• Tidak ada hasil yang ditemukan

323 Ha (BPS 2013). Sebagian besar kondisi lahan pertanian di Kelurahan Simpang berupa lahan pasang surut dengan tipe luapan air C yaitu merupakan lahan yang tidak terluapi air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil tetapi kedalaman air tanah kurang dari 50 cm dari permukaan tanah (Widjaya Adhi et al. 1992).

Populasi tenak sapi di Kelurahan Simpang sebanyak 330 ekor, terdiri dari 230 ekor betina dan 100 ekor jantan (Dinas Peterakan Kabupaten Tanjung Jabung Timur 2013). Sebagian besar sapi yang dipelihara oleh masyarakat di lokasi ini adalah berjenis sapi bali dengan cara pemeliharaannya yaitu dengan cara di peron (menggemukan sapi pedet jantan) yang dilakukan secara semi intensif, yaitu ternak dikandangkan dan sesekali dilepas di lahan yang banyak terdapat hijauan. Saat dikandangkan ternak sapi yang dipelihara diberi pakan berbagai jenis rumput yang tumbuh disekitar parit. Limbah ternak berupa feces masih mencemari lingkungan karena sebagian besar tidak dikelola dengan baik.

Karakteristik Petani-Peternak Responden

Secara umum petani peternak di Kelurahan Simpang tidak jauh berbeda dengan petani peternak lain di daerah lain di Indonesia dalam hal umur, tingkat pendidikan dan kemauan mengolah limbah dari usaha peternakannya. Karakteristik petani peternak responden disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Karakteristik responden petani-ternak di Desa Simpang

No Karakteristik Jumlah Persentase

1 Umur (tahun)

23-33 9 18%

34-44 17 34%

45-55 20 40%

56-66 4 8%

2 Tingkat pendidikan formal

SD 29 58%

SMP 9 18%

SMA 11 22%

Perguruan Tinggi 1 2%

3 Pengolahan limbah peternakan

Tidak diolah 45 90%

Kompos 4 8%

Biogas 1 2%

Berdasarkan Tabel 4, umur petani peternak responden terbanyak berumur 45-55 tahun dengan persentase 40% kemudian 34-44 tahun yaitu sebesar 34%. (Mappa dan Basleman 2011), membagi tahapan perkembangan manusia menjadi

21 enam kategori, yaitu umur pra awal dewasa (11-16 tahun), umur remaja (16-20 tahun), umur awal dewasa 20-25 tahun, umur dewasa 35-60 tahun dan umur pra pensiun yaitu 60-65 tahun keatas. Kondisi ini menunjukan bahwa peternak di Kelurahan Simpang sebagian besar berusia dewasa, menurut badan pusat statistik (2014) kisaran umur tersebut merupakan usia produktif. Golongan usia tersebut diharapkan mampu menerapkan pola biosistem peternakan sapi potong, biogas dan tanaman sayur.

Selanjutnya persentase tingkat pendidikan petani-ternak adalah pendidikan SD 58% (Table 4). Rendahnya tingkat pendidikan petani di lokasi penelitian menjadi salah satu kendala dalam penerapan biosistem peternakan sapi potong dengan pertanian. Menurut Abdullah (2008), salah satu faktor sulitnya mengadopsi teknologi oleh petani-peternak adalah rendahnya tingkat pendidikan petani.

Hasil pengamatan (Tabel 4), limbah peternakan di lokasi penelitian sebanyak 90% tidak diolah, hanya sekitar 8% yang dioalah menjadi pupuk kompos dan 2% diolah menjadi biogas. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan petani-ternak tentang manfaat yang diperoleh dari mengolah limbah pepetani-ternakan serta cara pengolahannya, disamping itu mengolah limbah peternakan menjadi biogas juga membutuhkan biaya investasi yang cukup banyak.

Pemanfaatan Limbah Peternakan Menjadi Biogas dan Pupuk Organik (Sludge)

Biogas

Limbah peternakan sapi potong diolah menjadi biogas dengan menggunakan digester milik seorang petani peternak yang dibeli dari salah satu produsen alat-alat pembuatan biogas di Jakarta sejak tahun 2012. Sejak awal pemasangan hingga pengamatan berlangsung masih berfungsi dengan baik dengan ditandai masih menghasilkan biogas. Digester yang digunakan adalah digester berbahan dasar fiber glass. Digester yang digunakan berbentuk gabungan tabung silinder pada bagian bawah dan berbentuk setengan bola pada bagian atas dengan diameter tabung 1.5 m dan tinggi 2.49 m. Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus volume tabung diperoleh volume tabung digester 4 m3 (Lampiran 1). Perbandingan feces dan air 1:1.5 diperoleh jumlah feces dan air perhari yang di butuhkan untuk mengisi tabung digester adalah 24 kg kotoran sapi segar dan 36 liter air (lampiran 2).

