• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik tentang Kesalahan dan Kegagalan dalam Pembuatan Radiografi Intraoral pada Fakultas Kedokteran Gigi pada Dua Provinsi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik tentang Kesalahan dan Kegagalan dalam Pembuatan Radiografi Intraoral pada Fakultas Kedokteran Gigi pada Dua Provinsi di Indonesia"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN PENGETAHUAN MAHASISWA KEPANITERAAN

KLINIK TENTANG KESALAHAN DAN KEGAGALAN

PEMBUATAN RADIOGRAFI INTRAORAL PADA

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI PADA DUA

PROVINSI DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh : WILSON NIM : 100600041

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Radiologi Tahun 2013

Wilson

Perbandingan Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik tentang Kesalahan dan Kegagalan dalam Pembuatan Radiografi Intraoral pada Fakultas Kedokteran Gigi pada Dua Provinsi di Indonesia

xiii+61 halaman

Radiografi dental memiliki peranan yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis dan menentukan rencana perawatan. Radiografi dental terutama radiografi intraoral dapat memberikan gambaran rongga mulut yang tidak tampak dalam pemeriksaan klinis. Dalam menentukan suatu diagnosis maka dibutuhkan interpretasi yang tepat dari gambaran radiografi intraoral tersebut, akan tetapi banyak mahasiswa kepaniteraan klinik yang kurang memahami kesalahan dan kegagalan yang dapat terjadi dalam pembuatan radiografi intraoral.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan cross sectional

study. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 136 mahasiswa

kepaniteraan klinik yaitu 80 mahasiswa kepaniteraan klinik pada salah satu universitas di DKI Jakarta dan 56 mahasiswa kepaniteraan klinik pada salah satu universitas di Sumatera Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuisioner dan data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan uji T independent.

Hasil penelitian menunjukkan skor rata-rata pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang kesalahan dan kegagalan pembuatan radiografi intraoral di DKI Jakarta adalah (8,50 ± .900) dan di Sumatera Barat sebesar (5,50 ± 1.452).

(3)

Daftar rujukan : 20 (2000-2013)

PERBANDINGAN PENGETAHUAN MAHASISWA KEPANITERAAN

KLINIK TENTANG KESALAHAN DAN KEGAGALAN

PEMBUATAN RADIOGRAFI INTRAORAL PADA

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI PADA DUA

PROVINSI DI INDONESIA

SKRIPSI

Oleh : WILSON NIM : 100600041

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, Oktober 2013

Pembimbing: Tanda Tangan

Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes., Sp. RKG(K) ...

(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah disidangkan di hadapan tim penguji pada tanggal 28 Oktober 2013

TIM PENGUJI

KETUA : 1. Dr. Trelia Boel, drg., M.kes., Sp.RKG(K) ANGGOTA : 1. H. Amrin Thahir, drg.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan rahmatnya kepada penulis sehingga skripsi dapat selesai disusun untuk memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih terdalam kepada Ayahanda Handoko dan Ibunda Janli Hasni yang memberi kasih sayang, didikan, dan dukungan secara moral dan materil kepada penulis. Abang saya Vinson dan Yensen dan seluruh keluarga besar tercinta atas doa dan semangat yang diberikan selama ini. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing, Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes, Sp.RKG(K), yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga dan kesabaran dalam membimbing penulis selama penyelesaian skripsi ini.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu pada kesempatan ini pula, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada :

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes, Sp.RKG(K) selaku Ketua Departemen Radiologi Kedokteran Gigi yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dorongan serta penghargaan yang berharga kepada penulis. 3. H. Amrin Thahir, drg., selaku dosen berpengalaman di Departemen Radiologi

Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

4. Cek Dara Manja, drg., Sp.RKG, Dewi Kartika, drg., Maria Novita Helen Sitanggang, drg., selaku staf pengajar Departemen Radiologi Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

(7)

6. Kepada seluruh dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah banyak mendidik, membantu, memberikan ilmu selama perkuliahan penulis.

7. Kepada seluruh staf bagian Radiologi Kedokteran Gigi yang selama ini sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Kepada para sahabat Novilia, Franky, Kelvin, Widianto, Roderick, Sondi, Vincent, Robin, Ferianny, Fajarini, Mega, Cindy, Shelly, Jessalyn dan semua anggota tim skripsi Departemen Radiologi yang telah memberikan perhatian dan semangatnya kepada penulis.

9. Kepada teman-teman stambuk 2010 yang selama ini berjuang bersama penulis dalam menuntut ilmu di FKG-USU.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan, maka dengan kerendahan hati dan lapang dada penulis menerima kritikan dan saran dari berbagai pihak

Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat dalam pengembangan wawasan penulis di bidang Radiologi Kedokteran Gigi dan juga memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi khususnya Departemen Radiologi Kedokteran Gigi serta masyarakat.

Medan, 28 Oktober 2013

Penulis ,

(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI ...

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Radiografi Dental ... 4

2.2 Radiografi Ekstraoral ... 5

2.3 Radiografi Intraoral ... 5

2.3.1 Radiografi Periapikal ... 6

2.3.2 Radiografi Interproksimal/ Bitewing ... 11

2.4 Faktor-Faktor yang Berperan Dalam Pembuatan Radiografi Intraoral ... 12

2.5 Processing Film ... 16

(9)

2.6.1 Kesalahan Pasien ... 18

2.6.7 Gambaran Radiografi yang Tidak Terdefinisikan ... 25

2.6.8 Kesalahan Objek ... 26

2.6.9 Kesalahan yang Disebabkan oleh Hal Lain ... 26

2.6.10 Kesalahan dalam processing film ... 27

2.6.10.1 Kesalahan yang Disebabkan oleh Waktu dan Temperatur ... 27

2.6.10.2 Kesalahan yang Disebabkan oleh Kontaminasi Bahan Kimia ... 29

2.6.10.3 Kesalahan Dalam Penanganan Film.. ... 30

2.7 Kerangka Konsep ... 34

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 35

BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1 Responden Berdasarkan Usia ... 42

4.2 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 42

4.3 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang gambaran radiografi intraoral berupa elongasi ... 44

4.4 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang penyebab terjadinya elongasi ... 45

4.5 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang gambaran radiografi intraoral berupa foreshortening ... 45

(10)

gambaran radiografi intraoral berupa cone-cutting ... 47 4.8 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang

penyebab terjadinya cone-cutting ... 47 4.9 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang

gambaran radiografi intraoral berupa spot hitam ... 48 4.10 Pengetahuan mahasiswa kepanitera klinik tentang

Penyebab terjadinya spot hitam ... 49 4.11 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang

gambaran radiografi intraoral berupa dense image ... 49 4.12 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang

Penyebab terjadinya dense image ... 50 4.13 Tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik

fakultas kedokteran gigi pada dua provinsi di Indonesia... 51 4.14 Uji T ... 51

BAB 5. PEMBAHASAN ... 53

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 59 6.2 Saran ... 59

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Cara meletakkan film pada teknik paralleling daerah maksilaris ... 8

2. Cara meletakkan film pada teknik paralleling daerah mandibularis... 8

3. Angulasi vertikal teknik bisekting pada daerah maksila ... 10

4. Angulasi vertikal teknik bisekting pada daerah mandibula ... 11

5. Frekuensi responden berdasarkan usia di DKI Jakarta ... 42

6. Frekuensi responden berdasrakan usia di Sumatera Barat ... 43

7. Responden berdasarkan jenis kelamin di DKI Jakarta ... 43

8. Responden berdasarkan jenis kelamin di Sumatera Barat ... 44

9. Frekuensi Mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui tentang gambaran radiografi intraoral berupa elongasi ... 44

10. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Baratyang mengetahui penyebab terjadinya elongasi ... 45

11. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui tentang gambaran radiografi intraoral berupa foreshortening... 45

12. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui penyebab terjadinya foreshortening ... 46

13. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui tentang gambaran radiografi intraoral berupa cone-cutting ... 47

14. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui penyebab terjadinya cone-cutting ... 47

15.Frekuensi Mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui tentang gambaran radiografi intraoral berupa spot hitam ... 48

(12)

17. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui tentang gambaran radiografi intraoral berupa

dense image ... 49 18. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera

Barat yang mengetahui penyebab terjadinya dense image ... 50 19. Frekuensi tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI

Jakarta dan Sumatera Barat tentang kesalahan dan kegagalan dalam

Pembuatan radiografi intraoral ... 51 20. Hasil uji normalitas kedua kelompok mahasiswa kepaniteraan klinik

fakultas kedokteran gigi pada dua provinsi di Indonesia ... 51 21. Hasil uji T (T-test) kedua kelompok mahasiswa kepaniteraan klinik

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Teknik paralleling ... 7

2. Teknik bisecting ... 10

3. bite tab (kiri), film holder untuk bitewing (kanan) ... 11

4. Radiografi bitewing vertikal (atas), radiografi bitewing horizontal (bawah)... 12

5. Titik Fokus Dalam Kepala Tabung... 13

6. Contoh film gambar. rigid CCD sensor Digital (kiri) ,pelat fosfor digital (tengah), f-Speed dental film (sistem dental kodak) (kanan)... 13

7. Kesejajaran film dan aksis panjang gigi... 14

8. Jarak objek ke film... 15

9. Sinar x yang tegak lurus terhadap film... 15

10. Film bengkok... 21

11. Bidang oklusal yang miring... 21

12. Elongasi (kiri), angulasi film (tengah), penyinaran dengan angulasi yang kurang (kanan)... 22

13.Pemendekan atau foreshortening (kiri), sudut penerimaan (tengah), Paparan sinar-x dengan angulasi yang terlalu besar... 23

14. Kesalahan karena sudut penyinaran... 24

(14)

23. Partial dark images... 31

24. Daerah putih hitam pada daerah overlap... 31

25. Black crescent shaped mark ... 32

26. Lack finger print... 32

27. Static electricity... 33

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner

2. Hasil Data Kuesioner 3. Hasil Olah Data SPSS 4. Ethical Clearance

(16)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Radiologi Tahun 2013

Wilson

Perbandingan Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik tentang Kesalahan dan Kegagalan dalam Pembuatan Radiografi Intraoral pada Fakultas Kedokteran Gigi pada Dua Provinsi di Indonesia

xiii+61 halaman

Radiografi dental memiliki peranan yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis dan menentukan rencana perawatan. Radiografi dental terutama radiografi intraoral dapat memberikan gambaran rongga mulut yang tidak tampak dalam pemeriksaan klinis. Dalam menentukan suatu diagnosis maka dibutuhkan interpretasi yang tepat dari gambaran radiografi intraoral tersebut, akan tetapi banyak mahasiswa kepaniteraan klinik yang kurang memahami kesalahan dan kegagalan yang dapat terjadi dalam pembuatan radiografi intraoral.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan cross sectional

study. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 136 mahasiswa

kepaniteraan klinik yaitu 80 mahasiswa kepaniteraan klinik pada salah satu universitas di DKI Jakarta dan 56 mahasiswa kepaniteraan klinik pada salah satu universitas di Sumatera Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuisioner dan data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan uji T independent.

Hasil penelitian menunjukkan skor rata-rata pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang kesalahan dan kegagalan pembuatan radiografi intraoral di DKI Jakarta adalah (8,50 ± .900) dan di Sumatera Barat sebesar (5,50 ± 1.452).

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan alat radiografi di bidang kedokteran gigi dimulai pada tahun 1913, dimana William D. Coolidge membuat sebuah tabung katoda x-ray yang berisi kawat pijar didalamnya. Pada tahun 1923, miniatur yang lebih kecil dari versi yang pertama dimunculkan dan kemudian berkembang hingga 1966 dimana pada tahun ini muncul x-ray intra oral dengan long beam yang digunakan sampai saat ini. Pada tahun 1987, Francis Mouyen memperkenalkan radiografi digital yang pertama dan kemudian berkembang menjadi cone-beam computed

tomography yang dapat menampilkan gambaran hasil radiografi dalam bentuk dua

dimensi (2D) ataupun tiga dimensi (3D) pada layar komputer. 1,2

Radiografi sangat berperan besar dalam dunia kedokteran gigi yang mana membantu dokter gigi dalam membuat rencana perawatan, evaluasi perawatan yang telah dilakukan dan membantu dalam menegakkan diagnosis. Radiografi dapat membantu dokter gigi dalam melihat lesi-lesi yang tidak dapat dilihat dalam pemeriksaan klinis seperti: lesi periapikal, kista radikuler, granuloma ataupun perluasaan dari lesi-lesi lainnya. Selain itu, radiografi dapat membantu kita dokter gigi dalam melihat suatu kondisi gigi ataupun jaringan di rongga untuk membantu kita dalam membantu menentukan prognosa dari hasil perawatan yang akan kita lakukan. Radiografi juga berperan sebagai rekam medis yang dapat dipergunakan kembali apabila dibutuhkan sewaktu-waktu.3

(18)

pada saat melakukan pengambilan foto periapikal ataupun bitewing, pencahayaan yang kurang ataupun berlebih, kesalahan peletakkan film serta kesalahan pada saat dilakukan proccesing film oleh operator.2

Penegakan diagnosis di radiodiagnostik bergantung pada kualitas hasil gambaran radiografi. Oleh karena itu, kontras, detail dan ketajaman gambaran radiografi harus baik, setiap struktur anatomis harus dapat dibedakan satu sama lainnya dengan jelas, misalnya perbedaan email, dentin, kamar pulpa, saluran akar, lamina dura, tulang alveolar dan struktur anatomis lain yang penting untuk diinterpretasikan.4,5

Penelitian yang dilakukan oleh Herman dan Ashkenazi (2013) terhadap 298 anak yang dilakukan pengambilan radiografi bitewing menunjukan bahwa hanya 140 hasil radiografi bitewing yang bebas dari kesalahan ataupun yang tidak terjadi kegagalan. Penelitian lain di Brazil (2011) menunjukan bahwa dari 1.823 foto periapikal yang diambil sekitar 76,6% kesalahan terjadi sewaktu melakukan

proccesing film.6,7

Hal-hal inilah yang mendasari peneliti ingin melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan mahasiswa kepaniteran klinik terhadap kesalahan ataupun kegagalan dalam hasil radiografi. Atau, mahasiswa kepaniteran klinik selama ini hanya mempercayai hasil yang diberikan dari radiografer.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik FKG salah satu universitas di DKI Jakarta tentang kesalahan dan kegagalan dalam pembuatan radiografi intraoral.

(19)

3. Bagaimana perbandingan pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik FKG salah satu universitas di DKI Jakarta dan Sumatera Barat tentang kesalahan dan kegagalan dalam pembuatan radiografi intraoral.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik FKG di salah satu universitas di DKI Jakarta tentang kesalahan dan kegagalan dalam pembuatan radiografi intraoral.

2. Untuk mengetahui pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik FKG di salah satu universitas di Sumatera Barat tentang kesalahan dan kegagalan dalam pembuatan radiografi intraoral.

3. Untuk membandingkan tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik FKG di salah satu universitas di DKI Jakarta dengan FKG salah satu universitas di Sumatera Barat.

1.4 Hipotesis Penelitian

Ada perbedaan tingkat pengetahuan antara mahasiswa kepaniteraan klinik tentang kegagalan dan kesalahan dalam pembuatan radiografi intraoral antara fakultas kedokteran gigi salah satu universitas di DKI Jakarta dan Sumatera Barat.

1.5 Manfaat Penelitian

(20)
(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan alat radiografi di bidang kedokteran gigi dimulai pada tahun 1913. Kemudian pada tahun 1923, miniatur yang lebih kecil dari versi yang pertama dimunculkan dan kemudian berkembang hingga 1966, dimana pada tahun ini muncul x-ray intra oral dengan long beam yang digunakan sampai saat ini. Pada tahun 1987, Francis Mouyen memperkenalkan radiografi digital yang pertama dan kemudian berkembang menjadi cone-beam computed tomography

yang dapat menampilkan gambaran hasil radiografi dalam bentuk dua dimensi (2D) ataupun tiga dimensi (3D) pada layar komputer.1,2

Penelitian-penelitian telah melaporkan jenis dan frekuensi kesalahan dan kegagalan yang terjadi ketika radiografi dilakukan dan diproses oleh mahasiswa-mahasiswa dan juga oleh tenaga profesional. Terlepas dari teknik-teknik yang diaplikasikan (bisekting ataupun parallel), kesalahan yang paling umum ditemukan antara lain: kesalahan peletakkan conebeam, kesalahan angulasi horizontal atau vertikal dan juga kesalahan sewaktu processing film. Pencatatan frekuensi dan jenis kesalahan-kesalahan dalam praktik radiografi merupakan suatu hal penting dalam program penilaian kualitas yang dapat membantu professor dan mahasiswa-mahasiswa dalam mengidentifikasi dan memperbaiki kualitas.7

2.1 Definisi Radiografi Dental

(22)

dilihat dari pemeriksaan klinis seperti perluasaan dari penyakit periodontal, karies pada gigi serta kelainan patologis rongga mulut lainnya.8

Meskipun dosis paparan dari radiografi dental sangat kecil namun, dosis paparan cahaya radiasi harus diminimalisasikan seminimal mungkin untuk mengurangi akumulasi dosis paparan terhadap pasien.8

2.2 Radiografi Ekstraoral

Radiografi ekstra oral merupakan pemeriksaan yang menggunakan film yang lebih besar dan berada diluar mulut sewaktu pemaparan sinar x-ray yang bertujuan untuk melihat area pada kepala dan rahang. Radiografi ekstra oral biasanya digunakan untuk kegunaan perawatan ortodonti dan bedah mulut untuk melihat lokasi serta bentuk dari rahang seseorang.

