• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Coating Kitosan untuk Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Coating Kitosan untuk Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.)"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI

COATING

KITOSAN UNTUK MEMPERPANJANG

UMUR SIMPAN BUAH SALAK PONDOH

(

Salacca edulis

Reinw.)

SKRIPSI

LELA MELAWATI N DEWI

F34080057

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

APLIKASI COATING KITOSAN UNTUK MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN

BUAH SALAK PONDOH (Salacca edulis Reinw.)

CHITOSAN COATING APPLICATION FOR EXTEND SHELF-LIFE OF PONDOH SNAKE FRUIT (Salacca edulis Reinw.)

Lela Melawati N Dewi, Ade Iskandar, and Sugiarto

Department of Agroindustial Technology, Faculty of Agricultural Technology,

Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

ABSTRACT

Pondoh snake fruit is a tropical commodity which rapidly damaged during storage. The main causes of damage due to respiration and fungal infection. Chitosan can be a coating material and inhibit the growth of fungal. Plastic has a permeabilities for O2, CO2, and H2O

transfer. The purpose of this research is to know influences of chitosan coating and plastics packaging for shelf-life and qualitiesof pondoh snake fruit in some maturities level (80%, 90%, batch) during storage. There are three steps of the methods, that was preparation chitosan coating (chitosan:acetic acid 1%)(b/v) 0.3:100; 0.5:100; 0.7:100, spray chitosan coating, and type of packaging material i.e. polypropyhlene without holes, polypropyhlene holes, polyetyhlene without holes, polyetyhlene holes and no packaging) then storage at temperature 16OC. The results showed that 80% maturity of pondoh snake fruit which coated by chitosan 0.5:100 (chitosan:acetic acid 1%)(b/v) and packaged by polypropylene without holes have shelf-life until 22 days, 90% maturity of pondoh snake fruit which coated by chitosan 0.7:100 (chitosan:acetic acid 1%)(b/v) and packaged by polypropylene without holes have shelf-life until 12 days, batch maturity of pondoh snake fruit which coated by chitosan 0.5:100 (chitosan:acetic acid 1%)(b/v) and packaged by polypropylene without holes have shelf-life until 12 days. Pondoh snake fruit without treatment in room temperature was damaged until 100% in 6 days of storage. Qualities of pondoh snake fruit was decrease as storage in level of damage, weight loss, vitamin C, total acid, total soluble solids, and organoleptic.

(3)

Lela Melawati N Dewi. F34080057. Aplikasi Coating Kitosan untuk Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.). Dibawah bimbingan Ade Iskandar dan Sugiarto. 2012.

RINGKASAN

Salak pondoh (Salacca edulis Reinw.) merupakan komoditi tropis asli Indonesia yang termasuk ordo Spadiciflorae dan famili Palmae yang cepat mengalami kerusakan selama penyimpanan. Kerusakan tersebut dapat terjadi karena reaksi enzimatis, reaksi kimia dan aktivitas mikroorganisme. Penyebab utama kerusakan buah salak selama penyimpanan dapat disebabkan oleh respirasi dan infeksi kapang. Kitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang serta dapat membentuk lapisan yang dapat mengatur pertukaran gas. Salak pondoh yang telah dipanen masih melakukan proses respirasi sehingga dibutuhkan kemasan dengan permeabilitas yang tepat untuk pertukaran oksigen, karbondioksida serta uap air. Plastik polipropilen memiliki daya tembus (permeabilitas) terhadap uap air rendah dan permeabilitas terhadap gas sedang, sedangkan plastik polietilen memiliki sifat mekanik yang baik serta biasa digunakan pengemasan buah-buahan. Pelapisan kitosan dan pengemasan yang tepat pada salak pondoh diharapkan dapat menanggulangi infeksi kapang dan memperpanjang umur simpan.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh coating kitosan dan plastik kemasan terhadap umur simpan serta mutu salak pondoh kematangan 80%, 90%, dan curah selama penyimpanan. Salak pondoh nglumut yang digunakan berasal dari Desa Gunung Giana Kecamatan Madukara, Banjarnegara.

Metode dalam aplikasi coating kitosan dan plastik kemasan terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan larutan pelapis (coating) kitosan, pelapisan salak pondoh dengan larutan coating kitosan dan proses pengemasan serta penyimpanan. Pembuatan larutan kitosan pada perbandingan kitosan dengan asam asetat 1% sebesar 0.3:100 (b/v), 0.5:100 (b/v), dan 0.7:100 (b/v) dilakukan dengan melarutkan kitosan ke dalam asam asetat 1% pada suhu 40oC selama 30 menit. Pelapisan salak pondoh dengan larutan coating kitosan dilakukan dengan teknik penyemprotan lalu dikering-anginkan sebelum dikemas. Pengemasan salak pondoh pada kemasan polipropilen lubang, polipropilen tanpa lubang, polietilen lubang, polietilen tanpa lubang, dan tanpa kemasan masing-masing sebanyak ±500 gram kemudian disimpan pada suhu 16oC. Analisis dilakukan pada hari penyimpanan ke-0, ke-6, ke-12, ke-18, ke-22, dan ke-26 dengan parameter yang diamati antara lain persentase kerusakan, persentase susut bobot, total asam tertitrasi, total Vitamin C, total padatan terlarut serta organoleptik. Rancangan percobaan yang diterapkan berupa rancangan acak lengkap faktorial dua kali ulangan dengan faktor coating kitosan dan jenis kemasan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan larutan coating kitosan dan plastik kemasan pada penyimpanan suhu 16oC (RH 90-98%) dapat meningkatkan umur simpan salak pondoh kematangan 80% hingga 22 hari dan hingga 12 hari pada salak pondoh kematangan 90% serta kematangan curah. Coating kitosan dan plastik kemasan dapat memperlambat laju penurunan mutu salak pondoh yang diamati dari sifat fisiko-kimia berupa tingkat kerusakan, susut bobot, vitamin C, total asam, dan didukung oleh hasil organoleptik.

Salak pondoh kematangan 80% memiliki umur simpan hingga 22 hari pada perlakuan

(4)

berkisar 0.2-1.0%, total padatan terlarut berkisar 14-17 OBrix dan pada 12 hari penyimpanan salak pondoh masih disukai panelis.

Salak pondoh kematangan 90% memiliki umur simpan hingga 12 hari pada perlakuan

coating kitosan 0.7:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v) dan pengemasan polipropilen tanpa lubang dengan kerusakan kurang dari 10% dan pada 26 hari penyimpanan kerusakan mencapai 11%. Salak pondoh kematangan 90% mengalami penurunan mutu selama penyimpanan dengan susut bobot berkisar 0-2%, kandungan vitamin C berkisar 0.4-1.8 mg/100g , total asam berkisar 0.1-0.9%, total padatan terlarut berkisar 13-17 OBrix dan pada 12 hari penyimpanan salak pondoh masih disukai panelis.

Salak pondoh kematangan curah memiliki umur simpan hingga 12 hari pada perlakuan

coating kitosan 0.5:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v) dengan kerusakan kurang dari 10% dan pada 26 hari penyimpanan kerusakan mencapai 39%. Salak kematangan curah mengalami penurunan mutu selama penyimpanan dengan susut bobot berkisar 0-1.8%, kandungan vitamin C berkisar 0.5-1.84 mg/100g , total asam berkisar 0.4-0.9%, total padatan terlarut berkisar 13-17

O

(5)

APLIKASI

COATING

KITOSAN UNTUK MEMPERPANJANG

UMUR SIMPAN BUAH SALAK PONDOH (

Salacca edulis

Reinw.)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

LELA MELAWATI N DEWI

F34080057

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Aplikasi Coating Kitosan untuk Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.)

Nama : Lela Melawati N Dewi NRP : F34080057

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I

(Ir. Ade Iskandar, MSi) NIP 19630205 198803 1001

Dosen Pembimbing II

(Ir. Sugiarto, MSi) NIP 19690518 199403 1002

Mengetahui:

Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian,

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP 19621009 198903 2001

(7)

7

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Aplikasi Coating Kitosan untuk Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.)

adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012 Yang membuat pernyataan

(8)

8

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

(9)

9

BIODATA PENULIS

Lela Melawati Nopita Dewi. Lahir di Cianjur, 30 November 1989 dari pasangan Bapak Dudung Slamet dan Ibu Herawati sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2002 di SDN Panaragan 3 Bogor. Kemudian menyelesaikan sekolah menengah pertama pada tahun 2005 di SMP Rimba Teruna Bogor dan sekolah menengah atas di SMA Negeri 5 Bogor pada tahun 2008. Penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008. Selama berada di IPB, penulis aktif di organisasi Lises Gentra Kaheman IPB (2008-2009), Lembaga Struktural Bina Desa BEM KM IPB (2008-2010) dan Forum Bina Islami Fateta IPB (2010-2011). Beberapa kepanitiaan yang diikuti antara lain MPKMB 46, Agroindustry Days, Sereal (Say Yes for Our Health), Techno- F, Hagatri, Atsiri Fair, dan Indonesian Agroindustrial Student Leadership Summit 2010. Penulis melaksanakan praktik lapangan di PT. Matahari Putra Prima, Tbk dengan judul “Mempelajari Penanganan Apel Impor di Hypermart”. Penulis melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Aplikasi Coating Kitosan untuk Memperpanjang Umur Simpan Buah Salak Pondoh (Salacca edulis

(10)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi dengan judul “Aplikasi Coating Kitosan untuk Memperpanjang Umur Simpan Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.). Selama melaksanakan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, baik moral maupun material dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Bapak Ir. Ade Iskandar, MSi, Bapak Ir. Sugiarto, MSi dan Ibu Dr. Indah Yuliasih selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dorongan, arahan, dan bimbingan yang sangat bermanfaat.

