• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon produktivitas tanaman padi terdap kekeringan terpengaruh oleh pola curah hujan suatu wilayah. Tingkat respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan pada masing-masing zona agroklimat Oldeman dapat ditunjukan melalui Gambar 6. Tingkat respon produktivitas tanaman padi pada Gambar 6 secara kuantitatif ditunjukkan melalui nilai rataan persentase penurunan produktivitas.

Gambar 7 Rataan Penurunan Produktivitas per 10% Penurunan Curah Hujan pada Masing-Masing Zona Agroklimat

Zona agroklimat A dan B merupakan zona yang relatif lebih aman dari pengaruh kekeringan bila dibandingkan dengan zona agroklimat lainnya. Penurunan produktivitas per 10 % penurunan curah hujan yang merupakan tingkat respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan pada kedua zona agroklimat tersebut lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata penurunan produktivitas pada zona lainnya (Gambar 7). Tingkat respon penurunan produktivitas pada pada zona A dan B memiliki perbedaan yang besar dibandingkan dengan respon produktivitas pada zona C, D maupun E. Perbedaan respon yang besar anatar kedua zona ini terhadap zona lainnya menunjukkan bahwa produktivitas tanaman padi pada zona dengan jumlah bulan basah ≥ 7 jauh lebih stabil dibandingkan dengan zona yang memiliki bulan basah < 7. Zona D dan zona E memiliki kesamaan dalam tingkat persentase penurunan produktivitas setiap 10% penurunan curah hujan. Persamaan ini kemungkinan besar dikarenakan produktivitas tanaman padi sawah tadah hujan pada kawasan ini sangat kecil dan menghampiri 0 ton/ha.

Keberadaan zona agroklimat A dan B mempengaruhi variasi respon penurunan produktivitas pada sawah tadah hujan. Daerah Banten dan Jawa Barat yang didominasi oleh zona ini relatif tidak rentan dibandingkan daerah lainnya. Hal ini juga

menunjukkan bahwa dampak kekeringan pada produktivitas tanaman padi juga tergantung pada pola curah hujan suatu wilayah. Perbedaan respon pada setiap zona juga menjelaskan perbedaan respon antara sawah tadah hujan dan irigasi di Jawa Timur yang besar. Sawah di Jawa Timur didominasi oleh zona C dan D yang merupakan zona yang rentan terhadap kekeringan, sehingga penggunaan tekhnologi irigasi akan menghasilkan dampak yang besar terhadap respon kekeringan di kawasan tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa rata-rata respon penurunan produktivitas tanaman padi di kawasan Jawa dan Bali setiap 10% penurunan curah hujan adalah 5.8%. Sawah irigasi relatif lebih aman dari pada sawah tadah hujan dengan respon sebesar 4.4 %, sedangkan sawah tadah hujan sebesar 11.6 %. Sawah irigasi yang paling rentan adalah sawah pada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan persentase penurunan produktivitas sebesar 5.3 % setiap penurunan 10 % curah hujan. Sawah tadah hujan yang paling rentan juga berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan penurunan produktivitas sebesar 14.8%. Akan tetapi, provinsi yang memiliki perbedaan paling besar antara penurunan produktivitas pada sawah tadah hujan dan

irigasi adalah Provinsi Jawa Timur yang mencapai dua kali lipat dari respon sawah irigasi. Pola curah hujan bulanan memiliki pengaruh besar pada variasi respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan. Kekeringan berdampak relatif kecil dengan rata-rata dibawah 8% penurunan produktivitas untuk setiap penurunan 10% curah hujan pada sawah tadah hujan di Provinsi Banten dan Jawa Barat yang didominasi oleh zona agroklimat A dan B. Kawasan lain seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali yang memiliki zona agroklimat dominan C dan D mengalami dampak cukup besar dengan rata-rata 12 % penurunan produktivitas setiap penurunan 10% curah hujan.

