• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Partisipasi Sekolah

Dalam dokumen INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (Halaman 45-53)

GAMBARAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KABUPATEN BANDUNG

3. Daerah dengan AKB di bawah 30 per seribu kelahiran bayi hidup diklasifikasikan sebagai daerah hard-rock, yaitu hanya sebagian kecil saja

3.3.2. Tingkat Partisipasi Sekolah

Pada awal tahun 1972, ketika program life long education disosialisasikan, kesadaran akan pembangunan manusia ini telah disuarakan oleh Edgar Faure, Ketua The International Commision for Education Development, yang menekankan bahwa pendidikan merupakan tugas negara yang paling penting. Hal senada oleh pemerintah telah dituangkan pada Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab IV (Hak Dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat Dan Pemerintah) pasal 6 ayat 1, yang mengatakan bahwa “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”, dan pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin tersedianya dana, guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.” Hal ini berarti bahwa sepatutnya sudah tidak ada lagi anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah, atau tingkat partisipasi sekolahnya 100 persen. Bila kondisi tersebut dicapai, akan dapat dijadikan modal kuat untuk memperkuat daya saing dibidang pendidikan, sehingga di masa mendatang kualitas kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bandung, utamanya dibidang pendidikan tidak hanya berbicara pada skala provinsi tetapi juga ditingkat nasional.

Begitu pula pada rata-rata lama sekolah, pada tahun 2004 rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Bandung baru sekitar 8,03 tahun meningkat menjadi 8,26 tahun di tahun 2005; 8,39 tahun pada tahun 2006, pada tahun 2007 menjadi 8,58, tahun 2008 mencapai 8,86 tahun. Pada tahun 2009 sedikit mengalami peningkatan menjadi 8,87 tahun.

Dilihat dari mutu SDM, di daerah perkotaan cenderung relatif lebih baik dibanding daerah perdesaan, hal ini terjadi karena akses ke berbagai fasilitas dan pelayanan masyarakat, terutama yang berhubungan dengan pendidikan, lebih mudah diperoleh. Kondisi ekonomi juga cenderung lebih baik sehingga kesempatan untuk meningkatkan mutu SDM lebih terbuka bagi penduduk perkotaan.

Telah ditentukan segmentasi usia yang harus mendapatkan kesempatan sekolah terletak pada selang usia 7-18 tahun, secara operasional kelompok umur tersebut dipilah menjadi tiga; yaitu usia 7-12 tahun untuk tingkat Sekolah Dasar (SD), usia 13-15 tahun untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan umur 16-18 tahun untuk tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).

Pada penduduk kelompok umur 7-12 tahun, secara umum perbedaan partisipasi sekolah antara penduduk perkotaan dengan perdesaan relatif tidak mencolok. Hal ini kemungkinan karena gencarnya promosi program pendidikan dasar yang dilakukan pemerintah di berbagai daerah secara luas dengan disertai oleh bermacam penyaluran dana bantuan pendidikan, mulai dari yang hanya terbatas pada kelompok masyarakat sangat miskin (seperti: Program Keluarga Harapan), hingga yang sifatnya menyeluruh seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Setelah anggaran bidang pendidikan diperbesar, serta berbagai bantuan disalurkan, maka permasalahan putus sekolah di pendidikan dasar harus sudah dapat diselesaikan. Dengan kata lain, rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Bandung harus dapat melewati angka 9 tahun.

Untuk penduduk yang memiliki kemampuan secara ekonomi, harus terus didorong untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Karena memiliki ijazah SLTP saja tidak cukup untuk bersaing memperoleh

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009 37 lapangan pekerjaan yang lebih layak. Masalah infrastruktur pendidikan tidak dapat dijadikan alasan, karena usia diatas 15 tahun sudah dikatagorikan dewasa untuk mandiri dan mengakses pendidikan yang lokasinya mungkin cukup jauh dari tempat tinggalnya.

Untuk memperoleh gambaran partisipasi penduduk Kabupaten Bandung terhadap pendidikan, ditunjukkan dengan beberapa indikator, yaitu: Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Indikator-indikator tersebut menunjukkan seberapa besar anak usia menurut tingkat pendidikan tertentu berada dalam lingkup pendidikan dan penyerapan dunia pendidikan formal terhadap penduduk usia sekolah.

Gambar 3.7.