2. Bapak Prof. Dr.-Ing. Ir. Suprihatin selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan tuntunan yang bermanfaat.

3. Orang tua dan keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan, do‟a, semangat, dan perhatian. 4. Bapak Budihardjo yang telah memberikan dukungan dan arahan yang sangat bermanfaat.

5. Seluruh teknisi dan laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian atas bantuan dan arahannya. 6. Salakers yang telah bersama-sama melalui suka duka penelitian (Aryo, Diah Ayu, Dora, Marisa,

Nurul, Rahma, Rosyid, Sovi, Putri, dan Vintya).

7. Sahabat yang selalu memberikan semangat dan dukungan (Berlian Singarimbun, Dea Permata, Nissa Izzani, Yudith Pradipta).

8. Seluruh teman-teman TIN 45.

9. Semua pihak yang telah membantu dan mendorong terselesaikannya kegiatan penelitian, serta kerjasamanya dalam penyusunan laporan penelitian selama ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap kritik dan saran sebagai masukan berharga untuk perbaikan dimasa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, September 2012

(11)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 TUJUAN ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2

2.1 SALAK PONDOH ... 2

2.2 FISIOLOGI PASCA PANEN ... 3

2.3 PELAPISAN ... 4

2.4 KITOSAN ... 5

2.5 PLASTIK KEMASAN ... 6

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 9

3.1 WAKTU DAN TEMPAT ... 9

3.2 BAHAN DAN ALAT ... 9

3.3 METODE PENELITIAN ... 9

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 11

4.1 KARAKTERISTIK BAHAN ... 11

4.1.1 Salak pondoh ... 11

4.1.2 Larutan coating kitosan ... 11

4.2 PENENTUAN PERBANDINGAN COATING KITOSAN ... 12

4.3 PENGARUH COATING KITOSAN DAN JENIS KEMASAN TERHADAP MUTU SALAK PONDOH SELAMA PENYIMPANAN ... 12

4.3.1 Kerusakan ... 12

4.3.2 Susut Bobot ... 17

4.3.3 Vitamin C... 21

4.3.4 Total Asam ... 25

4.3.5 Total Padatan Terlarut ... 28

4.3.6 Organoleptik ... 31

4.3.7 MEKANISME KITOSAN DAN PLASTIK KEMASAN DALAM MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN SALAK PONDOH ... 42

(12)

iv

5.1 KESIMPULAN ... 44

5.2 SARAN ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

(13)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kandungan gizi buah salak dalam 100 gram buah ...3

Tabel 2. Daya tembus plastik terhadap udara dan air ...7

Tabel 3. Hasil karakterisasi salak pondoh ...11

(14)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Salak pondoh (Salacca edulis Reinw.) ...2

Gambar 2. Struktur kimia kitosan ...5

Gambar 3. Diagram alir tahapan penelitian... 10

Gambar 4. Penyebab kerusakan selama penyimpanan ...13

Gambar 5. Laju kerusakan salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan ...14

Gambar 6. Laju kerusakan salak pondoh kematangan 90% selama penyimpanan ...15

Gambar 7. Laju kerusakan salak pondoh kematangan curah selama penyimpanan ...17

Gambar 8. Kenampakan salak pondoh setelah 6 hari penyimpanan ... 18

Gambar 9. Laju perubahan susut bobot salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan ...18

Gambar 10. Laju perubahan susut bobot salak pondoh kematangan 90% selama penyimpanan ...20

Gambar 11. Laju perubahan susut bobot salak pondoh kematangan curah selama penyimpanan ...21

Gambar 12. Laju perubahan vitamin C salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan ...22

Gambar 13. Laju perubahan vitamin C salak pondoh kematangan 90% selama penyimpanan ...23

Gambar 14. Laju perubahan vitamin C salak pondoh kematangan curah selama penyimpanan ...24

Gambar 15. Laju perubahan total asam salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan ...25

Gambar 16. Laju perubahan total asam salak pondoh kematangan 90% selama penyimpanan ...26

Gambar 17. Laju perubahan total asam salak pondoh kematangan curah selama penyimpanan ...27

Gambar 18. Laju perubahan total padatan terlarut salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan ...29

Gambar 19. Laju perubahantotal padatan terlarut salak pondoh kematangan 90% selama penyimpanan ...30

Gambar 20. Laju perubahan total padatan terlarut salak pondoh kematangan curah selama penyimpanan ...31

Gambar 21. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka terhadap warna kulit salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan ...32

Gambar 22. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka terhadap warna kulit salak pondoh kematangan 90% selama penyimpanan ...32

Gambar 23. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka terhadap warna kulit salak pondoh kematangan curah selama penyimpanan ...33

Gambar 24. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka terhadap warna daging salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan ...34

Gambar 25. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka terhadap warna daging salak pondoh kematangan 90% selama penyimpanan ...35

Gambar 26. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka terhadap warna daging salak pondoh kematangan curah selama penyimpanan ...35

Gambar 27. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka terhadap aroma buah salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan ...36

Gambar 28. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka terhadap aroma buah salak pondoh kematangan 90% selama penyimpanan ...37

Gambar 29. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka terhadap aroma buah salak pondoh kematangan curah selama penyimpanan ...37

Gambar 30. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka terhadap tekstur buah salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan ...38

Gambar 31. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka terhadap tekstur buah salak pondoh kematangan 90% selama penyimpanan ...39

(15)

vii Gambar 32. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka terhadap tekstur buah salak pondoh

kematangan 90% selama penyimpanan ...39 Gambar 33. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka tergadap rasa buah salak pondoh

kematangan 80% selama penyimpanan ...40 Gambar 34. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka terhadap rasa buah salak pondoh

kematangan 90% selama penyimpanan ...41 Gambar 35. Persentase panelis yang memberikan penilaian suka terhadap rasa buah salak pondoh

(16)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur analisis karakterisasi bahan baku (analisis proksimat) ...49

Lampiran 2. Prosedur analisis salak pondoh selama penyimpanan ...51

Lampiran 3. Data kerusakan salak pondoh selama penyimpanan ...53

Lampiran 4. Data susut bobot salak pondoh selama penyimpanan ...54

Lampiran 5. Data vitamin C salak pondoh selama penyimpanan ...55

Lampiran 6. Data total asam salak pondoh selama penyimpanan ...56

Lampiran 7. Data total padatan terlarut salak pondoh selama penyimpanan ... 57

Lampiran 8 Data kontrol salak pondoh pada suhu ruang ...58

Lampiran 9. Analisis statistik persentase kerusakan salak pondoh kematangan 80% ...59

Lampiran 10. Analisis statistik persentase kerusakan salak pondoh kematangan 90% ...60

Lampiran 11. Analisis statistik persentase kerusakan salak pondoh kematangan curah ...61

Lampiran 12. Analisis statistik susut bobot salak pondoh 80% ...62

Lampiran 13.. Analisis statistik susut bobot salak pondoh 90% ...63

Lampiran 14. Analisis statistik susut bobot salak pondoh kematangan curah ...64

Lampiran 15. Analisis statistik vitamin C salak pondoh kematangan 80% ...65

Lampiran 16. Analisis statistik vitamin C salak pondoh kematangan 90% ...66

Lampiran 17. Analisis statistik vitamin C salak pondoh kematangan curah ...67

Lampiran 18. Analisis statistik total asam salak pondoh kematangan 80% ...68

Lampiran 19. Analisis statistik total asam salak pondoh kematangan 90% ...69

Lampiran 20. Analisis statistik total asam salak pondoh kematangan curah ...70

Lampiran 21. Analisis statistik total padatan terlarut salak pondoh kematangan 80% ...71

Lampiran 22. Analisis statistik total padatan terlarut salak pondoh kematangan 90% ...72

Lampiran 23. Analisis statistik total padatan terlarut salak pondoh kematangan curah ...72

Lampiran 24. Hasil organoleptik salak pondoh kematangan 80% ...73

Lampiran 25. Hasil organoleptik salak pondoh kematangan 90% ...75

(17)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Salak pondoh (Salacca edulis Reinw.) merupakan komoditi tropis Indonesia yang memiliki nilai jual tinggi dengan rasa manis dan tidak sepat sehingga menjadi komoditi unggulan yang disukai konsumen. Salak pondoh sebagian besar dihasilkan dari beberapa daerah di Indonesia, antara lain Sleman dan Banjarnegara. Produksi salak pondoh di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari 525,461 ton pada tahun 1997 menjadi 829,014 ton pada tahun 2009 (BPS, 2010). Menurut Direktorat Pertanian Banjarnegara (2011), salak pondoh dihasilkan dari tanaman produktif sebanyak 12,651,800 pohon dengan jumlah produksi 193,622.1 ton/tahun sehingga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan menjadi komoditi lokal dan ekspor. Namun, umur simpan salak pondoh yang rendah menjadi kendala dalam distribusi dan pemasarannya.