Suhu dan pH campuran feces dan air di dalam digester diukur setiap hari yaitu pada sore hari selama 40 hari melalui lubang outlet. Suhu dan pH rata-rata 30.13oC dan pH 6.9. Suhu dan pH seperti ini baik untuk aktivitas mikroorganisme penghasil biogas, sejalan dengan penelitian terdahulu Nagamani (2006) menjelaskan bahwa suhu optimum produksi biogas berada pada 30-35oC dengan pH berkisar 6-7.

Besarnya nilai volume dan tekanan biogas diukur berdasarkan perbedaan tinggi manometer air yang digunakan. Hasil pengukuran menunjukan rata-rata volume dan tekanan produksi harian biogas 0.94 m3 dan 1.04 atm.

Pengujian kualitas biogas dilakukan dengan cara merebus air hingga mendidih dengan menggunakan biogas sebagai bahan bakar. Api dari pembakaran biogas berwarna biru, volume biogas 0.94 m3 bisa mendidihkan 25 liter air dalam

22

waktu 172 menit atau 2.87 jam. Sejalan dengan penelitian Mayasari et al. (2010) menjelaskan seekor sapi mampu menghasilkan 20 kg feces setiap hari dan dapat menghasilkan 1-1.2 m3 biogas dengan lama waktu pembakaran 2.32 – 2.78 jam.

Harga biogas yang dihasilkan diperoleh dengan cara mengkonfersi biogas terhadap gas LPG yang biasa digunakan petani di lokasi penelitian, data hasil wawancara mendalam dengan petani-peternak dilokasi penelitian disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Data penggunaan LPG pada petani

No. Penggunaan LPG pada petani Nilai

1. Volume LPG 3 kg (kg) 3

2. Harga LPG 3 kg (Rp/tabung) 20,000

3. Harga per kilogram (Rp/kg) 6,700

4. Lama waktu rata-rata penggunaan LPG 3kg (minggu) 1 5. Volume penggunaan gas LPG petani perhari (kg/hari) 0.43

6 Nilai harga kesetaraan biogas (Rp) 3,000

Berdasarkan Tabel 5, menunjukan bahwa petani-peternak di lokasi penelitian menggunakan gas LPG volume 3 kilogram untuk memasak, dengan asusmi harga di pasaran yaitu Rp.20,000 diperoleh harga perkilogram Gas LPG sebesar Rp. 6,700 dengan lama penggunaan rata-rata 1 minggu. Ini berarti setiap harinya petani menghabiskan gas LPG sebesar 0.43 Kg untuk memasak. Jika 1 m3

biogas setera dengan 0.46 Kg LPG, maka diperoleh harga untuk 1 m3 biogas adalah 0.46 Kg Gas LPG dikalikan Rp. 6,700 diperoleh nilai harga kesetaraan biogas sebesar Rp. 3,000.

Biogas hasil pengolahan limbah ternak sapi merupakan energi alternatif yang bersifat ramah lingkungan dan mengurangi efek rumah kaca. Biogas bisa dimanfaatkan untuk memasak makanan sehari-hari dapat menghemat penggunaan LPG yang digunakan oleh petani-ternak selama ini.

Pupuk Organik (Sludge)

Limbah dari hasil pembuatan biogas berupa lumpur (Sludge) dapat langsung dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Sludge dapat memberikan keuntungan yang sama dengan penggunaan pupuk kompos bagi tanaman (Simamora et al., 2006).

Sludge di dalam digester selama ± 45 hari telah mengalami proses dekomposisi oleh bakteri metanogenesis yang menjadikan unsur nitrogen (N), phospor (P) dan kalium (K) pada sludge mengalami peningkatan. Persentase kandungan N, P dan K kotoran sapi segar, sludge dan SNI pupuk organik disajikan pada Tabel 6.

Berdasarkan Tabel 6 menunjukan bahwa kandungan unsur hara makro N, P dan K pada sludge sudah cukup baik karena telah sesuai dengan kriteria SNI:19-7030-2004 tentang pupuk organik. Kadar kandungan N pada sludge

mencapai 12.30% (Tabel 6) termasuk tinggi, seharusnya kandungan N pada sludge

tidak jauh berbeda dengan kandungan N pada feces segar sapi, hal ini terjadi mungkin disebabkan dalam mencampur feces dan air menggunakan air parit telah terkontaminasi dengan pupuk Urea.

