• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KABUPATEN BANDUNG

3. Daerah dengan AKB di bawah 30 per seribu kelahiran bayi hidup diklasifikasikan sebagai daerah hard-rock, yaitu hanya sebagian kecil saja

3.3.2. Tingkat Partisipasi Sekolah

Pada awal tahun 1972, ketika program life long education disosialisasikan, kesadaran akan pembangunan manusia ini telah disuarakan oleh Edgar Faure, Ketua The International Commision for Education Development, yang menekankan bahwa pendidikan merupakan tugas negara yang paling penting. Hal senada oleh pemerintah telah dituangkan pada Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab IV (Hak

Dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat Dan Pemerintah) pasal 6 ayat 1, yang mengatakan bahwa “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”, dan pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin tersedianya dana, guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.” Hal ini berarti bahwa sepatutnya sudah tidak ada lagi anak usia 7-15 tahun yang tidak bersekolah, atau tingkat partisipasi sekolahnya 100 persen. Bila kondisi itersebut dicapai, akan dapat dijadikan modal kuat untuk memperkuat daya saing dibidang pendidikan, sehingga di masa mendatang kualitas kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bandung, utamanya dibidang pendidikan tidak hanya berbicara pada skala provinsi tetapi juga ditingkat nasional.

Jika kecenderungan penanganan pendidikan di masyarakat masih berkutat pada bagaimana mempertahankan siswa rawan DO agar tetap bersekolah, tentunya permasalahan yang lebih besar akan banyak muncul di masa mendatang. Menarik untuk dikaji, sebenarnya apa yang terjadi pada dunia pendidikan kita? Apakah program-program yang telah dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan SDM kurang berjalan efektif?

Fakta lain menunjukkan, partisipasi sekolah di Kabupaten Bandung, khususnya untuk jenjang pendidikan lanjutan dan tinggi, masih relatif rendah. Kondisi ini juga didukung oleh kurang meratanya kesempatan bagi penduduk di perdesaan dalam mengakses pendidikan. Pada penduduk kelompok umur 7-12 tahun, secara umum perbedaan partisipasi sekolah antara penduduk perkotaan dengan perdesaan relatif tidak mencolok. Hal ini kemungkinan karena gencarnya promosi program pendidikan dasar yang dilakukan pemerintah di berbagai daerah secara luas dengan disertai oleh bermacam kucuran dana bantuan pendidikan, mulai dari yang hanya terbatas pada kelompok masyarakat miskin hingga yang sifatnya menyeluruh seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Secara demografis ditentukan segmentasi usia yang harus mendapatkan kesempatan sekolah terletak pada selang usia 7-18 tahun, secara operasional kelompok umur tersebut dipilah menjadi tiga; yaitu usia

7-12 tahun untuk tingkat Sekolah Dasar (SD), usia 13-15 tahun untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan umur 16-18 tahun untuk tingkat pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).

Salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur partisipasi pendidikan diantaranya adalah Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Indikator-indikator tersebut menunjukkan seberapa besar anak usia menurut tingkat pendidikan tertentu berada dalam lingkup pendidikan dan penyerapan dunia pendidikan formal terhadap penduduk usia sekolah.

Gambar 3.7.

APK Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2008

0 20 40 60 80 100 120 Laki-laki 95.31 70.67 46.83 7.79 Perem puan 93.38 80.36 47.62 8.59

Laki-laki + Perem puan 94.35 74.45 47.24 8.18

SD SLTP SLTA PT

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2008

Angka partisipasi kasar menunjukkan proporsi anak sekolah baik laki-laki maupun perempuan pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Angka ini memberikan gambaran secara umum mengenai jumlah anak yang menerima pendidikan pada jenjang tertentu, dan biasanya tidak memperhatikan umur siswa. APK suatu jenjang pendidikan bisa mempunyai nilai lebih dari 100. Hal

ini disebabkan oleh adanya siswa yang berusia di luar batasan usia sekolah (baik lebih muda ataupun lebih tua). Pada Gambar 3.7 terlihat bahwa APK SD di Kabupaten Bandung adalah 94,35 (kurang dari 100 persen). Artinya tidak terdapat siswa, baik lebih muda maupun lebih tua, yang berusia di luar batasan usia sekolah. Hal ini mungkin akibat tumbuh kesadaran bahwa menyokolahkan anak harus sesuai dengan usia sekolahnya. Dukungan masyarakat serta ketegasan dari institusi pendidikan sangat mendukung perubahan kondisi tersebut.

Dari sudut kesetaraan jender, pada tingkat SLTP menurut data hasil Suseda 2007, APK perempuan sebesar 82,50 lebih rendah dari APK laki-laki yang mencapai 86,08 persen, tetapi pada tahun 2008 APK penduduk perempuan mencapai 80,36 persen lebih tinggi dari APK Laki-laki pada tahun yang sama yaitu sebesar 70,67 persen. Kondisi yang serupa terjadi pada jenjang pendidikan Perguruan tinggi, sedangkan pada jenjang SD dan SLTA APK laki-laki lebih rendah dibandingkan perempuan. Hal ini merupakan indikasi bahwa tidak ada perbedaaan perlakuan dalam pendidikan akibat perbedaan jenis kelamin.

Tabel 3.4.

APK Menurut Jenis Kelamin, dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2007-2008

2007 2008 Jenjang Pendidikan L P L + P L P L + P (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) SD 100,83 103,19 101,99 95,31 93,38 94,35 SLTP 86,08 82,50 84,27 70,67 80,36 75,45 SLTA 44,38 49,44 46,72 46,88 47,62 47,24 PT 10,03 7,73 8,88 7,79 8,59 8,18

Masih terdapatnya murid yang mengikuti jenjang pendidikan tertentu tidak sesuai dengan kelompok umur pendidikannya dapat dilihat dari selisih antara APK dan APM. Pada jenjang pendidikan SD misalnya, capaian APK SD Kabupaten Bandung pada tahun 2008 sebesar 94,35 persen masih relatif cukup besar disparitasnya dengan capaian APM SD yang sebesar 75,30 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 19,05 persen murid yang bersekolah di SD tidak sesuai dengan kelompok umur pendidikannya (7-12 tahun). Besarnya disparitas/kesenjangan tersebut utamanya disebabkan karena sudah adanya anak usia pra sekolah (di bawah usia 7 tahun) masuk sekolah SD dan adanya siswa yang berusia 12 tahun keatas masih bersekolah di SD. Yang perlu diantisipasi adalah jangan sampai kesenjangan tersebut karena cukup banyaknya murid yang mengulang kelas. Jelas Kondisi tersebut dapat mengakibatkan terhambatnya proses pencapaian rata-rata lama sekolah dan pendidikan yang ditamatkan di masa mendatang.

Pencapaian rata-rata lama sekolah di suatu daerah dewasa ini masing sangat tergantung kemajuan partisipasi murid pada pendidikan formal, utamanya pada jenjang pendidikan SLTP keatas. Dengan besaran APK pada jenjang pendidikan SLTP keatas di Kabupaten Bandung yang masih belum begitu menggembirakan, tampaknya diperlukan langkah-langkah terobosan dan akseleratif oleh segenap komponen; baik jajaran dinas pendidikan, swasta, dan msyarakat agar anak-anak usia sekolah dapat menikamati pendidikan secara baik dan berkelanjutan (sustainable).

Proporsi anak sekolah pada satu kelompok umur tertentu yang bersekolah pada tingkat yang sesuai dengan kelompok umurnya dapat ditunjukan oleh Angka Partisipasi Murni (APM). APM selalu lebih rendah dibandingkan APK karena pembilangnya lebih kecil sementara penyebutnya sama. APM membatasi usia siswa sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikan sehingga angkanya lebih kecil. APM adalah indikator yang menunjukkan proporsi penduduk yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan dan usianya sesuai dengan usia sekolah pada jenjang pendidikan tersebut. APM yang bernilai 100 menunjukkan bahwa semua penduduk bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya. APM SD

di Kabupaten Bandung pada tahun 2008 adalah sebesar 75.30 persen, artinya lebih dari 75 persen siswa usia sekolah SD bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya.