Salak pondoh cepat mengalami kerusakan selama penyimpanan karena adanya reaksi enzimatis, reaksi kimia dan aktivitas mikroorganisme. Penyebab utama kerusakan buah salak selama penyimpanan dapat disebabkan oleh respirasi dan infeksi kapang. Keberadaan oksigen, karbondioksida, dan uap air mempengaruhi proses respirasi yang berdampak pada kondisi fisiologis buah. Penelitian sebelumnya untuk memperpanjang umur simpan salak dilakukan dengan penggunaan kemasan dan suhu penyimpanan (Nasution 2010), atmosfer termodifikasi (Trihabsari 1991 dan Rahmad 1990), penggunaan antimikroba berupa ekstrak lengkuas (Arbie 2010) dan pelapisan dengan aloe vera (Putra 2011). Selain itu, penggunaan kitosan sebagai bahan pelapis juga diaplikasikan untuk peningkatan umur simpan markisa kuning (Surianta 2011). Penelitian sebelumnya mengenai sifat kimia salak pondoh yang dilapisi kitosan dan disimpan pada suhu 150C (Rachmawati 2010) dapat mempertahankan kadar air terbaik hingga 25 hari. Namun, perlu adanya penelitian mengenai sifat fisikokimia salak pondoh yang dilapisi kitosan dan pengaruh plastik kemasan yang berperan dalam menahan pertukaran udara dan uap air.

Adanya pelapisan pada permukaan buah dapat mengatur pertukaran gas pada buah sehingga proses respirasi dapat diperlambat. Pelapisan buah untuk peningkatkan umur simpan dapat menggunakan bahan yang berasal dari polisakarida, lipid, dan protein. Kitosan berupa aminopolisakarida yang alami, biodegradable, dan tidak beracun sehingga potensial untuk diaplikasikan. Kitosan dapat membentuk lapisan yang dapat mengubah kondisi buah sehingga tidak menyebabkan respirasi anaerobik karena lapisan kitosan bersifat selektif permiabel terhadap O2 daripada CO2 dan dapat menunda kematangan karena laju respirasi buah menjadi menurun

(Fernandez-Saiz 2012). Selain itu, kitosan memiliki polikation yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan cendawan. Kemasan plastik memiliki daya tembus terhadap gas dan uap air sehingga dapat mengatur pergerakan gas yang dapat berpengaruh terhadap metabolisme buah. Plastik polipropilen memiliki daya tembus terhadap uap air rendah dan permeabilitas terhadap gas sedang sedangkan plastik polietilen memiliki sifat mekanik yang baik dan banyak digunakan untuk pengemasan buah-buahan. Pelapisan kitosan dan pengemasan pada salak pondoh diharapkan dapat menanggulangi infeksi kapang dan memperpanjang umur simpan.

1.2

TUJUAN

(18)

2

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

SALAK PONDOH

Salak pondoh adalah tanaman hortikultura asli Indonesia yang termasuk suku pinang-pinangan dengan ordo Spadiciflorae, famili Palmaceae, dan genus Salacca. Tanaman salak pondoh berumah dua sehingga dapat ditemukan bunga jantan dan bunga betina dalam satu pohon. Bunga jantan tersusun seperti genting, bertangkai, dan berwarna coklat kemerahan sedangkan bunga betina tersusun dari satu hingga tiga bulir, dan bertangkai panjang. Perakaran salak pondoh terdiri dari akar serabut yang sebagian besar berada di dalam tanah dan sebagian lain muncul di permukaan tanah. Nama salak yang didasarkan pada daerah asalnya antara lain salak Bali (Bali), salak Condet (Jakarta), salak Gondanglegi (Malang), salak Manojaya (Tasikmalaya), dan salak Medan (Medan). Jenis salak yang dinamai berdasarkan warna daging buah adalah salak Putih dan salak Gading sedangkan jenis salak berdasarkan rasa daging buahnya antara lain salak Madu atau salak Kopyor dan salak Pondoh (Suter 1988).

Gambar 1. Salak pondoh (Salacca edulis Reinw.)

Menurut Suter (1988), panjang buah salak berkisar antara 4.46 - 6.13 cm, diameter 4.28 - 5.67 cm, dan berat buah berkisar 34.79 - 83.47 g. Variasi panjang, diameter, dan berat buah salak tersebut dipengaruhi oleh kultivar serta letak buah salak pada tandannya. Menurut Hastuti dan Ari (1988), salak pondoh mempunyai ukuran relatif lebih kecil, tekstur lebih keras, warna daging lebih putih dan warna kulitnya lebih hitam dibandingkan dengan jenis salak lain. Salak pondoh memiliki keunggulan dibandingkan dengan salak lain, yaitu buahnya manis walaupun masih muda dan memiliki rasa gurih tanpa sepat (Kusumo et al. 1995). Rasa khas salak pondoh yang manis dan tidak sepat walaupun masih muda disebabkan oleh kandungan total gula yang cukup tinggi, kandungan total asam yang relatif rendah, dan kandungan tanin yang lebih rendah dibandingkan kultivar salak lainnya (Suter 1988).

(19)

3 Tabel 1. Kandungan gizi buah salak dalam 100 gram buah

No Kandungan Gizi Jumlah

1 Kalori (Kal) 77

2 Protein (g) 0.4

4 Karbohidrat (g) 20.9

5 Kalsium (mg) 28

6 Fosfor (g) 18

7 Zat besi (mg) 4.2

8 Vitamin B (mg) 0.04

9 Vitamin C (mg) 2

10 Air (g) 78

Sumber : Departemen Kesehatan RI (2000)

Salak pondoh yang siap panen ditandai dengan jarak sisik pada kulit terlihat jarang, berkilat dan mudah dikupas, warna kulit buah kuning kecoklatan, duri-duri halus pada kulit telah hilang, mudah terlepas dari tangkai, warna daging buah tidak pucat dengan biji yang keras dan mengeluarkan aroma khas salak (Anarsis 1996). Masa panen buah salak terbagi menjadi empat musim, yaitu panen raya pada bulan November-Januari, panen sedang pada bulan Mei- Juli, panen kecil pada bulan Februari-April, dan masa kosong pada bulan Agustus-Oktober.

Salak pondoh merupakan komoditas unggulan Banjarnegara yang tersebar di 18 kecamatan. Menurut Direktorat Pertanian Banjarnegara (2011), kapasitas produksi buah salak pondoh Kabupaten Banjarnegara sebanyak 193.662,1 ton/tahun dengan produksi salak pondoh tertinggi terdapat di Kecamatan Madukara (135,958.2 ton), Kecamatan Banjarmangu (26,522.3 ton), Kecamatan Pagentan (18,474.7 ton) dan Kecamatan Sigaluh (5,584.9 ton).

Secara umum, buah mengalami perubahan fisiko-kimia setelah dipanen yang berhubungan dengan metabolisme oksidatif termasuk respirasi. Menurut Suter (1988), pola respirasi buah salak terus menurun tanpa adanya lonjakan produksi CO2 sehingga salak digolongkan ke dalam buah

non-klimakterik. Buah non-klimakterik tidak akan menunjukan perubahan peningkatan mutu setelah dipetik sehingga pemanenan dilakukan pada buah yang benar-benar masak di pohon.

2.2 FISIOLOGI PASCA PANEN

Setelah panen, komoditas pertanian masih melakukan proses metabolisme seperti respirasi, transpirasi, dan aktivitas biokimia lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan. Menurut Wills et al. (1981), respirasi merupakan reaksi oksidasi dari bahan dalam sel berupa pati, gula, dan asam organik menjadi CO2, air, dan energi untuk reaksi sintesis. Menurut Phan et al. (1986), respirasi

dibedakan menjadi tiga tingkat, yaitu (a) pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana; (b) oksidasi gula menjadi asam piruvat; dan (c) transformasi piruvat dan asam-asam organik lainnya secara aerobik menjadi CO2, H2O, dan energi. Selama proses respirasi buah, karbondioksida dan

uap air dihasilkan sebesar ±99% dari seluruh gas yang dihasilkan dan sisanya terdiri dari alkohol, aldehida, keton, dan ester-ester. Respirasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dapat berupa tingkat perkembangan organ, komposisi kimia pada jaringan, ukuran, pelapis alami pada permukaan kulit, dan jenis jaringan sedangkan faktor eksternal berupa suhu, etilen, oksigen, karbondioksida, adanya senyawa pengatur pertumbuhan, dan adanya luka pada buah (Phan et al. 1986). Berikut ini persamaan kimia terjadinya proses respirasi:

(20)

4 Menurut Syarief (1993), apabila persediaan oksigen berkurang maka buah-buahan cenderung melakukan fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energi. Senyawa organik yang biasa digunakan dalam proses fermentasi pada umumnya adalah glukosa yang akan menghasilkan beberapa bahan lain seperti aldehida, alkohol, atau asam. Bila buah-buahan melakukan proses fermentasi maka energi yang diperoleh lebih sedikit per-satuan substrat dibandingkan dengan respirasi aerob. Pada buah-buahan yang melakukan proses fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energinya diperlukan substrat dalam jumlah yang lebih banyak sehingga dalam waktu yang singkat persediaan substrat akan habis dan akhirnya buah tersebut akan busuk. Konsentrasi O2 yang rendah

memiliki pengaruh terhadap beberapa hal, antara lain: (a) laju respirasi dan oksidasi substrat menurun; (b) pematangan tertunda dan sebagai akibatnya umur komoditi menjadi lebih panjang; (c) perombakan klorofil tertunda; (d) produksi C2H4 rendah; (e) laju pembentukan asam askorbat

rendah; (f) perbandingan asam-asam lemak tak jenuh berubah; dan (g) laju degradasi senyawa pektin tidak secepat pada saat udara tersedia (Ulrich 1986).

