• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

4.13 Tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik fakultas kedokteran gigi pada dua provinsi di indonesia

Tabel 19. Frekuensi tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat tentang kesalahan dan kegagalan dalam pembuatan radiografi intraoral

Universitas DKI Jakarta Sumatera Barat Jawaban Frekuensi/(%) Frekuensi/(%)

Baik 69(86,3%) 6(10,7%) Sedang Kurang 11(13,8%) 0(0%) 38(67,9%) 12(21,4%) Total 80(100%) 56(100%)

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menujukkan persentase mahasiwa yang berada dalam kategori kurang terdapat pada mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat yaitu sebanyak 21,4%

4.14 Uji-T

Tabel 20. Hasil uji normalitas kedua kelompok mahasiswa kepaniteraan klinik fakultas kedokteran gigi pada dua provinsi di Indonesia

Pengetahuan

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic Df Sig.

FKG DKI Jakarta .286 80 .062 .861 80 .054 FKG Sumatera Barat .170 56 .063 .936 56 .055

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menunjukkan data kedua kelompok normal. Dimana, hasil sig dari Kolmogorov-Smirnov

menunjukkan sig > 0,5.

Tabel 21. Hasil Uji-T (T-test) kedua kelompok mahasiswa kepaniteraan klinik fakultas kedokteran gigi pada dua provinsi di Indonesia

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menunjukkan sig berada pada 0,01 sehingga dapat dilihat adanya perbedaan tingkat pengetahuan pada mahasiswa kepaniteraan klinik fakultas kedokteran gigi pada dua provinsi di Indonesia. Serta dari hasil uji statistik rata-rata terdapat perbedaan antara kedua

Pengetahuan N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean FKG DKI Jakarta 80 8.50 .900 .101 FKG Sumatera Barat 56 5.50 1.452 .194

kelompok mahasiswa kepaniteraan klinik fakultas kedokteran gigi yang bersangkutan.

BAB 5 PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian dari total 136 responden pada fakultas kedokteran gigi di dua provinsi di Indonesia dengan proposi 80 responden berasal dari DKI Jakarta dan 56 responden berasal dari Sumatera Barat diperoleh bahwa mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dominan berada pada usia 23 tahun (43,8%) dan mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat dominan berada pada usia 22 tahun (30,4%).

Hal ini berdasarkan aturan yang sesuai dengan ketentuan keputusan menteri pendidikan nomor 232/U/2000 yang menjelaskan tentang beban studi program sarjana adalah sekurang-kurangnya 144 (seratus empat puluh empat) SKS dan sebanyak-banyaknya 160 (seratus enam puluh) SKS yang dijadwalkan untuk 8 (delapan) semester dan dapat ditempuh dalam waktu kurang dan 8 (delapan) semester dan selamalamanya 14 (empat belas) semester setelah pendidikan menengah atas.17

Berdasarkan jenis kelamin, didapatkan proporsi sebanyak 23,8% (Tabel7) merupakan responden laki-laki pada fakultas kedokteran gigi di DKI Jakarta dan pada fakultas kedokteran gigi di Sumatera Barat didapatkan proporsi responden laki-laki sebanyak 19,6% (Tabel 8). Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang terlalu jauh antara perbandingan presentase responden laki-laki pada kedua fakultas kedokteran gigi tersebut. Akan tetapi bila kita bandingkan dengan presentase responden perempuan maka akan terlihat perbandingan presentase laki-laki lebih kecil daripada perempuan dan ini menunjukkan bahwa fakultas kedokteran gigi lebih di minati oleh perempuan.

Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik yang mengetahui gambaran radiografi intraoral berupa elongasi. Penelitian ini menunjukkan tidak ada mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta yang tidak mengetahui gambaran radiografi berupa elongasi tersebut, sedangkan pada mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat masih terdapat sebanyak 25% (Tabel 9) yang salah dalam menjawab pertanyaan tersebut. Serta terdapat sekitar 2,5%(Tabel 10) mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta yang salah dalam menganalisa penyebab terjadinya elongasi dan sekitar 46,4%(Tabel 10) mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat yang tidak mengetahui penyebab terjadinya elongasi tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Abdolaziz Haghnegahdar juga menunjukkan sebanyak 9,4% mahasiwa yang salah karena elongasi dan penelitian yang dilakukan oleh Abdolaziz Haghnegahdar juga menunjukkan 14,4% mahasiswa yang salah dalam menentukan arah sudut penyinaran yang tepat.18 Hal ini bila kita bandingkan maka dapat kita lihat bahwa mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat masih kurang memahami tentang gambaran dan penyebab terjadinya elongasi.

