• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Lambang p menyatakan produktivitas (ton/ha) , Δp persentase penurunan produktivitas (%). Penggunaan formula linest dengan menggunakan excel diatas akan menghasilkan nilai m yang dapat diinterpretasikan sebagai persentase penurunan produktivitas setiap penurunan 10% curah hujan. Data m pada setiap grid diolah dengan menggunakan tekhnik GIS sehingga dihasilkan sebaran spasial sensitivitas padi sawah Jawa dan Bali terhadap kekeringan.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengolahan data spasial sawah pada kawasan Jawa dan Bali, simulasi model serta analisis hasil hasil simulasi model didapatkan hasil sebagai berikut.

4.1. Sebaran Sawah Jawa dan Bali Jawa dan Bali memiliki luas sawah sebesar 3.6 juta hektar yang terdiri dari 81%

sawah irigasi dan 19% sawah tadah hujan.

Luas panen pada kawasan Jawa dan Bali sebesar 6.5 juta hektar karena pada kawasan ini sawah irigasi mengalami dua kali panen sedangkan sawah tadah hujan hanya mengalami satu kali panen. Menurut data BPS (2009), luas panen pada kawasan ini sekitar 6.2 juta hektar. Luasan panen berdasarkan data BPS berbeda 4% dari pada

sawah hasil olahan yang digunakan dalam penelitian ini. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa hal seperti:

 perbedaan metode pengukuran yang dilakukan oleh BPS, Baplan maupun Bakosurtanal,

 perbedaan waktu pembuatan peta sehingga kemungkinan besar sudah banyak sawah yang mengalami konfersi lahan,

 perubahan luas sawah saat sawah yang yang bebrbentuk poligon diubah menjadi menjadi grid sawah dengan ukuran 1 km2. Menurut penelitian Boling (2004) yang dilakukan di Jawa Tengah, luas sawah kawasan Jawa Tengah berada pada kisaran 1 juta hektar dan 30% dari sawah di provinsi tersebut merupakan sawah tadah hujan.

Dalam penelitian ini didapatkan bahwa sawah Jawa Tengah sebesar 1.2 juta hektar dan hanya 18% yang merupakan sawah tadah hujan. Faktor yang mengakibatkan perbedaan luas sawah yang digunakan Boling dan penelitian ini serupa dengan faktor yang mengakibatkan perbedaan luas sawah terhadap data BPS.

Sebaran spasial sawah tadah hujan dan irigasi di kawasan Jawa dan Bali dapat diperlihatkan melalui Gambar 2.

Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali

(2)

Kawasan Jawa dan Bali didominasi oleh sawah irigasi yang terpusat pada bagian Utara Jawa Barat, dan tersebar merata di Jawa bagian Tengah dan Timur hingga Bali. Sawah tadah hujan banyak terdapat pada bagian Tenggara Provinsi Banten, bagian Tengah hingga Selatan Jawa Barat serta sebagian kecil kawasan Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY dan Bali. Sebaran sawah tadah hujan biasanya terpengaruh oleh kondisi klimatologi wilayah tersebut. Sawah dengan tipe ini cenderung membutuhkan curahan hujan yang tinggi dan musim hujan yang panjang.

Produksi pada sawah yang sudah menggunakan sistem irigasi relatif tidak tergantung dengan besar curah hujan bulanan bila dibandingkan dengan sawah tadah hujan.

Sawah irigasi memiliki kemampuan yang lebih baik untuk tetap berproduksi dalam keadaan kekeringan meteorologis atau curah hujan dibawah normal sehingga sawah tipe ini dapat berproduksi sebanyak dua kali dalam setahun. Lain halnya dengan sawah irigasi, produksi padi pada sawah tadah hujan sangat tergantung pada kondisi curah hujan, serta pola curah hujan bulanan yang terjadi (Makurira 2011).

4.2. Zona Agroklimat Oldeman Jawa-Bali Kawasan persawahan Jawa dan Bali dapat diklasifikasikan menjadi 5 zona agroklimat umum Oldeman. Zona agroklimat yang dominan pada kawasan ini berturut- turut adalah zona D, zona C serta zona B.

Zona agroklimat D memiliki bulan basah 3- 4 bulan. Hal ini mengindikasikan bahwa kawasan ini memiliki ketergantungan musim hujan dan kemarau akibat pengaruh angin monsun dan penanaman padi berumur pendek dapat dilakukan sekali dalam setahun. Zona agroklimat C memiliki bulan basah 5-6, sedangkan zona B memiliki bulan basah 7-9.

Semakin banyak bulan basah yang dimiliki oleh suatu kawasan (bulan dengan peluang 80% dapat memenuhi kebutuhan air tanaman padi sebesar 145 mm) akan meningkatkan kemungkinan tanaman padi tumbuh pada bulan yang tepat sehingga memperbesar peluang suatu kawasan untuk menghasilkan produksi padi yang tinggi.

Kawasan yang memiliki jumlah bulan basah yang besar adalah kawasan pada zona agroklimat A dan B.

Sebaran spasial kelima zona agroklimat pada sawah irigasi dan tadah hujan di kawasan Jawa dan Bali ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Sebaran Zona Agroklimat Oldeman di Sawah Kawasan Jawa dan Bali

(3)

Merujuk pada Gambar 3 terlihat bahwa zona agroklimat D terpusat pada bagian Utara Jawa dan memanjang dari ujung Barat hingga ujung Timur pulau Jawa. Akan tetapi pada daerah-daerah bagian Timur, zona agroklimat ini semakin dominan dengan sebaran yang lebih luas hingga memasuki kawasan Bali.

Zona agroklimat A dan B tersebar di Selatan kawasan Banten, Jawa Barat hingga Jawa Tengah. Zona agroklimat A memungkinkan petani untuk menanam padi sebanyak dua kali dalam setahun tanpa adanya tambahan irigasi (Kumar 2012). Kawasan bagian Utara Jawa yang didominasi oleh zona agroklimat D mermbutuhkan irigasi agar tanam padi dapat tumbuh dengan optimal. Posisi zona agroklimat A dan B yang banyak tersebar pada bagian selatan Jawa Barat bersesuaian dengan sebaran jenis sawah tadah hujan. Hal ini dikarenakan zona-zona agroklimat ini masih cukup sesuai dan dapat memenuhi kebutukan pasokan air untuk produksi pertanian yang masih menggunakan sistem tadah hujan.

4.3. Produktivitas Padi

Respon produktivitas tanaman padi pada kawasan Jawa dan Bali, serta kaitannya dengan kerentanan pada masing-masing tipe zona agroklimat dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan model simulasi pada masing-masing skenario kekeringan dengan persentase penurunan curah hujan sebagai indikator kekeringan. Berdasarkan pembandingan hasil keluaran model Shierary terhadap nilai produktivitas padi per-provinsi yang dikeluarkan oleh BPS (2009), didapatkan bahwa hasil model Shierary hanya memiliki perbedaan rata-rata 16.5 % dengan data BPS. Tabel validasi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Berdasarkan simulasi kekeringan pada skenario pengurangan curah hujan bulanan sebesar 0-80% dengan interval 10% per provinsi di kawasan Jawa dan Bali didapatkan hasil yang dapat ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Produktivitas Tanaman Padi per Provinsi se Jawa-Bali pada Masing-Masing Skenario Penurunan Curah Hujan

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Produktivitas (ton/ha)

Penurunan Curah Hujan (%)

Banten Jabar Jateng DIY Jatim Bali

(4)

Dalam kondisi curah hujan normal yang ditunjukkan pada skenario penurunan curah hujan 0% produktivitas tanaman padi 4.5 hingga 6.0 ton/ha. Produktivitas hasil keluaran model tanaman padi pada rentang nilai tersebut sesuai dengan pernyataan Boling (2004) yang menyatakan dalam kondisi normal, penanaman padi di kawasan Jawa memiliki produktivitas antara 1.2 hingga 6.5 ton/ha yang terbagi menjadi 1.2- 4.5 ton/ha pada penanaman pada musim kering yaitu pada bulan Maret hingga Juni dan 3.5-6.8 ton/ha pada bulan-bulan basah yaitu November-Februari. Karena penanaman padi pada simulasi ini dilakukan pada bulan- bulan basah, maka produktivitas hasil keluaran model memiliki rentang antara 4- 6

ton/ha. Produktivitas tanaman padi pada Provinsi Jawa Barat ketika tidak terjadi penurunan curah hujan memiliki perbedaan yang besar dibandingkan dengan produktivitas tanaman padi pada provinsi lainnya. Perbedaan produktiviotas yang besar ini dikarenakan pada kawasan tersebut terdapat sawah dengan produktivitas yang sangat tinggi yakni sebesar >10 ton/ha sehingga mempengaruhi rataan produktivitas pada provinsi tersebut. Merujuk pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa secara umum terjadi penurunan produktivitas tanaman padi pada semua provinsi di kawasan Jawa dan Bali.

Sebaran spasial produktivitas tanaman padi di kawasan Jawa dan Bali dapat dilihat melalui Gambar 5.

Gambar 5 Sebaran Spasial Produktivitas Tanaman Padi pada Skenario Tanpa Penurunan Curah Hujan (A), Penurunan Curah Hujan 10% (B) dan Penurunan Curah Hujan 20% (C)

B

C

A

(5)

Merujuk pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa sawah dengan produktivitas tinggi semakin berkurang ketika terjadi penurunan curah hujan. Sebaran spasial produktivitas tanaman padi tanpa penurunan curah hujan cenderung mengikuti pola klasifikasi Oldeman yang ditunjukan pada Gambar 3.

4.4. Respon Produktivitas

Respon kekeringan pada kawasan Jawa dan Bali dapat dikuantifikasikan dengan menggunakan nilai slope yang dibentuk antara penurunan curah hujan setiap 10%

sebagai peubah bebas (sumbu x) dan persentase penurunan produktivitas sebagai peubah terikat (sumbu y). Persamaan yang menghubungkan kedua variabel tersebut dapat ditunjukkan dengan persamaan regresi linear

y= mx.

Nilai m merupakan nilai slope yang dapat digunakan sebagai indikator pengaruh kekeringan terhadap produktivitas. Satu satuan nilai slope (m=1) memiliki arti bahwa, untuk setiap penurunan sepuluh persen curah hujan akan memberikan pengaruh terhadap satu persen penurunan produktivitas tanaman padi.

Rata-rata penurunan produktivitas tanaman padi setiap 10% penurunan curah hujan pada kawasan Jawa dan Bali adalah 5.8%. Penurunan produktivitas tanaman padi tadah hujan sebesar 11.6 % sedangkan sawah irigasi sebesar 4.4 % untuk setiap 10 % penurunan curah hujan. Penurunan produktivitas pada sawah tadah hujan Jawa dan Bali rata-rata 65 % lebih besar dari pada penurunan produktivitas di sawah irigasi.

Menurut Boling (2004), penurunan produktivitas pada sawah tadah hujan di Jawa Tengah rata-rata 20 % lebih besar dari pada penurunan produktivitas pada sawah irigasi.

Nilai ini berbeda dengan hasil yang didapatkan melalui simulasi model, penurunan produktivitas 38% lebih besar dibandingkan sawah irigasi jika terjadi kekeringan pada kawasan tersebut. Pengaruh jenis sawah pad respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan lebih besar dari pada pengaruh pola curah hujan. Pola curah hujan dapat mempengaruhi respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan. Sawah irigasi dengan zona D

yang tersebar di bagian Utara Jawa memiliki respon yang lebih kecil dari pada sawah irigasi dengan zona C. Meskipun jumlah bulan basah pada zona D lebih kecil dari pada zona C, karakteristik sawah dengan zona agroklimat D memiliki fluks radiasi matahari yang lebih besar dari pada zona C sehingga tanaman padi dapat berproduksi lebih baik.

Merujuk pada Lampiran 2, sawah irigasi yang memiliki respon yang tinggi terhadap kekeringan adalah sawah irigasi di Daerah Istimewa Yogyakarta (yaitu 5.3 % penurunan produktivitas), dan yang paling rendah adalah Provinsi Jawa Barat (3.8% penurunan produktivitas). Keadaan ini mengakibatkan kawasan Jawa Barat merupakan sentra produksi padi yang baik karena respon terhadap kekeringan pada sawah di provinsi ini relatif lebih kecil dari pada provinsi lainnya. Respon produktivitas pada sawah tadah hujan lebih besar daripada sawah irigasi pada setiap provinsi di Jawa dan Bali.

Provinsi Banten dan Jawa Barat merupakan kawasan yang tidak terlalu sensitif terhadap kekeringan. Penurunan setiap 10% curah hujan pada kawasan ini hanya berdampak pada penurunan 9 % produktivitas.

Perbedaan respon sawah tadah hujan dan irigasi yang paling besar adalah sawah pada kawasan Jawa Timur yang memiliki respon dua kali lipat dibandingkan sawah irigasi.

Perbedaan respon yang besar antara sawah tadah hujan dan irigasi pada Provinsi Jawa Timur menunjukan bahwa sistem irigasi akan berdampak besar bila dikembangkan pada kawasan ini sehingga dengan kondisi wilayah yang sebelumnya rentan terhadap kekeringan (memiliki respon sebesar 14.1 persen penurunan setiap 10% penurunan curah hujan) menjadi daerah irigasi yang jauh lebih baik dalam menghadapi kekeringan dengan respon sebesar 3.9% penurunan produktivitas setiap 10% penurunan curah hujan. Dalam kondisi seperti ini, sawah di Jawa Timur lebih membutuhkan pengembangan tekhnologi irigasi dibandingkan sawah di provinsi lainnya.

Sebaran spasial pengaruh kekeringan terhadap produktivitas tanaman padi di kawasan Jawa dan Bali dapat dibagi menjadi tiga kelas kerentanan rentan (merah), sedang (kuning) dan sedikit rentan (hijau) ditunjukkan pada Gambar 6.

(6)

Gambar 6 Sebaran Penurunan Produktivitas Tanaman Padi setiap 10% Penurunan Curah Hujan di Jawa dan Bali (A: Sawah Irigasi dan Tadah Hujan, B:Sawah Irigasi, C:Sawah Tadah Hujan) Merujuk pada Gambar 6 bagian A dapat

diinterpretasikan bahwa jika digabungkan antara sawah tadah hujan dan sawah irigasi, maka sebagian besar sawah irigasi akan dikelompokan ke dalam kelas sedikit rentan dan sedang. Kelas yang sedikit rentan memiliki kisaran nilai slope 0 hingga 4.

Pada kelas ini, 10 persen penurunan curah hujan hanya berdampak pada penurunan produktivitas hingga 4 %. Kawasan dengan kelas sedikit rentan seperti Banten dan Jawa Barat bagian Utara akan mengalami penurunan produktivitas tanaman padi

hingga 4 % dari keadaan normal.

Produktivitas tanaman padi pada Provinsi Banten pada tahun 2009 menurut BPS sebesar 5.55 ton/ha sedangkan Jawa Barat sebesar 5.81 ton/ha. Dengan penurunan 4%

pada kawasan pantai Utara kedua provinsi tersebut, jika terjadi penurunan curah hujan sebesar 10% akan mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman padi sebesar 0.2 ton/ha. Nilai 0.2 ton/ha mendekati nilai 0 ton/ha sehingga sawah sawah pada zona sedikit rentan hampir tidak terpengaruh oleh kekeringan.

B

C A

0-4 4-9 >9

(7)

Sawah irigasi relatif tidak terpengaruh oleh penurunan curah hujan. Pada sawah jenis ini, penurunan curah hujan berdampak terhadap penurunan produktivitas pada kisaran nilai 0 hingga 9 % setiap 10%

penurunan curah hujan. Sifat sawah irigasi yang relatif tidak rentan dapat terlihat dari Gambar 6 bagian B. Merujuk pada Gambar 6 bagian B, sawah irigasi didominasi oleh kelas sedang dan sedikit rentan. Kedua kelas ini relatif tidak rentan terhadap kekeringan bila dibandingkan kelas rentan yang dilambangkan dengan warna merah.

Sawah irigasi yang berada pada kelas tidak rentan tersebar pada sisi Utara Provinsi Banten, Jawa Barat, sedikit pada kawasan Jawa Tengah, Utara Jawa Timur dan Selatan Provinsi Bali. Sawah irigasi yang masuk ke dalam kelas sedang lebih mendominasi dibandingkan kelas yang dilambangkan tidak rentan.

Pola penyebaran secara spasial kelas kerentanan identik dengan pola sebaran spasial kelas iklim Oldeman pada Gambar 3.

Keidentikan pola sebaran kerentanan pada sawah irigasi menunjukkan bahwa pada sawah jenis ini masih terpengaruh oleh pola curah hujan bulanan. Selain pola curah hujan bulanan perbedaan fluks radiasi juga berpengaruh terhadap kerentanan pada sawah irigasi, hal ini dapat dilihat dari sawah irigasi yang memiliki zona D yang tersebar pada bagian Utara Jawa lebih tidak rentan dibandingkan dengan zona C yang berada di bagian Tengah Jawa.

Sebaran spasial respon produktivitas terhadap kekeringan pada sawah tadah hujan di kawan Jawa dan Bali ditunjukan oleh Gambar 6 bagian C. Mengacu pada gambar

tersebut dapat terlihat bahwa ada kawasan sawah tadah hujan tingkat kerentanan terhadap kekeringan berada pada kelas yang sedang (dilambangkan dengan warna kuning). Sawah tadah hujan yang memiliki karakteristik seperti ini terpusat di Provinsi Banten bagian Tenggara dan Jawa Barat bagian Selatan. Respon terhadap kekeringan yang relatif lebih kecil pada kawasan ini karena sawah pada kawasan tersebut memiliki zona agroklimat B (Gambar 3).

Zona agroklimat B pada sistem klasifikasi Oldeman memiliki jumlah bulan basah relatif lebih banyak dari pada zona agroklimat lainnya sehingga zona ini memiliki kemampuan bertahan dari kekeringan.

Berbeda dengan Jawa Barat, sawah tadah hujan di daerah Jawa dan Bali termasuk ke dalam kelas yang rentan. Tingkat respon produktivitas pada jenis sawah tadah hujan di Jawa dan Bali sebesar >9 % penurunan produktivitas tanaman padi untuk setiap penurunan 10 % curah hujan.

4.5. Tingkat Respon pada setiap Zona Agroklimat Oldeman

Respon produktivitas tanaman padi terdap kekeringan terpengaruh oleh pola curah hujan suatu wilayah. Tingkat respon produktivitas tanaman padi terhadap kekeringan pada masing-masing zona agroklimat Oldeman dapat ditunjukan melalui Gambar 6. Tingkat respon produktivitas tanaman padi pada Gambar 6 secara kuantitatif ditunjukkan melalui nilai rataan persentase penurunan produktivitas.

Gambar

Gambar 2 Sebaran Sawah Irigasi dan Tadah Hujan Jawa dan Bali
Gambar 4 Produktivitas Tanaman Padi per Provinsi se Jawa-Bali pada Masing-Masing Skenario  Penurunan Curah Hujan
Gambar 5 Sebaran Spasial Produktivitas Tanaman Padi pada Skenario Tanpa Penurunan Curah  Hujan  (A), Penurunan Curah Hujan 10% (B) dan Penurunan Curah Hujan 20% (C)
Gambar 6 Sebaran Penurunan Produktivitas Tanaman Padi setiap 10% Penurunan Curah Hujan di  Jawa dan Bali (A: Sawah Irigasi dan Tadah Hujan, B:Sawah Irigasi, C:Sawah Tadah Hujan)  Merujuk pada Gambar 6 bagian  A dapat

Referensi

Dokumen terkait

Kesuksesan Festival Kampung Tugu yang diklaim sebagai hajat besar IKBT tidak terlepas dari jasa EO yang menjadi rekanan Sudin Budpar saat itu yaitu FKAI (Forum

Dalam pelaksanaan Madrasah Mu‟allimin Mu‟allimat Bahrul Ulum Tambakberas Jombang juga sesuai dengan konsep Imam Al-Ghozali sebagaimana berikut: 1 materi yang diberikan peserta

Sig (2-tailed) lebih kecil dari 0.01 maka Ha diterima, yang artinya ada pengaruh sangat signifikan, sehingga dapat disimpulkan ada Pengaruh sangat signifikan Penerapan

Hasil dari analisis leverage attributes atau atribut sensitif pada dimensi sosial yang memiliki nilai RMS ≥ 2% yaitu, pengetahuan tentang usahatani komoditas

Dengan adanya pendidikan pancasila saya menyadari bahwa ini sangat penting untuk menunjang kehidupan saya untuk lebih memperhatikan norma-norma yang berlaku pada

Hasil penelitian secara analisis spasial telah menunjukkan bahwa pola penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Lepo-Lepo Kota Kendari dari tahun 2013-2016

dilandasi dengan sumberdaya lokal. Melalui pengembangan potensi yang ada diharapkan upaya pemerintah daerah dalam memberdayakan masyarakat khususnya industri batik

Hubungan Antara Usia, Indeks Massa Tubuh Dan Tekanan Darah Dengan Kadar Gula Darah Pada Lansia Di Desa Baturan Kecamatan Colomadu (Doctoral dissertation,