Menurut Syarief (1993), klimakterik adalah keadaan autosimulation dari dalam buah sehingga buah menjadi matang yang disertai dengan adanya peningkatan proses respirasi. Terdapat suatu periode mendadak pada klimakterik yang menyebabkan serangkaian perubahan biologis yang diawali dengan proses pembuatan etilen. Respirasi klimakterik dicirikan dengan laju produksi CO2 dan konsumsi O2 sangat rendah saat praklimakterik, diikuti dengan peningkatan

mendadak saat klimakterik dan penurunan laju produksi CO2 dan O2 pada fase senescene.

Respirasi nonklimakterik dicirikan dengan laju produksi CO2 dan konsumsi O2 tetap tidak ada

peningkatan laju respirasi (Pantastico et al. 1986). Buah-buahan yang termasuk ke dalam klasifikasi klimakterik antara lain pisang, tomat, dan alpukat. Buah-buahan yang tidak mengalami periode mendadak terhadap proses respirasi termasuk kedalam golongan nonklimakterik seperti semangka, jeruk, nenas, anggur, dll.

Etilen merupakan suatu gas yang dihasilkan tanaman yang dapat digolongkan sebagai hormon yang aktif dalam proses pematangan. Etilen dapat memulai proses klimakterik dan dapat juga mempercepat terjadinya klimakterik. Senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang penting dalam proses pertumbuhan dan pematangan hasil-hasil pertanian (Syarief 1993). Etilen disamping dapat memulai proses klimakterik juga dapat mempercepat terjadinya klimakterik. Pada buah-buahan nonklimakterik, penambahan etilen dalam konsentrasi tinggi akan menyebabkan terjadinya klimakterik pada buah-buahan tersebut. Aktivitas etilen dalam pematangan buah akan menurun dengan turunnya suhu ruang penyimpanan. Pembentukan etilen pada jaringan tanaman dapat dirangsang oleh kerusakan-kerusakan mekanis dan infeksi sehingga akan mempercepat pematangan.

Menurut Syarief (1993), penyimpanan pada suhu rendah dapat (a) mengurangi kegiatan respirasi dan kegiatan metabolik lainnya; (b) mengurangi proses penuaan karena adanya proses pematangan, pelunakan, dan perubahan-perubahan warna dan tekstur; (c) mengurangi kehilangan air dan pelayuan; (d) mengurangi kerusakan karena aktivitas mikroba; dan (e) mengurangi proses pertumbuhan yang tidak dikehendaki. Penyimpanan dingin pada prinsipnya bertujuan menekan laju respirasi dan transpirasi sehingga proses tersebut lambat dan daya simpan bahan pangan dapat diperpanjang dengan susut bobot minimal serta mutu masih baik.

2.3 PELAPISAN

(21)

5 dan sayuran. Terdapat beberapa teknik aplikasi edible coating pada produk pangan (Krochta et al. 1994), antara lain pencelupan (dipping) untuk produk yang memiliki permukaan kurang rata, penyemprotan (spraying), pembungkusan (casing), dan pengolesan.

Menurut Park et al. (1996), penggunaan yang potensial dari pelapisan biopolimer adalah untuk memperlambat pertukaran gas (O2 dan CO2) untuk buah dan sayur. Bahan dasar pembuatan

edible film dan coating menurut Krochta (1992) dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu hidrokoloid (protein dan polisakarida), lemak (asam lemak dan wax), dan curah (hidrokoloid dan lemak). Protein yang digunakan sebagai bahan dasar film dan coating antara lain protein kedelai, kasein, kolagen, gelatin, dan protein ikan. Polisakarida yang dapat digunakan sebagai coating

antara lain selulosa, pati, pektin, ekstrak ganggang laut, gum, dan kitosan. Lemak yang dapat digunakan antara lain bees wax, paraffin wax, dan asam lemak. Sifat-sifat yang dimiliki edible film

dan coating dipengaruhi oleh bahan pembentuknya. Bahan dasar hidrokoloid memiliki ketahanan yang baik terhadap O2 dan CO2, meningkatkan kekuatan fisik, tetapi memiliki ketahanan yang

rendah terhadap uap air karena sifatnya hidrofilik (Wong et al. 1994). Bahan dasar film dan

coating dari lemak memiliki ketahanan yang baik terhadap uap air dan meningkatkan kilap permukaan. Prinsip pembuatan pelapis edibel sama dengan film edible. Hal yang membedakannya adalah cara pembentukannya. Pelapis edibel langsung dibentuk pada permukaan produk, sedangkan film edible dibentuk secara terpisah dari produk.

2.4 KITOSAN

Kitosan merupakan polisakarida kationik alami yang diperoleh dari deasetilasi kitin yang banyak terdapat di alam. Menurut struktur kimia, kitosan terdiri dari monomer 2-amino-2-deoksi-D-glukosa (glukosamin) yang terikat ß-1,4 glikosidik. Kitosan sebagai polimer alami dapat dihasilkan dari kitin hewan berkulit keras terutama dari laut seperti udang, rajungan, dan kepiting. Menurut Nwe et al. (2011), kitosan dapat diproduksi dari beberapa cendawan yaitu Absidia, Aspergillus, Cunninghame, Gongronella, Mucor, Penicillium, Phycomyces, Rhizopus, dan

Zygorhyncus.

Gambar 2. Struktur kimia kitosan (Skjåk-Bræk et al. 1989)

Kitin merupakan bentuk molekul yang hampir sama dengan selulosa, yaitu suatu bentuk polisakarida yang dibentuk dari molekul-molekul glukosa sederhana yang identik. Menurut Ornum (1992), kitin merupakan polimer linier yang tersusun oleh 2000-3000 monomer N-asetil D-glukosamin dalam ikatan ß-1,4 atau 2-asetamida-2-deoksi-D glukosa dengan rumus molekul (C8H13NO5)n. Proses produksi kitin meliputi demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi.

Demineralisasi dilakukan dengan menggunakan larutan asam encer yang bertujuan untuk menghilangkan mineral yang terkandung dalam bahan baku. Deproteinasi dilakukan dengan menggunakan larutan basa encer untuk menghilangkan sisa-sisa protein yang masih terdapat dalam bahan baku. Kemudian, kitosan dapat dihasilkan dari kitin yang melalui proses deasetilasi yang menggunakan basa kuat untuk menghidrolisis ikatan N-asetil.

(22)

6 hidroksil dan gugus amin yang sangat reaktif. Kitosan dapat larut dalam asam lemah seperti asam asetat, asam laktat, dan asam formiat tetapi tidak dapat larut di dalam air, alkali pekat, alkohol dan aseton.Kitosan dan turunannya telah banyak dimanfaatkan secara komersial dalam industri pangan, kosmetik, pertanian, farmasi pengolahan limbah dan penjernihan air. Dalam bidang pangan, kitosan dapat dimanfaatkan dalam pengawetan pangan, bahan pengemas, penstabil dan pengental, antioksidan serta penjernih pada produk minuman.

Kitosan termasuk salah satu jenis polisakarida yang dapat menjadi barrier (penghalang) yang baik karena dapat membentuk matriks yang kuat dan kompak (Krochta et al. 1994). Lapisan pelindung dengan menggunakan kitosan memiliki kemampuan untuk menunda atau memperlambat proses kematangan dan memperpanjang masa penyimpanan pasca panen. Kitosan memiliki struktur khusus dengan kelompok amino reaktif sehingga menjadi senyawa bioaktif yang memperlihatkan fungsi antimikrobial (Kumar et al. 2004). Aktivitas antimikroba kitosan dapat menghambat pertumbuhan berbagai mikroorganisme seperti bakteri dan cendawan (Sagoo et al. 2002). Muatan positif dari kitosan hasil dari protonisasi kelompok fungsional amino bereaksi dengan dinding sel bermuatan negatif dari makromolekul, menyebabkan peningkatan permeabilitas membran sel sehingga menganggu metabolisme yang menyebabkan kematian sel (Sebti et al. 2005). Menurut El Ghaouth et al. (1994), polikationik alami dari kitosan dapat menghambat pertumbuhan kapang Bohria cinerea dan Rhizopus stolonifer pada strawberi.

2.5 PLASTIK KEMASAN

Pengemasan dilakukan untuk meningkatkan keamanan produk selama transportasi, dan melindungi produk dari pencemaran, susut mutu dan susut bobot, serta memudahkan dalam penggunaan produk yang dikemas. Kemasan dapat membatasi bahan pangan dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat mengambat kerusakan. Dalam penelitian ini digunakan dua jenis plastik kemasan, yaitu plastik polipropilen dan plastik polietilen.