23 Tabel 6 Perbandingan unsur hara makro N, P dan K pada feces, sludge, dan Phonska Unsur hara makro Phonska (%) Kotoran segar* (%) Sludge (%) SNI** (%) N 15 0.40 12.30 ≥ 0.40 P 15 0.20 1.89 ≥ 0.10 K 15 0.10 3.93 ≥ 0.20

Keterangan : * Lingga (1992) ** SNI:19-7030-2004

Pengaplikasian pupuk organik (sludge) dan pupuk anorganik (Phonska) terhadap pertumbuhan tanaman kangkung darat yang ditanam di lahan pasang surut tipologi lahan luapan C pirit dalam < 50 cm mempunyai pengaruh nyata (P<0.05) terhadap tinggi batang dan jumlah daun (Tabel 7). Tinggi batang dan jumlah daun kangkung darat yang diberi perlakuan pupuk organik (sludge) lebih tinggi dari perlakuan pupuk anorganik (Phonska) dan kontrol (tanpa pupuk). Selain perbedaan panjang batang dan jumlah daun tanaman kangkung, berat hasil pemanen per bedengan pun berbeda dari masing-masing perlakuan dimana perlakuan dengan menggunakan pupuk organik lebih berat (9.91 kg) dibandingkan anorganik (8.72 kg) dan tanpa pupuk (8.39 kg).

Tabel 7 Pengaruh penggunaan pupuk terhadap pertumbuhan kangkung darat

Peubah Perlakuan

Kontrol Sludge Poskha

Tinggi batang (cm) 28,96±1,38c 31,18±1,68a 30,20±1,67b Jumlah daun (helai) 19,38±1,67c 21,74±1,47a 20,380±1,29b Total rataan berat segar

(kg/bedengan 4 m2)

8,39 9,91 8,72

Keterangan : Nilai pada baris yang sama diikuti superscripe yang berbeda menunjukan perbedaan yang nyata (p<0.05) dengan uji Duncan.

Perlakuan penambahan pupuk organik (sludge) ternyata memberi hasil yang lebih baik dari kedua perlakuan (Phonska dan tanpa pupuk), walaupun hasil analalisis laboratorium (Tabel 6) menunjukan persentase kandungan N, P dan K pupuk anorganik (Phonska) lebih tinggi dari pupuk organik (sludge). Hal ini terjadi karena pupuk organik (sludge) memberikan unsur hara yang cukup untuk tanaman kangkung darat terutama unsur N. Nitrogen (N) dan unsur hara lain yang dikandung pupuk organik dilepaskan secara perlahan-lahan, memperbaiki sifat-sifat fisika tanah, tekstur, daya mengikat air, sedangkan pupuk anorganik (Phonska) dapat menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman kangkung darat tetapi pupuk anorganik mudah larut dalam air dan dapat dengan mudah hanyut terbawa air saat hujan sehingga pemanfaatan unsur hara tersebut tidak maksimal (Susanto 2002).

Hasil peneitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hayati M

24

memberikan hasil yang lebih baik dari penggunaan pupuk anorganik. Dengan menggunakan pupuk organik secara berkesinambungan akan banyak membantu dalam membangun kesuburan tanah, terutama apabila dilaksanakan dalam waktu yang panjang.

Efisiensi Ekonomi Biosistem

Dalam melakukan usaha pertanian maupun peternakan tentu saja membutuhkan modal investasi. Modal investasi dengan menerapkan pola pertanian biosistem tentu berbeda dengan tanpa menerapkan biosistem. Dengan menerapkan biosistem membutuhkan modal yang lebih besar dibandingkan tanpa menerapkannya, akan tetapi diharapkan memperoleh keuntungan yang lebih banyak pula.

Penerapan biosistem peternakan sapi potong, biogas dan sayur membutuhkan modal investasi untuk membeli sapi bakalan yang akan di gemukkan, pembuatan kandang, peralatan kandang, instalasi biogas (digester, pipa-pipa gas, kompor serta alat-alat pendukung lainnnya) dan pengadaan bibit sayur kangkung darat. Sedangkan tanpa penerapan biosistem tentu saja tidak membutuhkan biaya tambahan untuk mengolah limbah peternakan menjadi biogas yang dapat digunakan untuk memasak kebutuhan sehari-hari dan pupuk organik (Sludge) akan tetapi petani akan menambah pengeluaran lebih banyak misalnya untuk pembelian gas LPG untuk memasak dan pupuk anorganik untuk pertanian. Sebagian besar masyarakat petani-ternak dilokasi penelitian menggunakan modal investasi yang berasal dari pinjaman di Bank atau lembaga keuangan lain dengan bunga yang cukup besar dengan rata-rata bunga mencapai 20%.

