• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3. Prioritas Alternatif Kebijakan

5.3.1. Tingkat Stakeholder yang Akan Menentukan Alternatif

Hasil analisis data penilaian tingkat kepentingan masing-masing kelompok stakeholder (level 2) terhadap aspek (level 3) dapat dilihat data selengkapnya pada Tabel 16.

Tabel 16. Nilai prioritas kelompok stakeholder

No Stakeholder Bobot

Kepentingan Prioritas

1 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) 0,216 1

2 Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) 0,153 2

3 Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) 0,146 3

4 Dinas Tata Ruang (DTR) 0,130 4

5 Masyarakat 0,101 5

6 Dinas Pekerjaan Umum (PU) 0,075 6

7 Perguruan Tinggi 0,075 6

8 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 0,066 7

76

Dari hasil analisis pendapat para pakar dengan menggunakan metode AHP pada Tabel 13, terlihat bahwa Bapedalda dengan bobot nilai 0,216 adalah stakeholder yang paling berpengaruh terhadap penentuan alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-bau yang meminimumkan dampak lingkungan. Stakeholder yang menjadi prioritas kedua adalah DKP dengan bobot nilai 0,153, stakeholder prioritas ketiga adalah Bappeda dengan bobot nilai 0,146, stakeholder prioritas keempat yaitu DTK dengan nilai 0,130, disusul masyarakat sebagai stakeholder prioritas kelima dengan bobot nilai 0,101, kemudian PU dan Perguruan tinggi adalah stakeholder yang sama-sama menjadi prioritas keenam dengan bobot nilai 0,075, lalu LSM sebagai stakeholder prioritas ketujuh dengan bobot nilai 0,066 dan Dispenda adalah stakeholder yang mempunyai peran paling rendah dengan bobot nilai 0,039.

Kesimpulan yang didapat dari hasil pembobotan ini adalah Bapedalda merupakan stakeholder yang mempunyai tingkat kepentingan tertinggi terhadap penentuan kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-bau yang meminimumkan dampak lingkungan. Hal ini disebabkan Bapedalda adalah salah satu instansi daerah yang mempunyai landasan konstitusional diantaranya, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 17 mengenai kewenangan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya masing- masing, pasal 22 mengenai kewajiban daeran melestarikan lingkungan hidup, UU. No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaaan Lingkungan Hidup (PPLH) pada pasal 9 dan 10 yaitu rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) kabupaten/kota yang memperhatikan keragaman karakter dan fungsi ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumberdaya alam, kearifan lokal, aspirasi masyarakat dan perubahan iklim yang kemudian di atur oleh perda kabupaten/kota dalam salah satu perencanaannya adalah pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup. Lalu diperkuat lagi dalam pasal 30 ayat 1 huruf a di undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa instansi lingkungan hidup adalah salah satu anggota dalam komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Oleh karena itu, Bapedalda Kota Bau-bau memiliki kewenangan yang lebih besar dalam penentuan

prioritas kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-bau yang meminimumkan dampak lingkungan.

DKP Kota Bau-bau merupakan stakeholder kedua yang mempunyai peran dalam penentuan alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-bau yang meminimumkan dampak lingkungan. Hal ini diperjelas dalam landasan konstitusional yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 17 dan 22, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada pasal 34 yang menyatakan reklamasi dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah wilayah pesisir ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi, dimana pelaksanaannya wajib menjaga dan memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat, keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir, kemudian.

Stakeholder yang menempati urutan ketiga dalam penentuan prioritas kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-bau yang meminimumkan dampak lingkungan adalah Bappeda. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pada pasal 10 sampai dengan pasal 29 menegaskan tentang hal ini, yaitu Kepala Bappeda menyiapkan rancangan Rencana jangka panjang daerah (RPJP) Daerah, menyelenggarakan Musrenbang Jangka Panjang Daerah, menyusun rancangan akhir RPJP Daerah berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Panjang Daerah, menyiapkan rancangan awal Rencana jangka menengah daerah (RPJM) Daerah sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah ke dalam strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, program prioritas Kepala Daerah, dan arah kebijakan keuangan Daerah, menyusun rancangan RPJM Daerah dengan menggunakan rancangan rencana dan strategi (Renstra) - Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan berpedoman pada RPJP Daerah, menyelenggarakan Musrenbang Jangka Menengah Daerah, menyusun rancangan akhir RPJM Daerah berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Menengah Daerah, menyiapkan rancangan awal Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) sebagai penjabaran dari RPJM Daerah, mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan rencana kerja (Renja)-SKPD, menyelenggarakan Musrenbang penyusunan RKPD,

78

menyusun rancangan akhir RKPD berdasarkan hasil Musrenbang, menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing pimpinan SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya, menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan SKPD.

Dinas Tata Ruang adalah stakeholder yang menempati urutan keempat dalam penentuan alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-bau yang meminimumkan dampak lingkungan. Landasan konstitusionalnya adalah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 14 yaitu urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemkot merupakan urusan yang berskala kota yang salah satunya meliputi perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, pasal 17 yaitu hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan pemerintahan daerah salah satunya adalah penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan, pasal 18 yaitu kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut yang salah satunya meliputi pengaturan tata ruang, pasal 22 yaitu kewajiban daerah dalam menyelenggarakan otonomi salah satunya adalah menyusun perencanaan dan tata ruang daerah, pasal 189 yaitu proses penetapan rancangan perda yang berkaitan dengan tata ruang daerah menjadi perda dikoordinasikan dulu dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang. Kemudian UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang pada pasal 11 yang menegaskan wewenang Pemerintah Kota (Pemkot) dalam penyelengaraan penataan ruang meliputi pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kota dan kawasan strategis kota. Wewenang Pemkot dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah dan kawasan strategis kota meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian dimana hal ini mengacu pada pedoman bidang penataan ruang dan petunjuk pelaksanaannya.