Polipropilen merupakan polimer dari propilen dan termasuk jenis plastik olefin. Menurut Syarief dan Santausa (1989), polipropilen memiliki sifat-sifat umum antara lain (1) ringan (densitas 0.9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film; (2) tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150oC; (3) permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang; (4) mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari polietilen; dan (5) lebih kaku dari polietilen dan tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi.

Polietilen adalah polimer dari monomer etilen yang dibuat dengan proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang diperoleh dari hasil samping industri minyak dan batubara. Polietilen dapat dibedakan berdasarkan densitasnya, antara lain polietilen densitas rendah (LDPE), polietilen densitas menengah (MDPE), dan polietilen densitas tinggi (HDPE). Masing-masing jenis polietilen tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. LDPE (Low Density Polyethylene) dihasilkan dengan cara polimerisasi pada tekanan tinggi, mudah dikelim dan harganya murah. Polietilen memiliki transmisi gas tinggi sehingga tidak cocok untuk pengemasan bahan yang beraroma dan bahan pangan berlemak. Kemasan polietilen banyak digunakan untuk mengemas buah-buahan, sayur-sayuran segar, roti, produk pangan beku dan tekstil.

(23)

7 bukan penahan gas yang baik. Sifat-sifat daya tembus dipengaruhi oleh suhu, ketebalan lapisan, orientasi dan komposisi, kondisi atmosfer (seperti RH, untuk pemindahan uap air, dan faktor lainnya).

Tabel 2. Daya tembus plastik terhadap udara dan air

Jenis Plastik Daya tembus (cm3/cm2/mm/det/cmHg) x 1010

Suhu 30oC 25oC, RH 90%

N2 O2 CO2 H2O

Polietilen densitas rendah 19 55 352 800

Polipropilen - 23 92 680

(24)

8

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1

WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2012. Penelitian dilaksanakan di Laboratoria Pengemasan, Teknik Kimia, Pengawasan Mutu, dan DIT Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2

BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah salak pondoh nglumut dengan kematangan 80%, 90%, dan curah yang berasal dari Desa Gunung Giana Kecamatan Madukara-Banjarnegara, kitosan yang berasal dari FPIK-IPB, plastik polietilen densitas rendah (PE) tebal 80 µm dengan dua lubang pada dua sisi plastik dan tanpa lubang, plastik polipropilen (PP) tebal 80 µm dengan dua lubang pada dua sisi plastik dan tanpa lubang. Bahan lain yang digunakan antara lain asam asetat 1%, NaOH, iod, pati, dan phenolpthalein.

Alat-alat yang yang digunakan terdiri dari alat untuk persiapan larutan coating kitosan, alat untuk proses pelapisan salak pondoh serta alat untuk pengemasan dan penyimpanan. Alat yang digunakan untuk persiapan larutan coating kitosan antara lain kompor pemanas, gelas kimia, termometer, dan magnetic stirer. Alat yang digunakan untuk proses pelapisan larutan kitosan antara lain rak sebagai tempat meletakan salak pondoh yang akan dilapisi, semprotan (sprayer), kompresor, dan kipas angin untuk pengeringan salak pondoh yang telah dilapisi larutan kitosan. Alat yang digunakan pada proses pengemasan dan penyimpanan antara lain timbangan, sealer,

krat plastik, rak besi, lemari pendingin (chamber). Peralatan lainnya yang digunakan untuk analisis berupa refraktometer, buret, labu takar, parutan, gelas piala, dan erlenmeyer.

3.3

METODE

3.3.1 Karakterisasi salak pondoh dan larutan coating kitosan

Karakterisasi bahan dilakukan terhadap salak pondoh dan larutan coating kitosan. Pengujian pada salak pondoh berupa kadar air, kadar abu, kadar protein, vitamin C, total asam, dan total padatan terlarut. Karakterisasi larutan coating kitosan dilakukan pada parameter viskositas dan pH.

3.3.2 Penentuan perbandingan coating kitosan

Penentuan perbandingan coating kitosan yang akan digunakan dilakukan dengan cara melakukan pelapisansalak pondoh dengan tiga perbandingan (kitosan:asam asetat 1%) (b/v) yang berbeda, yaitu 0.5:100, 1:100, dan 1.5:100 (Rachmawati, 2010). Salak pondoh yang dilapisi larutan coating kitosan disimpan pada suhu ruang dan diamati umur simpannya. Hasil terbaik akan menentukan perbandingan yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya.

3.3.3 Aplikasi coating kitosan dan pengemasan

Terdapat beberapa tahapan yang dilakukan dalam aplikasi coating kitosan dan pengemasan antara lain persiapan larutan coating kitosan, pelapisan salak pondoh dengan larutan coating

(25)

9 diaduk sampai homogen dengan menggunakan pengaduk magnet. Salak pondoh melalui proses sortasi kualitas dari buah yang memiliki kulit buah yang pecah, busuk, memar, dan adanya kapang. Salak pondoh yang telah disortasi pada kematangan 80%, 90%, dan curah ditempatkan pada rak berlubang lalu disemprot hingga merata dengan larutan coating kitosan pada perbandingan antara kitosan dengan asam asetat 1% sebesar 0.3:100 (b/v) ,0.5:100 (b/v) dan 0.7:100 (b/v). Kemudian, salak pondoh yang telah terlapisi larutan kitosan secara merata dikering anginkan ± 15 menit.

Salak pondoh yang telah dilapisi larutan coating kitosan pada masing-masing perbandingan ditimbang sebanyak ±500 gram kemudian dikemas ke dalam plastik polietilen lubang, polietilen tanpa lubang, polipropilen lubang, polipropilen tanpa lubang dan tanpa kemasan. Masing-masing perlakuan yang sama ditempatkan pada satu krat plastik kemudian disimpan pada lemari pendingin (16 oC). Diagram alir tahapan penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 3.

3.3.4 Pengamatan

Analisis (Lampiran 1) dilakukan sebanyak 6 kali pada saat awal penyimpanan, 6 hari penyimpanan, 12 hari penyimpanan, 18 hari penyimpanan, 22 hari penyimpanan serta 26 hari penyimpanan.

3.3.5 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang diterapkan pada penelitian ini terhadap masing-masing salak pondoh kematangan 80%, 90%, dan curah adalah rancangan percobaan acak lengkap faktorial dengan dua kali ulangan. Masing-masing kematangan terdiri dari dua faktor, yaitu coating kitosan dengan taraf (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v) 0.3:100, 0.5:100 dan 0.7:100 serta faktor jenis kemasan dengan taraf plastik polipropilen lubang, polipropilen tanpa lubang, polietilen lubang, polietilen tanpa lubang, dan tanpa kemasan. Model matematis dari rancangan acak lengkap faktorial adalah sebagai berikut:

Yij = µ+Ai + Bj+ ABij+ ε ij

Dimana:

Yij = Variabel respon yang diukur

µ = Nilai tengah populasi

Ai = Efek faktor A (coating kitosan) pada taraf ke-i (i=1,2,3)

Bj = Efek faktor B (jenis kemasan) pada taraf ke-j (j=1,2,3,4,5)

ABij = Interaksi antara faktor A dengan faktor B

ε ij = Efek galat pada faktor A taraf ke-i, dan faktor B taraf ke-j

Pengolahan data hasil penelitian pada masing-masing parameter (kerusakan, susut bobot, vitamin C, total asam, dan total padatan terlarut) akan diubah dalam bentuk nilai slope

(kemiringan) selama penyimpanan pada setiap perlakuan yang menunjukkan laju perubahan mutu. Nilai slope tersebut yang akan dianalisis varian (ANOVA). Setelah ANOVA dari rancangan acak lengkap faktorial diperoleh, selanjutnya dilakukan pengujian lanjut dengan metode Duncan‟s Multiple Range Test (DMRT) untuk melihat perlakuan mana yang memiliki pengaruh yang signifikan.

(26)

10 Gambar 3. Diagram alir tahapan penelitian

Kontrol Sortasi

Penyemprotan

Salak pondoh rusak

Kitosan:Asam asetat 1% 0.3:100 (b/v)

Kitosan:Asam asetat 1% 0.5:100 (b/v)

Kitosan:Asam asetat 1% 0.7:100 (b/v)

Pengemasan

Hasil

Analisis : kerusakan, susut bobot, vitamin C, total asam, total padatan terlarut,

organoleptik Polietilen

Lubang

Polietilen Tanpa Lubang

Polipropilen Lubang

Polipropilen Tanpa Lubang Tanpa Pengemasan

Penyimpanan suhu 16 OC

Salak

pondoh

Kematangan 80% Kematangan 90%

Kematangan curah

Pencurah

(40oC, ±30 menit)

Larutan kitosan Kitosan Asam

asetat 1%

(27)

11

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 KARAKTERISTIK BAHAN

4.1.1 Salak pondoh

Salak pondoh dalam penelitian ini terdiri dari tiga kematangan, yaitu 80%, 90%, dan curah dengan kandungan seperti yang tertera pada Tabel 3. Perbedaan kematangan pada salak pondoh berdasarkan penentuan waktu pemanenan. Salak pondoh kematangan 80% dipanen 5-6 bulan setelah penyerbukan sedangkan salak pondoh kematangan 90% dipanen setelah 7 bulan penyerbukan. Salak pondoh kematangan curah tidak diketahui tingkat kematangannya secara pasti karena tidak dilakukan pemisahan kematangan dan merupakan cara panen yang biasa dilakukan petani.