SARAN

Kajian respon produktivitas terhadap kekeringan pada daerah lain di Indonesia dengan menggunakan pendekatan model simulasi perlu memperhitungkan tipe curah hujan dominan (Moonsonal, Lokal atau equatorial). Perbedaan pola curah hujan bulanan pada ketiga tipe pola curah hujan tersebut mengharuskan waktu penanaman yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Alen CD, Macalady AK, Chenchouni H, Bachelet D, McDowell, Vennetier M, Kitzberger T, Rigling A, Breshears DD, Hogg EH, Gonzalez P, Fensham R, Zhang Z, Castro J, Demidova N. Lim JH, Allard G, Running SW, Semerci A, Cobb N. 2010. A Global View of Drought and Heat-Induced Tree Mortality Reveals Emerging Climate Change Risk for Forest. Elsevier ForestEcology and management 259 (2010) 660-684 Bates BC, Kundzewicz ZW & palutikof JP.

2008. Climate Change and Water. Technical Paper of the Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC Secretariat, Geneva, 210 pp.

Bocco R, Lorieux M, Seck PA, Futakuchi K, Manneh B, Baimey H & Njiondjop MN. 2012. “Agro-morphological characterization of population of intergression lines derived from crosses between IR 64 ( Oryza sativa indica) and TOG 5681 (Oryza

glaberrima) for drought tolerance. Elservier Plant Science 183 (2012) 65-75.

Boling A, Toung TP, Jatmiko SY, & Burac MA. 2004. Yield constraints of rainfed rice in Central java, Indonesia. Elsevier Field Crops Research 90 (2004) 351-360. Boling AA,Tuong TP, Keulen H, Bouman

BAM, Suganda H & Speirtz JHJ.2010. Yield Gap of rainfed Rice in Farmer’ Fields in Central Java, Indonesia. Elsevier Agricultural Systems 103 (2010) 307-315. [BPS] Badan Pusat Statistik. Tabel Luas

Panen- Produktivitas- Produksi Tanaman Padi Seluruh Provinsi

tahun 2009. [online].

http://bps.go.id/tnmn_pgn.php. [1 mei 2012].

[BMKG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2009. Drought Assesment over Indonesian related to El Nino and SSTA Indonesia. Inter-Regional Workshop on Indices and Early Warning for Drought.

Cai Ximing, Yi-Chen E, Rigler C, Zhao J & You L . 2011. Agricultural Water Productivity Assessment for the Yellow River Basin. Elsevier Agricultural Management 98 (2011) 1297–1306.

Challinor AJ, Wheeler TR. 2008. Use of a crop model ensemble to quatify CO2 stimulation of water-stressed and well-watered crops. Elservier Agricultural and Forest Meteorology 148 (2008) 1062-1072.

Handoko. 1994. Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. Bogor: Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Koesmaryono Y & Handoko. 2008.

Klasifikasi Iklim. Di dalam: handoko, editor. Klimatologi Dasar. Bogor: IPB

Krave AS, Straalen NM, Verseveld HW, Roling WFM . 2007. Influence of El Nino and La Nina Climate Events and Litter Removal on Inorganic Nitrogen Dynamics in Pine Forest Soil on Central Java, Indonesia. Elservier European Journal of Soil Biology 43 (2007) 39-47.

Kuenzer C, Zhao D, Scipal K, Sabel D, Naemi V, Bartalis Z, Mehl SH & Wagner W. 2009. El Nin˜o southern

oscillation influences represented in ERS scatterometer-derived soil moisture data. Elsevier Applied Geography 29 (2009) 463-477. Kumar A, Veruklar SB, Mandal NP, Variar

M, Shukla VD, Dwivedi JL, Singh BN, Singh ON, Swain P, Mall AK, Robin S, Chandrababu R, Jain A, Haefele, Piepho HP & Raman A. 2012. Hight-Yielding, Drought-Tolerant,Stable Rice Genotypes for Shallow Rainfed Lowland Drought-Prone Ecosystem. Elsevier Field Crop Research 133 (2012) 37-47. Leilah AA & Al-Khateeb S A. 2005.

