• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Produktivitas Tanaman Padi Terhadap Kekeringan di Kawasan Jawa dan Bali (Pendekatan Model Simulasi Pertanian Berbasis Spasial)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Produktivitas Tanaman Padi Terhadap Kekeringan di Kawasan Jawa dan Bali (Pendekatan Model Simulasi Pertanian Berbasis Spasial)"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON PRODUKTIVITAS TANAMAN PADI

TERHADAP KEKERINGAN DI KAWASAN JAWA DAN BALI

(Pendekatan Model Simulasi Pertanian Berbasis Spasial)

DEWA PUTU ADIKARMA MANDALA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

DEWA PUTU ADIKARMA MANDALA. Respon Produktivitas Tanaman Padi terhadap Kekeringan di Kawasan Jawa dan Bali (Pendekatan Model Simulasi Pertanian Berbasis Spasial) Dibimbing oleh HANDOKO.

Kekeringan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas padi. Ada banyak cara untuk mempelajari respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan, Pendekatan model Shierary-Rice yang berbasiskan spasial merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa setiap 10% penurunan curah hujan di kawasan Jawa dan Bali mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman padi sebesar 5.8%. Respon produktivitas tanaman padi juga dipengaruhi oleh pola curah hujan yang ditunjukkan dengan menggunakan klasifikasi Oldeman. Zona agroklimat Oldeman A dan B yang mendominasi kawasan Banten dan Jawa Barat relatif tidak rentan terhadap kekeringan ( 8% penurunan produktivitas setiap 10% penurunan curah hujan) bila dibandingkan dengan zona agroklimat Oldeman lain yakni C, D dan E (14% penurunan produktivitas setiap 10% penurunan curah hujan).

(3)

ABSTRACT

DEWA PUTU ADIKARMA MANDALA. TheResponseofRice-Crop Productivity to drought in Java and Bali (with the approach of spatial-based Agricultural Simulation Model). Supervised by HANDOKO

Drought is one of many factors that influence the productivity of rice crops. There are several ways to study the response of rice productivity to drought, one of them is by using Shierary-Rice model approach that is integrated with Geographic Information System. The result shows that 10% reduction in rainfall at crop area of Java and Bali will be followed by decreasing the rice-crop productivity by 5.8%. The response of rice crop productivity is also affected by rainfall patterns shown in the Oldeman climate classification. Oldeman agroclimatic zone A and B dominating Banten and West Java areas are relatively less susceptible (8% decrease in productivity every 10% decrease in rainfall) compared to the other C, D and E Oldeman agroclimatic zone (14% decrease in productivity for 10% decrease in rainfall).

(4)

RESPON PRODUKTIVITAS TANAMAN PADI

TERHADAP KEKERINGAN DI KAWASAN JAWA DAN BALI

(Pendekatan Model Simulasi Pertanian Berbasis Spasial)

DEWA PUTU ADIKARMA MANDALA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

Judul

:

Respon Produktivitas Tanaman Padi Terhadap Kekeringan

di Kawasan Jawa dan Bali (Pendekatan Model Simulasi

Pertanian Berbasis Spasial)

Nama

:

Dewa Putu Adikarma Mandala

NIM

:

G24080017

Menyetujui,

Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc

NIP. 195911301 98303 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen

Geofisika dan Meteorologi

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.

NIP. 19600305 198703 2 002

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan anugrahnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Respon Produktivitas Tanaman Padi terhadap Kekeringan di Kawasan Jawa dan Bali (Pendekatan Model Simulasi Pertanian Berbasis Spasial).

Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Ayah dan Ibu tercinta, Dewa Made Sutadnyana dan Ni Wayan Sariasih yang selalu memberi nasihat dan doa, Dewa Made Suyadnya dan Desak Nyoman Warsiki, adik-adik yang selalu memberi dukungan moral dan semangat agar karya tulis ini cepat terselesaikan tepat waktu. Terima kasih pula kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir Handoko, M.Sc. selaku pembimbing skripsi dan pembimbing akademis penulis.

2. Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi serta seluruh staf dosen yang selama ini telah memberikan ilmu-ilmunya kepada penulis

3. Swari Mufida dan Firman Arifin teman satu bimbingan akademik.

4. Teman satu proyek penelitian, Taufik Yuliawan dan Yunus bahar serta teman teman yang turut membantu dalam hal penyiapan data penelitian ini, Fitra, Adi, Aulia, Yoga, Ferdi serta teman-teman di GFM 45 Sintong , Fella, Mella, Emod, Usel, Hanifa, Iput, Pungky, Yuda, Ruri, Sarah, Nae, Putri, Nadita, Dodi, Okta, Akfia, Ratdil, Citra, seluruh kakak kelas dan adik kelas GFM.

5. Kakak asuh di bogor, Nyoman Putrayasa Pendit, kakak asuh dikota lainnya lainnya, Risty, Selly, Umi, Anissa yang terus memberi semangat.

6. Teman-teman kontrakan, Yudha, Yoga, Kadek, Joni, Mayun, Wijaya dan Wira yang terus memberikan semangatnya.Teman-teman KMHD 45 lainnya Kadek dwik, Tanaya , Kartika, Adit, Mita, Debby, Ayuning, Putri, Dia, Rina, Sri, Keswari, Wina, Chintya, Lintang, Ucok, Pasti, Deva, Sangging, Panjul.

dan semua pihak yang memberikan bantuan dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari karya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sangat membangun secara langsung maupun melalui media email dputu56@yahoo.com. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini berguna bagi semua pembacanya.

Bogor, Juni 2012

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung Tengah pada tanggal 9 Desember 1990 sebagai anak pertama dari pasangan Dewa Made Sutadnyana dan Ni Wayan Sariasih. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA N 1 Terbanggi Besar dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Mayor Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama masa studinya penulis mengikuti berbagai kegiatan bersifat akademik antara lain, pada tahun 2010 dua proposal Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) berhasil didanai oleh Dikti, yakni PKM bidang penerapan tekhnologi dan PKM bidang pengabdian masyarakat.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN. ... x

I PENDAHULUAN. ... 1

1.1 Latar Belakang. ... 1

1.2 Tujuan . ... 1

II TINJAUAN PUSTAKA. ... 1

2.1 Gambaran Umum Iklim. ... 1

2.2 Klasifikasi Iklim Oldeman. ... 2

2.3 Kekeringan. ... 3

2.4 Model Simulasi Pertanian. ... 4

2.5 Pengaruh Faktor Iklim. ... 4

III METODOLOGI. ... 5

3.1 Alat dan Bahan. ... 5

3.2 Tahap Pengerjaan . ... 5

3.2.1 Persiapan Data. ... 5

3.2.2 Simulasi Model. ... 6

3.2.3 Analisis Hasil Simulasi. ... 6

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ... 7

4.1 Sebaran Sawah Jawa dan Bali. ... 7

4.2 Zona Agroklimat Oldeman Jawa-Bali. ... 8

4.3 Produktivitas Padi. ... 9

4.4 Respon Produktivitas. ... 11

4.5 Tingkat Respon pada setiap Zona Oldeman. ... 13

KESIMPULAN. ... 13

SARAN. ... 14

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tipe Curah Hujan Bulanan Umum Indonesia ... 2 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali. ... 7 3 Sebaran Zona Agroklimat Oldeman di Sawah Kawasan Jawa dan Bali. ... 8 4 Produktivitas Tanaman Padi per Provinsi se Jawa-Bali pada Masing-Masing

Skenario Penurunan Curah Hujan. ... 9 5 Gambar 5 Sebaran Spasial Produktivitas Tanaman Padi pada Skenario Tanpa

Penurunan Curah Hujan (A), Penurunan Curah Hujan 10% (B) dan Penurunan

Curah Hujan 20% (C). ... 10 6 Gambar 6 Sebaran Penurunan Produktivitas Tanaman Padi setiap 10% Penurunan

Curah Hujan di Jawa dan Bali (A: Sawah Irigasi dan Tadah Hujan, B:Sawah Irigasi,

C:Sawah Tadah Hujan) ... 11 7 Rataan Penurunan Produktivitas per 10% Penurunan Curah Hujan pada

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Validasi Model. ... 19 2 Nilai Slope Persentase Penurunan Produktivitas Tanaman Padi terhadap 10%

Penurunan Curah Hujan pada Setiap Provinsi di Jawa dan Bali. ... 19 3 Sebaran Produktivitas Tanaman Padi di Kawasan Jawa dan Bali pada Skenario

(11)

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kekeringan merupakan fenomena yang sudah sering terjadi. Sejak tahun 1970 kekeringan mulai menunjukkan peningkatan intensitas kejadiannya, diduga hal ini dikarenakan oleh kontribusi kegiatan manusia (Bates 2008). Menurut Alen (2010) dan Mishra (2010), selain intensitas kejadian yang semakin besar, dampak dari kekeringan juga tidak dapat dianggap kecil karena banyak aspek penting yang terpengaruh oleh kekeringan. Kekeringan dapat mempengaruhi aspek ekonomi, aspek lingkungan serta aspek sosial. Sektor-Sektor dari aspek ekonomi yang terpengaruh kekeringan antara lain pertanian, kehutanan, perikanan, rekreasi, transportasi, perbankan, dan sektor energi. Pertanian merupakan salah satu sektor yang terpengaruh secara langsung oleh kekeringan (Wilhite 2005).