Karakter fisik buah salak pondoh pada masing-masing kematangan sulit untuk dibedakan, tetapi secara umum salak pondoh kematangan 90% memiliki warna kulit pada bagian bawah buah lebih gelap dibandingkan salak pondoh kematangan 80% sedangkan pada bagian pangkal lebih dominan dengan warna kekuningan cerah. Salak pondoh kematangan 80% memiliki daging buah yang renyah dan salak pondoh kematangan 90% memiliki daging buah yang masir. Salak pondoh memiliki kandungan air yang cukup tinggi, yaitu sebesar 77.1% pada tingkat kematangan 80%, sebesar 78.1% pada kematangan curah, dan sebesar 79.2% pada tingkat kematangan 90%. Perbedaan karakteristik kimia salak pondoh berdasarkan kematangan dapat diamati berdasarkan kandungan total padatan terlarut yang menunjukkan tingkat kemanisan buah. Tingkat kemanisan salak pondoh diamati berdasarkan total padatan terlarut karena gula terlarut dalam air buah salak. Salak pondoh kematangan 90% memiliki total padatan terlarut yang lebih tinggi dibandingkan total padatan terlarut salak pondoh kematangan 80% yang mengindikasikan tingkat kemanisan yang lebih tinggi. Kandungan total padatan terlarut salak pondoh kematangan 90% lebih tinggi karena pati yang terdapat dalam buah lebih banyak yang telah didegradasi menjadi substrat yang lebih kecil (sukrosa, glukosa, fruktosa).

Tabel 3. Hasil karakterisasi salak pondoh

Parameter Kematangan

80% 90% Curah*

Kadar air (%) 77.1 79.2 78.1

Kadar abu (%) 0.6 0.5 0.9

Kadar lemak (%) 0.08 0.07 0.08

Kadar protein (%) 0.50 0.53 0.40

Vitamin C (mg/100 g) 2.2 2.4 2.6

Total asam (%) 1.0 1.3 1.0

Total padatan terlarut (oBrix) 15 18 17 * sampel acak

4.1.2 Larutan coating kitosan

(28)

12 mempengaruhi tingkat keasaman larutan. Kekentalan larutan coating kitosan rendah dengan nilai berkisar antara 6-7 cp sehingga cocok dilakukan pelapisan terhadap salak pondoh dengan teknik penyemprotan (spray). Menurut Krochta et al. (1994) teknik pelapisan dengan cara penyemprotan dapat menghasilkan produk dengan lapisan yang lebih tipis atau lebih seragam.

Tabel 4. Hasil karakterisasi larutan coating kitosan

Parameter Kitosan:Asam asetat 1%

0.3:100 (b/v) 0.5:100 (b/v) 0.7:100 (b/v)

pH 3 3 3

Kekentalan (cp, 26oC) 6 7 7

4.2 PENENTUAN PERBANDINGAN COATING KITOSAN

Nilai perbandingan larutan coating kitosan dapat berpengaruh terhadap tebal lapisan kitosan yang terbentuk pada permukaan kulit buah yang berfungsi sebagai penghalang (barrier) pada salak pondoh serta kemampuannya dalam menahan pertumbuhan mikroba. Berdasarkan hasil penentuan perbandingan, larutan coating kitosan perbandingan 0.5:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v) memiliki pengaruh terhadap umur simpan terbaik yaitu selama 8 hari penyimpanan pada suhu ruang sedangkan perbandingan 1:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v) dapat bertahan hingga 6 hari penyimpanan dan perbandingan 1.5:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v) memiliki waktu simpan hingga 5 hari. Kerusakan pada salak pondoh berupa busuk pada ujung daging buah dan keriput. Waktu simpan yang rendah pada salak pondoh yang dilapisi coating kitosan perbandingan 1.5:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v) dapat disebabkan oleh adanya keretakan pada pangkal buah sehingga terjadi transpirasi dan respirasi yang lebih cepat. Proses transpirasi yang lebih cepat dapat menimbulkan kehilangan air yang banyak sehingga buah menjadi keriput dan layu. Kemudian, respirasi yang lebih cepat terjadi karena oksigen dapat masuk melalui pangkal buah yang retak sehingga kerusakan jaringan dan kerusakan lebih cepat terjadi. Menurut Peleg (1985), lapisan coating yang terlalu tebal akan cepat menimbulkan keretakan pada pangkal buah sehingga kehilangan air lebih besar. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan tersebut, coating kitosan yang dipilih untuk penelitian selanjutnya yaitu perbandingan (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v) 0.3:100, 0.5:100 dan 0.7:100 karena diduga perbandingan optimum berada pada perbandingan dibawah dan diatas 0.5:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v)

4.3 PENGARUH COATING KITOSAN DAN PLASTIK KEMASAN TERHADAP MUTU SALAK PONDOH SELAMA PENYIMPANAN

Perubahan mutu salak pondoh selama penyimpanan dapat diamati dari beberapa parameter uji antara lain kerusakan, susut bobot, kandungan vitamin C, total padatan terlarut, total asam, dan hasil organoleptik.

4.3.1 Kerusakan

Kerusakan salak pondoh menunjukan jumlah salak pondoh yang rusak pada setiap waktu pengujian. Secara umum salak pondoh memiliki kerusakan yang semakin meningkat selama penyimpanan. Persentase kerusakan salak pondoh pada setiap kematangan dengan perlakuan

coating kitosan dan pengemasan ditunjukkan berdasarkan nilai kemiringan (slope) kerusakan selama penyimpanan agar dapat dilihat laju kerusakan pada masing-masing perlakuan. Nilai

(29)

13 dan adanya air yang terdapat dalam kemasan. Menurut Eskin et al. (1971), perubahan warna pada buah dapat disebabkan oleh aktivitas enzim polifenol oksidase yang mengubah senyawa polifenol menjadi melanin yang berwarna coklat. Selain itu, enzim-enzim yang dapat menyebabkan pencoklatan antara lain fenolase, polifenol oksidasi, tirosinase, dan katekolase (Richardson, 1976). Kapang yang tumbuh pada salak pondoh berupa spot miselia berwarna putih pada hari penyimpanan ke-6. Kemudian pada hari penyimpanan ke-18, kapang yang menyebabkan kebusukan dominan berwarna hitam yang tumbuh pada salak pondoh dengan perlakuan kemasan polipropilen lubang, polietilen lubang, dan tanpa kemasan. Penyebab kerusakan salak pondoh kematangan 80%, 90%, dan curah juga karena adanya air dalam plastik kemasan terutama pada polietilen tanpa lubang dan polipropilen tanpa lubang. Adanya air di dalam kemasan dapat menyebabkan salak pondoh menjadi basah sehingga terjadi kerusakan jaringan buah yang akan membuat salak cepat busuk. Air yang terperangkap dalam kemasan diduga disebabkan oleh uap air hasil respirasi buah mengembun ketika bersentuhan dengan plastik karena suhu diluar kemasan lebih rendah. Gambar 4 menunjukkan sampel salak pondoh yang dikemas pada plastik polietilen tanpa lubang setelah 22 hari penyimpanan. Polietilen memiliki daya tembus terhadap oksigen yang tinggi sehingga proses respirasi terjadi lebih cepat yang berpengaruh pada jumlah air yang terperangkap dalam kemasan lebih banyak dibandingkan pada polipropilen lubang. Pada beberapa sampel, terdapat plastik kemasan yang menggembung sejak hari penyimpanan ke-18. Hal tersebut diduga adanya karbondioksida hasil respirasi yang tertahan di dalam plastik kemasan tanpa lubang (polipropilen dan polietilen) yang memiliki permeabilitas terhadap karbondioksida.

Gambar 4. Penyebab kerusakan selama penyimpanan

4.3.1.1 Kerusakan salak pondoh kematangan 80%

Gambar 5 menunjukkan bahwa salak pondoh kematangan 80% memiliki kerusakan terendah pada kombinasi perlakuan pengemasan dengan polipropilen tanpa lubang dan coating

kitosan perbandingan kitosan dengan asam asetat 1% sebesar 0.5:100 (b/v). Persentase kerusakan terendah memiliki kerusakan kurang dari 10% hingga 22 hari penyimpanan dan mencapai 14% pada 26 hari penyimpanan. Salak pondoh yang dikemas pada plastik polipropilen lubang, polietilen lubang, dan tanpa kemasan telah mencapai kerusakan lebih besar dari 50% pada 18 hari penyimpanan sedangkan pada kemasan polietilen tanpa lubang mencapai kerusakan lebih dari 50% pada 26 hari penyimpanan.

