengakibatkan terjadinya oksidasi, Vitamin C terdegradasi

PP-N PET-N PP-V PET-V

TP -0,018 -0,013 -0,029 -0,026

KZ -0,030 -0,010 -0,011 -0,008

KKA -0,041 -0,009 -0,036 -0,014

(31)

17 menjadi asam dehidro-askorbat, sehingga kadar Vitamin C pada salak pondoh berkurang. Adanya perlakuan kemasan vakum membantu untuk mengurangi laju pengurangan kadar Vitamin C pada buah salak karena dengan adanya kondisi vakum, oksigen (O2) yang terdapat di dalam kemasan salak dikeluarkan terlebih dahulu. Namun karena adanya sifat permeabilitas udara pada masing-masing kemasan, terutama oksigen (O2) maka oksidasi buah salak tetap akan terjadi. Menurut Kartasapoetra (1994), kandungan vitamin C akan menurun selama penyimpanan dan apabila buah mengalami perubahan warna menjadi coklat menunjukkan adanya kerusakan vitamin C. Kadar Vitamin C buah salak pondoh yang terbesar pada hari ke-26 terdapat pada salak yang dikemas dengan kemasan PET kondisi normal dengan kombinasi bahan penyerap kapur dengan zeolit, yaitu sebanyak 1.49 mg/100 g salak.

Total padatan terlarut yang diamati pada salak pondoh menggunakan skala °brix, karena komponen padatan terlarut yang paling banyak ada di salak adalah berupa gula. Pada dasarnya total padatan terlarut terdiri dari komponen-komponen yang dapat larut dalam air seperti gula, (glukosa, fruktosa dan sukrosa), dan protein yang larut dalam air

Buah salak mengalami penurunan total padatan terlarut selama proses penyimpanan di setiap perlakuan yang diberikan. Pada perlakuan kemasan, antara kemasan plastik PP normal, PET normal, PP vakum dan PET vakum memiliki slope rata-rata yang tidak berbeda nyata. Namun dapat dilihat untuk slope rata-rata yang terkecil adalah pada perlakuan kemasan plastik PP vakum yaitu -0.075. Sedangkan slope ratarata terbesar terdapat pada perlakuan kemasan plastik PP normal yaitu sebesar -0.128. Berdasarkan analisis ragam α = 5%, perlakuan kemasan tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap perubahan total padatan terlarut buah salak selama penyimpanan. Penurunan kadar gula ini terjadi karena total gula yang digunakan dalam respirasi lebih besar dibandingkan dengan penguraian karbohidrat menjadi gula, sehingga gula terus mengalami penurunan selama penyimpanan. Menurut Wuryani (1999), karbohidrat dalam buah akan diurai menjadi gula sederhana untuk dapat dipergunakan sebagai substrat respirasi.

Pada plastik PP vakum, slope rata-rata yang dihasilkan paling kecil dikarenakan proses awal vakum adalah mengeluarkan oksigen (O2) yang ada di dalam kemasan, dengan tidak adanya oksigen (O2) menyebabkan proses respirasi buah salak terjadi secara lambat sehingga gula yang diperlukan juga tidak terlalu banyak. Sedangkan slope rata-rata terbesar terjadi pada kemasan plastik PP normal karena di dalam kemasan terdapat banyak oksigen (O2), sehingga mempercepat laju respirasi yang membutuhkan banyak gula dalam proses respirasi tersebut. Selain itu, kadar gula mengalami perubahan menjadi alkohol, aldehid dan asam amino selama penyimpanan. Karena adanya air hasil dari respirasi dan adanya alkohol, dimana keduanya adalah pelarut, maka total padatan terlarut menjadi semakin berkurang.

(32)

18 terbesar pada hari ke-26 terdapat pada salak yang dikemas dengan kemasan PET kondisi normal dengan kombinasi bahan penyerap kapur dengan zeolit, yaitu sebesar 14.50°brix.