Statistical Analysis of Wheat Yield under Drought Condition. Elservier Journal of Arid Enviroments 61 (2005) 483-496.

Liao SY, Chen CC & Hsu SH. 2010. Estimating the value of El Nino Southern Oscillation Information in Regional Water Market With Implication for Water Management. Elsevier Journal of Hydrology 394 (2010) 347-356.

Mahmood R, Legates DR, Meo M. 2004. The role of soil water availability in potential rainfed rice productivity in Bangladesh: applications of the CERES-Rice model. Elsevier Applied Geography 24 (2004) 139-159 Makurira H, Savenije HHG, Uhlenbrook S,

Rockstrom J & Senzanje A. 2011. The Effect of System Innovations on Water Productivity in Subsidence Rainfed Agricultural System in Semi-Arid Tanzania. Elservier Agricultural Water management 98 (2011) 1696 - 1703.

Mantel S. 2001. Berau Model Forest Area Environmental Datasets and Maps: land System Inventory. Consultant report-juni 2001

Matthews RB, Kropff MJ, Bachelet D & van Laar HH. 1995. Modeling the Inpact of Climate change on rice production in Asia. CAB International. 289pp McGregor GR & Nieuwolt S. 1997.

Tropical Climatology Second Edition. England: John Wiley & Sons Mishra AK & Sigh VP. 2010. A Riview of Drough Concept.[a riview paper]. Elsevier Journal of Hydrology 391 (2010) 202-216.

Mo X, Liu S, Lin Z, Xu Y, Xiang Y & McVicar TR. 2005. Prediction of crop Yield, water consumption and water use efficiency with SVAT-Crop Growth Model Using Remotely Sense Data on the North China Plain. Elsevier Ecological Modeling 183 (2005) 301-322.

Patuwan G, Fukai S, Coper M,

Rajatasecereekul S & O’Toole JC.. 2002a . Yield Response of Rice (Oryza sativa L.) genotypes to different types of drought under rainfed lowlands Part 1. Grain yield and yield components. Elsevier Field Crops Research 73 (2002) 153-168. Patuwan G et.al. 2002b. Yield Response of

rice (Oryza sativa L.) genotypes to drought under rainfed lowlands 2. Selection of Drought Resistant Genotypes. Elsevier Field Crops Research 73 (2012) 169-180. Subash N, Singh SS & Priya N. 2011.

Extream rainfall indices and its impact on rice productivity- A case study over sub-humid climatic enviroment. Agricultural Water Management 98 (2011) 1373– 1387. Tjasyono BHK. 2004. Klimatologi.

Bandung: Penerbit ITB.

Venuprasad R, Impa SM, Godwa RPV, Atlin GN & Serraj R. 2008. Response to two cycles of divergent selection for grain yield under drought stress

in four rice breeding populations. Elsevier Field Crops Research 107 (2008) 232-244.

Verulkar SB, Mandal NP, Dwivedi JI, Singh BN, Sinha PK, MahatoRN, Dongre P, Singh ON, Bose LK, Swain P, Robin, S, Chandrababu R, Senthil S, Jain A, Shashidhar HE, Hittalamani S, Hittalamani S, Cruz VC, Paris T, Raman A, Haefele S, Serraj R, Atlin G, & Kumar A. 2010. Breeding Resilent and Productive Genotype Adapted to Drought-prone Rainfed Ecosystem of India. Elsevier Field Crops Research 117 (2010) 197-208. Wang E, Feng J, Lafang Y, Guo J & Pu Z.

2002. Development of a Generic crop model template in the cropping system model APSIM. Elversier Euro. J. Agronomy 18 (2002) 121-140.