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 9), coating kitosan tidak berpengaruh nyata (α=0.05) terhadap persentase kerusakan sedangkan kemasan berpengaruh nyata (α=0.05) terhadap persentase kerusakan salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan. Pada uji lanjut Duncan (Lampiran 9), penggunaan plastik polipropilen tanpa lubang menyebabkan persentase kerusakan terendah dibandingkan penggunaan jenis kemasan lain. Hal tersebut juga

Air

Kapang Kemasan kembung

(30)
[image:30.595.112.501.146.384.2]

14 terlihat pada Gambar 5 yang menunjukkan perlakuan pengemasan dengan polipropilen tanpa lubang memiliki nilai slope terkecil dibandingkan dengan perlakuan pengemasan lainnya sehingga laju peningkatan kerusakan selama penyimpanan rendah.

Gambar 5. Lajukerusakan salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan

Perbedaan yang nyata pada pengaruh penggunaan plastik polipropilen tanpa lubang terhadap kerusakan dapat disebabkan oleh daya tembus oksigen yang rendah pada plastik polipropilen tanpa lubang sehingga proses respirasi buah lambat yang berakibat pada rendahnya laju kerusakan jaringan buah selama penyimpanan serta rendahnya peluang kontaminasi kapang.

Coating kitosan yang tidak berpengaruh terhadap kerusakan salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan dapat disebabkan oleh karakter masing-masing perbandingan coating tidak jauh berbeda sehingga memiliki kemampuan yang hampir sama dalam menahan kerusakan. Salak pondoh yang disimpan pada suhu ruang dan tidak diberi perlakuan coating kitosan serta kemasan memiliki kerusakan mencapai 100% pada 6 hari penyimpanan dengan laju kerusakan 21.23 %/Hari (Lampiran 8).

Kerusakan tinggi pada salak pondoh kematangan 80% yang dikemas pada plastik polipropilen lubang dan polietilen lubang karena plastik berlubang memiliki peluang yang besar untuk keluar masuknya CO2, O2, dan H2O sehingga proses respirasi lebih cepat serta kontaminasi

kapang lebih mudah sehingga buah cepat busuk. Kontaminasi kapang sudah dapat terdeteksi pada hari penyimpanan ke-6 berupa spot miselia kapang kemudian pada 18 hari penyimpanan kerusakan yang disebabkan kapang sudah mencapai lebih dari 50% pada perlakuan penyimpanan menggunakan plastik polipropilen lubang, polipropilen tanpa lubang, dan tanpa kemasan. Kapang yang menyebabkan kerusakan memiliki miselia berwarna putih dan hitam yang menempel pada permukaan kulit salak pondoh kemudian menyebabkan daging buah salak pondoh menjadi busuk dan lunak.

Hubungan antara kerusakan dengan sifat kimia salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan dapat diamati dari kandungan vitamin C dan total asam. Pada salak pondoh yang memiliki kerusakan rendah selama penyimpanan, yaitu perlakuan pengemasan polipropilen tanpa lubang dan polietilen tanpa lubang menunjukkan laju penurunan vitamin C, total asam dan bobot lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal tersebut karena permeabilitas yang rendah

0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00

Polipropilen Lubang

Polipropilen Tanpa Lubang

Polietilen Lubang

Polietilen Tanpa Lubang

Tanpa Kemasan

L

aj

u

Ker

u

sak

an

(%/Har

i)

0.3:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v)

0.5:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v)

(31)

15 pada kemasan plastik tanpa lubang dibandingkan dengan plastik lubang sehingga respirasi dan penurunan mutu lebih lambat. Pada salak pondoh yang memiliki kerusakan tinggi seperti perlakuan plastik kemasan polipropilen lubang, polietilen lubang, dan tanpa kemasan terjadi penurunan kandungan vitamin C dan total asam yang lebih cepat yang diduga karena banyak tersedianya oksigen di lingkungan buah sehingga menjadi pendorong proses respirasi dan oksidasi. Vitamin C mudah rusak karena adanya oksidasi dan rusaknya jaringan buah sedangkan asam organik beserta asam piruvat hasil glikolisis digunakan dalam respirasi siklus krebs yang akan terjadi ketika oksigen tersedia. Ketersediaan oksigen yang terbatas pada salak pondoh yang memiliki kerusakan terkecil, yaitu perlakuan kemasan polipropilen tanpa lubang menimbulkan aroma alkohol pada 18 hari penyimpanan yang diduga karena terjadinya fermentasi.

4.3.1.2 Kerusakan salak pondoh kematangan 90%

Berdasarkan laju kerusakan salak pondoh kematangan 90% pada Gambar 6, kombinasi perlakuan coating kitosan 0.7:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v) dan pengemasan dengan polipropilen tanpa lubang memiliki kerusakan terendah selama penyimpanan yang ditunjukkan dengan laju kerusakan yang terkecil. Pada kombinasi perlakuan coating kitosan 0.7:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) dan pengemasan polipropilen tanpa lubang memiliki persentase kerusakan kurang dari 10% pada 12 hari penyimpanan kemudian persentase kerusakan mencapai 12% pada 26 hari penyimpanan.

Gambar 6. Laju kerusakan salak pondoh kematangan 90% selama penyimpanan

Hasil analisis uji ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa jenis kemasan memberikan pengaruh nyata (α=0.05) terhadap persentase kerusakan sedangkan coating kitosan dan interaksi antara jenis kemasan dengan coating kitosan tidak berpengaruh nyata terhadap persentase kerusakan salak pondoh tingkat kematangan 90%. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 10) menyatakan bahwa jenis kemasan polipropilen tanpa lubang memiliki persentase kerusakan terendah selama penyimpanan dibandingkan dengan kemasan lain. Perbedaan yang nyata pada pengaruh penggunaan plastik polipropilen tanpa lubang terhadap kerusakan dapat disebabkan oleh daya tembus oksigen yang rendah pada plastik polipropilen tanpa lubang sehingga ketersediaan

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00

Polipropilen Lubang

Polipropilen Tanpa Lubang

Polietilen Lubang

Polietilen Tanpa Lubang

Tanpa Kemasan

L

aj

u

Ker

u

sak

an

(%/Har

i)

(32)

16 oksigen disekitar buah rendah dan respirasi buah lambat yang berakibat pada lambatnya laju kerusakan jaringan buah selama penyimpanan serta kecilnya peluang kontaminasi kapang.

Salak pondoh kematangan 90% yang dikemas pada plastik polipropilen lubang, polietilen lubang, dan tanpa kemasan telah mencapai kerusakan lebih besar dari 50% pada 18 hari penyimpanan. Tingginya kerusakan salak pondoh kematangan 90% yang dikemas pada plastik polipropilen lubang, polietilen lubang, dan tanpa kemasan pada 18 hari penyimpanan sebagian besar disebabkan oleh adanya kapang berwarna hitam yang menyebabkan kebusukan terutama pada kemasan plastik berlubang. Hal tersebut diduga karena pengaruh sifat antimikroba dari kitosan sudah tidak dapat menahan lagi pertumbuhan kapang. Selain itu, kemasan berlubang memiliki peluang yang besar untuk terkontaminasi kapang.

Salak pondoh kematangan 90% yang memiliki kerusakan rendah selama penyimpanan juga memiliki laju penurunan mutu kimia yang cenderung lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada perlakuan pengemasan dengan plastik polipropilen tanpa lubang dan polietilen tanpa lubang memiliki laju penurunan kandungan vitamin C, total asam, dan total padatan terlarut yang lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan tanpa kemasan serta plastik berlubang. Hal tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh ketersediaan oksigen karena adanya permeabilitas kemasan plastik polipropilen dan polietilen sehingga respirasi yang menggunakan substrat asam organik cenderung lambat serta oksidasi vitamin C oleh oksigen juga lambat. Kerusakan yang rendah pada salak pondoh menimbulkan aroma alkohol pada 18 hari penyimpanan yang diduga selain terjadinya respirasi aerobik juga terjadi fermentasi karena keterbatasan oksigen di dalam kemasan.

4.3.1.3 Kerusakan salak pondoh kematangan curah

Berdasarkan laju kerusakan pada Gambar 7, kerusakan salak pondoh kematangan curah terendah terdapat pada kombinasi perlakuan coating kitosan 0.5:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) dan pengemasan polipropilen tanpa lubang. Semakin besar nilai slope kerusakan maka semakin tinggi pula laju kerusakan salak pondoh selama penyimpanan. Kerusakan salak pondoh kematangan curah terendah terdapat pada perlakuan yang dilapisi larutan coating kitosan kitosan 0.5:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v) dengan pengemasan polipropilen tanpa lubang dengan persentase kerusakan kurang dari 10% pada 12 hari penyimpanan kemudian mencapai 38% saat 26 hari penyimpanan.

Hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan pengaruh kemasan terhadap kerusakan salak pondoh kematangan curah berbeda nyata (α=0.05) sedangkan coating kitosan dan interaksi antara kemasan dengan coating kitosan tidak berpengaruh nyata terhadap kerusakan buah. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 11) memberikan hasil bahwa salak pondoh kematangan curah yang dikemas dengan polipropilen tanpa lubang memiliki persentase kerusakan terendah dibandingkan dengan perlakuan pengemasan lain.