Berdasarkan uraian di atas, maka dipandang perlu untuk melakukan studi kelayakan ekonomi (efisiensi ekonomi biosistem) yang tepat dalam memulai sebuah usaha yang membutuhkan modal investasi yang cukup besar untuk mengetahui usaha tersebut layak dilakukan ataupun tidak. Subagyo (2007) menjelaskan studi kelayakan bisnis adalah penelitian yang mendalam terhadap suatu ide bisnis tentang layak atau tidaknya ide tersebut untuk dilaksanakan. Hasil pengamatan dan perhitungan analisis kelayakan ekonomi dapat dilihat pada Tabel 8.

Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian (Tabel 8) menunjukan perbedaan biaya investasi, pendapatan dan keuntungan dari penerapan biosistem peternakan sapi potong, biogas dan kangkung. Dalam menerapkan biosistem, biaya investasi yang butuhkan lebih banyak, yaitu Rp. 39,860,000 dengan keuntungan bersih setiap tahunnya Rp. 18,796,880 atau Rp 1,566,400 untuk setiap bulannya, sedangkan tanpa penerapan biosistem modal investasi hanya Rp 26,060,000 dengan keuntungan bersih Rp. 13,024,560 atau Rp 1,085,380 untuk setiap bulannya. Dalam penelitian ini, biaya tenaga kerja dan pakan untuk ternak sapi potong yang dipelihara tidak di hitung karena usaha tersebut secara keseluruhan dikerjakan oleh petani-ternak itu sendiri dan pakan ternak banyak tersedia di lingkungan sekitar usaha peternakan.

25 Tabel 8 Parameter dan hasil analisis kelayakan ekonomi dari penerapan biosistem

dan tanpa penerapan biosistem

No Uraian

Biaya

Penerapan biosistem Tanpa penerapan biosistem 1 Parameter :

- Biaya investasi (Rp/tahun)

Sapi bakalan 20,800,000 20,800,000 Kandang sapi 3,000,000 3,000,000 Instalasi biogas 12,000,000 0 Bibit kangkung 60,000 60,000 Pupuk anorganik (Phonska) 0 150,000 - Pendapatan (Rp/tahun) Sapi potong Biogas 34,000,000 1,015,200 34,000,000 0 Pupuk organik (Sludge) 5,400,000 0 Kangkung 475,680 475,680 - Keuntungan (Rp/tahum) 18,796,880 13,024,560

- Umur ekonomi digester (tahun)

15 0

- Umur ekonomi kandang sapi

15 15

- Suku bunga (%/tahun) 20 20

- Tenaga kerja 0 0

- Pakan ternak 0 0

2 Hasil analisis kelayakan ekonomi :

- NPV (Rp) 48,078,111 34,842,843

- B/C ratio 2.21 2.34

- Payback period 1.12 2.00

Perbedaan modal investasi dari penerapan biosistem dan tanpa penerapan biosistem terletak pada pemanfaatan limbah kotoran ternak sapi potong menjadi biogas dan pemanfaatan sludge menjadi pupuk organik pada kangkung darat dimana dibutuhkan modal yang cukup banyak untuk membangun instalasi penghasil biogas berupa digester dan peralatan pendukung lainnya.

Dengan mengolah limbah ternak sapi potong menjadi biogas akan memperoleh keuntungan lebih besar, yakni menghasilkan biogas yang dapat digunakan untuk mengurangi pemakaian gas LPG untuk memasak yang secara langsung dapat menghemat anggaran rumah tangga petani-peternak selanjutnya

sludge yang merupakan hasil ikutan dari produksi biogas dapat digunakan sebagai pupuk organik bagi tanaman kangkung darat, sedangkan tanpa biosistem, petani harus membeli gas LPG untuk memasak kebutuhan sehari-hari dan pupuk anorganik (Phonska) untuk menambah kesuburan tanaman kangkung darat tersebut.