Banyak komoditi pertanian yang dikembangkan di Indonesia, akan tetapi yang menjadi komoditi utama karena menjadi bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia adalah tanaman padi. Tanaman padi di Indonesia secara umum dibudidayakan pada dua jenis sawah yaitu sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Sawah tadah hujan merupakan sawah yang relatif lebih rentan terhadap kejadian kekeringan dibandingkan dengan sawah irigasi (Patuwan 2002a ; Verulkar 2010). Untuk mengatasi hal tersebut hingga saat ini sudah banyak dilakukan penelitian untuk mengkaji dampak kekeringan terhadap produktivitas pertanian, khususnya kekeringan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim (White 2011). Ada banyak pendekatan yang digunakan dalam melakukan kajian tentang pengaruh kekeringan terhadap produksi maupun produktivitas pertanian. Salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan Model Simulasi (Cai 2011; Mo 2005).

Bates (2008) juga menambahkan bahwa fenomena kekeringan sudah banyak terjadi di berbagai kawasan Asia termasuk Indonesia. Jawa dan Bali merupakan kawasan penting dan dapat disebut sebagai sentra produksi padi di Indonesia. Hal ini dikarenakan lebih dari 50% produksi padi di Indonesia dihasilkan di kawasan Jawa dan Bali (BPS

2009). Kekeringan yang sering terjadi di kawasan Jawa dan Bali menyebabkan produktivitas pada kawasan tersebut berkurang (Boling 2004). Daerah-daerah terkena dampak kekeringan yang semakin luas serta intensitas kejadian kekeringan yang meningkat menunjukan bahwa kekeringan merupakan salah satu isu yang penting untuk dipahami penyebab, mekanisme serta akibat yang ditimbulkan agar proses adaptasi dan mitigasi terhadap kekeringan lebih efisien dan efektif. Oleh karena itu kajian tentang respon produktivitas padi terhadap kekeringan khususnya pada kawasan Jawa dan Bali perlu dilakukan agar tingkat kerugian yang ditimbulkan kekeringan dapat diketahui, ditanggulangi serta dapat diperkecil.

2.1 Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengetahui respon serta tingkat perubahan produktivitas tanaman padi yang diakibatkan oleh kekeringan di kawasan Jawa dan Bali serta sebaran spasial dampak kekeringan terhadap produktivitas tanaman padi pada setiap kelas iklim menurut Oldeman.

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Iklim

(12)

Gambar 1 Tipe Curah Hujan Bulanan Umum Indonesia (sumber: BMKG) Merujuk pada Gambar 1, kawasan Jawa

dan Bali merupakan kawasan yang memiliki curah hujan bulanan bertipe moonsonal yang memiliki puncak curah hujan pada Bulan Desember hingga Januari. Wilayah Jawa dan Bali dalam keadaan normal memiliki bulan kering pada Bulan April hingga Oktober dan bulan basah pada Bulan Oktober hingga April (Krave 2007). Menurut penelitian Boling (2004) di Jawa Tengah, meskipun memiliki tipe curah hujan moonsonal, kawasan ini memiliki kondisi curah hujan yang bervariasi secara temporal. Boling juga menambahkan bahwa tahun-tahun di Provinsi Jawa Tengah dapat dibedakan menjadi tahun-tahun basah pada tahun 1997-1998, tahun kering pada tahun 1999 dan tahun moderat. Perbedaan kondisi curah hujan yang seperti ini merupakan salah satu penyebab variasi produktivitas tanaman padi yang dibudidayakan. Hal yang sama juga berlaku bagi kawasan Jawa dan Bali, meski secara umum tipe curah hujan pada kawasan ini adalah moonsonal, variasi kondisi curah hujan pada kawasan ini cukup besar. Variasi pola curah hujan juga dapat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman padi di kawasan ini (Boling 2010).

2.2 Klasifikasi Iklim Oldeman

Klasifikasi Oldeman merupakan salah satu sistem klasifikasi iklim yang hanya mengunakan curah hujan sebagai dasar pembagian tipe iklim. Metode ini

menggunakan istilah bulan basah sebagai bulan dengan rata-rata curah hujan bulanan sekurang-kurangnya 200 mm sebagai faktor stratifikasi pertama. Nilai 200 mm merupakan rata-rata curah hujan bulanan agar 80% curah hujan memenuhi kebutuhan air pada tanaman padi setiap bulan yaitu >145 mm. Terdapat lima zona agroklimat utama dalam klasifikasi iklim Oldeman yaitu (Mantel 2001):

Zona A : > 9 bulan basah berurutan Zona B :7 hingga 9 bulan basah berurutan Zona C :5 hingga 6 bulan basah berurutan Zona D :3 hingga 4 bulan basah berurutan Zona E : < 3 bulan basah berurutan

(13)

Tabel Pembagian Zona Agroklimat Klasifikasi Iklim Oldeman

Zona faktor stratifikasi Penjabaran

(dimodifikasi) Bulan basah bebrurutan Bulan kering berurutan

A lebih dari 9 -

Pada umumnya penanaman padi dapat dilakukan sepanjang tahun dengan produksi yang kecil karena kerapatan fluks radiasi matahari rendah sepanjang tahun

B1 7 sampai 9 kurang dari 2 Penanaman padi dengan varitas umur pendek dapat dilakukan dua kali setahun dan musim kering yang pendek cukup utk tanaman palawija

B2 7 sampai 9 2 sampai 4

C1 5 sampai 6 kurang dari 2

Penanaman padi dapat dilakukan sekali setahun dan palawija dua kali setahun

C2 5 sampai 6 2 sampai 4 Penanaman padi dapat dilakukan

sekali setahun dan palawija dua kali setahun. Tetapi penanaman palawija yang kedua rawan terkena bulan kering

C3 5 sampai 6 5 sampai 6

D1 3 sampai 4 kurang dari 2

Penanaman padi dengan varitas umur pendek dapat dilakukan sekali setahun dengan produksi tinggi karena kerapatan fluks radiasi yang tinggi.

D2 3 sampai 4 2 sampai 4 Penanaman padi dapat dilakukan

sekali setahun atau satu kali palawija setahun tergantung pada air irigasi.

D3 3 sampai 4 5 sampai 6

D4 3 sampai 4 lebih dari 6

E1 kurang dari 3 kurang dari 2

Umumnya terlalu kering, hanya dapat satu kali penanaman palawija tetapi sangat tergantung dengan adanya hujan

E2 kurang dari 3 2 sampai 4 E3 kurang dari 3 5 sampai 6 E4 kurang dari 3 lebih dari 6 Sumber : Koesmaryono 2008

2.3 Kekeringan

Kekeringan merupakan salah satu bencana yang ditimbulkan oleh kondisi curah hujan wilayah di bawah keadaan normal ataupun keadaan yang diharapkan. Kekeringan memiliki variasi yang besar terhadap waktu dan lokasi (Patuwan 2002b). Kekeringan merupakan integrasi antara kejadian alamiah dengan permintaan terhadap suplai air (Wilhite 2005). Selanjutnya Wilhite (2005) juga menambahkan bahwa kekeringan mengakibatkan sistem Hidrologi dan Agrologi suatu wilayah tidak seimbang sehingga mempengaruhi produktifitas lahan. Kekeringan dapat dipelajari dengan menggunakan empat definisi kekeringan yaitu Kekeringan Meteorologis, Kekeringan Pertanian, Kekeringan Hidrologis serta Kekeringan Sosial Ekonomi.

(14)

reservoir seperti Daerah Aliran Sungai (DAS) ataupun danau. Kekeringan secara sosial ekonomi adalah suatu kondisi defisit presipitasi yang mulai berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi.

Frekuensi kejadian El Nino di Indonesia mengalami peningkatan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (Bates 2008). Liao (2010) menambahkan bahwa Fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) memiliki dampak yang signifikan terhadap curah hujan bulanan serta ketersediaan air suatu kawasan. Berdasarkan observasi inter-seasonal, inter-annual , serta variabilitas curah hujan spasial selama beberapa dekade terakhir di kawasan Asia seperti Indonesia juga cenderung mengalami penurunan curah hujan dari keadaan normal (Bates 2008). Fenomena ENSO di kawasan Asia dapat mengakibatkan penurunan curah hujan bulanan lebih dari 40% (Liao 2010). Kuenzer (2009) menambahkan bahwa kekeringan yang ditimbulkan oleh fenomena ENSO dapat mengakibatkan penurunan curah hujan hingga 70% bahkan lebih.