Pada total asam, terjadi penurunan total asam buah salak pondoh selama penyimpanan. Jenis kemasan plastik PET normal memiliki slope rata-rata sebesar -0.007, kemasan plastik PP vakum -0.009, kemasan plastik PP normal -0.010 dan kemasan plastik PET vakum -0.011. Pada analisis ragam α = 5% menunjukkan bahwa perlakuan kemasan tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap perubahan total asam pada buah salak selama penyimpanan. Total asam pada buah salak berkurang karena adanya perubahan dari asam piruvat dan asam-asam organik lainnya secara aerobik menjadi CH2O3 dan energi atau asam yang ada digunakan sebagai substrat dalam proses respirasi (Tranggono, 1990). Plastik PET dan plastik PP sama-sama memiliki sifat permeabilitas terhadap gas, terutama oksigen (O2), hal ini menyebabkan proses respirasi akan tetap berjalan sehingga membutuhkan asam sebagai substrat dalam proses respirasi tersebut.

Sama halnya dengan perlakuan kemasan, pada perlakuan penyerap, slope yang dihasilkan tidak berbeda nyata pengaruhnya pada setiap perlakuan. Slope rata-rata terkecil dihasilkan pada perlakuan tanpa penyerap yaitu sebesar -0.007. Sedangkan pada kombinasi penyerap kapur dengan zeolit dan kombinasi kapur dengan karbon aktif memiliki nilai slope rata-rata yang sama, yaitu -0.011. Pada analisis ragam α = 5% menunjukkan bahwa perlakuan penyerap tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap perubahan total asam pada buah salak selama penyimpanan. Interaksi antara perlakuan kemasan dengan perlakuan penyerap juga tidak berbeda nyata pada analisis ragam α = 5%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian bahan penyerap serta jenis dan kondisi kemasan tidak mempengaruhi laju perubahan total asam pada buah salak selama penyimpanan. Hal ini diduga dengan adanya perlakuan bahan penyerap serta jenis dan kondisi kemasan tidak mencegah terjadinya respirasi, namun hanya menghambat laju respirasi sehingga kebutuhan asam sebagai substrat dalam proses respirasi tetap dibutuhkan. Total asam buah salak pondoh yang terbesar pada hari ke-26 terdapat pada salak yang dikemas dengan kemasan PET kondisi normal dengan kombinasi bahan penyerap kapur dengan zeolit, yaitu sebesar 0.25 mg/100 g bahan.

4.4 ORGANOLEPTIK

Kualitas produk hortikultura sangat penting karena dapat mencerminkan nilai komoditi tersebut. Kualitas komoditi hortikultura merupakan kombinasi dari karakteristik, atribut, sifat yang memberikan nilai terhadap komoditi sebagai makanan (buah dan sayuran), dan untuk kesenangan atau ornamental (Kader, 1992). Secara keseluruhan kualitas buah dipengaruhi oleh penampilan (ukuran, bentuk, warna, kilapan dan cacat), tekstur (kekerasan, kelembutan, dan serat), flavour (rasa dan aroma), nilai nutrisi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral), dan keamanannya yaitu keamanan dari kandungan senyawa toksik dan mikroba (Kader, 1992). Sedangkan menurut Santoso dan Purwoko (1995), kualitas buah dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor lingkungan pra panen, pemanenan, perlakuan pasca panen dan interaksi dari berbagai faktor. Perubahan karakteristik buah salak (tingkat kerusakan, kadat Vitamin C, total asam dan total padatan terlarut) mempengaruhi perubahan mutu dari buah salak selama penyimpanan.