APK Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2009

0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 120,0 Laki-laki 104,18 88,95 63,72 8,25 Perempuan 107,28 87,47 55,28 8,23 Laki-laki + Perempuan 105,69 88,2 59,61 8,24 SD SLTP SLTA PT

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2009

Angka partisipasi kasar menunjukkan proporsi anak sekolah baik laki-laki maupun perempuan pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Angka ini memberikan gambaran secara umum mengenai jumlah anak yang menerima

pendidikan pada jenjang tertentu, dan biasanya tidak memperhatikan umur siswa. APK suatu jenjang pendidikan mungkin saja mempunyai nilai lebih dari 100. Hal ini disebabkan oleh adanya siswa yang berusia di luar batasan usia sekolah (baik lebih muda ataupun lebih tua), namun bersekolah pada jenjang sekolah usia tersebut. Sebagai ilustrasi, pada Gambar 3.7 terlihat bahwa APK SD di Kabupaten Bandung adalah 105,69 persen (lebih dari 100 persen). Artinya masih terdapat sekitar 5,69 persen penduduk diluar usia 7-12 tahun yang berstatus murid SD, bisa berada pada pendidikan di tingkat yang lebih rendah (pendidikan pra sekolah), ataupun lebih tinggi (SLTP). Untuk mengawal bahwa seorang anak harus memperoleh pendidikan yang sesuai dengan usianya, dibutuhkan dukungan masyarakat, serta ketegasan dari institusi pendidikan.

Tabel 3.4.

APK Menurut Jenis Kelamin, dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2008-2009

Jenjang Pendidikan 2008 2009 L P L + P L P L + P [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] SD 99,35 92,97 96,18 104,18 107,28 105,69 SLTP 74,20 86,04 80,06 88,95 87,47 88,20 SLTA 45,14 43,72 40,79 63,72 55,28 59,61 PT 13,63 13,55 13,59 8,25 8,23 8,24

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2008-2009

Dari sudut kesetaraan jender, pada tingkat SLTP menurut data hasil Suseda 2009, APK murid perempuan sebesar 87,47 relatif sama dengan APK laki-laki yang mencapai 88,95 persen. Artinya tidak ada perbedaan perlakuan terhadap jenis kelamin sampai pada tingkat pendidikan dasar. Namun pada jenjang pendidikan SLTA antara APK laki-laki dibandingkan dengan APK perempuan menunjukkan perbedaan yang tinggi, yaitu sebesar 8,44 persen.

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009 39

Gambar 3.8.

Perbandingan APK dan APM Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2009

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 APM 93,17 72,63 43,27 6,20 APK 105,69 88,2 59,61 8,24 SD SLTP SLTA PT

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2009

Gambar 3.9.

APM Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2009

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00 Laki-laki 92,94 72,37 45,43 6,11 Perempuan 93,41 72,89 40,99 6,30 Laki-laki + Perempuan 93,17 72,63 43,27 6,20 SD SLTP SLTA PT

Proporsi anak sekolah pada satu kelompok umur tertentu yang bersekolah pada tingkat yang sesuai dengan kelompok umurnya dapat ditunjukan oleh Angka Partisipasi Murni (APM). APM selalu lebih rendah dibandingkan APK karena pembilangnya lebih kecil sementara penyebutnya sama. APM membatasi usia siswa sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikan sehingga angkanya lebih kecil. APM adalah indikator yang menunjukkan proporsi penduduk yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan dan usianya sesuai dengan usia sekolah pada jenjang pendidikan tersebut. APM yang bernilai 100 menunjukkan bahwa semua penduduk bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya. APM SD di Kabupaten Bandung pada tahun 2009 adalah sebesar 93,17 persen, artinya lebih dari 93 persen siswa usia sekolah SD bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya.

Ketidaksesuaian usia dengan jenjang pendidikan yang diikuti dapat dilihat dengan jelas dari selisih antara APK dan APM. Pada jenjang pendidikan SD misalnya, capaian APK SD Kabupaten Bandung pada tahun 2009 sebesar 105,69 persen, masih relatif cukup besar disparitasnya dengan capaian APM SD yang sebesar 93,17 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 12,52 persen murid yang bersekolah di SD tidak sesuai dengan kelompok umur pendidikannya (7-12 tahun). Besarnya kesenjangan tersebut utamanya disebabkan karena sudah ada anak usia pra sekolah (di bawah usia 7 tahun) sudah sekolah di SD, dan ada siswa yang berusia 12 tahun keatas masih bersekolah di SD. Yang perlu diantisipasi adalah jangan sampai kesenjangan tersebut terjadi karena cukup banyaknya murid yang mengulang kelas. Karena hal ini erat hubungannya dengan kualitas pendidikan, dan kondisi ini dapat mengakibatkan terhambatnya pencapaian rata-rata lama sekolah dan pendidikan yang ditamatkan di masa mendatang.