2.4 Model Simulasi Pertanian

Menurut Matthews (1995), kajian tentang pengaruh perubahan faktor iklim terhadap pertanian telah dilakukan secara ekstensif oleh banyak orang. Kebanyakan dari kajian tersebut terfokus pada pengaruh perubahan suhu terhadap produksi padi yang merupakan makanan pokok paling penting di kawasan Asia (White 2011). Mathews (1995) juga menambahkan bahwa ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk melakukan pendugaan pengaruh perubahan faktor iklim terhadap produksi pertanian antara lain:  pendekatan secara Sistem Informasi

Geografis (SIG)

 pendekatan dengan menggunakan Model Simulasi Pertanian

 pendekatan dengan menggunakan gabungan dari kedua pendekatan di atas Model simulasi pertanian merupakan penyederhanaan suatu atau beberapa proses dalam sistem pertanian (Handoko 1994). Banyak model simulasi pertanian yang dikembangkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Beberapa contoh penggunaan model simulasi pertanian antara lain perhitungan terhadap stres air yang dipicu oleh fluktuasi kelimpahan CO2 dengan menggunakan model GLAM (Challinor 2008). APSIM (The Agricultural Production

Systems sIMulator) merupakan model yang digunakan untuk menyimulasi dinamika interaksi suatu sistem pertanian dengan pengelolaan lahan pertanian. Model simulasi ini dapat digunakan untuk membantu dalam pengelolaan resiko dalam produksi pertanian (Wang 2002). Model simulasi pertanian yang lain adalah CERES-Rice yang digunakan untuk menduga produktivitas potensial padi sawah tadah hujan yang mengalami kekeringan akibat fenomena monsoon di kawasan Bangladesh (Mahmood 2004).

Salah satu model simulasi tanaman padi yang dikembangkan di Indonesia oleh Handoko (1994) adalah Shierary-rice. Model Shierary-rice terdiri dari submodel neraca air, perkembangan tanaman serta pertumbuhan tanaman yang memiliki resolusi temporal harian. Model Shierary-Rice dapat digunakan untuk menduga produktivitas tanaman padi dengan menggunakan informasi iklim.

2.5 Pengaruh Faktor Iklim

Produktivitas tanaman padi, jagung dan gandum di berbagai kawasan Asia dalam beberapa dekade terakhir mengalami penurunan. Penurunan produktivitas beberapa komoditas pertanian tersebut disebabkan oleh stress air, peningkatan suhu, kenaikan frekuensi El Nino, dan juga penurunan jumlah hari hujan (Bates 2008). Menurut penelitian Boling (2004) kawasan Indonesia khususnya Jawa Tengah juga terkena dampak kekeringan. Sawah tadah hujan di kawasan Jawa Tengah tersebut mengalami penurunan produksi 20 % lebih besar dibandingkan sawah irigasi.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas tanaman padi. Faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas tanaman padi adalah faktor tanah, penggunaan bibit, akses fasilitas irigasi, pemupukan, pestisida, dan intensif pemerintah selama tahun penanaman. Selain faktor-faktor tersebut, produktivitas padi juga terpengaruh oleh variabel meteorologi suatu daerah seperti curah hujan, temperatur, kelembaban (RH) dan radiasi matahari (Subash 2011).

(15)

Kekeringan dapat menimbulkan efek negatif terhadap tinggi tanaman serta luas daun pada tanaman. Meskipun hal ini dapat mengurangi dampak kekeringan karena berguna untuk mengurangi pengaruh evapotranspirasi, penyempitan pada luas daun juga berakibat pada penurunan pertumbuhan serta perkembangan tanaman padi karena fotosintesis yang semakin sedikit dan CO2 yang semaikin sedikit diserap. Penurunan tingkat pertumbuhan dan perkembangan mengakibatkan penurunan pada produktivitas (Bocco 2012).

Menurut Leilah (2005) pada penelitiannya di Saudi Arabia tentang tanaman gandum ada tujuh prosedur dalam statistik yang dapat digunakan untuk melakukan analisis respon produktivitas tanaman terhadap kekeringan antara lain, simple correlation, path analysis, multiple linear regression, stepwise regression. factor analysis, principal components dan cluster analysis.

III METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan di Bagian Laboratorium Agrometeorology Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB pada Bulan Agustus 2011 hingga Bulan April 2012.

3.1 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, software Microsoft visual Basic 6.0, Microsoft office, Model Shierary-Rice serta Shierary-Weather.

Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

 data kabupaten BPS 2004 yang berupa data vektor Indonesia dengan atribut batas-batas wilayah, kabupaten dan nama provinsi

 data curah hujan dan hari hujan bulanan rata-rata 35 tahun (1970-2004) yang dihimpun dari sumber- sumber seperti BMKG, PU, dan sektor swasta. Data rata-rataa curah hujan ini mewakili kondisi curah hujan normal pada kawasan tersebut.

 data sawah dari Bakosurtanal 2003 yang dilengkapi dengan atribut jenis sawah (irigasi dan tadah hujan)

 data sawah Baplan yang merupakan tafsiran landsat 2007

 data elevasi atau ketinggian wilayah dengan menggunakan data DEM (Digital

Elevation Model) dari SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) yang bersumber dari http://srtm.ci.cgiar.org  data produksi padi BPS 2009 setiap

provinsi di Jawa dan Bali yang merupakan data produktivitas setiap satu kali tanam.

3.2 Tahap Pengerjaan

Penelitian yang dilakukan dapat dibagi menjadi tiga tahap pengerjaan yaitu tahap persiapan data, simulasi model serta analisis hasil simulasi. Penjelasan setiap tahap dijelaskan di bawah ini

3.2.1 Persiapan Data

Data yang dibutuhkan untuk menjalankan model simulasi Shierary pada penelitian ini adalah data spasial yang berbentuk grid sawah yang memiliki resolusi spasial sebesar 1×1 km dengan informasi sebagai berikut:  koordinat (x,y) atau longitude-latitude  nama provinsi dan kabupaten

 keterangan jenis sawah irigasi atau tadah hujan

 data curah hujan bulanan serta hari hujan bulanan rata-rata

 data ketinggian (altitude)

Untuk menghasilkan data dengan informasi yang lengkap maka dibutuhkan pengolahan data dengan menggunakan SIG. Beberapa tahapan untuk mempersiapkan data masukan model adalah sebagai berikut:  melakukan koreksi terhadap data sawah

yang berasal dari Bakosurtanal dan Baplan menggunakan tekhnik penumpang tindihan (overlay) serta mengubah menjadi bentuk grid sawah berukuran 1 km2

 memasukan informasi data curah hujan, dan hari hujan bulanan rata-rata dari Bulan Januari hingga Desember serta data ketinggian dengan menggunakan data DEM.

(16)

3.2.2 Simulasi Model

Model Shierary secara umum mengolah data masukan model melalui dua tahap. Tahap pertama adalah tahap pembangkitan data iklim menggunakan model Shierary-Weather. Data iklim bulanan yang terdiri dari curah hujan dan hari hujan yang berorientasi spasial (terdapat informasi Lintang, Bujur dan ketinggian) digunakan untuk membangkitkan data iklim harian yang terdiri dari suhu (0C), radiasi (MJ/m2), RH (%), serta kecepatan angin (km/jam). Tahapan kedua adalah menjalankan model simulasi pertanian. Model simulasi pertanian dijalankan dalam sembilan skenario penurunan curah hujan dari penurunan 0% hingga 80% curah hujan dengan interval 10% pada setiap provinsi di kawasan Jawa dan Bali. Penentuan skenario penurunan curah hujan sebesar 80% dilakukan untuk menduga pengaruh kekeringan ekstrim dengan penurunan curah hujan bulanan >70% yang mungkin terjadi karena fenomena ENSO (Kuenzer 2009).

Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam model ini yaitu:

 varietas padi yang digunakan di Jawa dan Bali adalah IR64 dan memiliki suhu dasar 170 C

 parameter kondisi tanah, seperti kedalaman, kapasitas lapang, dan titik layu permanen dianggap sama pada setiap titik.

 waktu penanaman untuk sawah irigasi adalah juliane date 150 (30 Mei) pada masa tanam pertama dan 250 (7 September) pada masa tanam kedua. Penanaman pada sawah tadah hujan hanya sekali, yaitu pada juliane date 250 (7 September). Masa tanam ini disesuaikan dengan pola curah hujan dominan pada kawasan Jawa dan Bali yang termasuk dalam pola curah hujan Moonsonal.

 kecepatan angin dianggap konstan dan sama disemua tempat yakni 5 km/jam. Data hasil model Shierary berupa produksi tanaman padi pada masing-masing skenario penurunan curah hujan dianalisis dengan menggunakan regresi linear.

3.2.3 Analisis Hasil Simulasi

Analisis hasil simulasi model dilakukan melalui tiga tahapan yaitu pengelompokan tipe iklim, pembandingan hasil keluaran model dengan data BPS (validasi model) dan

terakhir adalah analisis regresi sederhana pada hasil keluaran model setiap grid sawah. Langkah klasifikasi dengan menggunakan metode Oldeman dijelaskan dibawah ini:  Identifikasi bulan-bulan basah dalam

metode Oldeman pada penelitian ini menggunakan rumus excel sebagai berikut:

= if([curah hujan grid] > 200,1,0)

 Pengelompokan iklim Oldeman menjadi 5 zona agroklimat utama dengan menggunakan jumlah bulan basah setiap grid dilakukan dengan menggunakan rumus pada excel sebagai berikut:

=if([jumlah BB] > 9, ‘A’,if([jumlah BB] >

6, ‘B’,if([jumlah BB]>4,’C’,if([jumlah

BB]>3,’D’,’E’))))

Hasil klasifikasi oldeman pada setiap grid sawah diolah dengan menggunakan tekhnik SIG untuk mengetahui sebaran spasial masing-masing zona agroklimat.