(33)

19

4.4.1

Warna Daging Salak

Warna daging salak merupakan salah satu parameter yang sangat penting, karena warna daging salak sangat mempengaruhi konsumen dalam mengkonsumsi salak. Warna daging salak yang disukai oleh konsumen adalah warna daging yang putih bersih, menandakan buah segar. Sebaliknya, warna daging salak yang tidak disenangi konsumen adalah warna daging salak yang sudah kecokelatan, warna putih pucat, adanya bercak-bercak cokelat dan warna daging putih kekuningan seperti manisan. Tingkat kesukaan panelis terhadap warna daging salak pada setiap pengamatan disajikan pada Gambar 5.

Pada Gambar 5. dapat dilihat bahwa panelis sangat menyukai warna daging salak pada kondisi awal sebelum dilakukan penyimpanan. Namun, tingkat kesukaan panelis terhadap warna daging salak terus menurun sampai pada hari ke-20. Pada hari ke-10, warna daging salak yang paling disukai oleh panelis adalah salak yang diberi kombinasi bahan penyerap kapur dengan karbon aktif yang dikemas dengan kemasan PET kondisi normal, yaitu dengan tingkat kesukaan panelis 46.43%. Sedangkan, warna daging salak dengan tingkat kesukaan terendah adalah salak tanpa bahan penyerap yang dikemas dengan kemasan PP kondisi vakum, yaitu dengan tingkat kesukaan panelis 7.14%.

Keterangan :

PP/N : Jenis kemasan PP kondisi normal TP : Tanpa penyerap

PET/N : Jenis kemasan PET kondisi normal KZ : Kapur - Zeolit

PP/V : Jenis kemasan PP kondisi vakum KKA : Kapur – Karbon Aktif

[image:33.612.109.514.306.602.2]

PET/V : Jenis kemasan PET kondisi vakum

Gambar 5. Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Warna Daging Salak

Pada hari ke-20, tingkat kesukaan panelis menurun terhadap warna daging salak. Tingkat kesukaan panelis yang tertinggi yaitu 40% terdapat pada salak yang diberi kombinasi bahan penyerap kapur dengan karbon aktif yang dikemasn dengan kemasan PET kondisi vakum. Panelis relatif sudah tidak menyukai warna dari daging salak pada hari ke-20. Hal ini dikarenakan perubahan warna daging salak menjadi kecokelatan dan tidak menarik.

Warna daging salak sangat dipengaruhi oleh senyawa polifenol yang mayoritas berupa tanin. Tanin adalah senyawa yang dapat berubah warna karena oksidasi (Wrasiati, 1997). Selain itu, bila protoplasma sel mengalami perubahan karena pemotongan, gesekan, pembekuan, kerusakan fisiologi

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00

Ti

ngkat

Kesuka

an (%)

Perlakuan

(34)

20 atau patologi menyebabkan perubahan warna menjadi parang menjadi lebih cepat. Jenis perubahan warna ini dapat terjadi pada permukaan yang langsung terkena udara atau di bagian dalam buah yang terdapat cukup banyak O2 untuk berlangsungnya oksidasi (Pantastico, 1986).

Pembentukan warna coklat pada daging buah salak dimulai pada bagian pangkal buah. Hal ini kemungkinan disebabkan terjadinya reaksi browning enzimatis pada bagian pangkal buah tersebut. Karena adanya rongga udara yang lebih besar pada bagian pangkal buah dibandingkan dengan bagian buah lainnya, rongga udara ini dapat mengoksidasi senyawa fenolik pada buah secara enzimatis membentuk senyawa ortoquinon, yang selanjutnya akan berpolimerisasi membentuk pigmen coklat atau melanin. Enzim yang mengkatalisa oksidasi ini umumnya dikenal sebagai fenolase, polifenol oksidase, tirosinase atau catecholase. Adanya senyawa fenolik, enzim dan oksigen mutlak diperlukan untuk terjadinya reaksi pencoklatan tersebut dinamakan reaksi browning enzimatis (Muchtadi 1978).