White JW, Hoogenboom G, Kimball BA & Wall GW. 2011. Methodelogies for simulating impact of climate changge on crop production. Elsevier Field Crop Research 124 (2011) 357-368. Wilhite DA. 2005. Drought. Di dalam:

Oliver J E, editor. Encyclopedia of World Climatology. New York: Springer.

Wilhite DA. 2007. Preparedness and Coping Strategies for Agricultural Drought Risk management: Recent Progress and Trends. Di dalam: Silvakurnar MVK & Raymond PM, editor. Managing Weather and Climate Risks in Agriculture. New York: Springer. Hlm 21-38.

Lampiran 1 Validasi Model

Lampiran 2 Nilai Slope Persentase Penurunan Produktivitas Tanaman Padi terhadap 10% Penurunan Curah Hujan pada Setiap Provinsi di Jawa dan Bali

Provinsi kecenderungan

irigasi tadah hujan sawah keseluruhan

Banten 4.0 9.2 5.2

Jabar 3.8 9.9 5.7

Jateng 5.2 12.3 6.5

Jatim 3.9 14.1 4.9

DIY 5.3 14.8 6.4

Bali 4.7 13.2 8.0

Keterangan: kecenderungan merupakan indikator respon (%penurunan produktivitas tanaman padi setiap 10% penurunan curah hujan), persentase perbedaan (persentase persentase perbedaan kecenderungan respon sawah irigasi terhadap sawah tadah hujan)

Provinsi Model(ton/ha) BPS 2009(ton/ha) beda (%)

Banten 4.7 5.6 17.4

Jabar 6.0 5.8 3.7

Jateng 4.6 5.6 17.3

Jatim 4.7 5.8 19.0

DIY 4.5 5.9 23.5

Bali 4.8 5.9 18.2

rata-rata 4.9 5.7 16.5

Lampiran 3 Sebaran Produktivitas Tanaman Padi di Kawasan Jawa dan Bali pada Skenario Penurunan Curah Hujan 0-80%

Penurunan Curah Hujan 0% Penurunan Curah Hujan 10% Penurunan Curah Hujan 20% Penurunan Curah Hujan 30%

Lampiran 3, lanjutan Penurunan Curah Hujan 40% Penurunan Curah Hujan 50% Penurunan Curah Hujan 60% Penurunan Curah Hujan 70%

Lampiran 3, lanjutan

Penurunan Curah Hujan 80%

ABSTRAK

DEWA PUTU ADIKARMA MANDALA. Respon Produktivitas Tanaman Padi terhadap Kekeringan di Kawasan Jawa dan Bali (Pendekatan Model Simulasi Pertanian Berbasis Spasial) Dibimbing oleh HANDOKO.

Kekeringan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas padi. Ada banyak cara untuk mempelajari respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan, Pendekatan model Shierary-Rice yang berbasiskan spasial merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa setiap 10% penurunan curah hujan di kawasan Jawa dan Bali mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman padi sebesar 5.8%. Respon produktivitas tanaman padi juga dipengaruhi oleh pola curah hujan yang ditunjukkan dengan menggunakan klasifikasi Oldeman. Zona agroklimat Oldeman A dan B yang mendominasi kawasan Banten dan Jawa Barat relatif tidak rentan terhadap kekeringan ( 8% penurunan produktivitas setiap 10% penurunan curah hujan) bila dibandingkan dengan zona agroklimat Oldeman lain yakni C, D dan E (14% penurunan produktivitas setiap 10% penurunan curah hujan).

ABSTRACT

DEWA PUTU ADIKARMA MANDALA. TheResponseofRice-Crop Productivity to drought in Java and Bali (with the approach of spatial-based Agricultural Simulation Model). Supervised by HANDOKO

Drought is one of many factors that influence the productivity of rice crops. There are several ways to study the response of rice productivity to drought, one of them is by using Shierary-Rice model approach that is integrated with Geographic Information System. The result shows that 10% reduction in rainfall at crop area of Java and Bali will be followed by decreasing the rice-crop productivity by 5.8%. The response of rice crop productivity is also affected by rainfall patterns shown in the Oldeman climate classification. Oldeman agroclimatic zone A and B dominating Banten and West Java areas are relatively less susceptible (8% decrease in productivity every 10% decrease in rainfall) compared to the other C, D and E Oldeman agroclimatic zone (14% decrease in productivity for 10% decrease in rainfall).

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kekeringan merupakan fenomena yang sudah sering terjadi. Sejak tahun 1970 kekeringan mulai menunjukkan peningkatan intensitas kejadiannya, diduga hal ini dikarenakan oleh kontribusi kegiatan manusia (Bates 2008). Menurut Alen (2010) dan Mishra (2010), selain intensitas kejadian yang semakin besar, dampak dari kekeringan juga tidak dapat dianggap kecil karena banyak aspek penting yang terpengaruh oleh kekeringan. Kekeringan dapat mempengaruhi aspek ekonomi, aspek lingkungan serta aspek sosial. Sektor-Sektor dari aspek ekonomi yang terpengaruh kekeringan antara lain pertanian, kehutanan, perikanan, rekreasi, transportasi, perbankan, dan sektor energi. Pertanian merupakan salah satu sektor yang terpengaruh secara langsung oleh kekeringan (Wilhite 2005).

Banyak komoditi pertanian yang dikembangkan di Indonesia, akan tetapi yang menjadi komoditi utama karena menjadi bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia adalah tanaman padi. Tanaman padi di Indonesia secara umum dibudidayakan pada dua jenis sawah yaitu sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Sawah tadah hujan merupakan sawah yang relatif lebih rentan terhadap kejadian kekeringan dibandingkan dengan sawah irigasi (Patuwan 2002a ; Verulkar 2010). Untuk mengatasi hal tersebut hingga saat ini sudah banyak dilakukan penelitian untuk mengkaji dampak kekeringan terhadap produktivitas pertanian, khususnya kekeringan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim (White 2011). Ada banyak pendekatan yang digunakan dalam melakukan kajian tentang pengaruh kekeringan terhadap produksi maupun produktivitas pertanian. Salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan Model Simulasi (Cai 2011; Mo 2005).

Bates (2008) juga menambahkan bahwa fenomena kekeringan sudah banyak terjadi di berbagai kawasan Asia termasuk Indonesia. Jawa dan Bali merupakan kawasan penting dan dapat disebut sebagai sentra produksi padi di Indonesia. Hal ini dikarenakan lebih dari 50% produksi padi di Indonesia dihasilkan di kawasan Jawa dan Bali (BPS

2009). Kekeringan yang sering terjadi di kawasan Jawa dan Bali menyebabkan produktivitas pada kawasan tersebut berkurang (Boling 2004). Daerah-daerah terkena dampak kekeringan yang semakin luas serta intensitas kejadian kekeringan yang meningkat menunjukan bahwa kekeringan merupakan salah satu isu yang penting untuk dipahami penyebab, mekanisme serta akibat yang ditimbulkan agar proses adaptasi dan mitigasi terhadap kekeringan lebih efisien dan efektif. Oleh karena itu kajian tentang respon produktivitas padi terhadap kekeringan khususnya pada kawasan Jawa dan Bali perlu dilakukan agar tingkat kerugian yang ditimbulkan kekeringan dapat diketahui, ditanggulangi serta dapat diperkecil.

2.1 Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengetahui respon serta tingkat perubahan produktivitas tanaman padi yang diakibatkan oleh kekeringan di kawasan Jawa dan Bali serta sebaran spasial dampak kekeringan terhadap produktivitas tanaman padi pada setiap kelas iklim menurut Oldeman.

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Iklim

Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis. Menurut McGregor dan Nieuowolt (1977) wilayah indonesia masuk ke dalam dua zonasi iklim yaitu Equatorial Moonson Climates pada hampir semua wilayah Indonesia dan Dry and wet Monsoon Climates pada wilayah bagian Tenggara Indonesia. Variasi curah hujan di Indonesia lebih besar dibandingkan suhu, oleh karena itu klasifikasi iklim di Indonesia pada umumnya hanya menggunakan unsur iklim curah hujan sebagai dasar klasifikasi (Tjasyono 2004). BMKG (2009) membagi curah hujan Indonesia menjadi tiga pola curah hujan dominan yaitu moonsonal, equatorial dan lokal. Sebaran pola curah hujan bulanan umum di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1 yang diterbitkan BMKG.

Gambar 1 Tipe Curah Hujan Bulanan Umum Indonesia (sumber: BMKG) Merujuk pada Gambar 1, kawasan Jawa

dan Bali merupakan kawasan yang memiliki curah hujan bulanan bertipe moonsonal yang memiliki puncak curah hujan pada Bulan Desember hingga Januari. Wilayah Jawa dan Bali dalam keadaan normal memiliki bulan kering pada Bulan April hingga Oktober dan bulan basah pada Bulan Oktober hingga April (Krave 2007). Menurut penelitian Boling (2004) di Jawa Tengah, meskipun memiliki tipe curah hujan moonsonal, kawasan ini memiliki kondisi curah hujan yang bervariasi secara temporal. Boling juga menambahkan bahwa tahun-tahun di Provinsi Jawa Tengah dapat dibedakan menjadi tahun-tahun basah pada tahun 1997-1998, tahun kering pada tahun 1999 dan tahun moderat. Perbedaan kondisi curah hujan yang seperti ini merupakan salah satu penyebab variasi produktivitas tanaman padi yang dibudidayakan. Hal yang sama juga berlaku bagi kawasan Jawa dan Bali, meski secara umum tipe curah hujan pada kawasan ini adalah moonsonal, variasi kondisi curah hujan pada kawasan ini cukup besar. Variasi pola curah hujan juga dapat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman padi di kawasan ini (Boling 2010).

2.2 Klasifikasi Iklim Oldeman

Klasifikasi Oldeman merupakan salah satu sistem klasifikasi iklim yang hanya mengunakan curah hujan sebagai dasar pembagian tipe iklim. Metode ini

menggunakan istilah bulan basah sebagai bulan dengan rata-rata curah hujan bulanan sekurang-kurangnya 200 mm sebagai faktor stratifikasi pertama. Nilai 200 mm merupakan rata-rata curah hujan bulanan agar 80% curah hujan memenuhi kebutuhan air pada tanaman padi setiap bulan yaitu >145 mm. Terdapat lima zona agroklimat utama dalam klasifikasi iklim Oldeman yaitu (Mantel 2001):

Zona A : > 9 bulan basah berurutan Zona B :7 hingga 9 bulan basah berurutan Zona C :5 hingga 6 bulan basah berurutan Zona D :3 hingga 4 bulan basah berurutan Zona E : < 3 bulan basah berurutan

Zona agroklimat utama dalam klasifikasi Oldeman dapat dibagi menjadi beberapa zona menurut bulan kering sebagai faktor stratifikasi kedua. Bulan kering dalam klasifikasi iklim Oldeman didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai curah hujan rata-rata kurang dari 100 mm. Nilai 100 mm didasari oleh rata-rata curah hujan bulanan agara dapat mendukung pertumbuhan palawija yang memerlukan sekurang-kurangnya 80% curah hujan bulanan lebih besar dari 75 mm. Pembagian zona agroklimat menurut klasifikasi oldeman dengan penambahan bulan kering diperlihatkan dalam Tabel (Tjasyono 2004).

Tabel Pembagian Zona Agroklimat Klasifikasi Iklim Oldeman

Zona faktor stratifikasi Penjabaran

(dimodifikasi) Bulan basah bebrurutan Bulan kering berurutan

A lebih dari 9 -

Pada umumnya penanaman padi dapat dilakukan sepanjang tahun dengan produksi yang kecil karena kerapatan fluks radiasi matahari rendah sepanjang tahun

B1 7 sampai 9 kurang dari 2 Penanaman padi dengan varitas umur pendek dapat dilakukan dua kali setahun dan musim kering yang pendek cukup utk tanaman palawija

B2 7 sampai 9 2 sampai 4

C1 5 sampai 6 kurang dari 2

Penanaman padi dapat dilakukan sekali setahun dan palawija dua kali setahun

C2 5 sampai 6 2 sampai 4 Penanaman padi dapat dilakukan

sekali setahun dan palawija dua kali setahun. Tetapi penanaman palawija yang kedua rawan terkena bulan kering

C3 5 sampai 6 5 sampai 6

D1 3 sampai 4 kurang dari 2

Penanaman padi dengan varitas umur pendek dapat dilakukan sekali setahun dengan produksi tinggi karena kerapatan fluks radiasi yang tinggi.

D2 3 sampai 4 2 sampai 4 Penanaman padi dapat dilakukan

sekali setahun atau satu kali palawija setahun tergantung pada air irigasi.

D3 3 sampai 4 5 sampai 6

D4 3 sampai 4 lebih dari 6

E1 kurang dari 3 kurang dari 2

Umumnya terlalu kering, hanya dapat satu kali penanaman palawija tetapi sangat tergantung dengan adanya hujan

E2 kurang dari 3 2 sampai 4 E3 kurang dari 3 5 sampai 6 E4 kurang dari 3 lebih dari 6 Sumber : Koesmaryono 2008

2.3 Kekeringan

Kekeringan merupakan salah satu bencana yang ditimbulkan oleh kondisi curah hujan wilayah di bawah keadaan normal ataupun keadaan yang diharapkan. Kekeringan memiliki variasi yang besar terhadap waktu dan lokasi (Patuwan 2002b). Kekeringan merupakan integrasi antara kejadian alamiah dengan permintaan terhadap suplai air (Wilhite 2005). Selanjutnya Wilhite (2005) juga menambahkan bahwa kekeringan mengakibatkan sistem Hidrologi dan Agrologi suatu wilayah tidak seimbang sehingga mempengaruhi produktifitas lahan. Kekeringan dapat dipelajari dengan menggunakan empat definisi kekeringan yaitu Kekeringan Meteorologis, Kekeringan Pertanian, Kekeringan Hidrologis serta Kekeringan Sosial Ekonomi.

Keempat definisi kekeringan tersebut dijelaskan oleh Mishra (2010) dalam pengajian ulang terhadap konsep kekeringan. Kekeringan Meteorologis didefinisikan sebagai defisit tingkat dan waktu curah hujan di suatu wilayah dalam durasi waktu tertentu. Curah hujan merupakan indikator yang sering digunakan dalam analisis Kekeringan Meteorologis. Kekeringan Pertanian merupakan defisit pada level kelengasan tanah sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan pada sebagian fase atau keseluruhan fase pertumbuhan. Dari aspek pertanian kekeringan juga berkaitan erat dengan kesetimbangan antara curah hujan dan evapotranspirasi yang terjadi pada suatu lahan. Kekeringan Hidrologis didefinisikan sebagai defisit presipitasi, maupun debit aliran dalam periode yang lama pada suatu

reservoir seperti Daerah Aliran Sungai (DAS) ataupun danau. Kekeringan secara sosial ekonomi adalah suatu kondisi defisit presipitasi yang mulai berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi.

Frekuensi kejadian El Nino di Indonesia mengalami peningkatan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (Bates 2008). Liao (2010) menambahkan bahwa Fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) memiliki dampak yang signifikan terhadap curah hujan bulanan serta ketersediaan air suatu kawasan. Berdasarkan observasi inter-seasonal, inter-annual , serta variabilitas curah hujan spasial selama beberapa dekade

Dokumen terkait