Hasil penelitian menunjukkan masyarakat Pantai Kamali merupakan produsen yang merasakan dampak langsung penurunan lingkungan di kawasan Pantai Kamali, karenanya masyarakat tersebut merupakan stakeholder yang mempunyai peran penting dalam pengelolaan Pantai Kamali pasca reklamasi. Masyarakat Pantai Kamali adalah stakeholder yang menempati urutan kelima

dalam penelitian ini. Masyarakat di kawasan Pantai Kamali sangat penting untuk diikutsertakan dalam penentuan kebijakan kedepannya agar menjadi subjek- subjek dalam proses pembangunan nasional umumnya dan daerah khususnya tentang alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi di Kota Bau-bau yang meminimumkan dampak lingkungan. Hal ini dukung juga oleh pernyataan Siahaan (2004) dalam Arifuddin, (2009) yaitu masyarakat merupakan sumberdaya yang penting bagi tujuan pengelolaan lingkungan. Bukan saja diharapkan sebagai sumberdaya yang bisa didayagunakan untuk pembinaan lingkungan, tetapi lebih dari pada itu. Komponen masyarakat juga bisa memberikan alternatif penting bagi lingkungan hidup seutuhnya.

Hal ini juga mempunyai landasan konstitusional melalui UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH pada pasal 10 ayat 2 yaitu penyusunan RPLH harus melibatkan masyarakat, pasal 18 ayat 1 yaitu KLHS dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat, pasal 25 huruf c yaitu dokumen amdal harus memuat juga saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan, pasal 26 ayat 1 yaitu dokumen amdal disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat, pasal 30 ayat 1 yaitu keanggotaan komisi penilai amdal terdiri atas wakil dari unsur-unsur yang salah satunya adalah wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak, pasal 39 yaitu pengumuman keputusan izin lingkungan harus mudah diketahui oleh masyarakat, pasal 53 ayat 2 yaitu setiap orang yang melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup akibat perbuatannya sendiri dilakukan salah satunya dengan pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat, pasal 62 ayat 2 yaitu sistem informasi yang dikembangkan oleh pemerintah untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup wajib dipublikasikan kepada masyarakat, dan pasal 70 yaitu mempertegas dengan jelas peran masyarakat yang intinya masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian ditambah lagi dengan pasal 91 tentang hak gugat masyarakat yang intinya masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk

80

kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Dinas Pekerjaan Umum (PU) menduduki urutan keenam dalam penentuan alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi yang meminimumkan dampak lingkungan. Hal ini salah satunya di dukung oleh visi jangka panjang departemen pekerjaan umum sampai tahun 2025 yang berbunyi “"Menjamin Ketersediaan Infrastruktur Bidang Pekerjaan Umum yang Handal untuk Kehidupan yang Nyaman, Produktif dan Berkelanjutan". Kata-kata berkeanjutan disini bermakna pendekatan pembagunan yang berwawasan lingkungan dimana pertumbuhan ekonomi bisa disinergikan dengan kelestarian lingkungan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan atau instrumen- instrumen lain yang dianggap mampu meminumkan dampak lingkungan yang negatif. Dalam penelitian ini instansi perguruan tinggi (PT) menduduki urutan yang sama dengan PU dalam penentuan altenatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi yaitu urutan keenam. Perguruan tinggi diketahui juga memiliki kewajiban dalam menerapkan tanggung jawab Tri Darma perguruan tinggi yaitu, pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.

LSM merupakan salah satu stakeholder yang mempunyai peran terhadap penanggulangan degradasi kualitas lingkungan di Pantai Kamali, Kota Bau-bau. Peran ini adalah dalam hal melakukan pemantauan dan pengawasan di lapangan tentang efektifitas penerapan ketentuan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, upaya penyadaran terhadap kualitas dan pemeliharaan lingkungan pada masyarakat, kondisi sosial ekonomi masyarakat dipesisir Kamali dan yang sama pentingnya juga adalah LSM dapat menempuh hak class actions serta legal standing yang dapat ditempuh oleh LSM dalam menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan. Lebih jauh lagi Santoso (2001) dalam Arifuddin (2009) mengemukakan bahwa keberadaan LSM lingkungan dilandasi suatu kepedulian tentang suatu masalah lingkungan tertentu, hak hukum dari LSM sebagai penunjang pengelolaan lingkungan hidup dijamin secara tegas berdasarkan UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 19 dan UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intansi Dispenda adalah stakeholder yang paling terakhir dalam penentuan alternatif kebijakan pengelolaan Pantai Kamali hasil reklamasi yang meminimumkan dampak lingkungan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya Kota Bau-bau telah menjadi tempat eksodus masyarakat Ambon akibat konflik yang terjadi pada tahun 1999 lalu. Oleh karena itu Pemkot Bau-bau mengambil inisiatif dengan membuat ruang multi fungsi untuk dapat memberikan kenyamanan psikologis dan mengurangi stres kepada masyarakat. Bentuk inisiatif ini adalah melakukan reklamasi Pantai Kamali menjadi ruang publik yang dapat memberikan suasana nyaman dan aman. Pemkot Bau-bau juga mendirikan mall disamping muara Sungai Bau-bau yang masih termasuk kawasan pesisir Kamali untuk meningkatkan sektor perdagangan di kota ini. Pembangunan mall dan ruang publik di Pesisir Kamali tersebut telah berkontribusi positif pada aspek ekonomi Kota Bau-bau melalui pajak hiburan, pajak reklame, retribusi jasa umum seperti retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dan retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum. Landasan konstitusi aturan perpajakan ini mengacu pada UU No. 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.