Adanya bercak-bercak cokelat pada daging salak terjadi pada perlakuan vakum karena kulit salak menekan daging salak dan membekas. Selain itu, bercak-bercak cokelat pada daging salak dapat terjadi karena berkurangnya kadar Vitamin C selama penyimpanan yang menyebabkan kerusakan pada daging buah salak. Tingkat kerusakan pada salak juga mempengaruhi warna dari daging salak, semakin tinggi tingkat kerusakan salak yang diakibatkan adanya memar pada salak akan menyebabkan munculnya warna cokelat pada daging salak (Browning). Warna putih kekuningan pada daging salak terjadi karena pengaruh respirasi. Laju respirasi yang tinggi menyebabkan air (H2O) yang dihasilkan semakin banyak. Hal ini menyebabkan air tersebut masuk ke dalam sel salak dan menyebabkan ketegaran sel berkurang. Susut bobot salak selama penyimpanan juga berpengaruh terhadap warna daging, susut bobot yang semakin besar menunjukkan bahwa kadar air yang ada di dalam salak menguap dan mengakibatkan daging salak berwarna putih pucat.

Buah salak yang tua ditandai dengan warna kulit buah coklat kehitaman, sisik melebar (jarang-jarang), mengkilat dan mudah dikupas, warna daging buah tidak pucat dengan biji yang keras berwarna coklat tua (Anarsis, 1996). Warna putih atau kuning pada buah umumnya disebabkan oleh pigmen anthoxantin (flavonoid). Pigmen ini umumnya terlarut dalam cairan buah. Dalam jumlah kecil antoxantin biasanya memberikan warna putih atau tak berwarna pada sebagian besar buah-buahan. Warna kuning kadang-kadang dapat berubah menjadi coklat atau coklat kemerahan. Sebagian warna coklat dapat dihasilkan flavon, tetapi sebagian besar merupakan hasil reaksi ion dengan tanin.

4.4.2

Aroma Salak

Aroma suatu makanan sangat penting dalam mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap produk tersebut. Tingkat kesegaran makanan dapat dirasakan dengan menggunakan indera penciuman. Kelezatan suatu makanan sangat ditentukan oleh faktor aroma. Dalam hal ini, aroma menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa enak dari produk makanan itu sendiri (Soekarto, 1985). Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma salak disajikan pada Gambar 6.

(35)

21 kombinasi bahan penyerap kapur dengan karbon aktif yang dikemas dengan kemasan PET kondisi normal, yaitu sebesar 20%.

Keterangan :

PP/N : Jenis kemasan PP kondisi normal TP : Tanpa penyerap

PET/N : Jenis kemasan PET kondisi normal KZ : Kapur - Zeolit

PP/V : Jenis kemasan PP kondisi vakum KKA : Kapur – Karbon Aktif

[image:35.612.137.512.116.377.2]

PET/V : Jenis kemasan PET kondisi vakum

Gambar 6. Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Aroma Daging Salak

Sebenarnya, aroma yang ditangkap indera penciuman adalah suatu komponen volatil yang terdapat pada produk. Komponen volatil pada salak dihasilkan dari proses respirasi anaerob dan juga aerob yaitu alkohol dan kandungan asam. Pada konsentrasi O2 yang rendah menyebabkan timbulnya bau-bau yang lain dari biasanya. Pada reaksi respirasi anaerob, salak menghasilkan aroma yang masam seperti alkohol, sedangkan reaksi respirasi aerob menghasilkan aroma segar. Selain itu, aroma salak dapat berubah karena banyaknya kandungan CO2 yang terdapat di lingkungan. Dalam beberapa hal, aroma dan rasa buah yang tidak dikehendaki muncul karena adanya penimbunan etanol (Norman dan Craft, 1971).

4.4.3

Tekstur Daging Salak

Tekstur daging salak adalah salah satu parameter yang sangat diperhatikan konsumen. Konsumen dapat membedakan tekstur daging salak yang baik dan tekstur daging salak yang sudah mengalami penurunan mutu. Tekstur salak yang disukai konsumen adalah tekstur salak yang padat dan keras yang menunjukkan salak masih segar. Sebaliknya, tekstur salak yang tidak disukai oleh konsumen adalah tekstur salak yang terlalu lunak dan memar pada daging. Gambar 7. menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur salak pondoh yang diberi perlakuan selama penyimpanan.