Elongasi merupakan suatu penyimpangan gambaran radiografi intraoral yang menyebabkan terlihatnya gambaran gigi yang lebih panjang daripada sebenarnya, hal ini disebabkan karena kesalahan angulasi vertikal dimana sudut penyinaran dari cone-beam lebih kecil daripada semestinya.2,12

Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik yang mengetahui gambaran radiografi intraoral berupa foreshortening. Penelitian ini menunjukkan seluruhnya 100% (Tabel 11) mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta yang benar dalam menjawab pertanyaan tersebut, sedangkan sebanyak 25% (Tabel 11) mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat yang salah dalam menjawab pertanyaan tersebut. Penelitan ini juga menunjukkan sekitar 2,5% (Tabel 12) mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta yang salah dalam menganalisa penyebab terjadinya kesalahan dan 41,1% (Tabel 12) mahasiswa kepaniteraan klinik di

Sumatera Barat yang tidak mengetahui penyebab terjadinya kesalahan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Abdolaziz Haghnegahdar menunjukkan sekitar 5% mahasiswa tidak mengetahui gambaran foreshortening, penelitian yang dilakukan oleh Abdolaziz Haghnegahdar ini juga menunjukkan sebanyak 14,4% mahasiswa yang tidak mengetahui penyebab terjadinya foreshortening tersebut.18 Hal ini bila kita bandingkan menunjukkan bahwa mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat masih kurang memahami gambaran radiografi foreshortening

dan penyebab terjadinya gambaran radiografi tersebut.

Foreshortening adalah gambaran radiografi intraoral dimana gambaran

gigi terlihat lebih pendek daripada semestinya dimana hal ini terjadi karena sudut penyinaran yang terlalu besar sehingga hasil gambar tidak sesuai dengan hasil sebenarnya.8

Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang gambaran radiografi intraoral berupa cone-cutting. Penelitian ini menunjukkan sekitar 8,8% (Tabel 13) mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta yang tidak mengetahui gambaran radiografi cone-cutting dan sekitar 58,9% (Tabel 13) mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat yang tidak mengetahui gambaran radiografi cone-cutting. Penelitian ini menunjukkan hanya sekitar 1,3% (Tabel 14) mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta yang salah dalam menganalisa penyebab kesalahan gambaran radiografi cone-cutting dan sekitar 48,2% (Tabel 14) mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat yang tidak mengetahui penyebab kesalahan cone-cutting. Penelitian lain yang dilakukan oleh Abdolaziz Haghnegahdar menunjukkan sebanyak 18,2% mahasiswa kepaniteraan klinik yang tidak mengetahui cone-cutting serta didukung oleh penelitian Hui-Lin et al yang mengatakan sebanyak 27,62% kegagalan karena cone-cutting.18,19 Penelitian yang dilakukan oleh Abdolaziz Haghnegahdar juga menunjukkan sekitar 16,6% mahasiswa kepaniteraan klinik yang tidak mengetahui penyebab terjadinya

kepaniteraan klinik di DKI Jakarta lebih mengetahui gambaran radiografi cone-cutting dan penyebab terjadinya kesalahan tersebut.

Cone-cutting merupakan zona bening yang terlihat pada gambaran

radiografi setelah film selesai diproses, dimana juga terdapat daerah buram pada gambaran radiografi cone-cutting, posisi cone yang salah dimana sehingga pusat sinar-x yang lewat tidak tegak lurus melewati film sehingga gambaran radiografi yang terjadi tidak sesuai dengan yang kita inginkan merupakan penyebab terjadinya gambaran cone-cutting.12

Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik yang mengetahui gambaran radiografi intraoral berupa spot hitam(dark spots). Penelitian ini menunjukkan hanya sekitar 6,3% (Tabel 15) mahasiswa kepaniteraan klinik yang tidak mengetahui gambaran radiografi intraoral berupa spot hitam dan sekitar 57,1% (Tabel 15) mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat yang tidak mengetahui gambaran radiografi intraoral berupa spot hitam tersebut. Penelitian ini menunjukkan sebanyak 63,8% (Tabel 16) mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta yang salah dalam menjawab penyebab terjadinya kegagalan tersebut dan sebanyak 60,7% (Tabel 16) mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat yang salah dalam menjawabnya. Bila kita bandingkan maka dapat kita lihat bahwa mahasiwa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta lebih mengetahui gambaran radiografi dari spot hitam(dark spots) tetapi mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat lebih memahami penyebab terjadinya spot hitam(dark spots) tersebut.

Spot hitam (dark spots) merupakan gambaran berupa bulatan yang berwarna hitam yang terlihat pada film sesudah film selesai diproses dimana spot hitam (dark spots) ini terjadi karena adanya kontak antara larutan developer dengan film sesaat sebelum processing dilakukan.9

Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang gambaran radiografi intraoral berupa dense image. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 56,3%

(Tabel 17) mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta yang tidak mengetahui gambaran radiografi intraoral berupa dense image dan sekitar 57,1% (Tabel 17) mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat yang tidak mengetahui gambaran radiografi intraoral dense image. Penelitian ini juga menunjukkan hanya sekitar 8,8% (Tabel 18) mahasiswa kepaniteran klinik di fakultas kedokteran gigi di DKI Jakarta yang tidak mengetahui penyebab terjadinya dense image dan sekitar 30,4% (Tabel 18) mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat yang tidak mengetahui penyebab terjadinya dense image. Penelitian lain yang dilakukan oleh Abdolaziz Haghnegahdar menunjukkan 2,2% mahasiswa kepaniteraan klinik yang tidak mengetahui kesalahan karena processing tersebut serta penelitian lainnya oleh Emad Al Shwaimi menunjukkan sekitar 10% mahasiswa kepaniteraan klinik yang tidak mengetahui kesalahan karena

processing.18,20 Hasil ini bila kita bandingkan maka dapat kita lihat bahwa mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta lebih mengetahui gambaran radiografi intraoral dense image bersertanya dengan penyebabnya dibandingkan mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat.

Dense image merupakan suatu hasil gambaran radiografi yang terlihat

gelap (dark radiograph), hal ini terjadi disebabkan karena operator melakukan

over developer saat melakukan proses developing, dan hal lain yang dapat

memungkinkan terjadinya dense image tersebut adalah dikarenakan perendaman didalam larutan developer yang terlalu pekat ataupun kesalahan dalam penyinaran, miliampere dan voltase yang digunakan.12,16

Dari semua hasil data yang peneliti dapat maka peneliti mencoba untuk membandingkan tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik pada fakultas kedokteran gigi pada dua provinsi yang berbeda tersebut, dan hasil yang peneliti dapatkan adalah sebanyak 86,3% (Tabel 19) mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta memperoleh kategori skor baik dan sisanya 13,8% (Tabel 19) memperoleh kategori skor sedang. Sedangkan hasil penelitian pada

mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat menunjukkan hanya sekitar 10,7% (Tabel 19) mahasiswa kepaniteraan klinik yang memperoleh kategori skor baik, sekitar 67,9% (Tabel 19) memperoleh kategori skor sedang dan sisanya sekitar 21,4% (Tabel 19) memperoleh kategori skor kurang. Dari hasil data ini dapat kita lihat bahwa mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta lebih menguasai materi yang diberikan oleh para staf pengajar dimana kita dapat melihat bahwa tidak ada satupun mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta yang memperoleh kategori skor kurang. Sedangkan mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat masih meningkatkan tingkat pengetahuan karena dari hasil masih ditemukan sekitar 21,4% (Tabel 19) yang termasuk kedalam kategori skor kurang dan hanya 10,7% (Tabel 19) yang termasuk dalam kategori baik.

Dari hasil uji normalitas dapat kita lihat bahwa hasil uji Kolmogorov-Smirnov (Tabel 20) menunjukkan sig=0,062 untuk mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan sig=0,063 untuk mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat. Dari kedua sig tersebut dapat kita lihat bahwa nilai sig >0,05 dimana ini menunjukkan bahwa data yang diperoleh dari mahasiswa kepaniteraan klinik pada fakultas kedokteran gigi di DKI Jakarta dan Sumatera Barat adalah normal. Sehingga bila kita lihat dari hasil uji statistik (Tabel 21) menunjukkan bahwa ada perbedaan rata-rata skor antara mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dengan mahasiswa di Sumatera Barat, dimana skor rata-rata mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta adalah 8,50 ± .900 dan skor rata-rata untuk mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat adalah 5,50 ± 1.452. Hasil uji-T (Tabel 21) menunjukkan bahwa diperoleh p=0,001 atau p<0,05 sehingga dapat kita simpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat pengetahuan antara mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dengan mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat tentang kesalahan dan kegagalan dalam pembuatan radiografi intraoral.

Perbedaan tingkat pengetahuan ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan kurikulum dalam pembelajaran pada kedua universitas yang dimana diketahui bahwa fakultas kedokteran gigi pada salah satu universitas di Jakarta telah lebih lama berdiri dibandingkan dengan fakultas kedokteran gigi pada salah satu universitas di Sumatera Barat. Di lain sisi, hal ini juga disebabkan karena kurangnya tenaga staff pengajar pada fakultas kedokteran gigi pada salah satu universitas di Sumatera Barat serta kurangnya fasilitas dalam hal radiologi dental juga menjadi penyebab terjadinya perbedaan tingkat pengetahuan tersebut.

BAB 6

Dokumen terkait