Pada salak pondoh kematangan curah yang dikemas dengan polipropilen tanpa lubang memiliki ketersediaan oksigen di lingkungan buah rendah karena adanya permeabiltas plastik terhadap oksigen sehingga proses respirasi aerobik yang memerlukan oksigen dapat terhambat dan kerusakan jaringan juga melambat. Sama halnya dengan salak pondoh kematangan 80% dan 90%,

Coating kitosan yang tidak berpengaruh terhadap kerusakan salak pondoh kematangan curah juga dapat disebabkan oleh jarak ketiga perbandingan coating yang berdekatan tidak memberikan perbedaan karakter coating dalam menahan kerusakan tetapi penggunaan coating kitosan berbeda dengan salak pondoh tanpa coating kitosan (Lampiran 8).

(33)
[image:33.595.118.499.91.316.2]

17 Gambar 7. Laju kerusakan salak pondoh kematangan curah selama penyimpanan

Salak pondoh kematangan curah yang memiliki kerusakan rendah selama penyimpanan juga memiliki penurunan mutu kimia yang cenderung lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada perlakuan pengemasan dengan plastik polipropilen tanpa lubang dan polietilen tanpa lubang memiliki laju penurunan kandungan vitamin C, total asam, dan total padatan terlarut selama penyimpanan yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa kemasan serta plastik polipropilen dan polietilen lubang. Hal tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh ketersediaan oksigen karena adanya permeabilitas kemasan plastik polipropilen dan polietilen sehingga respirasi yang menggunakan substrat asam organik cenderung lambat serta oksidasi vitamin C oleh oksigen juga lambat. Ketersediaan oksigen yang terbatas pada salak pondoh yang memiliki kerusakan terkecil, yaitu perlakuan kemasan polipropilen tanpa lubang menimbulkan aroma alkohol pada 18 hari penyimpanan yang diduga karena terjadinya fermentasi. Kerusakan yang tinggi juga akan mempengaruhi susut bobot selama penyimpanan.

4.3.2 Susut Bobot

Kehilangan bobot selama penyimpanan dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi karena bobot produk berkurang dan nilai jual menurun. Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan penurunan mutu buah yang disebabkan adanya proses respirasi dan transpirasi. Respirasi merupakaan proses perubahan substrat kompleks seperti karbohidrat menjadi CO2, H2O, dan energi sedangkan transpirasi berupa proses kehilangan air (penguapan) dari buah.

Nilai susut bobot dapat diketahui dari penurunan bobot salak pondoh setiap uji selama penyimpanan. Pada penyimpanan salak pondoh, secara umum susut bobot meningkat selama penyimpanan. Besarnya susut bobot salak pondoh ditunjukkan dengan nilai slope dari masing-masing kombinasi perlakuan sehingga dapat diketahui laju peningkatan susut bobot selama penyimpanan.

Susut bobot yang tinggi selain dapat diketahui secara kuantitatif juga dapat diketahui secara kualitatif dengan melihat kenampakan kulit buah salak pondoh kematangan 80%, kematangan 90%, dan kematangan curah. Pada Gambar 8, terdapat perbedaan kenampakan warna dan kesegaran kulit antara salak pondoh yang disimpan pada perlakuan kemasan plastik dan tanpa kemasan pada saat 6 hari penyimpanan. Salak pondoh yang disimpan pada kemasan plastik lebih

0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00

Polipropilen Lubang

Polipropilen Tanpa Lubang

Polietilen Lubang

Polietilen Tanpa Lubang

Tanpa Kemasan

L

aj

u

Ker

u

sak

an

(%/Har

i)

(34)

18 segar dan mengkilap dibandingkan dengan perlakuan tanpa kemasan yang kering dan kusam. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor respirasi dan transpirasi pada buah. Salak pondoh yang disimpan dalam kemasan plastik polipropilen dan polietilen diduga memiliki laju respirasi yang lebih lambat karena adanya sifat permeabilitas plastik terhadap gas dan uap air sehingga proses kehilangan air karena respirasi dan transpirasi rendah sedangkan pada salak pondoh tanpa pengemasan tidak terdapat penghalang antara buah dengan gas di lingkungan yang membuat respirasi dan transpirasi tinggi dan berakibat pada pengeriputan buah.

[image:34.595.117.500.479.747.2]

Kemasan Tanpa Kemasan

Gambar 8. Kenampakan salak pondoh setelah 6 hari penyimpanan

4.3.2.1 Susut Bobot salak pondoh kematangan 80%

Gambar 9 menunjukkan bahwa susut bobot salak pondoh kematangan 80% yang disimpan tanpa kemasan memiliki persentase susut bobot terbesar dibandingkan perlakuan pengemasan lain. Salak pondoh kematangan 80% yang disimpan dengan kemasan polipropilen lubang, polipropilen tanpa lubang, polietilen lubang, dan polietilen tanpa lubang memiliki persentase susut bobot yang hampir seragam selama penyimpanan. penyimpanan tanpa kemasan dengan persentase susut bobot berkisar 8.2-12.5%selama 18 hari penyimpanan. Susut bobot salak pondoh kematangan 80% pada perlakuan kemasan plastik berkisar antara 0-5.4% selama penyimpanan.

Gambar 9. Laju perubahan susut bobot salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan 0,00

0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70

Polipropilen Lubang

Polipropilen Tanpa Lubang

Polietilen Lubang

Polietilen Tanpa Lubang

Tanpa Kemasan

L

aj

u

P

er

u

b

ah

an

Su

su

t

B

o

b

o

t

(

%/Har

i)

0.3:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v) 0.5:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v) 0.7:100 (Kitosan:Asam asetat 1%) (b/v)

(35)

19 Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 12), jenis kemasan yang digunakan berpengaruh nyata (α=0.05) terhadap susut bobot sedangkan perlakuan coating kitosan pada salak pondoh kematangan 80% tidak berpengaruh nyata (α=0.05) selama penyimpanan. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 12) menyatakan bahwa penyimpanan tanpa kemasan memberikan susut bobot terbesar. Tidak adanya pengaruh nyata antara ketiga perbandingan coating kitosan terhadap susut dapat disebabkan oleh karakteristik dari masing-masing coating yang tidak berbeda jauh sehingga memberikan lapisan yang relatif sama. Lapisan coating yang terbentuk pada permukaan salak pondoh dapat menjadi penghalang pertukaran gas sehingga susut bobot kecil.

Susut bobot yang tinggi pada perlakuan tanpa kemasan karena tidak adanya penghalang pertukaran oksigen yang digunakan untuk respirasi dengan uap air dan karbondioksida yang dihasilkan dari proses respirasi. Keadaan ini menyebabkan proses respirasi dan transpirasi lebih cepat dibandingkan perlakuan penyimpanan dengan kemasan plastik sehingga uap air lebih banyak yang terlepas ke lingkungan. Salak pondoh kematangan 80% perlakuan kemasan polipropilen serta polietilen memiliki susut bobot yang rendah karena adanya permeabilitas plastik terhadap oksigen, karbondioksida, dan uap air sehingga menjaga dari kehilangan air yang besar. Penggunaan pelapis yang optimum dapat mengurangi susut bobot karena adanya lapisan yang dapat memperlambat respirasi dan keluarnya air dari bahan. Menurut Kader (1985), laju respirasi dapat menyebabkan kehilangan air pada bahan. Adanya kehilangan air pada buah menyebabkan pelayuan dan pengeriputan buah sehingga susut bobot meningkat.

Pengaruh susut bobot salak pondoh kematangan 80% terhadap kerusakan selama penyimpanan berbanding lurus pada perlakuan tanpa pengemasan. Susut bobot salak Pondoh tanpa kemasan tin

Gambar

Gambar 5. Laju kerusakan salak pondoh kematangan 80% selama penyimpanan
Gambar 7. Laju kerusakan salak pondoh kematangan curah selama penyimpanan
Gambar 8. Kenampakan salak pondoh setelah 6 hari penyimpanan
Gambar 10. Laju perubahan susut bobot salak pondoh kematangan 90% selama penyimpanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut teori tolakan pasangan elektron, data hubungan antarjumlah pasangan elektron dengan bentuk molekul yang benar adalah, kecuali ...... Kunci dan pembahasan soal ini

SUPADI: Fungsi Kepala Sekolah sebagai Motivator dalam Peningkatan Kinerja Sekolah, Studi Empirik pada Sekolah Dasar Birrul Walidain Muhammadiyah Sragen Tahun Pelajaran

Wulandari.A410110028.EKSPERIMENTASI PROBLEM BASED INSTRUCTION(PBI) DENGAN OPEN-ENDED DAN CLOSED-ENDED DITINJAU DARI KEMAMPUAN AWAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR PADA SISWA KELAS

[r]

Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui analisa stabilitas pelimpah Embung Penggung terhadap geser dan guling, menganalisa kemampuan Embung untuk memenuhi

Bahasa Indonesia yang digunakan oleh pegawai pasar modern yang hadir sebagai orang ketiga dalam pembicaraan tersebut memberikan pengaruh terhadap perilaku berbahasa

1) Guru membagi peserta didik ke dalam kelompok yang beranggotakan 4 peserta didik dan setiap anggota kelompok diberi nomor 1 sampai dengan 4. 2) Guru menjelaskan

Disimpullcan bahwa Rarlsurll A da11 B atau lcombinasinya layalc digu~lalcan untulc sapi dara berbobot 250 kg yaug tui~lbuh 0.8 ltglhari atau sapi laktasi berbobot 500