• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Ketelitian dan Tingkat Kepercayaan

Dalam dokumen BAB 3 LANDASAN TEORI (Halaman 32-37)

3.7 Pengukuran Waktu baku

3.7.3 Uji Kecukupan Data

3.7.3.1 Tingkat Ketelitian dan Tingkat Kepercayaan

⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ∑ ∑ − ∑ = dimana:

N’ = jumlah pengukuran data minimum yang dibutuhkan

N = jumlah pengukuran pendahuluan yang telah dilakukan setelah dikurangi data pengukuran di luar BKA atau BKB

Z = bilangan konversi pada distribusi normal sesuai dengan tingkat kepercayaan

s = tingkat ketelitian

Jumlah pengukuran waktu dapat dikatakan cukup apabila jumlah pengukuran data minimum yang dibutuhkan secara teoritis lebih kecil atau sama dengan jumlah pengukuran pendahuluan yang sudah dilakukan (N’≤ N). Jika jumlah pengukuran masih belum mencukupi, maka harus dilakukan pengukuran lagi sampai jumlah pengukuran tersebut cukup.

3.7.3.1 Tingkat Ketelitian dan Tingkat Kepercayaan

Yang dicari dengan melakukan pengukuran-pengukuran ini adalah waktu yang sebenarnya dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Karena waktu penyelesaian ini tidak pernah diketahui sebelumnya maka harus diadakan pengukuran-pengukuran. Yang ideal tentunya dilakukan pengukuran-pengukuran yang sangat banyak (sampai tak terhingga kali) karena dengan demikian diperoleh jawaban yang pasti. Tetapi hal ini jelas tidak mungkin karena keterbatasan waktu, tenaga dan tentunya biaya. Namun sebaliknya jika tidak dilakukan beberapa kali pengukuran saja, dapat diduga

hasilnya sangat kasar. Sehingga yang diperlukan adalah jumlah pengukuran yang tidak membebankan waktu, tenaga dan biaya yang besar tetapi hasilnya tidak dapat dipercaya. Jadi,walaupun jumlah pengukuran tidak berjuta kali, tetapi jelas tidak hanya beberapa kali saja.

Dengan tidak dilakukannya pengukuran yang banyak sekali ini, pengukur akan kehilangan sebagian kepastian akan ketetapan/rata-rata waktu penyelesaian yang sebenarnya. Hal ini harus disadari. Tingkat ketelitian dan tingkat kepercayaan adalah pencerminan tingkat kepastian yang diinginkan oleh pengukur setelah memutuskan tidak akan melakukan pengukuran yang sangat banyak.

Tingkat ketelitian menunjukkan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya. Hal ini biasanya dinyatakan dalam persen. Sedangkan, tingkat kepercayaan menunjukkan besarnya kepercayaan pengukur bahwa hasil yang diperoleh memenuhi syarat ketelitian tadi. Inipun dinyatakan dalam persen (Sutalaksana, 1979, p135).

3.7.3.2 Penyesuaian

Penyesuaian adalah proses dimana analisa pengukuran waktu membandingkan penampilan operator (kecepatan atau tempo) dalam pengamatan dengan konsep pengukur sendiri tentang bekerja secara wajar. Setelah pengukuran berlangsung, pengukur harus mengamati kewajaran kerja yang ditunjukkan operator. Ketidakwajaran dapat saja terjadi, misalnya bekerja tanpa kesungguhan, sangat cepat seolah-olah diburu waktu, atau karena menjumpai kesulitan-kesulitan, seperti karena kondisi ruangan yang buruk. Sebab-sebab seperti ini mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu singkat atau terlalu panjangnya waktu penyelesaian. Hal ini jelas tidak diinginkan karena

waktu baku yang dicari adalah waktu yang diperoleh dari kondisi dan cara kerja yang baku yang diselesaikan secara wajar.

Andai kata ketidakwajaran ada, maka pengukur harus mengetahuinya dan menilai seberapa jauh hal itu terjadi. Penilaian perlu diadakan karena berdasarkan inilah penyesuaian dilakukan. Jadi jika pengukur mendapatkan harga rata-rata siklus/elemen yang diketahui diselesaikan dengan kecepatan tidak wajar oleh operator, maka agar harga rata-rata tersebut menjadi wajar, pengukur harus menormalkannya dengan melakukan penyesuaian.

