• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

D. Tingkat Pendidikan Orang Tua

Pada hakikatnya pendidikan itu merupakan usaha yang dilakukan secara sadar untuk mengembangkan suatu keterampilan yang dimiliki, melalui usaha belajar dan ditanamkan juga nilai-nilai moral serta pandangan hidup yang nantinya akan membentuk kepribadian dan karakter dari seseorang.

Pendidikan merupakan keseluruhan dari proses, teknik, dan metode belajar mengajar dalam rangka mengalihkan suatu pengetahuan dari seseorang kepada orang lain sesuai dengan standar yang ditentukan. Unsur-unsur penting dalam pendidikan adalah proses pengembangan kemampuan, pengetahuan, sikap, tingkah laku, kompetensi sosial, dan pribadi yang optimal.

Menurut Fuad Ihsan (2003 :5), pendidikan dapat diartikan sebagai : a. Suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan; b. Suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam

pertumbuhannya;

c. Suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikehendaki oleh masyarakat;

d. Suatu pembentukan kepribadian dan kemampuan anak dalam menuju kedewasaan.

Menurut Ki Hajar Dewantoro (Suwarno, 1885) pendidikan adalah penentu segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

Menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 14 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab I ketentuan Umum Pasal 1, yang dimaksud pendidikan adalah :

usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara efektif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 2. Tingkat Pendidikan

Menurut Fuad Ihsan (2003) tingkat atau jenjang pendidikan adalah tahap pendidikan yang berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, dan tingkat kerumitan bahan pengajaran. Jenjang pendidikan sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bab VI jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian kedua pasal 17 disebutkan pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bab VI jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian ketiga pasal 18 disebutkan pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar; pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan; pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bab VI jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian keempat pasal 19 disebutkan pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi; pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.

E. Gender

1. Pengertian Gender

Menurut Mansour (2012), untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dan seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan konsep gender, yakni suatu sifat yang

melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.

2. Sejarah Perbedaan Gender

Teori teorikus berspekulasi bahwa beberapa faktor berkontribusi terhadap perbedaan gender. Karakteristik dan kecenderungan yang diturunkan memiliki peran substansial dalam sebagian perbedaan, sedangkan faktor-faktor lingkungan lebih berkontribusi terhadap perbedaan yang lain. Dalam banyak kasus, faktor biologis (yaitu keturunan) dan pengalaman (yaitu lingkungan) berhubungan dan saling melengkapi sehingga memperkuat pengaruh masing-masing (Lippa, 2002, dalam Ormrod, 2009 :182)

Peran identitas jenis kelamin adalah salah satu pemahaman tentang kepribadian manusia yang berdasarkan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) dan mempengaruhi perilaku dan nilai yang dikembangkan oleh individu. Perkembangan peran identitas jenis kelamin pada diri seseorang tidak bisa lepas dari unsur biologis dan psikis. Sarwono (2005) mengatakan bahwa peran gender adalah bagian dari peran sosial, anak harus menyadari perannya masing-masing yaitu peran sebagai anak perempuan atau peran sebagai anak laki-laki sehingga mereka mempelajari perannya masing-masing.

Banyak sifat dan ciri-ciri khas perempuan dan laki-laki yang membedakan kedua jenis ini, yaitu perbedaan dan kekhususan laki-laki dan perempuan sesuai dengan tujuan peranan masing-masing dan yang

memberi makna kehidupan dan kegairahan hidup. Perbedaan khusus tersebut dapat dilihat dari segi psikis dan biologis, yaitu (Gunarsa, 1991) :

a. Segi Psikis

Dari segi psikis dapat disimpulkan dari seluruh tindak tanduk, ucapan dan sikap yang tercangkup dalam istilah kepribadian. Kepribadian seorang perempuan merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi antara aspek-aspek emosional, rasio, dan suasana hati. Biasanya kesatuan dan aspek-aspek tersebut membuat perempuan kuat dan menyebabkan logika berpikirnya dikuasai oleh kesatuan tersebut, (Gunarsa: 1991).

Hal tersebut menunjukkan seolah-olah perempuan berpikir dengan mengikutsertakan perasaan dan suasana hatinya. Apabila kesedihan sedang meliputi dirinya, pikirannya terhambat oleh kegelapan suasana hati dan sulit memperoleh penyelesaian masalah. Pikiran, perasaan, dan kemampuan yang erat hubungan satu sama lain menyebabkan kaum perempuan cepat mengambil tindakan atas dasar emosinya (Gunarsa: 1991).

Sifat perempuan berbeda dengan laki-laki. Kepribadian seorang pria menunjukkan adanya pembagian dan pembatasan yang jelas antara pikiran, rasio, dan emosionalitas. Jalan pikirannya tidak dikuasai oleh emosi, perasaan, ataupun suasana hati. Perhatiannya lebih banyak tertuju pada pekerjaan dengan

kecenderungan mementingkan keseluruhannya dan kurang memperhatikan hal-hal yang kecil (Gunarsa & Gunarsa: 1991).

Pria dalam beraktivitas lebih agresif, lebih aktif, dan tidak sabar karena itu sifat-sifat pria lebih cenderung untuk tidak mau menunggu, kurang tekun dan kurang tabah dalam menghadapi kesulitan hidup dan cepat putus asa. Pria cenderung untuk lebih banyak berinisiatif, keras, dan tegas. Segala hal yang masuk akal jauh lebih dipentingkan daripada yang tidak nyata. (Gunarsa & Gunarsa : 1991). Hal tersebut sesuai dengan karakteristik laki-laki yang maskulin, yaitu cenderung untuk bersifat mandiri, aktif, kompetitif, mudah membuat keputusan, cenderung berperan sebagai pemimpin, tidak mudah menyerah, percaya diri, merasa superior, ambisius dan mampu bertahan dalam kondisi yang memberikan stres. (Spence dan Helmrerch dalam Santrock: 2007). b. Segi Biologis

Tubuh perempuan dan laki-laki memiliki ciri-ciri yang khas yang jelas dibedakan antara keduanya. Sifat masing-masing individu merupakan perpaduan dari sifat yang ditentukan oleh pembawa sifat yakni kromosom dari ayah dan ibunya. Tulang pinggul perempuan lebih kuat dan lebih besar sesuai dengan tugasnya kelak yakni mengandung dan melahirkan, sedangkan laki-laki, dadanya lebih besar dan bidang demi tugasnya sebagai pelindung ( Gunarsa: 1991).

Santrock (2007), pengaruh biologis pada perilaku gender berhubungan dengan perubahan pubertas. Tubuh mereka dipenuhi oleh hormon, sehingga banyak anak perempuan berkeinginan menjadi perempuan sebaik mungkin (feminim) dan banyak anak laki-laki berusaha keras menjadi laki-laki sebaik mungkin (maskulin). Dengan demikian anak perempuan biasanya bertingkah laku penuh kasih sayang, sensitif, menarik dan bisa berbicara secara halus, sedangkan anak laki-laki biasanya bertingkah laku asertif, sombong dan sangat berkuasa karena anak laki-laki beranggapan bahwa dengan tingkah laku seperi ini akan menambah daya tariknya ke pada lawan jenisnya.

Selain itu ada faktor lain yang ikut mempengaruhi munculnya perbedaan gender. Gender berkaitan dengan stereotip sosial sebagai penentu bagaimana laki-laki atau perempuan bertindak. Lingkungan memperlakukan anak laki-laki dan perempuan secara berbeda-beda serta adanya tuntutan peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat (Rais, dalam Gunarsa & Gunarsa, 1991). Santrock (2007) juga berpendapat bahwa stereotip didasarkan pada gender, etnis, atau kelompok-kelompok lain yang menggambarkan anggota tipikal dari suatu kategori sosial tertentu.

Nathaniel (Kumara : 1990) mengatakan bahwa lingkungan sosial dapat menyebabkan perempuan menekan keinginannya untuk mencapai karir yang tinggi karena perempuan yang

mencapai prestasi yang tinggi dipandang tidak feminim lagi. Kebalikannya menurut Hudgson dan Fisher (Kumara :1990), laki-laki cenderung untuk menunjukkan identitasnya melalui kenaikan prestasi.

F. Jenis Kelamin Siswa

Jenis kelamin yang dimaksud adalah siswa laki-laki dan siswi perempuan. Peran identitas jenis kelamin ini adalah salah satu pemahaman tentang kepribadian manusia yang berdasarkan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) dan mempengaruhi perilaku dan nilai yang dikembangkan oleh individu. Perbedaan sifat antara laki-laki dan perempuan ini dapat menimbulkan perbedaan dalam hal perhatian, pandangan, cara berpikir, dan perasaan.

G. Kerangka Berpikir

Menurut Uma Sekaran (Adrianto, 2006 :34) kerangka pemikiran merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Kerangka pemikiran yang terbaik akan menjelaskan secara teoritis pertautan antara variabel yang akan diteliti. Jadi, secara teoritis perlu dijelaskan hubungan antara variabel bebas (independen) dengan variabel terikat (dependen). Berdasarkan landasan teori di atas dapat disusun suatu kerangka pemikiran sebagai berikut:

1. Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek Ditinjau dari Tingkat Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan orang tua yang dimaksud adalah tingkat pendidikan formal yaitu SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi yang dicapai oleh orang tua siswa. Setiap siswa mempunyai orang tua yang tingkat pendidikannya berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Salah satu tugas dari orang tua adalah mendidik anaknya dalam menentukan masa depan anak.

Kemampuan orang tua dalam mendidik anak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang dicapai oleh orang tua siswa. Tingkat pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap cara pandang orang tua terhadap sesuatu, dalam hal ini adalah terhadap perilaku menyontek. Cara pandang orang tua seperti di atas akan berpengaruh juga kepada anak dalam hal menentukan sikapnya dalam menghadapi perilaku menyontek.

2. Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek Ditinjau dari Jenis Kelamin Siswa

Sesungguhnya adanya perbedaan dasar antara kaum laki-laki dan kaum perempuan disebabkan oleh suatu tujuan yang jelas (Gunarsa, 1991). Kehidupan manusia dan maknanya dapat mencapai hasil yang baik sehingga perbedaan antara pribadi perbedaan jenis kelamin ini perlu dijajaki. Pengetahuan mengenai perbedaan jenis kelamin ini dapat membawa kita menuju saling penyesuaian dan saling penyempurnaan.

Peran identitas jenis kelamin adalah salah satu pemahaman tentang kepribadian manusia yang berdasarkan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) dan mempengaruhi perilaku dan nilai yang dikembangkan oleh individu. Perkembangan peran identitas jenis kelamin pada diri seseorang tidak bisa lepas dari unsur biologis dan psikis.

Perbedaan sifat antara laki-laki dan perempuan dapat menimbulkan perbedaan dalam hal perhatian, pandangan, cara berpikir, dan perasaan. Di bidang prestasi, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang besar karena laki-laki memiliki keinginan yang lebih besar untuk sukses daripada perempuan. Oleh karena itu, laki-laki lebih agresif dalam menggapai cita-citanya daripada perempuan (Kumara, 1990).

Laki-laki cenderung agresif, lebih aktif, dan tidak sabar karena sifat laki-laki lebih cenderung untuk tidak mau menunggu, kurang tekun, dan kurang tabah dalam menghadapi kesulitan hidup dan cepat putus asa. Siswa laki-laki cenderung untuk lebih banyak berinisiatif, keras, dan tegas.

Perempuan berpikir dengan mengikutsertakan perasaan dan suasana hatinya. Apabila kesedihan sedang meliputi dirinya, pikirannya terhambat oleh kegelapan suasana hati dan sulit memperoleh penyelesaian masalah. Pikiran, perasaan, dan kemampuan yang erat hubungannya satu sama lain menyebabkan kaum perempuan cepat mengambil tindakan atas dasar emosinya.

Perilaku menyontek sangatlah negatif dalam pandangan moralitas. Adanya perbedaan kecenderungan menyontek antara siswa laki-laki dan siswi perempuan karena fakta menunjukkan bahwa perempuan memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar daripada laki-laki (Thomas, dalam Newstead, dkk, 1996).

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran Teoritis

H. Penelitian yang Relevan

1. Hubungan Antara Motivasi Berprestasi dengan Perilaku Menyontek

Penelitian ini dilakukan oleh Alvianto (2008) dari Universitas Sanata Dharma. Penelitian yang dilakukan pada siswa-siswi kelas XI di SMA Negeri 1 Dukun Kecamatan Muntilan yang berjumlah 70 orang, menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara variabel motivasi berprestasi dengan perilaku menyontek (r=-0.577,

Tingkat Pendidikan Orang Tua Jenis Kelamin Siswa Sikap siswa terhadap perilaku menyontek

signifikansi 0.000). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat motivasi berprestasi pada siswa-siswi, maka akan semakin rendah tingkat perilaku menyonteknya. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah tingkat motivasi berprestasi pada siswa-siswi, maka semakin tinggi tingkat perilaku menyonteknya.

2. Perbedaan Sikap antara Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan terhadap Perilaku Menyontek dalam Ujian di Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini dilakukan oleh Meidiana (2005) dari Universitas Sanata Dharma. Penelitian pada mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang berjumlah 80 orang yang terdiri dari 40 orang laki-laki dan 40 orang perempuan, menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap antara mahasiswa laki-laki dan perempuan terhadap perilaku menyontek. Perbandingan nilai mean pada mahasiswa laki-laki sebesar 132.07 dan pada perempuan sebesar 110.90. Hal ini menunjukkan bahwa sikap mahasiswa laki-laki lebih permisif daripada perempuan terhadap perilaku menyontek dalam ujian di Universitas Sanata Dharma.

I. Hipotesis

Berdasarkan deskripsi teori dan kerangka berpikir yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

1. Hipotesis I

Ho1 : tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek ditinjau dari tingkat pendidikan orang tua.

Ha1 : ada perbedaan sikap siswa terhadap menyontek ditinjau dari tingkat pendidikan orang tua.

2. Hipotesis II

Ho2 : tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku menyontek ditinjau dari jenis kelamin siswa.

Ha2 : ada perbedaan sikap siswa terhadap menyontek ditinjau dari jenis kelamin siswa.

29

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Menurut Arikunto (2010:3) penelitian studi kasus adalah penelitian yang benar-benar hanya memaparkan apa yang terdapat atau terjadi dalam sebuah lapangan atau wilayah tertentu. Dalam penelitian ini, siswa akan berperan sebagai responden. Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri Yogyakarta dan hasil atau kesimpulan ini tidak bisa direalisasikan pada SMP-SMP lainnya di Yogyakarta sebab penelitian studi kasus merupakan jenis penelitian dengan karakteristik serta masalah yang mempunyai kaitan antara latar belakang dan kondisi nyata saat ini dari subyek yang diteliti. Penelitian studi kasus ini menjelaskan tentang “Sikap Siswa Terhadap Perilaku Menyontek yang ditinjau dari Tingkat Pendidikan Orang Tua dan Jenis Kelamin Siswa : Studi Kasus Siswa Kelas VIII SMP Negeri 8, SMP Negeri 12, SMP Negeri 15, dan SMP Negeri 16 di Kota Yogyakarta”.

B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di 4 SMP Negeri yaitu SMP Negeri 8, SMP Negeri 12, SMP Negeri 15, dan SMP Negeri 16 di Wilayah Kotamadya Yogyakarta, yang tersaji pada tabel 3.1

Tempat Penelitian SMP Negeri di Kota Yogyakarta No Nama Sekolah Alamat Sekolah

1. SMP N 8 Jalan Prof. Dr. Kahar Muzakir No.2, Gondokusuman, Yogyakarta.

2. SMP N 12 Jalan Tentara Pelajar No. 9, Jetis, Yogyakarta.

3. SMP N 15 Jalan Tegal Lempuyangan 61, Danurejan, Yogyakarta.

4. SMP N 16 Jalan Nagan Lor No.8, Keraton, Yogyakarta.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2016 – April 2016.

C. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini variabel-variabel yang diteliti adalah :

1. Variabel bebas : tingkat pendidikan orang tua dan jenis kelamin. 2. Variabel terikat : sikap terhadap perilaku menyontek.

D. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah siswa-siswi kelas VIII SMP di SMP N 8, SMP N 12, SMP N 15, dan SMP N 16.

Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah sikap siswa terhadap menyontek.

E. Populasi, Sampel dan Teknik Penarikan Sampel 1. Populasi Penelitian

Menurut Sugiyono (2014: 61), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan menurut Margono (2010: 118), populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan. Jadi populasi adalah keseluruhan dari subjek yang memiliki karakteristik untuk diteliti dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang telah ditentukan.

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah siswa-siswi kelas VIII SMP Negeri Kota Yogyakarta.

Tabel 3.2

Data Populasi Siswa SMP Negeri di Kota Yogyakarta No Nama Sekolah Jumlah Siswa

1. SMP N 8 320

2. SMP N 12 168

3. SMP N 15 336

4. SMP N 16 235

Yogyakarta adalah dengan pertimbangan akan ketersediaan waktu, tenaga, biaya peneliti sehingga tidak mungkin sampel diambil dari seluruh SMP se-Kota Yogyakarta.

2. Sampel

Menurut Sugiyono (2014: 62) sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Sedangkan menurut Yusuf (2014: 150), sampel adalah sebagian dari populasi yang terpilih dan mewakili populasi sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya. Jadi sampel adalah sebagian besar dari populasi yang sesuai dengan karakter yang telah ditentukan.

Menurut Pamela L. Alreck dan Robert B. Seetle dalam bukunya The Survey Research Handbook untuk populasi yang besar, sampel minimum kira-kira 100 responden dan sampel maksimumnya adalah 1000 responden atau 10% dengan kisaran angka minimum dan maksimum, secara lebih rinci Jack E. Fraenkel dan Norman E. Wallen menyatakan (meskipun bukan ketentuan mutlak) bahwa minimum sampel adalah 100 untuk studi deskriptif, 50 untuk studi korelasional, 30 per kelompok untuk studi kausal komparatif.

Dalam penelitian ini, pengambilan sampel sebesar 122 responden yang dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Menurut Noor (2011: 155) purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan khusus sehingga layak dijadikan sampel. Sampling purposive dilakukan dengan cara

yang termasuk dalam populasi mempunyai hak untuk dijadikan anggota sampel. Masing-masing subjek atau siswa langsung diberi lembar kuesioner satu per satu untuk diisi. Adapun pengambilan sampel adalah sebagai berikut:

Tabel 3.3

Jumlah Sampel Penelitan Siswa Kelas VIII SMP Negeri di Kota Yogyakarta

No Nama Sekolah Jumlah Responden Jumlah Sampel

1. SMP N 8 29 29/122x122=29

2. SMP N 12 30 30/122x122=29

3. SMP N 15 33 33/122x122=29

4. SMP N 16 30 30/122x122=29

Jumlah 122 122

F. Variabel Penelitian dan Pengukurannya 1. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2014: 3). Dalam penelitian ini terdapat dua variabel pokok yaitu variabel bebas atau independent variable dan variabel terikat atau dependent variable.

Menurut Nawawi (2005), variabel bebas adalah himpunan sejumlah gejala yang mewakili berbagai aspek atau unsur yang berfungsi memengaruhi atau menentukan munculnya variabel lain yang disebut variabel terikat. Sedangkan menurut Sugiyono (2014: 4), yang disebut variabel bebas adalah variabel yang memengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen atau terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan orang tua dan jenis kelamin siswa.

b. Variabel terikat atau dependent variable

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2014: 4). Pada penelitian ini variabel terikatnya adalah sikap siswa terhadap perilaku menyontek (SMP).

2. Pengukuran Variabel

a. Sikap Siswa Remaja Terhadap Perilaku Menyontek

Sikap terhadap perilaku menyontek dapat diartikan sebagai bentuk reaksi siswa laki-laki dan perempuan terhadap perilaku menyontek. Sikap tersebut bisa berarti reaksi positif artinya bahwa siswa laki-laki dan perempuan tersebut menerima perilaku menyontek dengan wajar atau setuju. Sikap negatif terhadap perilaku menyontek dapat diartikan menolak atau tidak setuju perilaku menyontek. Pengertian menyontek itu sendiri adalah perbuatan curang yang dilakukan siswa dalam mengerjakan soal

tindak kecurangan dalam tes, tidak jujur dan tidak legal yang biasanya dilakukan oleh siswa atau mahasiswa pada saat tes atau ujian dengan menggunakan berbagai macam cara baik secara material ataupun tidak.

Skala sikap perilaku menyontek disusun berdasarkan tiga aspek sikap yaitu kognitif, afektif, dan perilaku; sedangkan perilaku menyontek ditentukan oleh dua aspek yaitu aspek bekerja sama dengan orang lain dalam mengerjakan ujian dan menggunakan material yang tidak sah pada saat ujian.

Menurut Sugiyono (2011: 93) skala likert adalah skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok orang tentang fenomena sosial. Skala likert yang digunakan telah dimodifikasi yaitu disediakan dalam empat opsi jawaban untuk setiap pernyataan yaitu Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju. Adapun penentuan skor dalam opsi jawaban sebagai berikut:

Tabel 3.4

Skor Skala Likert dalam Kuesioner

Jawaban Skor Pernyataan Positif Pernyataan Negatif Sangat Setuju (SS) 4 1 Setuju (S) 3 2 Tidak Setuju (TS) 2 3

yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju). Peneliti setuju dengan pendapat Meidiana (2005) untuk memutuskan untuk meniadakan pilihan alternatif jawaban tengah yaitu Ragu-ragu (R), sehingga hanya ada empat pilihan alternatif jawaban saja. Hadi (2004) ditiadakannya pilihan alternatif jawaban didasarkan pada tiga alasan pokok yaitu:

a. Pertama, kategori undecided itu mempunyai arti ganda, bisa diartikan belum dapat memutuskan atau memberi jawaban (menurut konsep aslinya), bisa juga diartikan netral atau bahkan ragu-ragu. Kategori jawaban yang ganda arti (multi interpretable) ini tentu saja tidak diharapkan dalam suatu instrumen.

b. Kedua, tersedianya jawaban yang di tengah itu menimbulkan kecenderuungan menjawab ke tengah (central tendency effect), terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas kecenderungan jawabannya, ke arah setuju ataukah ke arah tidak setuju.

c. Ketiga, maksud kategorisasi jawaban SS-S-TS-STS adalah

Dokumen terkait