Pada Gambar 7. menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur daging salak pondoh terus mengalami penurunan selama penyimpanan sampai hari ke-20. Semua panelis menyukai tekstur dari daging salak pada kondisi awal, sebelum dilakukan penyimpanan. Pada hari ke-10 penyimpanan, tingkat kesukaan panelis yang tertinggi terdapat pada salak tanpa penyerap yang dikemas dengan kemasan PP dengan kondisi normal dan juga vakum, yaitu dengan tingkat kesukaan

0 10 20 30 40 50 60 70

Ti

ngkat

Ke

sukaan

(%)

Perlakuan

H-0

H-10

(36)

22 panelis 35.71%. Sedangkan pada hari ke-20, panelis relatif sudah tidak menyukai tekstur dari daging salak. Tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur daging salak yang tertinggi pada hari ke-20 terdapat pada salak tanpa bahan penyerap yang dikemas dengan kemasan PP kondisi normal. Panelis sudah tidak menyukai tekstur dari daging salak tanpa bahan penyerap yang dikemas dengan kemasan PET kondisi normal. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan mutu dari buah salak selama penyimpanan.

Penurunan total gula pada salak berpengaruh terhadap tekstur daging salak. Gula pada salak mengalami perubahan akibat respirasi menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Air yang semakin banyak dihasilkan akan menyebabkan ketegaran sel berkurang dan menyebabkan daging salak menjadi lunak dan hal ini tidak disukai oleh konsumen. Susut bobot salak juga berpengaruh, susut bobot yang semakin meningkat menyebabkan kadar air di dalam salak berkurang. Berkurangnya kadar air di dalam salak meyebabkan tekstur salak menjadi kering dan keriput, tekstur ini juga tidak disukai oleh konsumen. Pelunakan pada daging buah menurut Wills(1981) disebabkan karena protopektin, yaitu pektin yang tidak dapat larut dalam air jumlahnya menurun karena diubah menjadi pektin yang dapat larut dalam air, sehingga ketegaran sel berkurang.

Keterangan :

PP/N : Jenis kemasan PP kondisi normal TP : Tanpa penyerap

PET/N : Jenis kemasan PET kondisi normal KZ : Kapur - Zeolit

PP/V : Jenis kemasan PP kondisi vakum KKA : Kapur – Karbon Aktif

[image:36.612.110.511.293.618.2]

PET/V : Jenis kemasan PET kondisi vakum

Gambar 7. Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Tekstur Daging Salak

Protopektin pada buah-buahan dan sayuran terdapat di dalam lapisan antar sel dan dinding sel pertama dari buah (Winarno & Wiranatakusumah, 1981). Pada buah yang masih muda, hubungan antara sel yang satu dengan yang lain masih kuat karena pektin yang bertindak sebagai perekat masih baik. Bila buah menjadi tua atau matang pektin yang semula tidak larut ini terhidrolisa menjadi pektin yang larut. Akibatnya daya rekat menjadi berkurang sehingga buah menjadi lunak (Eskin, el. al, 1971)

Tekstur buah tergantung dari berbagai faktor yaitu turgiditas dinding sel, kerekatan antar sel, ukuran dan bentuk sel serta jaringan pendukung dan komposisi kimia sel. Sifat tekstur dipengaruhi

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00

Tingka

t Kesukaa

n

(%

)

Perlakuan

H-0

H-10

(37)

23 juga oleh tingkat kemasakan, sifat yang diwariskan, kondisi kultural dan kelembabannya (Suhardi, et. al, 1989/1990). Senyawa pektin merupakan senyawa yang memberi sumbangan terbesar dalam menentukan perubahan tekstur / pelunakan jaringan.