Biasanya penyesuaian dilakukan dengan mengalikan waktu siklus rata-rata atau waktu elemen rata-rata dengan suatu harga p yang disebut faktor penyesuaian. Besarnya harga p tentunya sedemikian rupa sehingga hasil perkalian yang diperoleh mencerminkan waktu yang sewajarnya atau yang normal. Bila pengukur berpendapat bahwa operator bekerja di atas normal (terlalu cepat), maka harga p-nya akan lebih besar dari satu (p1); sebaliknya jika operator dipandang bekerja di bawah normal, maka harga p akan lebih kecil dari satu (p). Seandainya pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dengan wajar, maka harga p-nya sama dengan satu (p=1) (Sutalaksana, 1979, p138).

Terdapat beberapa metode dalam menentukan faktor penyesuaian (Sutalaksana, 1979, p139-149), yaitu :

a. Metode Persentase

Merupakan cara yang paling awal digunakan dalam melakukan penyesuaian. Besarnya faktor penyesuaian sepenuhnya dilakukan oleh pengukur melalui pengamatannya selama melakukan pengukuran. Cara ini adalah cara yang paling

mudah dan sederhana tetapi cara ini bersifat subyektif, kurang teliti karena kasarnya penilaian.

b. Metode Shumard

Cara ini memberikan patokan-patokan penilaian melalui kelas-kelas performance kerja dimana setiap setiap kelas tersebut mempunyai nilai sendiri-sendiri. Di sini pengukur diberi patokan untuk menilai performansi kerja operator menurut kelas-kelas Superfast +, Fast, Fast -, Excellent, dan seterusnya.

c. Metode Westinghouse

Cara ini mengarahkan penilaian pada empat faktor yang dianggap menentukan kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja, yaitu : keterampilan, usaha, kondisi kerja dan konsistensi. Setiap faktor terbagi dalam kelas-kelas dan nilainya masing-masing.

d. Metode Objektif

Merupakan metode yang memperhatikan dua faktor, yaitu : kecepatan kerja dan tingkat kesulitan pekerjaan. Kedua faktor inilah yang dipandang bersama-sama untuk menentukan berapa harga penyesuaian untuk mendapatkan waktu normal. e. Metode Bedaux dan Sintesa

Cara Bedaux tidak banyak berbeda dengan cara Shumard, hanya saja niali-nilai pada cara Bedaux dinyatakan dalam “B”. Sedangkan cara sintesa waktu penyelesaian setiap elemen gerakan dibandingkan dengan harga-harga yang diperoleh dari tabel-tabel waktu gerakan untuk kemudain dihitung harga rata-ratanya.

3.7.4 Kelonggaran

Kelonggaran diberikan untuk tiga hal yaitu untuk kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatique, dan hambatan-hambatan yang tidak dapat dihindarkan. Ketiganya ini merupakan hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh pekerja, dan yang selama pengukuran tidak diamati, diukur, dicatat ataupun dihitung. Karenanya sesuai pengukuran dan setelah mendapatkan waktu normal, kelonggaran perlu ditambahkan (Sutalaksana, 1979, p149-154).

1) Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi

Yang temasauk dalam kebutuhan pribadi disini adalah hal-hal seperti minum sekadarnya untuk menghilangkan rasa haus, kekamar kecil, becakap-cakap dengan teman sekerja untuk menghilangkan ketegangan dan kejemuhan kerja. Kebutuhan-kebutuhan ini jelas terlihat sebagai sesuatu yang mutlak. Besarnya kelonggaran yang diberikan untuk kebutuhan pribadi seperti itu berbeda-beda dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya karena setiap pekerjaan memiliki karakteristik sendiri-sendiri dengan tuntutan yang berbeda-beda.

2) Kelonggaran untuk menghilangkan rasa fatique

Rasa fatique tercermin antara lain dari menurunnya hasil produksi baik jumlah maupun kualitas. Salah satu cara untuk menentukan besarnya kelonggaran ini adalah dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja dan mencatat pada saat-saat dimana hasil produksi menurun.

3) Kelonggaran untuk hambatan-hambatan tak terhindarkan

Dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerja tidak akan lepas dari berbagai “hambatan“. Ada hambatan yang dapat dihindarkan seperti mengobrol yang berlebihan dan menganggur dengan sengaja ada pula hambatan yang tidak dapat

dihindarkan karena berada diluar kekuasaan pekerja untuk mengendalikannya. Beberapa contoh yang termasuk kedalam hambatan tak terhindarkan adalah :

a. Menerima atau meminta petunjuk kepada pengawas b. Melakukan penyesuaian-penyesuaian mesin

c. Memperbaiki kemacetan-kemacetan singkat seperti mengganti alat potong yang patah, memasang kembali ban yang lepas dan sebagainya.

d. Mengasah peralatan potong.

e. Mengambil alat-alat khusus atau bahan-bahan khusus dari gudang.

Dalam dokumen BAB 3 LANDASAN TEORI (Halaman 32-37)

Dokumen terkait