Pencapaian rata-rata lama sekolah di suatu daerah dewasa ini masing sangat tergantung kemajuan partisipasi murid pada pendidikan formal, utamanya pada jenjang pendidikan SLTP keatas. Dengan besaran APK pada jenjang pendidikan SLTP keatas di Kabupaten Bandung yang masih belum begitu menggembirakan, tampaknya diperlukan langkah-langkah terobosan

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009 41 dan akseleratif oleh segenap komponen; baik jajaran dinas pendidikan, swasta, dan masyarakat agar anak-anak usia sekolah dapat menikmati pendidikan secara baik dan berkelanjutan (sustainable). Perlu diingat, bahwa penghitungan angka rata-rata lama sekolah dihitung hanya untuk golongan usia dewasa (15 tahun keatas). Sehingga apabila partisipasi sekolahnya rendah, maka pertumbuhan angka rata-rata lama sekolahnya cenderung rendah.

APM perempuan biasanya lebih rendah daripada APM laki-laki utamanya pada jenjang pendidikan SLTA keatas. Pada jenjang ini mulai terjadi perbedaan pandangan antara orang tua yang masih mengutamakan pendidikan bagi anak laki-laki daripada anak perempuannya. Kebanyakan mereka masih menganut paham laki-laki harus diutamakan dalam segala hal, karena laki-laki nantinya akan jadi pemimpin, terutama dalam lingkup paling kecil yaitu keluarga.

Pendidikan yang sedang diikuti digambarkan secara umum oleh Angka Partisipasi Sekolah (APS). Gambar 3.10 memperlihatkan bahwa pada APS penduduk laki-laki relatif lebih rendah dibandingkan APS penduduk perempuan pada kelompok umur pendidikan SD dan SLTP, namun untuk kelompok umur pendidikan yang lebih tinggi, angka partisipasi laki-laki lebih tinggi. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena perempuan di Kabupaten Bandung banyak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan berikutnya karena berbagai faktor, seperti: faktor biaya, melakukan perkawinan, ataupun karena bekerja. Selain itu masih melekatnya faktor budaya nenek moyang (terutama di perdesaan) yang menganggap bahwa kaum perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan terlalu tinggi karena ujung-ujungnya akan ke dapur juga. Sehingga begitu mereka menamatkan SD atau SLTP, tidak perlu lagi melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagian mereka segera menikah dan sebagian lagi bekerja di dapur atau langsung bekerja untuk membantu mendapatkan penghasilan.

Adalah tugas bersama untuk membuka wawasan masyarakat tentang pentingnya investasi di bidang pendidikan. Banyak alasan yang harus

terjawab, salah satunya adalah apakah pendidikan yang lebih tinggi dapat menjanjikannya masa depan bagi putra putri mereka? Dan apakah berpendidikan tinggi akan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak dibandingkan dengan mereka yang tidak melanjutkan sekolah?

Gambar 3.10.

APS Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2009

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00 Laki-laki 99,08 86,32 52,80 10,73 Perempuan 99,31 87,98 47,83 8,76 Laki-laki + Perempuan 99,20 87,16 50,38 9,77 SD SLTP SLTA PT

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2009

Fakta yang ada adalah dunia kerja kita masih didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah, seolah-olah menggambarkan bahwa kesempatan masuk ke dunia kerja masih terbuka lebar meskipun dengan tingkat pendidikan yang relatif terbatas. Sehingga memunculkan anggapan di masyarakat bahwa pendidikan tinggi belum menjadi jaminan kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan. Rendahnya kesempatan kerja di Kabupaten Bandung tidak saja dirasakan oleh mereka yang berpendidikan rendah, namun juga bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Pada akhirnya orangtua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya guna membantu usaha orang

IPM Kabupaten Bandung Tahun 2009 43 tua atau meringankan beban ekonomi keluarga ketimbang menyekolahkannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Dalam dokumen INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (Halaman 45-53)

Dokumen terkait