Tipe-tipe radiografi ekstra oral antara lain:2,3,4 a) Lateral jaw, body (mandible)

b) Lateral jaw, ramus(mandible)

c) Lateral cephalometric

(23)

secara umum terbagi kedalam tiga kelompok yaitu radiografi periapikal, interproksimal / radiografi bitewing dan oklusal.2,9

2.3.1 Radiografi Periapikal

Merupakan radiografi yang untuk melihat kondisi gambaran dari makhota dan akar gigi (crown and root), tulang alveolar dan jaringan sekitar dari dengan jarak minimal dua millimeter dari ujung akar.

Indikasi radiografi periapikal, yaitu :2,3

1. Untuk mendeteksi adanya infeksi atau inflamasi periapikal. 2. Penilaian status periodontal.

3. Pasca trauma gigi dan melibatkan tulang alveolar. 4. Dugaan adanya gigi yang tidak erupsi dan letaknya. 5. Penilaian morfologi akar sebelum ekstraksi.

6. Perawatan endodontik.

7. Penilaian sebelum dilakukan tindakan operasi dan penilaian pasca operasi apikal.

8. Mengevaluasi kista radikularis secara lebih akurat dan lesi lain pada tulang alveolar

9. Evaluasi pasca pemasangan implan.

Teknik yang digunakan dalam pengambilan radiografi periapikal ada dua yaitu : teknik paralleling dan bisekting.

1. Teknik paralleling

Teknik paralleling juga dikenal sebagai extension cone paralleling, right

angle technique, long cone technique, true radiograph merupakan teknik yang

(24)

Teknik paralleling dicapai dengan menempatkan film sejajar dengan aksis panjang gigi. Kemudian film holder diletakkan untuk menjaga agar film tetap sejajar dengan aksis panjang gigi, lalu Sinar sentral x-ray diarahkan tegak lurus dengan gigi dan film. 2,10,11

Gambar 1. Teknik paralleling12

Teknik parallel bila dilakukan dengan benar akan menghasilkan gambar dengan kualitas baik, validitas yang tinggi, akurasi linear dan dimensi yang tinggi tanpa distorsi. Gambar yang dihasilkan sangat representatif dengan gigi akan sangat mudah diinterpretasikan dan dipelajari. Akan tetapi teknik ini memiliki kesulitan pada pasien dengan ukuran rongga mulut kecil dan anak-anak, pemakaian film holder akan menggurangi kenyamanan karena mengenai jaringan sekitarnya. 2,10

Keuntungan teknik paralleling, yaitu: 2,9

• Tanpa distorsi.

• Gambar yang dihasilkan sangat representatif dengan gigi sesungguhnya.

(25)

• Sulit dalam meletakkan film holder, terutama pada anak-anak dan pasien yang mempunyai mulut kecil.

• Pemakaian film holder mengenai jaringan sekitarnya sehingga timbul rasa tidak nyaman pada pasien.

Tabel 1. Cara meletakkan film pada teknik paralleling daerah maksilaris.11,13

Elemen Gigi Cara Meletakkan Film

Insisivus sentral maksilaris Insisivus lateral maksilaris

Film ditempatkan pada film holder dalam orientasi vertikal pada daerah palatal, dekat daerah premolar kedua.

Kaninus maksilaris Film ditempatkan pada film holder dalam orientasi vertikal. Film diletakkan ditengah-tengah kaninus pada bagian palatal.

Premolar maksilaris Film ditempatkan pada film holder dalam orientasi horizontal. Film diletakkan diantara kontak premolar satu dan premolar dua. Molar maksilaris Film ditempatkan pada film holder dalam

(26)

Tabel 2. Cara meletakkan film pada teknik paralleling daerah mandibularis.11,13

Elemen Gigi Cara Meletakkan Film

Insisivus sentral mandibula Insisivus lateral mandibula

Film ditempatkan pada film holder dalam orientasi vertikal dan gigi insisivus sentralis berada di tengah film.

Kaninus mandibula Film ditempatkan pada film holder dalam orientasi vertikal dan gigi kaninus terletak ditengah film.

Tabel 2. Cara meletakkan film pada teknik paralleling daerah mandibularis.11,13

Elemen Gigi Cara Meletakkan Film

Premolar mandibula Film ditempatkan pada film holder dalam orientasi horizontal. Film diletakkan diantara kontak premolar satu dan premolar dua.

Molar mandibula Film ditempatkan pada film holder dalam orientasi horizontal. Film harus mencakup sampai molar ketiga.

2.Teknik Bisekting

Teknik bisekting adalah teknik lain yang dapat dilakukan selain teknik

(27)

pada pasien anak yang kurang kooperatif. Film diletakkan ke dalam rongga mulut dan diberikan blok untuk menahan film.2,9

Teknik bisekting dicapai dengan meletakkan film sepanjang permukaan lingual/palatal pada gigi kemudian sinar x-ray diarahkan tegak lurus (bentuk-T) ke garis imajiner yang membagi (membagi dua) sudut yang dibentuk oleh sumbu panjang gigi dan sumbu panjang film. Akan tetapi, teknik bisekting menghasilkan gambar yang kurang optimal karena reseptor dan gigi tidak berada sejajar dengan sinar-x ray. 2

Gambar 2. Teknik bisekting12

Teknik sudut bisekting dicapai dengan menempatkan reseptor sedekat mungkin dengan gigi. Teknik ini memerlukan kepekaan dan ketelitian yang lebih dari operator. Jika sudut bisekting tidak benar, maka akan terjadi perpanjangan atau pemendekkan.2

Keuntungan teknik bisekting, yaitu:9  Dapat dilakukan tanpa film holder

(28)

Kerugian teknik bisekting, yaitu:9  Sering terjadi distorsi

 Masalah angulasi( banyak angulasi yang harus diperhatikan)

Tabel 3. Angulasi vertikal teknik bisekting pada daerah maksila2,14 Elemen Gigi Sudut Penyinaran

Insisvus +40° - +50°

Kaninus +45° - +55°

Premolar +30° - +40°

Molar +20° - +30°

Tabel 4. Angulasi vertikal teknik bisekting pada daerah mandibula2,14

Elemen Gigi Sudut Penyinaran

Insisvus -15° - -25°

Kaninus -20° - -30°

Premolar -10° - 15°

Molar -5° - 0°

2.3.2 Radiografi Interproksimal/ Bitewing

(29)

teknik bitewing, film ditempatkan sejajar dengan permukaan mahkota gigi pada maksila dan mandibula. Kemudian pasien diminta menggigit bite tab atau

bitewingfilm holder dan sinar x-ray kemudian diarahkan diantara kontak dari gigi posterior dengan sudut vertikal +5º sampai +10º. 2,14

Film dapat diposisikan secara horizontal atau vertikal tergantung pada area yang akan dilakukan pengambilan radiografi. Pengambilan secara vertikal biasa digunakan untuk mendeteksi kehilangan tulang sedangkan pengambilan secara horizontal biasa digunakan untuk melihat mahkota, puncak alveolar, kavitas dan keberhasilan dari hasil perawatan. Teknik bitewing juga dapat dilakukan di segmen anterior. 2,14

Gambar 3. bite tab (kiri), film holder untuk bitewing (kanan)12

Gambar 4. Radiografi bitewing vertikal (atas), radiografi bitewing horizontal (bawah)12

2.4 Faktor-Faktor yang Berperan Dalam Pembuatan Radiografi Intraoral

(30)

1. Voltase. Voltase merupakan ukuran kualitas dari energi listrik yang melewati tabung sinar-x. Apabila voltase besar maka panjang gelombang akan pendek dan daya tembus akan semakin kuat. Untuk radiografi intraoral digunakan 45-65 kV dan untuk radiografi ekstra oral digunakan 70-90kV. 9,15

2. Miliampere. Ini merupakan ukuran dari jumlah energi listrik yang melewati tabung sinar-x. Untuk radiografi kedokteran gigi digunakan 10-15mA. Ketika elektron menyerang titik fokus, sinar-x akan dipancarkan. Sinar-X harus dipancarkan dari sumber radiasi paling kecil. Semakin kecil titik fokus di dalam kepala tabung, semakin besar detail pada yang akan dihasilkan gambar.Produsen atau pabrik mengatur ukuran titik fokus, dan tidak dapat diubah oleh operator. Tetapi titik fokus dapat membesar dari waktu ke waktu karena terus digunakan. Ketika pembesaran titik fokus terjadi, gambaran radiografi yang dihasilkan menjadi kurang tajam. Titik fokus harus dipantau melalumi program jaminan kualitas. Perangkat uji resolusi akan mengetahui perubahan pada titik fokus.9,12

Gambar 5. Titik fokus dalam kepala tabung.12

(31)

4.Film atau Reseptor yang Digunakan. Operator perlu mempertimbangkan radiografi sebagai gambaran dari bayangan gigi. Apakah dalam pembuatan gambaran radiografi menggunakan pelat kaku ataupun fosfor sensor digital atau film konvensional.9,12

Gambar 6. Contoh film gambar. Rigid CCD Sensor Digital (kiri) ,Pelat Fosfor Digital (tengah), F-Speed Dental Film (Sistem Dental Kodak) (kanan).12

(32)

Gambar 7. Kesejajaran film dan aksis panjang gigi.12

6. Jarak Target Film. Jarak dari target adalah jarak dari target anoda (sumber sinar) ke film untuk film ukuran standar (size 1) dan ukuran anak-anak (size 0) serta bitewing adalah delapan inci dan long cone teknik adalah 16-20 inci.9

7. Jarak Film terhadap Objek. Jarak objek ke film harus sedekat mungkin. Objek pada prinsip ini mengacu pada gigi atau struktur yang akan dilakukan pengambilan radiografi. Penempatan objek dekat dengan film akan mengurangi pembesaran dan meningkatkan ketajaman gambar. Teknik bisekting lebih mengikuti prinsip ini dari pada teknik parallel. Teknik bisekting lebih cenderung membentuk distorsi dan tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai teknik utama. Distorsi diartikan sebagai penyimpangan dari bentuk objek yang sebenarnya.2,9

(33)

Gambar 8. Jarak objek ke film.12

8. Arah dan Sudut Penyinaran. Penyinaran harus diarahkan tegak lurus dengan aksis panjang gigi, yang idealnya juga lurus terhadap film. Bila prinsip ini tidak diikuti, kesalahan dalam angulasi vertikal akan terlihat, dan gambar yang dihasilkan akan terlihat menyempit atau memanjang. Sudut penyinaran yang benar akan meningkatkan akurasi anatomi dan mengurangi distorsi bentuk. Sinar pusat (central ray) adalah pusat sinar-x dan sering digunakan untuk menunjukkan datangnya sinar serta keterpusatan sinar-x diatas film. Prinsip sederhana ini dapat dilakukan dengan menggunakan senter dan memproyeksikan bayangan suatu benda pada dinding di ruangan gelap. Latihan sederhana ini dapat membantu para radiografer pemula untuk lebih memahami kebutuhan untuk menerapkan prinsip-prinsip untuk menghasilkan gambar yang akurat. 2,9

Gambar 9. Sinar-x yang tegak lurus terhadap film.12

9. Waktu Penyinaran. Waktu penyinaran untuk ultra speed film adalah ¼ detik kecuali untuk molar adalah 3/8 detik.9

2.5 Proccesing Film

(34)

permanen. Tahapan pengolahan film secara keseluruan adalah developing, rinsing, fixing, washing, drying.11,14

A.Development (developing). Development adalah tahap pertama dari pengolahan film. Pada tahap ini terjadi perubahan dari hasil penyinaran. Perubahan yang terjadi adalah butir-butir perak halida didalam emulsi yang telah mendapat penyinaran berubah menjadi logam silver, perubahan menjadi logam silver inilah yang berperan dalam terjadinya penghitaman pada bagian-bagian yang terpapar sinar-x sesuai dengan intensitas cahaya yang diterima film. Komposisi larutan developer adalah ellon atau metol atau hydroquinone yang berfungsi untuk mereduksi bagian-bagian emulsi film menjadi logam silver,

sodium sulfite untuk mencegah oksidasi dari developer, sodium carbonat yang bersifat basa membantu aktifitas hydroquinone, dan potassium bromide untuk kontrol aktifitas developing dan mencegah terjadinya chemical fog. Pada saat mencelupkan film kedalam larutan developer perlu diperhatikan temperature dan lama pencelupan. Pada suhu 80°F selama 2½ menit, 75°F selama 3 menit, 70°F selama 4 menit, 68°F selama 4½ menit dan untuk 60°F selama 6 menit.2,9,11

B. Pembilasan (Rinsing). Setelah proses developing selesai maka akan masuk ketahap selanjutnya yaitu rinsing. Dimana pada waktu film dipindahkan dari tangki cairan developer, masih akan terdapat sejumlah cairan developer yang ikut terbawa pada permukaan film dan juga di dalam emulsi filmnya. Maka tugas cairan pembilas adalah untuk membersihkan film dari sisa larutan developer

tersebut. Apabila developing masih terjadi pada proses fiksasi maka akan membentuk kabut dikroik () sehingga foto yang dihasilkan tidak memuaskan. Pembilasan harus dilakukan dengan air yang mengalir selama lebih kurang 5 detik.10,11,14

(35)

logam silver. Kandungan larutan fixer adalah sodium thiosuolfate (clearing solution) yang berfungsi untuk membersihkan sisa-sisa larutan developer, sodium

sulfate untuk melindungi dekomposisi bahan sodium sulfate, potassium

aluminium sulfate untuk mengeraskan gelatin dan acetic acid yang bersifat asam. Tujuan dari tahap fiksasi ini adalah untuk menghentikan aksi lanjutan yang dilakukan oleh cairan pembangkit yang terserap oleh emulsi film. Pada proses ini juga diperlukan pengerasan untuk memberi perlindungan terhadap kerusakan dan untuk mengendalikan akibat dari penyerapan uap air.9,11,14

D. Pencucian (Washing). Setelah film menjalani proses fiksasi maka akan terbentuk perak kompleks dan garam. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan tersebut dalam air. Tahap ini sebaiknya dilakukan dengan air mengalir agar air yang digunakan selalu dalam keadaan bersih.9,11,14

E. Pengeringan (Drying). Ini merupakan tahap akhir dari siklus pengolahan film. Tujuan pengeringan adalah untuk menghilangkan air yang ada pada emulsi. Hasil akhir dari proses pengolahan film adalah emulsi yang tidak rusak, bebas dari partikel debu, endapan kristal, noda, dan artefak. Cara yang paling umum digunakan untuk melakukan pengeringan adalah dengan udara. Ada tiga faktor penting yang mempengaruhinya, yaitu suhu udara, kelembaban udara, dan aliran udara yang melewati emulsi.9,11,14

2.6 Kesalahan dan Kegagalan dalam Pembuatan Radiografi Intraoral

(36)

kesalahan dalam pengambilan foto maupun karena processing film dapat menyulitkan dokter gigi dalam mengintrepretasikan kondisi dari struktur gigi sehingga dapat terjadi diagnosis yang tidak tepat. 11,12,14

Dalam pembuatan foto radiografi intraoral, operator harus menguasi pengetahuan tentang jenis-jenis foto intraoral, jenis film intraoral yang akan digunakan, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang radiografer serta teknik-teknik foto intraoral dan berbagai kesalahan dan penyebab dari kegagalan dalam pembuatan radiografi khususnya foto intraoral yang banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : 12

2.6.1. Kesalahan Pasien

Dokter gigi seharusnya selalu menjelaskan prosedur radiografi kepada pasien dan memberikan instruksi yang jelas, seperti apa yang harus dilakukan pasien untuk membantu memastikan kualitas gambar dan menghindari hasil foto yang tidak baik. Kesalahan yang paling umum dalam kategori ini adalah gerakan.12

Faktor penyebab pasien untuk bergerak meliputi:12,13 • ketidaknyamanan

• posisi kepala tidak didukung • tersedak

• kecacatan pasien

(37)

lebih ke arah garis tengah langit-langit dan pada mandibula film diletakan mengikuti lekukan lidah dengan begitu pasien akan lebih merasa nyaman.12,13

B. Sandaran Kepala. Sandaran kepala yang kurang nyaman akan mengakibatkan pasien bergerak ketika pengambilan foto dan hal ini dapat berdampak pada hasil foto.13

Sandaran kepala pasien sewaktu di kursi gigi sebaiknya ditempatkan terhadap lobus oksipital bagian dasar dari bagian belakang kepala. Hal ini akan mendukung kepala selama prosedur radiografi dan mengurangi kemungkinan pasien bergerak.12

Penempatan posisi bidang oklusal harus sejajar dengan lantai dan bidang mid-sagittal pada pengambilan foto periapikal dan bitewing. Pada saat pengambilan foto periapikal di bagian mandibula operator dapat menginstruksikan pasien untuk sedikit meninggikan dagu karena hal ini dapat meningkatkan visibilitas dasar mulut sehingga penempatan film dapat lebih baik. 11,12

C. Tersedak. Refleks muntah adalah mekanisme perlindungan dari tubuh yang berfungsi untuk membersihkan saluran udara saat obstruksi. Semua pasien memiliki refleks muntah, akan tetapi, beberapa pasien lebih sensitif daripada yang lain. Refleks muntah sering terjadi ketika film berkontak dengan palatum lunak, pangkal lidah, atau posterior dari dinding faring. Refleks muntah dapat dihindar dengan cara menyiapkan semua peralatan sebelum film ditempatkan didalam mulut dengan tujuan untuk membuat pasien menjadi lebih terbiasa dan nyaman dengan prosedur. Pengaturan film harus ditetapkan terlebih dahulu dan tabung penyinaran ditempatkan di daerah yang akan kita ambil, setelah itu maka masukan film kemudian dengan segera lakukan pengambilan film. Cara lain yang dapat digunakan adalah pasien disuruh untuk bernapas yang dalam melalui hidung, atau memberikan anaetesi topikal.12,13

(38)

Pada keadaan seperti ini sangat dibutuhkan anggota keluarga atau wali untuk membantu dalam memegang pasien. Apron harus disediakan untuk pasien dan orang yang menemani pasien selama proses pengambilan foto radiografi intraoral. Dokter gigi harus mempertimbangkan teknik yang digunakan sesuai dengan kondisi pasien.12,13

2.6.2 Kesalahan Film

A. Kesalahan Penempatan Film. Kesalahan dalam penempatan reseptor film akan mengakibatkan gambaran pada area radiografi tidak akan terlihat dengan sempurna. Hal ini sering terjadi pada gigi molar yang akan dilakukan pengambilan radiografi dikarenakan ketidaknyaman pasien saat penempatan film sehingga film sering tidak berada pada posisi yang sesuai.10,11

B. Penempatan Film Terbalik. Penempatan film terbalik di dalam mulut akan menyebabkan lempengan timah yang terpapar sinar-x bukan film. Maka akan terjadi efek herringbone atau efek diamond akan muncul pada film yang telah diproses. Kesalahan ini akan menghasilkan gambar yang terang. Kesalahan penempatan terrbalik mungkin akan berkurang bila menggunakan reseptor digital khususnya sensor yang kaku atau rigid.10,11

C. Pembengkokan Film. Pembengkokan film dapat terjadi karena bentuk palatum atau lingual yang terlalu melengkung sehingga sewaktu film dimasukkan, operator secara tidak sengaja menekan film terlalu keras sehingga film menjadi bengkok. Bila menggunakan film holder, lenturkan film terlebih dahulu sebelum dimasukan ke tempatnya. Ukuran film yang terlalu besar juga dapat menyebabkan terjadinya pembengkokan film. 2,12

(39)

Gambar 10. Film bengkok12

D. Bidang oklusal miring. Ketika pengambilan gambar radiografi

bitewing, film yang tidak ditempatkan tegak lurus dengan bidang oklusal, akan berakibat tepi atas film mungkin berkontak dengan gingival dibagian palatal. Ketika ini terjadi, bidang oklusal akan miring sehingga hasil gambaran radiografi nantinya akan terlihat miring. Cara untuk menghindari hal ini adalah untuk selalu menempatkan biteblock dalam kontak oklusal atau insisal gigi. Selain itu, pada pengambilan periapikal sinar x-ray harus ditempatkan lebih ke koronal sehingga struktur dari gigi dapat terlihat penuh.11,12

(40)

2.6.3 Kesalahan Angulasi Vertikal

Bila menggunakan teknik parallel, angulasi vertikal harus disesuaikan dengan film holder sehingga arah sinar x dapat tegak lurus terhadap film dan gigi. Oleh karena itu, penempatan film harus sejajar dengan axis gigi sehingga dapat diperoleh angulasi vertikal yang tepat. Sebaliknya ketika menggunakan teknik bisekting, sinar yang tegak lurus terhadap bidang harus dapat membelah atau membagi sudut gigi dan reseptor. Kesalahan angulasi vertikal pada teknik bisekting dapat mengakibatkan terlihatnya pemanjangan atau pemendekan gigi pada hasil radiografi. 2,12

1. Elongasi. Kesalahan angulasi vertikal yang terjadi pada teknik parallel, akan mengakibatkan gambar bergerak dalam dimensi vertikal (atas atau bawah) sehingga pada hasil radiografi akan terlihat gambaran elongasi. Untuk memperbaiki kesalahan ini operator harus menaikkan angulasi vertikal. Dengan kata lain untuk maksila angulasi positif harus dinaikan (cone mengarah ke bawah), untuk mandibula angulasi negatif harus dinaikan (cone mengarah ke atas). Kesalahan ini bisa juga terjadi pada teknik bisekting yang disebabkan oleh arah sinar-x lebih fokus terhadap gigi.2,12

(41)

2. Foreshortening. Kesalahan ini terjadi karena sudut angulasi sinar-x yang terlalu besar, untuk mengurangi terjadi foreshortening ketika menggunakan teknik parallel, maka operator harus menurunkan angulasi vertikal pada maksila dan menurunkan angulasi vertikal pada mandibula. Kesalahan seperti ini juga dapat terjadi ketika film tidak ditempatkan secara parallel sesuai panjang aksis gigi.8

Gambar 13. Pemendekan atau foreshortening (kiri), sudut penerimaan (tengah), paparan sinar-x dengan angulasi yang terlalu besar.12

2.6.4 Kesalahan Angulasi Horizontal

Sinar-x harus ditujukan langsung antara permukaan gigi yang ditargetkan agar dapat melihat permukaan interproksimalnya sehingga dapat mengevaluasi karies dan kelainan lainnya pada gigi. Bila sudut angulasi horizontal salah maka akan menyebabkan gambar radiografi bergeser ke kanan atau ke kiri sehingga permukaan interproksimal menjadi tumpang tindih.2

(42)

kesalahan ini, sinar-x harus melewati gigi dimana kontak antar gigi harus terbuka.2, 13

Ketika menggunakan film holder, kesalahan angulasi horizontal juga dapat terjadi karena penempatan film secara horizontal yang tidak tepat. Kesalahan ini dapat dihindari dengan menempatkan film sejajar dengan gigi sehingga sinar-x dapat berjalan langsung melewati kontak bidang.10

2.6.5 Kesalahan Pemusatan Sinar

Pusat sinar-x harus selalu tegak lurus melewati film. Ketika keselarasan ini tidak diperhatikan, cone-cut dapat terjadi. Cone-cutting terlihat sebagai zona bening pada radiogarfi setelah film diproses, hal ini disebabkan karena kurangnya paparan sinar-x pada daerah yang terpotong tersebut. Ketika menggunakan digital imaging, cone-cut muncul sebagai daerah buram. Bentuk cone-cut tergantung pada jenis kolimator yang digunakan ketika mengekspos film. Misalnya, jika lingkaran kolimator atau cone digunakan, cone-cute yang melengkung akan muncul. Cone-cutting persegi akan terjadi bila menggunakan kolimator yang berbentuk persegi panjang. Untuk memperbaiki kesalahan ini, sinar harus dipusatkan kembali pada daerah yang tidak terpapar. Penggunaan film holder yang salah juga dapat menyebabkan terjadinya cone-cutting.12

(43)

2.6.6 Kesalahan dalam Pemaparan

Kesalahan dalam pemaparan dapat disebabkan oleh karena beberapa kesalahan yaitu antara lain:

A. Pengaturan waktu. Yang paling umum terjadi pada kesalahan pemaparan adalah tidak tepatnya pengaturan waktu. Pengaturan waktu pada saat pemaparan harus didasarkan pada kecepatan film, proyeksi yang terpapar dan kondisi pasien. Setiap ruang perawatan harus memiliki table pemandu paparan yang berisi waktu, voltase dan miliampere yang tepat.11,13

Pengaturan waktu pemaparan yang tidak tepat juga dapat terjadi karena evaluasi kondisi pasien yang tidak tepat. Operator menggunakan waktu yang lebih lama terhadap pasien yang tinggi besar dan waktu yang lebih sedikit untuk pasien yang kecil pendek dan anak-anak. Kegagalan penyesuaian waktu dapat menghasilkan hasil gambaran radiografi yang terlalu terang ataupun terlalu gelap.11

B. Paparan yang lebih atau kurang. Kesalahan ini dapat disebabkan karena jarak antar objek dan sinar-x yang terlalu jauh atau letak cone beam yang kurang dekat dengan wajah pasien. Jarak pemaparan dari kepala tabung ke wajah pasien sebaiknya tidak lebih dari dua centimeter. Hasil paparan yang berlebihan akan menghasilkan gambar dengan densitas yang terlalu tinggi atau gelap sedangkan paparan yang kurang akan menghasilkan densitas yang lebih rendah atau terang. 2,11

(44)

2.6.7 Gambaran Radiografi yang tidak Terdefenisikan

Gambaran radiografi yang tidak terdefenisikan dapat disebabkan oleh gerakan pasien, film yang bergerak, atau kepala tabung sinar-x yang bergerak. Gerakan film dapat terjadi ketika reseptor tidak benar-benar stabil di mulut atau ketika pasien bergerak karena merasa tidak nyaman. Untuk membantu mencegah kepala tabung sinar-x bergerak, sebaiknya lengan tabung ditempatkan pada dinding dan kepala tabung diarahkan kebawah. Apabila lengan tabung dibiarkan pada waktu yang lama dengan posisi tertentu lama kelamaan akan menjadi lemah sehingga tidak tahan getaran.2

2.6.8 Kesalahan Objek

Ketika protesa removable yang ada dalam mulut ikut terpapar saat pengambilan gambaran radiografi, protesa tersebut akan muncul pada gambaran radiografi. Sebaiknya sebelum prosedur radiografi, operator meminta pasien untuk melepas semua barang yang ada di dalam rongga mulut, seperti gigi tiruan parsial, gigi tiruan penuh, dan lainnya. Kacamata pasien juga harus dilepas sebelum prosedur radiografi. Perhiasan pada wajah yang berada di jalur sinar-x juga harus dilepas untuk meghindari artefak yang tidak diinginkan. 2,16

(45)

Gambar 15. Gigi tiruan sebagian lepasan (kiri), Cincin pada hidung (tengah), Pelindung tiroid (kanan)12

2.6.9 Kesalahan yang Disebabkan oleh Hal Lain

Kesalahan yang disebabkan oleh hal lain dapat disebabkan karena masalah mekanis seperti kegagalan listrik, kerusakan genset, kegagalan untuk mengaktifkan mesin, dan hal mekanis lainnya.15

2.6.10 Kesalahan dalam Processing Film

Processing film adalah suatu cara untuk menghasilkan gambar dalam

pembuatan foto roentgen dengan menggunakan cairan kimia tertentu. Tahap

processing ini sangat penting untuk mengahasilkan kualitas gambar yang baik, walaupun teknik penempatan film sudah benar, pasien koperatif, mesin sinar x dengan kualitas terbaik, namun jika pengetahuan operator kurang tentang teknik

processing, bahan kimiawi dan prosedur kerjanya, maka kemungkinan kegagalan

radiografik pada waktu processing dapat terjadi.2,14

Prosedur processing film yang benar akan menghasilkan gambar yang memuaskan seperti : kontras, detail gambar, terbebas dari foq serta tidak adanya noda processing. Masalah processing film dapat beberapa faktor diantaranya :9,12

(46)

2. Kesalahan yang disebabkan oleh bahan kimia yang terkontaminasi 3. Kesalahan yang disebabkan dalam penanganan film

2.6.10.1 Kesalahan yang Disebabkan oleh Waktu dan Temperatur

1. Dense image. Hasil gambaran radiografi yang terlihat gelap (dark radiograph) dapat disebabkan karena terjadinya over developer pada saat proses

developing, dimana keadaan ini terjadi karena konsentrasi larutan developer yang terlalu tinggi (pekat) sedangkan waktu developing tidak disesuaikan dengan konsentrasi tersebut , kesalahan lain yang dapat memungkinkan terjadinya dense

image, antara lain : kesalahan dalam penyinaran, miliampere dan voltase yang

tinggi.12,16

Gambar 16. Dense image9

2. Thin image .Hasil gambaran radiografi yang terlihat terang atau tipis disebabkan oleh under developer film, dimana keadaan ini dapat diakibatkan oleh waktu developer yang tidak tepat atau terlalu singkat/cepat ataupun karena larutan developer yang terlalu dingin, kesalahan ini dapat juga diakibatkan karena kesalahan dalam penyinaran, serta miliamper dan voltase yang rendah11,12

(47)

3. Cracked image. Terlihatnya gambaran pecah- pecah pada hasil radiografi dapat disebabkan oleh karena terjadinya retikulasi dari emulsi film. Keadaan ini dapat diakibatkan oleh perubahan temperature developer secara tiba-tiba dimana terjadinya penambahan cairan kimia yang baru ke yang lama.9,14

Gambar 18. Cracked image9

2.6.10.2 Kesalahan yang Disebabkan oleh Kontaminasi Bahan Kimia

1. Dark spots. Adanya gambar spot hitam (Dark spots) pada film, disebabkan oleh terjadinya kontak antara larutan developer dengan film pada sesaat sebelum dilakukan proccessing. 9

Gambar 19. Dark spots9

(48)

Gambar 20. Bright spots9

3. Steins. Terlihatnya gambaran warna kuning kecoklatan, disebabkan oleh karena penggunaan larutan fixer yang sudah lama dan proses washing yang tidak sempurna, sedangkan noda yang berwarna coklat dapat disebabkan karena proses fixing dan washing yang terlalu cepat atau kurang sempurna.14

Gambar 21. Steins9

2.6.10.3 Kesalahan dalam Penanganan Film

A. Partial white image Terlihatnya gambaran putih dibagian pinggir film dapat diakibatkan karena hanya sebagian film yang terprocessing dan sebagian lainnya tidak terendam dalam larutan developer. 9

(49)

B. Partial dark image Terlihatnya gambaran hitam dipinggir film dapat diakibatkan karena hanya sebagian film yang terprosesing dan sebagian lain dari film tidak terendam dalam larutan fixer.14

Gambar 23. Partial dark image9

C. Daerah Putih atau Hitam pada Daerah Overlap. Terlihatnya gambaran putih / hitam pada daerah overlap dapat diakibatkan karena kedua film berkontak sesaat sebelum dilakukan processing atau radiographer secara tidak sengaja mengontakan kedua film pada saat processing.9

Gambar 24. Daerah putih/hitam pada daerah overlap9

(50)

Gambar 25. Black crescent Shaped marks9

E. Lack finger print. Terlihatnya gambaran sidik jari pada film dapat diakibatkan karena selama processing film, operator tidak menggunakan film klip sehingga permukaan film tersentuh oleh tangan operator sehingga terjadi kontaminasi silang dengan larutan developer.9

Gambar 26. Lack finger print9

F. Static electricity. Terlihatnya gambaran menyerupai ranting pohon berwarna hitam, yang terlihat seperti terjadinya fraktur tulang dapat diakibatkan karena operator mengeluarkan film dari bungkusnya secara kasar. Hal ini juga dapat disebabkan karena kelembaban ruangan kamar gelap dan aliran listrik yang tidak stabil.9,15

(51)

G. Garis putih. Terlihatnya gambaran seperti scratched film, dapat diakibatkan lepasnya emulsi halus dari film yang disebabkan karena film terkena goresan dari benda tajam.9

(52)