26

Analisa kriteria kelayakan ekonomi digunakan untuk menilai kelayakan proyek. Dalam penelitian ini digunakan beberapa kreteria kelayakan usaha yaitu

NPV, B/C ratio dan Payback period. Analisis kelayakan ini dilakukan dengan menggunakan tingkat suku bunga 20%. Kriteria ini dilakukan untuk melihat sejauh mana kelayakan proyek tersebut jika peternak menggunakan modal dari Bank.

Hasil analisis kelayakan ekonomi (Tabel 8) menunjukan terdapat perbedaan nilai NPV, B/C ratio dan Payback period. Walaupun terdapat perbedaan nilai analisis kelayakan ekonomi, usaha pertanian dengan menerapkan biosistem maupun tanpa penerapan biosistem masih layak untuk dilakukan jika petani-peternak menggunakan modal usaha yang berasal dari Bank karena semua bernilai positif.

Nilai NPV dan B/C dari penerapan biosistem adalah sebesar Rp 48,078,111 dan 2.21 sedangkan tanpa penerapan biosistem adalah Rp 34,842,843 dan 2.34, artinya bahwa nilai sekarang (present value) dari pendapatan yang diterima bernilai positif selama 15 tahun pada tingkat suku bunga 20%. Selanjutnya nilai pengembalian modal investasi (Payback period) petani-ternak yang menerapkan biosistem sudah dapat dilunasi pada tahun kedua di bulan pertama, sedangkan petani-ternak yang tidak menerapkan biosistem waktu pengembalian modal lebih cepat yaitu pada tahun kedua.

Dengan menerapkan biosistem terbukti meningkatkan penghasilan petani peternak yang melakukannya jika dibandingkan dengan hanya melakukan pertanian peternakan secara sub-sektoral, akan tetapi modal investasi untuk menerapkan pola biosistem ini cukup tinggi menjadi salah satu kendala dalam penerapan pola biosistem di lokasi penelitian, hanya sebagian kecil yang mampu menerapkannya.

Respon Masyarakat Terhadap Intergasi Biosistem

Berdasarkan hasil wawancara mendalam terhadap masyarakat petani peternak di lokasi penelitian secara keseluruhan masyarakat mau menerapkan pola biosistem dalam usaha pertanian dan peternakan. Menerapkan pola biosistem pertanian seperti pada penelitian ini bukan merupakan hal yang baru, akan tetapi dalam penerapannya masih belum bisa diterapkan oleh petani-peternak, hal ini di disebabkan karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk investasi. Ananto

et al., (2000) menjelaskan pada umumnya pendapatan masyarakat petani peternak di lahan pasang surut di Sumatra berasal dari usahatani dengan volume usaha yang relatif kecil.

Di lokasi penelitian terdapat 22 kelompok tani yang tergabung dalam gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang bernama Gapoktan Berbak Jaya, hal ini menunjukan bahwa masyarakat dilokasi penelitian aktif dalam berorganisasi. Salah satu tujuan terbentuknya Gapoktan Berbak Jaya adalah untuk meningkatkan skala usaha pertanian-peternakan kearah komersial, dengan terbentuknya kelembagaan ini maka para kelompok petani-peternak akan lebih mudah mendapatkan bantuan baik dari pemerintah maupun swasta yang salah satunya adalah bantuan modal usaha. Masyarakat petani peternak yang tergabung dalam kelompok tani dapat memanfaatkan Gapoktan tersebut untuk mengajukan permohonan bantuan untuk pengadaan sapi potong, kandang dan instalasi pembuatan biogas yang di harapkan bisa dipergunakan secara bersama-sama.

27 Hasil pengamatan dan wawancara mendalam di lokasi penelitian menunjukan bahwa masyarakat petani peternak tidak bisa melaksanakan kegiatan tersebut secara bersama-sama hal ini disebabkan banyak terdapat perselisihan, misalnya dalam pembagian tugas untuk merawat sapi, sebagai contoh peternak yang mendapatkan tugas mengambil pakan ternak sapi di sekitar lokasi penelitian sering tidak sesuai dengan kebutuhan ternak sapi tersebut, hal ini yang menyebabkan ternak tidak berkembang dengan maksimal dan beberapa masyakat yang bertugas saat itu lebih mengutamakan sapi miliknya sendiri daripada sapi milik masyarakat lain. Oleh karena itulah maka sebagian besar petani enggan menerapkan biosistem secara berkelompok. Hal ini menunjukkan bahwa sosial budaya masyarakat di lokasi penelitian tidak suka berkelompok dalam melakukan usaha pertanian-peternakan.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait