• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pemanfaatan Nitrogen Bioflok oleh Udang Vaname, Ikan Nila, dan Kerang Hijau

Nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh bioflok berasal dari isotop 15 N

2.3 Analisis Data

3.1.4 Tingkat Pemanfaatan Nitrogen Bioflok oleh Udang Vaname, Ikan Nila, dan Kerang Hijau

Nitrogen bioflok dari semua ukuran flok dapat dimanfaatkan oleh udang vaname, ikan nila, dan kerang hijau. Gambar 7 menunjukkan bahwa udang vaname, ikan nila, dan kerang hijau dapat memanfaatkan dengan baik nitrogen dari bioflok terutama pada ukuran flok >100 µm.

6 .5 6 2 .1 9 8 .5 7 3 .1 2 0 .1 8 0 .4 4 0 .6 0 0 .3 1 0 .4 0 0 .4 8 0 .5 0 0 .4 6 0 .6 2 0 .3 2 0 .3 8 0 .3 4 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tanpa Penyaringan > 100 μm 100 -48 μm < 48μm ato m % ¹ ΁ N excess Ukuran Flok Bioflok Udang Vaname Ikan Nila Kerang Hijau 1 0 .4 9 4 .2 7 1 1 .5 7 3 .7 5 0 2 4 6 8 10 12 14 Tanpa Penyaringan > 100 μm 100 -48 μm < 48μm g N k g ˉ¹ B io flo k Ukuran Flok

12 Gambar 7. Tingkat pemanfaatan N bioflok dengan ukuran yang berbeda oleh

udang vaname, ikan nila, dan kerang hijau 3.2 Pembahasan

Jumlah isotop yang bermassa lebih berat pada sampel dinyatakan dalam persen atom kelimpahan alami (excess of natural abundance) (IAEA, 1990). Jumlah atom % 15N diperoleh dari hasil pengurangan dari total atom % 15N pada biota dan kelimpahan alami dari atom % 15N di alam (0,366 atom % 15N) (IAEA, 1990). Jumlah atom % 15N pada bioflok dengan ukuran flok tanpa penyaringan, >100 µm, 48-100 µm, dan <48 µm (Gambar 5) lebih rendah dari jumlah atom

excess 15N (15(NH4)2SO4 a.e 20 % 15N). Berdasarkan hasil tersebut, diduga mikroba flok lebih menyukai memanfaatkan 14N yang bermassa lebih rendah daripada 15N. Sedangkan pada bioflok ukuran 48-100 µm jumlah atom % 15N lebih tinggi dari ukuran flok lainnya yaitu sebesar 8,75 atom % 15N (Gambar 5). Hasil tersebut berbanding lurus dengan jumlah nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh bioflok dari isotop 15N yaitu sebesar 11,57 g N/Kg bioflok (Gambar 6). Menurut Hoch et al (1992), nitrogen yang berasal dari isotop 15N dapat dimanfaatkan oleh bakteri atau fitoplankton menjadi suatu biomassa bakteri dan bakteri heterotrof memanfaatkan nitrogen dari isotop bersamaan dengan NH4+.

Bioflok yang dapat diambil oleh biota dapat diketahui melalui akumulasi 15

N pada biota tersebut (Avnimelech, 2007). Pada udang vaname dan ikan nila jumlah atom % 15N pada ukuran flok 48-100 µm lebih tinggi daripada ukuran flok lainnya yaitu sebesar 0,60 dan 0,50 atom % 15N. Sedangkan pada kerang hijau jumlah atom % 15N pada ukuran flok tanpa penyaringan lebih tinggi daripada ukuran flok lainnya yaitu 0,62 atom % 15N. Hal ini dimungkinkan karena bioflok

3 .0 5 5.9 9 9 .5 2 2 1 .0 8 1 9 .7 4 2 0 .3 9 7 .8 8 7 .5 7 4 .0 3 1 0 .7 2 14 .0 9 1 0 .6 8 0 5 10 15 20 25

Udang Vaname Ikan Nila Kerang Hijau

N (g N k g ˉ¹) Hewan Uji Tanpa Penyaringan > 100 μm 100 -48 μm < 48μm

13 pada ukuran tersebut memang mengandung atom 15N lebih tinggi daripada ukuran lain, sehingga walaupun jumlah flok yang dimakan sedikit namun jumlah atom 15

N bisa lebih tinggi dari perlakuan lain.

Jumlah N bioflok yang dimanfaatkan oleh udang vaname, ikan nila, dan kerang hijau diperoleh dengan mengalikan proporsi atom 15N dalam biota dari atom 15N dalam bioflok dikalikan dengan total N dalam biota. Dari hasil perhitungan tersebut didapatkan bahwa nitrogen bioflok yang paling dapat dimanfaatkan oleh udang vaname, ikan nila, dan kerang hijau (Gambar 7) adalah bioflok dengan ukuran >100 µm. Berdasarkan Gambar 7, dapat dilihat bahwa udang vaname dapat memanfaatkan N bioflok sebesar 21,08 g N/Kg berat kering udang atau 20,04 % dari total N tubuh udang. Menurut Burford (2003) dan (2004), udang vaname mampu mengasimilasi protein dari bioflok sebesar 20-30 % atau 3,2-4,8 % N. Sedangkan pada ikan nila, jumlah nitrogen yang dapat dimanfaatkan dari bioflok sebesar 19,74 g N/Kg berat kering ikan nila atau 21,68 % dari total N tubuh ikan nila (Gambar 7). Pada kerang hijau, saat ini teknologi bioflok belum diaplikasikan. Namun organisme akuatik seperti moluska juga dapat mengasimilasi nitrogen sebesar 33% N dari limbah nitrogen yang terkandung dalam pakan (Crab et al, 2007; Kautsky, 2004). Sehingga, diduga kerang hijau dapat memanfaatkan nitrogen yang berasal dari bioflok. Berdasarkan hasil pada Gambar 7, kerang hijau mampu memanfaatkan nitrogen dari bioflok sebesar 20,39 g N/Kg berat kering kerang (tanpa cangkang) atau 14,54 % N dari tubuh kerang.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil dari jumlah atom % 15N dan pemanfaatan N bioflok oleh ketiga biota tersebut pada masing- masing ukuran flok yang diuji. Perbedaan tingkat pemanfaatan bioflok dengan ukuran berbeda pada ketiga biota uji diduga karena ukuran flok yang berbeda memiliki komposisi mikrobiota pembentuk bioflok berbeda sehingga mempengaruhi kandungan nutrisi bioflok tersebut. Adapun komponen bakteri penyusun flok terdiri dari berbagai jenis mikroorganisme (bakteri pembentuk flok, bakteri filamen, fungi), partikel-partikel tersuspensi, berbagai koloid dan polimer organik, berbagai kation dan sel-sel mati (Jorand et al, 1995; de Schryver et al, 2008). Selain itu ditemukan juga protozoa, rotifer, dan oligochaeta (Azim et al,

14 2007; Ekasari, 2008). Menurut Ju et al (2008), komposisi organisme pembentuk bioflok mempengaruhi struktur bioflok dan kandungan nutrisi bioflok. Bioflok yang didominasi oleh bakteri (38%) dan mikroalga hijau (42%) mengandung protein yang lebih tinggi daripada bioflok yang didominasi oleh diatom (26%). Selain itu, menurut Avnimelech (1999) pemanfaatan bioflok sangat tergantung pada kemampuan organisme dalam memanen flok bakteri dan kemampuan untuk mencerna.

15 IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Bioflok tanpa penyaringan, ukuran >100 µm, 48-100 µm, dan <48 µm dapat dimanfaatkan oleh udang vaname, ikan nila, dan kerang hijau. Bioflok ukuran >100 µm adalah ukuran dapat dimanfaatkan dengan baik oleh udang vaname, ikan nila, dan kerang hijau.

4.2 Saran

Disarankan menggunakan bioflok berukuran >100 µm. Cara memperoleh ukuran flok yang besar yaitu dengan menambahkan bahan flokulan seperti silikat (Na2SiO3), kalsium klorida (CaCl2), dan kaolin (Al2Si2O5(OH)4).

16 DAFTAR PUSTAKA

APHA (American Public Health Association). 1989. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater, 14thed. APHA. Washington DC: APHA. AWWA (American Water Works Association), and WPCF (Water Pollution Control Federation).

Arapov J, Balic DE, Peharda M, Gladan ZN. 20101. Bivalve feeding-how and what they eat. Ribarstvo 68, 105-116.

Avnimelech Y. 1999. Carbon/nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems. Aquaculture 176, 227-235.

Avnimelech Y. 2007. Feeding with microbial flocs by tilapia in minimal discharge bioflocs technology ponds. Aquaculture 264, 140-147.

Avnimelech Y dan Kochba M. 2009. Evaluation of nitrogen uptake and excretion by tilapia in bio floc tanks, using 15N tracing. Aquaculture 287, 163-168. Azim ME, Little DC, Bron IE. 2007. Microbial protein production in activated

suspension tanks manipulating C/N ratio in feed and implications for fish culture. Bioresource Technology 99, 3590-3599.

Azim ME, Little DC. 2008. The biofloc technology (BFT) in indoor tanks: water quality, biofloc composition, and growth and welfare of nile tilapia

(Oreochromis niloticus). Aquaculture 283, 29-35.

Bayne BL. 1998. The physiology of suspension feeding by bivalve moluscs: an introduction to the Plymouth “TROPHEE” workshop. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 219, 1-19.

Browdy CL, Bratford D, Stokes AD, McIntoch RP. 2001. Perspective on the application of closed shrimp culture systems. In: Browdy CL, Jory DE (Eds). The New Wave, Proceedings of the special session on sustainable shrimp farming. World aqua. Soc. Baton Rough. LA. Pp. 20-34.

Brune DE, Schwartz G, Eversole AG, Collier JA, Schwedler TE. 2003. Intensification of pond aquaculture and high rate photosyntetic systems. Aquaculture Engineering 28, 65-86.

Burford MA, Thompson PJ, Mclntosh RP, Bauman RH, Pearson DC. 2003. nutrient and microbial dynamics in high-intensity, zero-exchange shrimp ponds in Belize. Aquaculture 219, 393-411.

Burford MA, Thompson PJ, Mclntosh RP, Bauman RH, Pearson DC. 2004. The contribution of flocculated material to shrimp (Litopenaeus vannamei) nutrition in high-intensity, zero-water exchange system. Aquaculture 232, 525-537.

17 Crab R, Avnimelech Y, Defoirdt T, Bossier P, Verstraete W. 2007. Nitrogen removal techniques in aquaculture for a sustainable production. Aquaculture 270, 1-14.

Craig S, Helfrich LA. 2002. Understanding fish nutrition, feed, and feeding. Virginia Cooperative Extension, Virginia Polytechnic Institute and State University, Publication. 420-256.

De Schryver P, Crab R, Defoirdt T, Boon N, Verstraete W. 2008. The basic of bio-floc technology: the added value for aquaculture. Aquaculture 277, 125- 137.

De Schryver P, Verstraete W. 2009. Nitrogen removal from aquaculture pond water by heterotrophic nitrogen assimilation in lab-scale sequencing batch reaktors. Bioresource Technology 100, 1162-1167.

Ekasari J. 2008. Bioflocs technology: the effect of different carbon source, salinity and the addition of probiotics on the primary nutritional value of the bioflocs. Thesis. Faculty of Bioscience Engineering. Ghent University. Belgium.

Epp MA, Ziemann DA, Schell DM. 2002. Carbon and nitrogen dynamics in zero- water exchange shrimp culture as indicated by stable isotope tracers. Aquac. Res. 33, 839-846.

Eviati dan Sulaeman. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor: Balai Penelitian Tanah.

Hoch MP, Fogel ML, Kirchman DL. 1992. Isotop fractionation associated with ammonium uptake by a marine bacterium. Limnol. Oceanogr 37, 1447- 1459.

IAEA (International Atomin Energy Agency). 1990. Use of Nuclear Technique in Studies of Soil-Plant Relationships. Training Course Series No 2. Austria: IAEA.

Jorand F, Zartaria F, Thomas F, Block JC, Bottero JY, Villemin G, Urbain V, Manem J. 1995. Chemical and structural (2d) linkage between bacteria within activated-sludge floc. Water Res 29, 1639-1647.

Jorgensen CB. 1996. Bivalve filter feeding revisited. Marine Ecology Progress Series 142, 287-302.

Ju ZY, Forster I, Conquest L, Dominy W, Kuo WC, Horgen FD. 2008. Determination of microbial community structures of shrimp floc cultures by biomarkers and analysis of floc amino acid profiles. Aquaculture Research 39, 118-133.

18 Kautsky N. 2004. Aquaculture and environment integrated aquaculture. Course.

University Ghet. Belgium.

Kreeger DA, Newell RIE. 1990. Utilization of detritus and bacteria as food source by 2 bivalve suspension-feeders the oyster Crassostrea virginica and the mussel Geukensiademissa. Mar Ecol Prog Ser 58: 299-310.

Kuhn DD, Boardman GD, Craig SR, Flick Jr GJ, McLean E. 2008. Use of microbial flocs generated from tilapia effluent as a nutritional supplement for shrimp, Litopenaeus vannamei, in recirculating aquaculture systems- Journal of the World Aquaculture Society 39, 72-82.

Kuhn D , Boardman GD, Lawrence AL, Marsh L, Flick Jr GJ. 2009. Microbial floc meal as a replacement ingredient for fish meal and soybean protein in shrimp feed. Aquaculture 296, 51-57.

Murdjani. 2007. Penerapan best management practice (BMP) pada budidaya udang windu (Penaeus monodon Fabrivius) intensif. Departemen Kelautan Perikanan. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara.

Prato E, Danieli A, Maffi M, Biandolino F. 2010. Lipid and fatty acid compositions of Mytilus galloprovincialis cultured in the Mar Grande of Taranto (Southern Italy): feeding strategies and trophic relationships. Zoological Studies 49, 211-219.

Preston NP, Smith DM, Kellaway DM, Bunn SE. 1996. The use of enriched 15N as an indicator of the assimilation of individual protein sources from compound diets for juvenile Penaeus monodon. Aquaculture 147, 249-259. Setyobudiandi I. 2004. Beberapa aspek biologi reproduksi kerang hijau perna

viridis Linnaeus 1785 pada kondisi perairan berbeda. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

19

20 Lampiran 1. Total Amonia Nitrogen (TAN)

Total amonia nitrogen (TAN) dianalisa dengan metode phenate (APHA, 1989). Sebelum pengukuran TAN, terlebih dahulu larutan phenat dan chlorox dibuat. Larutan phenat dibuat dari fenol sebanyak 2 g dan NaOH sebanyak 0,5 g yang dilarutkan ke dalam akuades sebanyak 16 ml. Sedangkan chlorox dibuat dari chlorin sebanyak 4 ml yang dilarutkan ke dalam skuades sebanyak 16 ml, kemudian pHnya disesuaikan hingga kisaran 6,5-7 dengan cara HCl 1 N diteteskan ke dalam chlorin sedikit demi sedikit.

Setelah itu, pengukuran TAN pada sampel dilakukan dengan cara sampel sebanyak 10 ml di masukkan ke dalam gelas piala dan ditambahkan reagen MnSO4 sebanyak 1 tetes, chlorox sebanyak 0,5 ml, dan phenat 0,6 ml dan diamkan selama 15 menit. Selain sampel, larutan standar amoniak perlu dibuat. Larutan amoniak dibuat dengan cara NH4Cl ditimbang sebanyak 381,9 mg dan di oven selama 2 jam pada suhu 100˚C. Setelah itu NH4Cl tersebut di larutkan ke dalam akuades sebanyak 1000 ml. Selanjutnya dari larutan tersebut dibuat larutan standar dengan konsentrasi 0, 1, 2, 5, 10, dan 25 ppm. Masing-masing larutan pada konsentrasi tersebut diberi reagen MnSO4 sebanyak 1 tetes, chlorox sebanyak 0,5 ml, dan phenat 0,6 ml dan diamkan selama 15 menit. Setelah 15 menit sampel dan larutan standar diukur menggunakan spektofotometer dengan panjang gelombang 630 nm. Hasil pengukuran spektofotometer tersebut kemudian dihitung berdasarkan rumus di bawah ini:

Keterangan: Abs : nilai absorban

Dokumen terkait