2.7 Kerangka Konsep

Mahasiswa kepaniteraan klinik FKG salah satu universitas di DKI Jakarta

Mahasiswa kepaniteraan klinik FKG salah satu universitas di Sumatera Barat

Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik

Radiografi dental

Radiografi ekstraoral Radiografi intraoral

(53)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional (sekali waktu) yang menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Penelitian ini disebut penelitian deskriptif analitik karena penelitian diarahkan untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi dan mencari hubungan antar variabel. Sedangkan dikatakan sebagai pendekatan cross sectional (sekali waktu) karena pemeriksaan, observasi, dan pengumpulan data dilakukan sekaligus pada suatu saat (point time approach) yang artinya tiap responden penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel responden pada saat pemeriksaan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di fakultas kedokteran gigi pada salah satu universitas di DKI-Jakarta dan Sumatera Barat. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Agustus 2013.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

(54)

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa kepaniteraan klinik Fakultas Kedokteran Gigi pada salah satu universitas di Sumater Barat yang pengambilan sampelnnya dilakukan dengan menggunakan metode total sampling

sedangkan sampel pada universitas di DKI Jakarta dipilih dengan menggunakan metode simple random sampling yang dimana besar sampel minimal penelitian diperoleh dengan perhitungan menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

N1 = jumlah sampel salah satu universitas di Sumatera Barat N2 = jumlah sampel salah satu universitas di DKI Jakarta

= deviat baku alpha ditetapkan sebesar 5%, = 1,64 = deviat baku beta ditetapkan sebesar 20%, = 0,84 P = proporsi populasi total =

P1 = proporsi populasi (0,5)

P1-P2 = selisih proporsi yang dianggap bermakna, ditetapkan sebesar 0,2 P2 = P1 – 0,2 = 0,5-0,2 = 0,3

Q = 1-P = 1-0,4 = 0,6

(55)

Berdasarkan perhitungan dengan rumus, maka jumlah sampel minimal yang diperlukan pada penelitian ini berjumlah 73 responden. Penelitian ini akan menggunakan 80 responden yang digenapkan dari hasil rumus sampel minimal untuk mempermudah perhitungan statistik. Oleh karena itu, peneliti akan mengambil 80 responden pada masing-masing universitas yang terpilih yakni 80 responden pada salah satu universitas di DKI Jakarta dan 56 responden pada salah satu universitas di Sumatera Barat. Maka total sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 136 responden yang diambil dari 2 universitas.

3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

(56)

kepaniteraan klinik dinilai cukup. Kemudian apabila responden hanya dapat menjawab kurang dari 5 pertanyaan dalam kuesioner yang dijawab benar maka pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik dinilai kurang.

3.5 Metode Pengumpulan Data dan Alur Penelitian

3.5.1 Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan cara membagikan kuesioner kepada 80 responden yang dipilih secara acak dari populasi mahasiswa kepaniteraan klinik fakultas kedokteran gigi yang ada pada universitas di DKI-Jakarta dan 56 responden yang juga dipilih secara acak dari populasi mahasiswa kepaniteraan klinik fakultas kedokteran gigi yang ada pada universitas di Sumatera Barat yang dipilih untuk penelitian ini.

Responden yang terpilih sebanyak 136 dan telah menyetujui untuk berpartisipasi akan dikumpulkan pada satu daerah dalam universitas tersebut dalam waktu tertentu. Setiap responden akan menerima satu lembar kuesioner yang berisi 10 pertanyaan mengenai hal-hal yang dapat mempengaruhi kesalahan dan kegagalan dalam pembuatan radiografi intraoral guna mengUji-Tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik pada daerah-daerah tersebut.

Setiap responden akan diberi waktu kurang lebih 20 menit untuk menjawab kuesioner tersebut. Kuesioner akan langsung dikembalikan kepada peneliti setelah responden selesai menjawab seluruh pertanyaannya.

(57)
(58)

3.5.2 Alur Penelitian

3.6 Pengolahan Data dan Analisis Data

3.6.1 Pengolahan Data

(59)

pertanyaan 10, dimana setiap pertanyaan memiliki skor 1 untuk jawaban yang benar dan skor 0 untuk jawaban yang salah dengan total skor maksimal adalah 10, maka tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu:

a. Tingkat pengetahuan baik, apabila total skor berada diantara 8-10 ( >80% dari total skor maksimal)

b. Tingkat pengetahuan sedang, apabila total skor berada diantara 5-7 ( 50% - 79% dari skor maksimal)

c. Tingkat pengetahuan kurang, apabila total skor berada diantara < 5 (<50% dari skor maksimal)

Data yang telah dikumpulkan dikelompokkan melalui proses:

a. Editing yaitu memeriksa kembali apakah data yang terkumpul sudah lengkap, terbaca dengan jelas dan tidak meragukan serta apakah ada kesalahan dan sebagainya.

b. Membuat lembaran kode yaitu membuat kode pada lembaran kuesioner yang tujuannya untuk memberi nomor responden, memberi bobot kepada setiap jawaban yang diberikan responden untuk lebih mudah dalam pengolahan dan perhitungan total skor dari semua pertanyaan.

c. Memasukan data yaitu memasukan data ke dalam kolom-kolom yang telah disesuaikan dengan jawaban masing-masing pertanyaan dan bobot dari masing-masing jawaban.

d. Tabulasi yaitu membuat tabel-tabel data sesuai dengan tujuan penelitian.

(60)

3.6.2 Analisis Data

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji-T independent( T-test) yaitu menghitung perbandingan pengetahuan antara dua kelompok mahasiswa kepaniteraan klinik tersebut.

a. Dihitung total skor pada kuesioner masing-masing responden dimana skor 0 jika jawaban salah dan skor 1 jika jawaban benar.

b. Dikategorikan nilai hasil kuesioner yang mana >80% dimasukkan ke dalam kategori baik, 50-79% dimasukkan ke dalam kategori sedang dan < 50% dimasukkan ke dalam kategori kurang.

(61)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Responden Berdasarkan Usia

Dalam penelitian ini total sampel yang didapat pada dua provinsi di Indonesia adalah sebanyak 136 responden, dimana 56 responden didapat dari fakultas kedokteran gigi di Sumatera Barat dan 80 responden didapat dari fakultas kedokteran gigi di DKI Jakarta.

Tabel 5. Frekuensi responden berdasarkan usia di DKI Jakarta.

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa usia responden rata-rata berada pada usia 23 tahun sebanyak 43,8%. Serta responden minimum berusia 20 tahun sebanyak 2 orang dan maksimum berusia 25 tahun sebanyak 1 orang.

Usia Frekuensi %

20 tahun 2 2.5

21 tahun 10 12.5

22 tahun 27 33.8

23 tahun 35 43.8

24 tahun 5 6.3

25 tahun 1 1.3

(62)

Tabel 6. Frekuensi responden berdasarkan usia di Sumatera Barat.

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa usia responden rata-rata berada pada usia 22 tahun sebanyak 30,4%. Serta responden minimum berusia 20 tahun sebanyak 1 orang dan maksimum berusia 24 tahun sebanyak 7 orang.

4.2 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 7. Responden berdasarkan jenis kelamin di DKI Jakarta.

Jenis Kelamin Frekuensi %

Laki-laki 19 23.8

Perempuan 61 76.2

Total 80 100.0

Usia Frekuensi %

20 tahun 1 1.8

21 tahun 16 28.6

22 tahun 17 30.4

23 tahun 15 26.8

24 tahun 7 12.5

(63)

Dari tabel diatas dapat dilihat responden pada penelitian di DKI Jakarta adalah sebesar 76,3% merupakan responden perempuan dan sebesar 23,8% merupakan responden laki-laki.

Tabel 8. Responden berdasarkan jenis kelamin di Sumatera Barat.

Jenis Kelamin Frekuensi %

Laki-laki 11 19.6

Perempuan 45 80.4

Total 56 100.0

Dari tabel diatas dapat dilihat responden pada penelitian di Sumatera Barat adalah sebesar 80,4% merupakan responden perempuan dan sebesar 19,6%

merupakan responden laki-laki.