Validasi model dilakukan menggunakan data produktivitas tanaman padi per provinsi hasil simulasi model dengan data BPS tahun 2009. Proses validasi dapat dilakukan dengan menggunakan Lampiran 1. Setelah dilakukan validasi model maka langkah selanjutnya adalah analisis hasil keluaran model. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistika sederhana pada data hasil keluaran dengan menggunakan regresi linear yang sesuai dengan persamaan

y = mx.

Nilai m merupakan slope yang dapat diinterpretasikan sebagai nilai sensitivitas suatu lahan pertanian terhadap kekeringan. Pada penelitian ini, nilai m juga digunakan sebagai indikator respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan. Semakin besar nilai m maka semakin besar pula sensitivitas suatu lahan terhadap kekeringan. Nilai m yang besar juga menandakan respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan di kawasan tersebut besar. Penurunan curah hujan akan berdampak besar pada produktivitas tanaman padi di kawasan sawah ini. Untuk menentukan nilai m diperlukan perhitungan sebagai berikut. p = produksi (ton)*(100 (ha))-1

Δp = 100*(p0 – pi)*(p0)-1

(17)

Lambang p menyatakan produktivitas (ton/ha) , Δp persentase penurunan produktivitas (%). Penggunaan formula linest dengan menggunakan excel diatas akan menghasilkan nilai m yang dapat diinterpretasikan sebagai persentase penurunan produktivitas setiap penurunan 10% curah hujan. Data m pada setiap grid diolah dengan menggunakan tekhnik GIS sehingga dihasilkan sebaran spasial sensitivitas padi sawah Jawa dan Bali terhadap kekeringan.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan pengolahan data spasial sawah pada kawasan Jawa dan Bali, simulasi model serta analisis hasil hasil simulasi model didapatkan hasil sebagai berikut.

4.1. Sebaran Sawah Jawa dan Bali

Jawa dan Bali memiliki luas sawah sebesar 3.6 juta hektar yang terdiri dari 81% sawah irigasi dan 19% sawah tadah hujan. Luas panen pada kawasan Jawa dan Bali sebesar 6.5 juta hektar karena pada kawasan ini sawah irigasi mengalami dua kali panen sedangkan sawah tadah hujan hanya mengalami satu kali panen. Menurut data BPS (2009), luas panen pada kawasan ini sekitar 6.2 juta hektar. Luasan panen berdasarkan data BPS berbeda 4% dari pada

sawah hasil olahan yang digunakan dalam penelitian ini. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa hal seperti:

 perbedaan metode pengukuran yang dilakukan oleh BPS, Baplan maupun Bakosurtanal,

 perbedaan waktu pembuatan peta sehingga kemungkinan besar sudah banyak sawah yang mengalami konfersi lahan,

 perubahan luas sawah saat sawah yang yang bebrbentuk poligon diubah menjadi menjadi grid sawah dengan ukuran 1 km2. Menurut penelitian Boling (2004) yang dilakukan di Jawa Tengah, luas sawah kawasan Jawa Tengah berada pada kisaran 1 juta hektar dan 30% dari sawah di provinsi tersebut merupakan sawah tadah hujan. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa sawah Jawa Tengah sebesar 1.2 juta hektar dan hanya 18% yang merupakan sawah tadah hujan. Faktor yang mengakibatkan perbedaan luas sawah yang digunakan Boling dan penelitian ini serupa dengan faktor yang mengakibatkan perbedaan luas sawah terhadap data BPS.

Sebaran spasial sawah tadah hujan dan irigasi di kawasan Jawa dan Bali dapat diperlihatkan melalui Gambar 2.

(18)

Kawasan Jawa dan Bali didominasi oleh sawah irigasi yang terpusat pada bagian Utara Jawa Barat, dan tersebar merata di Jawa bagian Tengah dan Timur hingga Bali. Sawah tadah hujan banyak terdapat pada bagian Tenggara Provinsi Banten, bagian Tengah hingga Selatan Jawa Barat serta sebagian kecil kawasan Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY dan Bali. Sebaran sawah tadah hujan biasanya terpengaruh oleh kondisi klimatologi wilayah tersebut. Sawah dengan tipe ini cenderung membutuhkan curahan hujan yang tinggi dan musim hujan yang panjang.

Produksi pada sawah yang sudah menggunakan sistem irigasi relatif tidak tergantung dengan besar curah hujan bulanan bila dibandingkan dengan sawah tadah hujan. Sawah irigasi memiliki kemampuan yang lebih baik untuk tetap berproduksi dalam keadaan kekeringan meteorologis atau curah hujan dibawah normal sehingga sawah tipe ini dapat berproduksi sebanyak dua kali dalam setahun. Lain halnya dengan sawah irigasi, produksi padi pada sawah tadah hujan sangat tergantung pada kondisi curah hujan, serta pola curah hujan bulanan yang terjadi (Makurira 2011).

4.2. Zona Agroklimat Oldeman Jawa-Bali

Kawasan persawahan Jawa dan Bali dapat diklasifikasikan menjadi 5 zona agroklimat umum Oldeman. Zona agroklimat yang dominan pada kawasan ini berturut-turut adalah zona D, zona C serta zona B. Zona agroklimat D memiliki bulan basah 3- 4 bulan. Hal ini mengindikasikan bahwa kawasan ini memiliki ketergantungan musim hujan dan kemarau akibat pengaruh angin monsun dan penanaman padi berumur pendek dapat dilakukan sekali dalam setahun. Zona agroklimat C memiliki bulan basah 5-6, sedangkan zona B memiliki bulan basah 7-9. Semakin banyak bulan basah yang dimiliki oleh suatu kawasan (bulan dengan peluang 80% dapat memenuhi kebutuhan air tanaman padi sebesar 145 mm) akan meningkatkan kemungkinan tanaman padi tumbuh pada bulan yang tepat sehingga memperbesar peluang suatu kawasan untuk menghasilkan produksi padi yang tinggi. Kawasan yang memiliki jumlah bulan basah yang besar adalah kawasan pada zona agroklimat A dan B.

Sebaran spasial kelima zona agroklimat pada sawah irigasi dan tadah hujan di kawasan Jawa dan Bali ditunjukkan pada Gambar 3.

(19)

Merujuk pada Gambar 3 terlihat bahwa zona agroklimat D terpusat pada bagian Utara Jawa dan memanjang dari ujung Barat hingga ujung Timur pulau Jawa. Akan tetapi pada daerah-daerah bagian Timur, zona agroklimat ini semakin dominan dengan sebaran yang lebih luas hingga memasuki kawasan Bali. Zona agroklimat A dan B tersebar di Selatan kawasan Banten, Jawa Barat hingga Jawa Tengah. Zona agroklimat A memungkinkan petani untuk menanam padi sebanyak dua kali dalam setahun tanpa adanya tambahan irigasi (Kumar 2012). Kawasan bagian Utara Jawa yang didominasi oleh zona agroklimat D mermbutuhkan irigasi agar tanam padi dapat tumbuh dengan optimal. Posisi zona agroklimat A dan B yang banyak tersebar pada bagian selatan Jawa Barat bersesuaian dengan sebaran jenis sawah tadah hujan. Hal ini dikarenakan zona-zona agroklimat ini masih cukup sesuai dan dapat memenuhi kebutukan pasokan air untuk produksi pertanian yang masih menggunakan sistem tadah hujan.

4.3. Produktivitas Padi

Respon produktivitas tanaman padi pada kawasan Jawa dan Bali, serta kaitannya dengan kerentanan pada masing-masing tipe zona agroklimat dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan model simulasi pada masing-masing skenario kekeringan dengan persentase penurunan curah hujan sebagai indikator kekeringan. Berdasarkan pembandingan hasil keluaran model Shierary terhadap nilai produktivitas padi per-provinsi yang dikeluarkan oleh BPS (2009), didapatkan bahwa hasil model Shierary hanya memiliki perbedaan rata-rata 16.5 % dengan data BPS. Tabel validasi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Berdasarkan simulasi kekeringan pada skenario pengurangan curah hujan bulanan sebesar 0-80% dengan interval 10% per provinsi di kawasan Jawa dan Bali didapatkan hasil yang dapat ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Produktivitas Tanaman Padi per Provinsi se Jawa-Bali pada Masing-Masing Skenario Penurunan Curah Hujan

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Pro

d

u

kt

iv

ita

s

(to

n

/h

a)

Penurunan Curah Hujan (%)

Banten

Jabar

Jateng

DIY

Jatim

(20)

Dalam kondisi curah hujan normal yang ditunjukkan pada skenario penurunan curah hujan 0% produktivitas tanaman padi 4.5 hingga 6.0 ton/ha. Produktivitas hasil keluaran model tanaman padi pada rentang nilai tersebut sesuai dengan pernyataan Boling (2004) yang menyatakan dalam kondisi normal, penanaman padi di kawasan Jawa memiliki produktivitas antara 1.2 hingga 6.5 ton/ha yang terbagi menjadi 1.2-4.5 ton/ha pada penanaman pada musim kering yaitu pada bulan Maret hingga Juni dan 3.5-6.8 ton/ha pada bulan-bulan basah yaitu November-Februari. Karena penanaman padi pada simulasi ini dilakukan pada bulan- bulan basah, maka produktivitas hasil keluaran model memiliki rentang antara 4- 6

ton/ha. Produktivitas tanaman padi pada Provinsi Jawa Barat ketika tidak terjadi penurunan curah hujan memiliki perbedaan yang besar dibandingkan dengan produktivitas tanaman padi pada provinsi lainnya.Perbedaan produktiviotas yang besar ini dikarenakan pada kawasan tersebut terdapat sawah dengan produktivitas yang sangat tinggi yakni sebesar >10 ton/ha sehingga mempengaruhi rataan produktivitas pada provinsi tersebut. Merujuk pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa secara umum terjadi penurunan produktivitas tanaman padi pada semua provinsi di kawasan Jawa dan Bali.

Sebaran spasial produktivitas tanaman padi di kawasan Jawa dan Bali dapat dilihat melalui Gambar 5.

Gambar 5 Sebaran Spasial Produktivitas Tanaman Padi pada Skenario Tanpa Penurunan Curah Hujan (A), Penurunan Curah Hujan 10% (B) dan Penurunan Curah Hujan 20% (C)

B

(21)

Merujuk pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa sawah dengan produktivitas tinggi semakin berkurang ketika terjadi penurunan curah hujan. Sebaran spasial produktivitas tanaman padi tanpa penurunan curah hujan cenderung mengikuti pola klasifikasi Oldeman yang ditunjukan pada Gambar 3.

4.4. Respon Produktivitas

Respon kekeringan pada kawasan Jawa dan Bali dapat dikuantifikasikan dengan menggunakan nilai slope yang dibentuk antara penurunan curah hujan setiap 10% sebagai peubah bebas (sumbu x) dan persentase penurunan produktivitas sebagai peubah terikat (sumbu y). Persamaan yang menghubungkan kedua variabel tersebut dapat ditunjukkan dengan persamaan regresi linear

y= mx.

Nilai m merupakan nilai slope yang dapat digunakan sebagai indikator pengaruh kekeringan terhadap produktivitas. Satu satuan nilai slope (m=1) memiliki arti bahwa, untuk setiap penurunan sepuluh persen curah hujan akan memberikan pengaruh terhadap satu persen penurunan produktivitas tanaman padi.

Rata-rata penurunan produktivitas tanaman padi setiap 10% penurunan curah hujan pada kawasan Jawa dan Bali adalah 5.8%. Penurunan produktivitas tanaman padi tadah hujan sebesar 11.6 % sedangkan sawah irigasi sebesar 4.4 % untuk setiap 10 % penurunan curah hujan. Penurunan produktivitas pada sawah tadah hujan Jawa dan Bali rata-rata 65 % lebih besar dari pada penurunan produktivitas di sawah irigasi. Menurut Boling (2004), penurunan produktivitas pada sawah tadah hujan di Jawa Tengah rata-rata 20 % lebih besar dari pada penurunan produktivitas pada sawah irigasi. Nilai ini berbeda dengan hasil yang didapatkan melalui simulasi model, penurunan produktivitas 38% lebih besar dibandingkan sawah irigasi jika terjadi kekeringan pada kawasan tersebut. Pengaruh jenis sawah pad respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan lebih besar dari pada pengaruh pola curah hujan. Pola curah hujan dapat mempengaruhi respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan. Sawah irigasi dengan zona D

yang tersebar di bagian Utara Jawa memiliki respon yang lebih kecil dari pada sawah irigasi dengan zona C. Meskipun jumlah bulan basah pada zona D lebih kecil dari pada zona C, karakteristik sawah dengan zona agroklimat D memiliki fluks radiasi matahari yang lebih besar dari pada zona C sehingga tanaman padi dapat berproduksi lebih baik.

Merujuk pada Lampiran 2, sawah irigasi yang memiliki respon yang tinggi terhadap kekeringan adalah sawah irigasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (yaitu 5.3 % penurunan produktivitas), dan yang paling rendah adalah Provinsi Jawa Barat (3.8% penurunan produktivitas). Keadaan ini mengakibatkan kawasan Jawa Barat merupakan sentra produksi padi yang baik karena respon terhadap kekeringan pada sawah di provinsi ini relatif lebih kecil dari pada provinsi lainnya. Respon produktivitas pada sawah tadah hujan lebih besar daripada sawah irigasi pada setiap provinsi di Jawa dan Bali. Provinsi Banten dan Jawa Barat merupakan kawasan yang tidak terlalu sensitif terhadap kekeringan. Penurunan setiap 10% curah hujan pada kawasan ini hanya berdampak pada penurunan 9 % produktivitas.

Perbedaan respon sawah tadah hujan dan irigasi yang paling besar adalah sawah pada kawasan Jawa Timur yang memiliki respon dua kali lipat dibandingkan sawah irigasi. Perbedaan respon yang besar antara sawah tadah hujan dan irigasi pada Provinsi Jawa Timur menunjukan bahwa sistem irigasi akan berdampak besar bila dikembangkan pada kawasan ini sehingga dengan kondisi wilayah yang sebelumnya rentan terhadap kekeringan (memiliki respon sebesar 14.1 persen penurunan setiap 10% penurunan curah hujan) menjadi daerah irigasi yang jauh lebih baik dalam menghadapi kekeringan dengan respon sebesar 3.9% penurunan produktivitas setiap 10% penurunan curah hujan. Dalam kondisi seperti ini, sawah di Jawa Timur lebih membutuhkan pengembangan tekhnologi irigasi dibandingkan sawah di provinsi lainnya.

(22)

Gambar 6 Sebaran Penurunan Produktivitas Tanaman Padi setiap 10% Penurunan Curah Hujan di Jawa dan Bali (A: Sawah Irigasi dan Tadah Hujan, B:Sawah Irigasi, C:Sawah Tadah Hujan) Merujuk pada Gambar 6 bagian A dapat

diinterpretasikan bahwa jika digabungkan antara sawah tadah hujan dan sawah irigasi, maka sebagian besar sawah irigasi akan dikelompokan ke dalam kelas sedikit rentan dan sedang. Kelas yang sedikit rentan memiliki kisaran nilai slope 0 hingga 4. Pada kelas ini, 10 persen penurunan curah hujan hanya berdampak pada penurunan produktivitas hingga 4 %. Kawasan dengan kelas sedikit rentan seperti Banten dan Jawa Barat bagian Utara akan mengalami penurunan produktivitas tanaman padi

hingga 4 % dari keadaan normal. Produktivitas tanaman padi pada Provinsi Banten pada tahun 2009 menurut BPS sebesar 5.55 ton/ha sedangkan Jawa Barat sebesar 5.81 ton/ha. Dengan penurunan 4% pada kawasan pantai Utara kedua provinsi tersebut, jika terjadi penurunan curah hujan sebesar 10% akan mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman padi sebesar 0.2 ton/ha. Nilai 0.2 ton/ha mendekati nilai 0 ton/ha sehingga sawah sawah pada zona sedikit rentan hampir tidak terpengaruh oleh kekeringan.

B

C

A

(23)

Sawah irigasi relatif tidak terpengaruh oleh penurunan curah hujan. Pada sawah jenis ini, penurunan curah hujan berdampak terhadap penurunan produktivitas pada kisaran nilai 0 hingga 9 % setiap 10% penurunan curah hujan. Sifat sawah irigasi yang relatif tidak rentan dapat terlihat dari Gambar 6 bagian B. Merujuk pada Gambar 6 bagian B, sawah irigasi didominasi oleh kelas sedang dan sedikit rentan. Kedua kelas ini relatif tidak rentan terhadap kekeringan bila dibandingkan kelas rentan yang dilambangkan dengan warna merah.

Sawah irigasi yang berada pada kelas tidak rentan tersebar pada sisi Utara Provinsi Banten, Jawa Barat, sedikit pada kawasan Jawa Tengah, Utara Jawa Timur dan Selatan Provinsi Bali. Sawah irigasi yang masuk ke dalam kelas sedang lebih mendominasi dibandingkan kelas yang dilambangkan tidak rentan.

Pola penyebaran secara spasial kelas kerentanan identik dengan pola sebaran spasial kelas iklim Oldeman pada Gambar 3. Keidentikan pola sebaran kerentanan pada sawah irigasi menunjukkan bahwa pada sawah jenis ini masih terpengaruh oleh pola curah hujan bulanan. Selain pola curah hujan bulanan perbedaan fluks radiasi juga berpengaruh terhadap kerentanan pada sawah irigasi, hal ini dapat dilihat dari sawah irigasi yang memiliki zona D yang tersebar pada bagian Utara Jawa lebih tidak rentan dibandingkan dengan zona C yang berada di bagian Tengah Jawa.

Sebaran spasial respon produktivitas terhadap kekeringan pada sawah tadah hujan di kawan Jawa dan Bali ditunjukan oleh Gambar 6 bagian C. Mengacu pada gambar

tersebut dapat terlihat bahwa ada kawasan sawah tadah hujan tingkat kerentanan terhadap kekeringan berada pada kelas yang sedang (dilambangkan dengan warna kuning). Sawah tadah hujan yang memiliki karakteristik seperti ini terpusat di Provinsi Banten bagian Tenggara dan Jawa Barat bagian Selatan. Respon terhadap kekeringan yang relatif lebih kecil pada kawasan ini karena sawah pada kawasan tersebut memiliki zona agroklimat B (Gambar 3). Zona agroklimat B pada sistem klasifikasi Oldeman memiliki jumlah bulan basah relatif lebih banyak dari pada zona agroklimat lainnya sehingga zona ini memiliki kemampuan bertahan dari kekeringan.

Berbeda dengan Jawa Barat, sawah tadah hujan di daerah Jawa dan Bali termasuk ke dalam kelas yang rentan. Tingkat respon produktivitas pada jenis sawah tadah hujan di Jawa dan Bali sebesar >9 % penurunan produktivitas tanaman padi untuk setiap penurunan 10 % curah hujan.

4.5. Tingkat Respon pada setiap Zona Agroklimat Oldeman

(24)

Gambar 7 Rataan Penurunan Produktivitas per 10% Penurunan Curah Hujan pada Masing-Masing Zona Agroklimat

Zona agroklimat A dan B merupakan zona yang relatif lebih aman dari pengaruh kekeringan bila dibandingkan dengan zona agroklimat lainnya. Penurunan produktivitas per 10 % penurunan curah hujan yang merupakan tingkat respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan pada kedua zona agroklimat tersebut lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata penurunan produktivitas pada zona lainnya (Gambar 7). Tingkat respon penurunan produktivitas pada pada zona A dan B memiliki perbedaan yang besar dibandingkan dengan respon produktivitas pada zona C, D maupun E. Perbedaan respon yang besar anatar kedua zona ini terhadap zona lainnya menunjukkan bahwa produktivitas tanaman padi pada zona dengan jumlah bulan basah ≥ 7 jauh lebih stabil dibandingkan dengan zona yang memiliki bulan basah < 7. Zona D dan zona E memiliki kesamaan dalam tingkat persentase penurunan produktivitas setiap 10% penurunan curah hujan. Persamaan ini kemungkinan besar dikarenakan produktivitas tanaman padi sawah tadah hujan pada kawasan ini sangat kecil dan menghampiri 0 ton/ha.

Keberadaan zona agroklimat A dan B mempengaruhi variasi respon penurunan produktivitas pada sawah tadah hujan. Daerah Banten dan Jawa Barat yang didominasi oleh zona ini relatif tidak rentan dibandingkan daerah lainnya. Hal ini juga

menunjukkan bahwa dampak kekeringan pada produktivitas tanaman padi juga tergantung pada pola curah hujan suatu wilayah. Perbedaan respon pada setiap zona juga menjelaskan perbedaan respon antara sawah tadah hujan dan irigasi di Jawa Timur yang besar. Sawah di Jawa Timur didominasi oleh zona C dan D yang merupakan zona yang rentan terhadap kekeringan, sehingga penggunaan tekhnologi irigasi akan menghasilkan dampak yang besar terhadap respon kekeringan di kawasan tersebut.

KESIMPULAN

(25)

irigasi adalah Provinsi Jawa Timur yang mencapai dua kali lipat dari respon sawah irigasi. Pola curah hujan bulanan memiliki pengaruh besar pada variasi respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan. Kekeringan berdampak relatif kecil dengan rata-rata dibawah 8% penurunan produktivitas untuk setiap penurunan 10% curah hujan pada sawah tadah hujan di Provinsi Banten dan Jawa Barat yang didominasi oleh zona agroklimat A dan B. Kawasan lain seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali yang memiliki zona agroklimat dominan C dan D mengalami dampak cukup besar dengan rata-rata 12 % penurunan produktivitas setiap penurunan 10% curah hujan.

SARAN

Kajian respon produktivitas terhadap kekeringan pada daerah lain di Indonesia dengan menggunakan pendekatan model simulasi perlu memperhitungkan tipe curah hujan dominan (Moonsonal, Lokal atau equatorial). Perbedaan pola curah hujan bulanan pada ketiga tipe pola curah hujan tersebut mengharuskan waktu penanaman yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Alen CD, Macalady AK, Chenchouni H, Bachelet D, McDowell, Vennetier M, Kitzberger T, Rigling A, Breshears DD, Hogg EH, Gonzalez P, Fensham R, Zhang Z, Castro J, Demidova N. Lim JH, Allard G, Running SW, Semerci A, Cobb N. 2010. A Global View of Drought and Heat-Induced Tree Mortality Reveals Emerging Climate Change Risk for Forest. Elsevier ForestEcology and management 259 (2010) 660-684 Bates BC, Kundzewicz ZW & palutikof JP.

2008. Climate Change and Water. Technical Paper of the Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC Secretariat, Geneva, 210 pp.

Bocco R, Lorieux M, Seck PA, Futakuchi K, Manneh B, Baimey H & Njiondjop MN. 2012. “Agro-morphological characterization of population of intergression lines derived from crosses between IR 64 ( Oryza sativa indica) and TOG 5681 (Oryza

glaberrima) for drought tolerance. Elservier Plant Science 183 (2012) 65-75.

Boling A, Toung TP, Jatmiko SY, & Burac MA. 2004. Yield constraints of rainfed rice in Central java, Indonesia. Elsevier Field Crops Research 90 (2004) 351-360. Boling AA,Tuong TP, Keulen H, Bouman

BAM, Suganda H & Speirtz JHJ.2010. Yield Gap of rainfed Rice in Farmer’ Fields in Central Java, Indonesia. Elsevier Agricultural Systems 103 (2010) 307-315. [BPS] Badan Pusat Statistik. Tabel Luas

Panen- Produktivitas- Produksi Tanaman Padi Seluruh Provinsi

tahun 2009. [online].

http://bps.go.id/tnmn_pgn.php. [1 mei 2012].

[BMKG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2009. Drought Assesment over Indonesian related to El Nino and SSTA Indonesia. Inter-Regional Workshop on Indices and Early Warning for Drought.

Cai Ximing, Yi-Chen E, Rigler C, Zhao J & You L . 2011. Agricultural Water Productivity Assessment for the Yellow River Basin. Elsevier Agricultural Management 98 (2011) 1297–1306.

Challinor AJ, Wheeler TR. 2008. Use of a crop model ensemble to quatify CO2 stimulation of water-stressed and well-watered crops. Elservier Agricultural and Forest Meteorology 148 (2008) 1062-1072.

Handoko. 1994. Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. Bogor: Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Koesmaryono Y & Handoko. 2008.

(26)

Krave AS, Straalen NM, Verseveld HW, Roling WFM . 2007. Influence of El Nino and La Nina Climate Events and Litter Removal on Inorganic Nitrogen Dynamics in Pine Forest Soil on Central Java, Indonesia. Elservier European Journal of Soil Biology 43 (2007) 39-47.

Kuenzer C, Zhao D, Scipal K, Sabel D, Naemi V, Bartalis Z, Mehl SH & Wagner W. 2009. El Nin˜o southern oscillation influences represented in ERS scatterometer-derived soil moisture data. Elsevier Applied Geography 29 (2009) 463-477. Kumar A, Veruklar SB, Mandal NP, Variar

M, Shukla VD, Dwivedi JL, Singh BN, Singh ON, Swain P, Mall AK, Robin S, Chandrababu R, Jain A, Haefele, Piepho HP & Raman A. 2012. Hight-Yielding, Drought-Tolerant,Stable Rice Genotypes for Shallow Rainfed Lowland Drought-Prone Ecosystem. Elsevier Field Crop Research 133 (2012) 37-47. Leilah AA & Al-Khateeb S A. 2005.

Statistical Analysis of Wheat Yield under Drought Condition. Elservier Journal of Arid Enviroments 61 (2005) 483-496.

Liao SY, Chen CC & Hsu SH. 2010. Estimating the value of El Nino Southern Oscillation Information in Regional Water Market With Implication for Water Management. Elsevier Journal of Hydrology 394 (2010) 347-356.

Mahmood R, Legates DR, Meo M. 2004. The role of soil water availability in potential rainfed rice productivity in Bangladesh: applications of the CERES-Rice model. Elsevier Applied Geography 24 (2004) 139-159 Makurira H, Savenije HHG, Uhlenbrook S,

Rockstrom J & Senzanje A. 2011. The Effect of System Innovations on Water Productivity in Subsidence Rainfed Agricultural System in Semi-Arid Tanzania. Elservier Agricultural Water management 98 (2011) 1696 - 1703.

Mantel S. 2001. Berau Model Forest Area Environmental Datasets and Maps: land System Inventory. Consultant report-juni 2001

Matthews RB, Kropff MJ, Bachelet D & van Laar HH. 1995. Modeling the Inpact of Climate change on rice production in Asia. CAB International. 289pp

McGregor GR & Nieuwolt S. 1997. Tropical Climatology Second Edition. England: John Wiley & Sons

Mishra AK & Sigh VP. 2010. A Riview of Drough Concept.[a riview paper]. Elsevier Journal of Hydrology 391 (2010) 202-216.

Mo X, Liu S, Lin Z, Xu Y, Xiang Y & McVicar TR. 2005. Prediction of crop Yield, water consumption and water use efficiency with SVAT-Crop Growth Model Using Remotely Sense Data on the North China Plain. Elsevier Ecological Modeling 183 (2005) 301-322.

Patuwan G, Fukai S, Coper M,

Rajatasecereekul S & O’Toole JC.. 2002a . Yield Response of Rice (Oryza sativa L.) genotypes to different types of drought under rainfed lowlands Part 1. Grain yield and yield components. Elsevier Field Crops Research 73 (2002) 153-168. Patuwan G et.al. 2002b. Yield Response of

rice (Oryza sativa L.) genotypes to drought under rainfed lowlands 2. Selection of Drought Resistant Genotypes. Elsevier Field Crops Research 73 (2012) 169-180. Subash N, Singh SS & Priya N. 2011.

Extream rainfall indices and its impact on rice productivity- A case study over sub-humid climatic enviroment. Agricultural Water Management 98 (2011) 1373– 1387. Tjasyono BHK. 2004. Klimatologi.

Bandung: Penerbit ITB.

(27)

in four rice breeding populations. Elsevier Field Crops Research 107 (2008) 232-244.

Verulkar SB, Mandal NP, Dwivedi JI, Singh BN, Sinha PK, MahatoRN, Dongre P, Singh ON, Bose LK, Swain P, Robin, S, Chandrababu R, Senthil S, Jain A, Shashidhar HE, Hittalamani S, Hittalamani S, Cruz VC, Paris T, Raman A, Haefele S, Serraj R, Atlin G, & Kumar A. 2010. Breeding Resilent and Productive Genotype Adapted to Drought-prone Rainfed Ecosystem of India. Elsevier Field Crops Research 117 (2010) 197-208. Wang E, Feng J, Lafang Y, Guo J & Pu Z.

2002. Development of a Generic crop model template in the cropping system model APSIM. Elversier Euro. J. Agronomy 18 (2002) 121-140.

White JW, Hoogenboom G, Kimball BA & Wall GW. 2011. Methodelogies for simulating impact of climate changge on crop production. Elsevier Field Crop Research 124 (2011) 357-368. Wilhite DA. 2005. Drought. Di dalam:

Oliver J E, editor. Encyclopedia of World Climatology. New York: Springer.

(28)
(29)

Lampiran 1 Validasi Model

Lampiran 2 Nilai Slope Persentase Penurunan Produktivitas Tanaman Padi terhadap 10% Penurunan Curah Hujan pada Setiap Provinsi di Jawa dan Bali

Provinsi

kecenderungan

irigasi

tadah hujan

sawah keseluruhan

Banten

4.0

9.2

5.2

Jabar

3.8

9.9

5.7

Jateng

5.2

12.3

6.5

Jatim

3.9

14.1

4.9

DIY

5.3

14.8

6.4

Bali

4.7

13.2

8.0

Keterangan: kecenderungan merupakan indikator respon (%penurunan produktivitas tanaman padi setiap 10% penurunan curah hujan), persentase perbedaan (persentase persentase perbedaan kecenderungan respon sawah irigasi terhadap sawah tadah hujan)

Provinsi

Model(ton/ha)

BPS 2009(ton/ha)

beda (%)

Banten

4.7

5.6

17.4

Jabar

6.0

5.8

3.7

Jateng

4.6

5.6

17.3

Jatim

4.7

5.8

19.0

DIY

4.5

5.9

23.5

Bali

4.8

5.9

18.2

(30)

Lampiran 3 Sebaran Produktivitas Tanaman Padi di Kawasan Jawa dan Bali pada Skenario Penurunan Curah Hujan 0-80%

Penurunan Curah Hujan 0%

Penurunan Curah Hujan 10%

Penurunan Curah Hujan 20%

(31)

Lampiran 3, lanjutan

Penurunan Curah Hujan 40%

Penurunan Curah Hujan 50%

Penurunan Curah Hujan 60%

(32)

Lampiran 3, lanjutan

(33)

ABSTRAK

DEWA PUTU ADIKARMA MANDALA. Respon Produktivitas Tanaman Padi terhadap Kekeringan di Kawasan Jawa dan Bali (Pendekatan Model Simulasi Pertanian Berbasis Spasial) Dibimbing oleh HANDOKO.

Kekeringan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas padi. Ada banyak cara untuk mempelajari respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan, Pendekatan model Shierary-Rice yang berbasiskan spasial merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa setiap 10% penurunan curah hujan di kawasan Jawa dan Bali mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman padi sebesar 5.8%. Respon produktivitas tanaman padi juga dipengaruhi oleh pola curah hujan yang ditunjukkan dengan menggunakan klasifikasi Oldeman. Zona agroklimat Oldeman A dan B yang mendominasi kawasan Banten dan Jawa Barat relatif tidak rentan terhadap kekeringan ( 8% penurunan produktivitas setiap 10% penurunan curah hujan) bila dibandingkan dengan zona agroklimat Oldeman lain yakni C, D dan E (14% penurunan produktivitas setiap 10% penurunan curah hujan).

(34)

ABSTRACT

DEWA PUTU ADIKARMA MANDALA. TheResponseofRice-Crop Productivity to drought in Java and Bali (with the approach of spatial-based Agricultural Simulation Model). Supervised by HANDOKO

Drought is one of many factors that influence the productivity of rice crops. There are several ways to study the response of rice productivity to drought, one of them is by using Shierary-Rice model approach that is integrated with Geographic Information System. The result shows that 10% reduction in rainfall at crop area of Java and Bali will be followed by decreasing the rice-crop productivity by 5.8%. The response of rice crop productivity is also affected by rainfall patterns shown in the Oldeman climate classification. Oldeman agroclimatic zone A and B dominating Banten and West Java areas are relatively less susceptible (8% decrease in productivity every 10% decrease in rainfall) compared to the other C, D and E Oldeman agroclimatic zone (14% decrease in productivity for 10% decrease in rainfall).

(35)

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kekeringan merupakan fenomena yang sudah sering terjadi. Sejak tahun 1970 kekeringan mulai menunjukkan peningkatan intensitas kejadiannya, diduga hal ini dikarenakan oleh kontribusi kegiatan manusia (Bates 2008). Menurut Alen (2010) dan Mishra (2010), selain intensitas kejadian yang semakin besar, dampak dari kekeringan juga tidak dapat dianggap kecil karena banyak aspek penting yang terpengaruh oleh kekeringan. Kekeringan dapat mempengaruhi aspek ekonomi, aspek lingkungan serta aspek sosial. Sektor-Sektor dari aspek ekonomi yang terpengaruh kekeringan antara lain pertanian, kehutanan, perikanan, rekreasi, transportasi, perbankan, dan sektor energi. Pertanian merupakan salah satu sektor yang terpengaruh secara langsung oleh kekeringan (Wilhite 2005).

Banyak komoditi pertanian yang dikembangkan di Indonesia, akan tetapi yang menjadi komoditi utama karena menjadi bahan pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia adalah tanaman padi. Tanaman padi di Indonesia secara umum dibudidayakan pada dua jenis sawah yaitu sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Sawah tadah hujan merupakan sawah yang relatif lebih rentan terhadap kejadian kekeringan dibandingkan dengan sawah irigasi (Patuwan 2002a ; Verulkar 2010). Untuk mengatasi hal tersebut hingga saat ini sudah banyak dilakukan penelitian untuk mengkaji dampak kekeringan terhadap produktivitas pertanian, khususnya kekeringan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim (White 2011). Ada banyak pendekatan yang digunakan dalam melakukan kajian tentang pengaruh kekeringan terhadap produksi maupun produktivitas pertanian. Salah satunya adalah dengan menggunakan pendekatan Model Simulasi (Cai 2011; Mo 2005).

Bates (2008) juga menambahkan bahwa fenomena kekeringan sudah banyak terjadi di berbagai kawasan Asia termasuk Indonesia. Jawa dan Bali merupakan kawasan penting dan dapat disebut sebagai sentra produksi padi di Indonesia. Hal ini dikarenakan lebih dari 50% produksi padi di Indonesia dihasilkan di kawasan Jawa dan Bali (BPS

2009). Kekeringan yang sering terjadi di kawasan Jawa dan Bali menyebabkan produktivitas pada kawasan tersebut berkurang (Boling 2004). Daerah-daerah terkena dampak kekeringan yang semakin luas serta intensitas kejadian kekeringan yang meningkat menunjukan bahwa kekeringan merupakan salah satu isu yang penting untuk dipahami penyebab, mekanisme serta akibat yang ditimbulkan agar proses adaptasi dan mitigasi terhadap kekeringan lebih efisien dan efektif. Oleh karena itu kajian tentang respon produktivitas padi terhadap kekeringan khususnya pada kawasan Jawa dan Bali perlu dilakukan agar tingkat kerugian yang ditimbulkan kekeringan dapat diketahui, ditanggulangi serta dapat diperkecil.

2.1 Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengetahui respon serta tingkat perubahan produktivitas tanaman padi yang diakibatkan oleh kekeringan di kawasan Jawa dan Bali serta sebaran spasial dampak kekeringan terhadap produktivitas tanaman padi pada setiap kelas iklim menurut Oldeman.

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Iklim

(36)
[image:36.595.116.512.82.338.2]

Gambar 1 Tipe Curah Hujan Bulanan Umum Indonesia (sumber: BMKG) Merujuk pada Gambar 1, kawasan Jawa

dan Bali merupakan kawasan yang memiliki curah hujan bulanan bertipe moonsonal yang memiliki puncak curah hujan pada Bulan Desember hingga Januari. Wilayah Jawa dan Bali dalam keadaan normal memiliki bulan kering pada Bulan April hingga Oktober dan bulan basah pada Bulan Oktober hingga April (Krave 2007). Menurut penelitian Boling (2004) di Jawa Tengah, meskipun memiliki tipe curah hujan moonsonal, kawasan ini memiliki kondisi curah hujan yang bervariasi secara temporal. Boling juga menambahkan bahwa tahun-tahun di Provinsi Jawa Tengah dapat dibedakan menjadi tahun-tahun basah pada tahun 1997-1998, tahun kering pada tahun 1999 dan tahun moderat. Perbedaan kondisi curah hujan yang seperti ini merupakan salah satu penyebab variasi produktivitas tanaman padi yang dibudidayakan. Hal yang sama juga berlaku bagi kawasan Jawa dan Bali, meski secara umum tipe curah hujan pada kawasan ini adalah moonsonal, variasi kondisi curah hujan pada kawasan ini cukup besar. Variasi pola curah hujan juga dapat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman padi di kawasan ini (Boling 2010).

2.2 Klasifikasi Iklim Oldeman

Klasifikasi Oldeman merupakan salah satu sistem klasifikasi iklim yang hanya mengunakan curah hujan sebagai dasar pembagian tipe iklim. Metode ini

menggunakan istilah bulan basah sebagai bulan dengan rata-rata curah hujan bulanan sekurang-kurangnya 200 mm sebagai faktor stratifikasi pertama. Nilai 200 mm merupakan rata-rata curah hujan bulanan agar 80% curah hujan memenuhi kebutuhan air pada tanaman padi setiap bulan yaitu >145 mm. Terdapat lima zona agroklimat utama dalam klasifikasi iklim Oldeman yaitu (Mantel 2001):

Zona A : > 9 bulan basah berurutan Zona B :7 hingga 9 bulan basah berurutan Zona C :5 hingga 6 bulan basah berurutan Zona D :3 hingga 4 bulan basah berurutan Zona E : < 3 bulan basah berurutan

(37)
[image:37.595.94.518.106.508.2]

Tabel Pembagian Zona Agroklimat Klasifikasi Iklim Oldeman

Zona faktor stratifikasi Penjabaran

(dimodifikasi) Bulan basah bebrurutan Bulan kering berurutan

A lebih dari 9 -

Pada umumnya penanaman padi dapat dilakukan sepanjang tahun dengan produksi yang kecil karena kerapatan fluks radiasi matahari rendah sepanjang tahun

B1 7 sampai 9 kurang dari 2 Penanaman padi dengan varitas umur pendek dapat dilakukan dua kali setahun dan musim kering yang pendek cukup utk tanaman palawija

B2 7 sampai 9 2 sampai 4

C1 5 sampai 6 kurang dari 2

Penanaman padi dapat dilakukan sekali setahun dan palawija dua kali setahun

C2 5 sampai 6 2 sampai 4 Penanaman padi dapat dilakukan

sekali setahun dan palawija dua kali setahun. Tetapi penanaman palawija yang kedua rawan terkena bulan kering

C3 5 sampai 6 5 sampai 6

D1 3 sampai 4 kurang dari 2

Penanaman padi dengan varitas umur pendek dapat dilakukan sekali setahun dengan produksi tinggi karena kerapatan fluks radiasi yang tinggi.

D2 3 sampai 4 2 sampai 4 Penanaman padi dapat dilakukan

sekali setahun atau satu kali palawija setahun tergantung pada air irigasi.

D3 3 sampai 4 5 sampai 6

D4 3 sampai 4 lebih dari 6

E1 kurang dari 3 kurang dari 2

Umumnya terlalu kering, hanya dapat satu kali penanaman palawija tetapi sangat tergantung dengan adanya hujan

E2 kurang dari 3 2 sampai 4 E3 kurang dari 3 5 sampai 6 E4 kurang dari 3 lebih dari 6 Sumber : Koesmaryono 2008

2.3 Kekeringan

Kekeringan merupakan salah satu bencana yang ditimbulkan oleh kondisi curah hujan wilayah di bawah keadaan normal ataupun keadaan yang diharapkan. Kekeringan memiliki variasi yang besar terhadap waktu dan lokasi (Patuwan 2002b). Kekeringan merupakan integrasi antara kejadian alamiah dengan permintaan terhadap suplai air (Wilhite 2005). Selanjutnya Wilhite (2005) juga menambahkan bahwa kekeringan mengakibatkan sistem Hidrologi dan Agrologi suatu wilayah tidak seimbang sehingga mempengaruhi produktifitas lahan. Kekeringan dapat dipelajari dengan menggunakan empat definisi kekeringan yaitu Kekeringan Meteorologis, Kekeringan Pertanian, Kekeringan Hidrologis serta Kekeringan Sosial Ekonomi.

(38)

reservoir seperti Daerah Aliran Sungai (DAS) ataupun danau. Kekeringan secara sosial ekonomi adalah suatu kondisi defisit presipitasi yang mulai berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi.

Frekuensi kejadian El Nino di Indonesia mengalami peningkatan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (Bates 2008). Liao (2010) menambahkan bahwa Fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) memiliki dampak yang signifikan terhadap curah hujan bulanan serta ketersediaan air suatu kawasan. Berdasarkan observasi inter-seasonal, inter-annual , serta variabilitas curah hujan spasial selama beberapa dekade terakhir di kawasan Asia seperti Indonesia juga cenderung mengalami penurunan curah hujan dari keadaan normal (Bates 2008). Fenomena ENSO di kawasan Asia dapat mengakibatkan penurunan curah hujan bulanan lebih dari 40% (Liao 2010). Kuenzer (2009) menambahkan bahwa kekeringan yang ditimbulkan oleh fenomena ENSO dapat mengakibatkan penurunan curah hujan hingga 70% bahkan lebih.

2.4 Model Simulasi Pertanian

Menurut Matthews (1995), kajian tentang pengaruh perubahan faktor iklim terhadap pertanian telah dilakukan secara ekstensif oleh banyak orang. Kebanyakan dari kajian tersebut terfokus pada pengaruh perubahan suhu terhadap produksi padi yang merupakan makanan pokok paling penting di kawasan Asia (White 2011). Mathews (1995) juga menambahkan bahwa ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk melakukan pendugaan pengaruh perubahan faktor iklim terhadap produksi pertanian antara lain:  pendekatan secara Sistem Informasi

Geografis (SIG)

 pendekatan dengan menggunakan Model Simulasi Pertanian

 pendekatan dengan menggunakan gabungan dari kedua pendekatan di atas Model simulasi pertanian merupakan penyederhanaan suatu atau beberapa proses dalam sistem pertanian (Handoko 1994). Banyak model simulasi pertanian yang dikembangkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Beberapa contoh penggunaan model simulasi pertanian antara lain perhitungan terhadap stres air yang dipicu oleh fluktuasi kelimpahan CO2 dengan menggunakan model GLAM (Challinor 2008). APSIM (The Agricultural Production

Systems sIMulator) merupakan model yang digunakan untuk menyimulasi dinamika interaksi suatu sistem pertanian dengan pengelolaan lahan pertanian. Model simulasi ini dapat digunakan untuk membantu dalam pengelolaan resiko dalam produksi pertanian (Wang 2002). Model simulasi pertanian yang lain adalah CERES-Rice yang digunakan untuk menduga produktivitas potensial padi sawah tadah hujan yang mengalami kekeringan akibat fenomena monsoon di kawasan Bangladesh (Mahmood 2004).

Salah satu model simulasi tanaman padi yang dikembangkan di Indonesia oleh Handoko (1994) adalah Shierary-rice. Model Shierary-rice terdiri dari submodel neraca air, perkembangan tanaman serta pertumbuhan tanaman yang memiliki resolusi temporal harian. Model Shierary-Rice dapat digunakan untuk menduga produktivitas tanaman padi dengan menggunakan informasi iklim.

2.5 Pengaruh Faktor Iklim

Produktivitas tanaman padi, jagung dan gandum di berbagai kawasan Asia dalam beberapa dekade terakhir mengalami penurunan. Penurunan produktivitas beberapa komoditas pertanian tersebut disebabkan oleh stress air, peningkatan suhu, kenaikan frekuensi El Nino, dan juga penurunan jumlah hari hujan (Bates 2008). Menurut penelitian Boling (2004) kawasan Indonesia khususnya Jawa Tengah juga terkena dampak kekeringan. Sawah tadah hujan

Gambar

Gambar 1 Tipe Curah Hujan Bulanan Umum Indonesia (sumber: BMKG)
Tabel Pembagian Zona Agroklimat Klasifikasi Iklim Oldeman
Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali
Gambar 3 Sebaran Zona Agroklimat Oldeman di Sawah Kawasan Jawa dan Bali
+7

Referensi

Dokumen terkait