4.4.4

Rasa Salak

Rasa salak adalah parameter yang sangat penting bagi konsumen. Tentunya konsumen sangat menyukai rasa salak yang segar, yaitu rasa manis. Sedangkan rasa salak yang tidak disukai konsumen adalah rasa salak yang sepat, masam dan adanya rasa alkohol akibat hasil fermentasi. Rasa salak terus berubah selama proses penyimpanan berlangsung. Tingkat kesukaan rasa salak oleh panelis disajikan pada Gambar 8.

Keterangan :

PP/N : Jenis kemasan PP kondisi normal TP : Tanpa penyerap

PET/N : Jenis kemasan PET kondisi normal KZ : Kapur - Zeolit

PP/V : Jenis kemasan PP kondisi vakum KKA : Kapur – Karbon Aktif

[image:37.612.114.518.235.546.2]

PET/V : Jenis kemasan PET kondisi vakum

Gambar 8. Tingkat Kesukaan Panelis Terhadap Rasa Daging Salak

Pada Gambar 8. dapat dilihat bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa salak terus menurun. Pada hari ke-10, tingkat kesukaan panelis berkurang. Tingkat kesukaan panelis yang tertinggi terdapat pada salak yang diberi kombinasi bahan penyerap kapur denga karbon aktif yang dikemasn dengan kemasan PP kondisi normal, yaitu dengan tingkat kesukaan 42.86%. Sedangkan tingkat kesukaan panelis yang terendah terdapat pada salak tanpa bahan penyerap yang dikemas dengan kemasan PP kondisi normal yaitu 14.29%. Pada hari ke-26, tidak ada panelis yang menyukai rasa dari salak. Pada pengamatan hari ke-20, tingkat kesukaan panelis yang tertinggi terdapat pada salak yang diberi kombinasi bahan penyerap kapur dengan karbon aktif yang dikemas dengan kemasan PP kondisi normal yaitu sebesar 20%. Panelis sudah tidak menyukai rasa dari salak tanpa bahan penyerap yang dikemas dengan kemasan PET kondisi vakum dan salak yang diberi kombinasi bahan penyerap kapur dengan zeolit yang dikemas dengan kemasan PET kondisi vakum.

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00

Ti

ngkat

K

esukaan

(%)

Perlakuan

H-0

H-10

Gambar

Tabel 1. Kandungan Gizi Buah Salak Pondoh dalam 100 gram
Gambar 1. Unit Penyusun Zeolit
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
Tabel 2. Karakterisasi Awal Buah Salak Pondoh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penyebab terjadinya gempa bumi dan tsunami di NAD akibat terjadinya pergerakan sesar atau patahan bumi yang berada di laut6. TSUNAMI DI NAD DAN

Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui analisa stabilitas pelimpah Embung Penggung terhadap geser dan guling, menganalisa kemampuan Embung untuk memenuhi

data menggunakan regresi berganda dengan sebelumnya melakukan uji asumsi klasik dan uji normalitas data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Kepemilikan

Menurut teori tolakan pasangan elektron, data hubungan antarjumlah pasangan elektron dengan bentuk molekul yang benar adalah, kecuali ...... Kunci dan pembahasan soal ini

Alhamdulillahirrobbil’alamin, atas karunia dan rahmat Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efektivitas ekstrak etanol kulit manggis ( Garcinia mangostana

Terjadi penurunan sudut semprot akibat pengendapan asam lemak bebas dan gliserol di ujung nosel pada kenaikan temperatur pemanasan awal 200 0 sampai dengan 220 o C, kecuali

Wakaf am ialah harta pemberian selama-lamanya dan segala pendapatan daripada harta itu turun-temurun bagi penggunaan agam Islam atau faedah umum yang diharuskan oleh agama Islam

Salah satu faktor yang membuat tidak adanya pengaruh penyuluhan kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan media visual aids terhadap sikap pada