4.3 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang gambaran radiografi intraoral berupa elongasi

Tabel 9. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui tentang gambaran radiografi intaroral berupa elongasi

Universitas DKI Jakarta Sumatera Barat Jawaban

(64)

Universitas DKI Jakarta Sumatera Barat

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menunjukkan persentase mahasiswa yang salah dalam menjawab gambaran radiografi intraoral berupa elongasi kebanyakkan terdapat pada mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat yaitu sebanyak 25%

4.4 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang penyebab terjadinya elongasi

Tabel 10. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui penyebab terjadinya elongasi

Universitas DKI Jakarta Sumatera Barat Jawaban Frekuensi/(%) Frekuensi/(%)

Salah 2(2,5%) 26(46,4%)

Benar 78(97,5%) 30(53,6%)

Total 80(100%) 56(100%)

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menunjukkan persentase mahasiswa yang salah dalam menjawab penyebab terjadinya elongasi

(65)

4.5 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang gambaran radiografi intraoral berupa foreshortening

Tabel 11. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui tentang gambaran radiografi intaroral berupa foreshortening

Universitas DKI Jakarta Sumatera Barat Jawaban Frekuensi/ (%) Frekuensi/ (%)

Salah

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menunjukkan menunjukkan persentase mahasiswa yang salah dalam menjawab gambaran radiografi berupa foreshortening kebanyakkan terdapat pada mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat yaitu sebanyak 25%.

4.6 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang penyebab terjadinya foreshortening

Tabel 12. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui penyebab terjadinya

foreshortening

Universitas DKI Jakarta Sumatera Barat Jawaban Frekuensi /(%) Frekuensi/(%)

(66)

Benar 78(97,5%) 33(58,9%)

Total 80(100%) 56(100%)

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menunjukkan persentase mahasiswa yang salah dalam menjawab penyebab terjadinya

foreshortening kebanyakkan terdapat pada mahasiswa kepaniteraan klinik di

Sumatera Barat yaitu sebanyak 41,1%.

4.7 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang gambaran radiografi intraoral berupa cone-cutting

Tabel 13. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui tentang gambaran radiografi intaroral berupa cone-cutting.

Universitas DKI Jakarta Sumatera Barat Jawaban Frekuensi/(%) Frekuensi/(%)

Salah 7(8,8%) 33(58,9%)

Benar 73(91,3%) 23(41,1%)

Total 80(100%) 56(100%)

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menunjukkan persentase mahasiwa yang salah dalam menjawab gambaran radiografi berupa

cone-cutting kebanyakkan terdapat pada mahasiswa kepaniteraan klinik di

(67)

4.8 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang penyebab terjadinya cone-cutting

Tabel 14. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui penyebab terjadinya cone-cutting

Universitas DKI Jakarta Sumatera Barat Jawaban Frekuensi/(%) Frekuensi/ (%)

Salah 1(1,3%) 27(48,3%)

Benar 79(98,7%) 29(51,7%)

Total 80(100%) 56(100%)

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menunjukkan persentase mahasiwa yang salah dalam menjawab penyebab terjadinya

cone-cutting kebanyakkan terdapat pada mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera

Barat yaitu sebanyak 48,3%.

4.9 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang gambaran radiografi intraoral berupa spot hitam.

Tabel 15. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui tentang gambaran radiografi berupa spot hitam

Universitas DKI Jakarta Sumatera Barat Jawaban Frekuensi/(%) Frekuensi/(%)

(68)

Benar 75(93,7%) 24(42,9%)

Total 80(100%) 56(100%)

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menunjukkan persentase mahasiwa yang salah dalam menjawab gambaran radiografi berupa spot hitam kebanyakkan terdapat pada mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat yaitu sebanyak 57,1%.

4.10 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang penyebab terjadinya spot hitam.

Tabel 16. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui penyebab terjadinya spot hitam.

Universitas DKI Jakarta Sumatera Barat Jawaban Frekuensi/(%) Frekuensi/ (%)

Salah 51(63,8%) 34(60,7%)

Benar 29(36,3%) 22(39,3%)

Total 80(100%) 56(100%)

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menunjukkan persentase mahasiwa yang salah dalam menjawab penyebab terjadinya spot hitam kebanyakkan terdapat pada mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta yaitu sebanyak 63,8%.

(69)

Tabel 17. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui tentang gambaran radiografi intraoral berupa dense image

Universitas DKI Jakarta Sumatera Barat Jawaban Frekuensi/(%) Frekuensi/(%)

Salah 45(56,3%) 32(57,1%)

Benar 35(43,7%) 24(42,9%)

Total 80(100%) 56(100%)

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menunjukkan persentase mahasiwa yang salah dalam menjawab gambaran radiografi berupa

dense image kebanyakkan terdapat pada mahasiswa kepaniteraan klinik di

Sumatera Barat yaitu sebanyak 57,1%.

4.12 Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik tentang penyebab terjadinya dense image

Tabel 18. Frekuensi mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat yang mengetahui penyebab terjadinya dense image.

Universitas DKI Jakarta Sumatera Barat Jawaban Frekuensi/(%) Frekuensi/(%)

Salah 7(8,8%) 17(30,4%)

Benar 73(91,2%) 39(69,6%)

(70)

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menunjukkan persentase mahasiwa yang salah dalam menjawab penyebab terjadinya dense

image kebanyakkan terdapat pada mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera

Barat yaitu sebanyak 30,4%.

4.13 Tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik fakultas kedokteran gigi pada dua provinsi di indonesia

Tabel 19. Frekuensi tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dan Sumatera Barat tentang kesalahan dan kegagalan dalam pembuatan radiografi intraoral

Universitas DKI Jakarta Sumatera Barat Jawaban Frekuensi/(%) Frekuensi/(%)

Baik 69(86,3%) 6(10,7%)

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menujukkan persentase mahasiwa yang berada dalam kategori kurang terdapat pada mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat yaitu sebanyak 21,4%

4.14 Uji-T

(71)

Pengetahuan

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menunjukkan data kedua kelompok normal. Dimana, hasil sig dari Kolmogorov-Smirnov

menunjukkan sig > 0,5.

Tabel 21. Hasil Uji-T (T-test) kedua kelompok mahasiswa kepaniteraan klinik fakultas kedokteran gigi pada dua provinsi di Indonesia

Dari hasil tabel diatas dapat dilihat hasil penelitian ini menunjukkan sig berada pada 0,01 sehingga dapat dilihat adanya perbedaan tingkat pengetahuan pada mahasiswa kepaniteraan klinik fakultas kedokteran gigi pada dua provinsi di Indonesia. Serta dari hasil uji statistik rata-rata terdapat perbedaan antara kedua

Pengetahuan N Mean Std. Deviation

(72)
(73)

BAB 5

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian dari total 136 responden pada fakultas kedokteran gigi di dua provinsi di Indonesia dengan proposi 80 responden berasal dari DKI Jakarta dan 56 responden berasal dari Sumatera Barat diperoleh bahwa mahasiswa kepaniteraan klinik di DKI Jakarta dominan berada pada usia 23 tahun (43,8%) dan mahasiswa kepaniteraan klinik di Sumatera Barat dominan berada pada usia 22 tahun (30,4%).

Hal ini berdasarkan aturan yang sesuai dengan ketentuan keputusan menteri pendidikan nomor 232/U/2000 yang menjelaskan tentang beban studi program sarjana adalah sekurang-kurangnya 144 (seratus empat puluh empat) SKS dan sebanyak-banyaknya 160 (seratus enam puluh) SKS yang dijadwalkan untuk 8 (delapan) semester dan dapat ditempuh dalam waktu kurang dan 8 (delapan) semester dan selamalamanya 14 (empat belas) semester setelah pendidikan menengah atas.17

Gambar

Gambar 5. Titik fokus dalam kepala tabung.12
Gambar 7. Kesejajaran film dan                  aksis panjang gigi.12
Gambar 9. Sinar-x yang tegak
Gambar 10. Film bengkok12
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik pria dan wanita pada salah satu fakultas kedokteran gigi di Malaysia terhadap penggunaan radiografi kedokteran gigi pada tabel 5 (7-10),

ingin melakukan penelitian tentang “ Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Terhadap Prosedur Pemanfaatan Radografi Pada Fakultas Kedokteran Gigi Mahasaraswati

Hasil penelitian Emilia Mestika (2012), pada 80 mahasiswa kepaniteraan klinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara didapatkan sebesar 63,8% mahasiswa

Saya yang bernama Andi Lestari, mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi USU, ingin melakukan penelitian tentang “ Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Terhadap Prosedur

Selain itu, terdapat perbedaan yang bermakna antara tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Fakultas Kedokteran Gigi pada salah satu universitas di Jakarta dan

Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik mengenai gambaran anomali gigi menggunakan radiografi

Saya adalah mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan kedokteran gigi di Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan, ingin melakukan penelitian tentang “Pengetahuan Kepaniteraan

Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik tentang Anatomi Normal Rongga Mulut Ditinjau dari Radiografi Panoramik Pada Salah Satu Fakultas Kedokteran Gigi Di Jawa Barat..