Gambar 3.8.

Perbandingan APK dan APM Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2008

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 APM 75.30 41.87 41.61 8.92 APK 94.35 75.45 47.24 8.18 SD SLTP SLTA PT

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2008 Gambar 3.9.

APM Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2008

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 Laki-laki 72.95 42.58 39.68 9.36 Perempuan 77.90 41.24 43.73 8.54 Laki-laki + Perempuan 75.30 41.87 41.61 8.92 SD SLTP SLTA PT

Besarnya persentase APM SD ini masih berhubungan dengan gencarnya program wajib belajar yang dilakukan di Kabupaten Bandung. APM SD penduduk laki-laki tampaknya lebih rendah dibandingkan dengan APM SD penduduk perempuan.

APM perempuan lebih tinggi daripada APM laki-laki utamanya pada jenjang pendidikan SLTP keatas, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Pada jenjang ini mulai terjadi perbedaan pandangan antara orang tua di daerah perdesaan dan di perkotaan. Penduduk perdesaan masih mengutamakan pendidikan bagi anak laki-laki daripada anak perempuannya. Kebanyakan mereka masih menganut paham laki-laki harus diutamakan dalam segala hal, karena laki-laki nantinya akan jadi pemimpin, terutama dalam lingkup paling kecil yaitu keluarga.

Pendidikan yang sedang diikuti digambarkan secara umum oleh Angka Partisipasi Sekolah (APS). Gambar 3.10 memperlihatkan bahwa pada APS penduduk laki-laki relatif lebih rendah dibandingkan APS penduduk perempuan pada kelompok umur pendidikan SD dan SLTP, namun untuk kelompok umur pendidikan yang lebih tinggi laki-laki lebih tinggi. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena perempuan di Kabupaten Bandung banyak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan berikutnya karena faktor biaya, status perkawinan, ataupun karena pekerjaan. Selain itu masih melekatnya faktor budaya nenek moyang, terutama di perdesaan, yang menganggap bahwa kaum perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan terlalu tinggi karena ujung-ujungnya akan ke dapur juga. Sehingga begitu mereka menamatkan SD, tidak perlu lagi melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagian mereka segera menikah dan sebagian lagi bekerja di dapur atau langsung bekerja untuk membantu mendapatkan penghasilan.

Fenomena tersebut kemungkinan disebabkan oleh masih relatif rendahnya pemahaman para orang tua tentang pentingnya investasi di bidang pendidikan. Banyak alasan yang mereka kemukakan, salah satunya adalah belum menjanjikannya masa depan putra putri mereka yang

berpendidikan tinggi akan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak dibandingkan dengan mereka yang tidak melanjutkan sekolah dan langsung bekerja.

Gambar 3.10.

APS Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2008

0 20 40 60 80 100 Laki-laki 96.16 81.05 43.75 7.43 Perem puan 96.48 87.01 41.46 6.92

Laki-laki + Perem puan 96.32 83.98 42.61 7.18

SD SLTP SLTA PT

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2008

Fakta bahwa dunia kerja kita masih didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah, seolah-olah menggambarkan bahwa kesempatan masuk ke dunia kerja masih terbuka lebar meskipun dengan tingkat pendidikan yang relatif terbatas. Sehingga memunculkan anggapan di masyarakat bahwa pendidikan tinggi belumlah menjadi jaminan kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan. Rendahnya kesempatan kerja di kab bandung tidak saja dirasakan oleh mereka yang berpendidikan rendah, namun juga bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Pada akhirnya orangtua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya guna membantu usaha orang tua atau meringankan beban ekonomi keluarga ketimbang menyekolahkannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Dokumen terkait