• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkatan penalaran moral Pasca-Konvensional, Otonomi atau Berprinsip

C. Teori Pendidikan Karakter dan Moral menurut Lawrence Kohlberg

3. Tingkatan penalaran moral Pasca-Konvensional, Otonomi atau Berprinsip

Tingkat ketiga ini sudah ada usaha kongkrit dalam diri seseorang anak untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang dianggap memiliki validitas, yang diwujudkan tanpa harus mengkaitkan dengan otoritas kelompok atau pribadi-pribadi yang mendukung prinsip-prinsip tersebut, sekaligus terlepas dari identifikasi seseorang terhadap kelompok. Pada tingkat ini terdapat dua tahap perkembangan moral.

Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalitas

Pada tahap ini dapat dikatakan sebagai tingkat kematangan moral yang cukup tinggi. Seseorang yang berada pada tahap kelima ini telah mempunyai kesadaran yang cukup tinggi akan adanya perbedaan individu, baik yang berkaitan dengan nilai-nilai ataupun pendapat-pendapatnya.

Tahap 6: Orientasi prinsip etika universal

Di mana dalam tahap yang paling tinggi ini menurut skema Kohlberg disebutkan bahwa apa yang secara moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum-hukum atau aturan dari suatu tertib sosial, akan tetapi lebih dibatasi oleh kesadaran yang ada pada manusia dengan dilandasi oleh prinsip-prinsip etis yang ‘self-determinated’ sifatnya. Dengan demikian tahap keenam ini melibatkan prinsip-prinsip moral yang transenden dan universal yang bersumber dari hati. Diluar hukum, seseorang harus hidup dengan kata natinya yang menjadi sumber tertinggi dari pertimbangn-pertimbangan moralnya.

Dalam mendefinisikan tahap 5 dan 6 pasca konvensional, Kohlberg memakai teori kontrak sosial dan terutama pemikiran filsuf John Rawls. Pada tiap tahap perkembangan, individu dapat memikirkan apa yang benar dan mengapa bisa benar dengan cara yang sangat berbeda. Ketika ditanya, mengapa mencuri dari teman adalah perbuatan salah, misalnya, individu pada tahap-1 akan menjawab “Karena jika tertangkap akan dihukum”, sementara individu pada tahap-3 mungkin merujuk pada fakta bahwa mencuri akan merusak hubungan kepercayaan dengan teman. Individu pada tahap-5 mungkin merujuk pada kontrak yang tersirat antara anggota masyarakat untuk mempertahankan hak milik dan bertingkah laku demi kebaikan bersama.

Proses penalaran moral melalui tahap-tahap itu berlangsung secara beraturan. Ia tidak dapat mencapai tahap tertentu tanpa melalui tahap sebelumnya, dalam perkembangan tahap, subyek tidak dapat memahami penalaran moral tahap di atasnya lebih satu tahap, seseorang dari tahap satu akan tertarik pada cara berpikir tahap dua dan sesorang dari tahap dua tertarik pada penalaran tahap tiga, dalam perkembangan tahap, peralihan dari tahap ke tahap terjadi bila diciptakan disequilibrium kognitif, yaitu bila pandang kognitif sesorang tidak mampu lagi menyelesaikan sesuatu dilema moral yang

dihadapinya. Seperti yang telah dikemukakan tentang tahapan perkembangan penalaran moral di atas Kohlberg menganggap bahwa proses perkembangan moral dari satu tahap penalaran moral ketahap berikutnya tidak terjadi secara mendadak, melainkan secara gradual. Oleh karena itu, menurutnya kita dapat menjumpai adanya campuran tahap (stage mixture) penalaran moral pada suatu waktu tertentu. Campuran pada tahap disini dalam pengertian bahwa pada suatu masa perkembangan tertentu dimungkinkan bagi seseorang untuk berfungsi dengan lebih dari satu tahap penalaran moral pada waktu yang sama. Begitu pula bahwa meskipun tahap-tahap perkembangan penalaran moral ini berkaitan dengan usia anak, namun tidak memberikan penjelasan yang pasti tentang tahap tahap usia tersebut. Kohlberg menggunakan penemuan ini untuk menolak praktik-praktik pendidikan karakter tradisional. Pendekatan ini didasari gagasan bahwa kejahatan dan kebaikan adalah basis perilaku moral, atau karakter moral terdiri atas kebaikan seperti kejujuran, kebaikan, kesabaran, kekuatan/ketabahan. Menurut pendekatan tradisional para guru mengajarkan kebaikan-kebaikan melalui contoh dengan memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mempraktikkan kebaikan-kebaikan ini, dan memberi penghargaan kepada mereka yang mempraktikkannya serta memberi hukuman kepada yang tidak mempraktikannya.

Riset empiris Kohlberg (Palmer, 2003: 340) difokuskan pada pengembangan metode untuk mengukur dan menilai validitas teori perkembangan moral. Ia mengembangkan wawancara keputusan moral (Moral Judgement Interview atau MJT), tata cara, dan penentuan skor yang menggunakan metode wawancara semi terstruktur mengenai dilema-dilema moral hipotetis, partisipan diminta memutuskan dan menilai beberapa tindakan berdasarkan moralitas. Dengan menggunakan panduan penentuan skor yang rumit dimungkinkan menentukan tahap penalaran moral dari peserta yang diwawancarai. Dengan menggunakan hasil dari studi longitudinal selama 20 tahun, subjek diwawancarai setiap tiga tahun. Kohlberg memperlihatkan kemajuan bertahap sebagaimana diprediksikan teorinya. Studi longitudinal lainnya memperkuat temuan-temuan penelitian Kohlberg, seperti Piaget, Kohlberg melakukan riset untuk meneliti validitas lintas budaya dari teorinya. Hasil dari studi yang dilakukan dilebih dari empat puluh negara Barat dan non-Barat, secara umum menunjukkan peningkatan keputusan moral sesuai usia dan pendidikan serta memperkuat sebagian besar tahap-tahap penalaran moral yang berarti menunjukkan universalitas teori perkembangan moral. Berkaitan dengan pendidikan moral, riset ekstensif menemukan bahwa program pendidikan tersebut mendorong keberhasilan dalam penalaran moral. Kebanyakan karya Kohlberg (Palmer, 2003: 340) selama tahun 1970-an dan 1980-an berpusat pada implikasi praktis teori perkembangan moralnya, yakin melibatkan pengembangan kurikulum dan reformasi di sekolah dan universitas serta eksperimen demokrasi pendidikan di penjara, sekolah, dan organisasi berbasis komunitas dengan menerapkan Just Community Approach, yaitu suatu pendekatan yang mendasarkan pada komunitas masyarakat di sekolah.

Tulisan-tulisan Kohlberg dalam Palmer (2003:341) telah menarik perhatian para filosuf terkemuka seperti Jiirgen Habermas dan Israel Scheffler, sejawat ilmuwan sosial, kolaborator, dan mantan mahasiswanya. Mereka mengomentari karya Kohlberg, mengembangkan riset dan teorinya, serta mengajukan kerangka teoritis dan penjelasan alternatif, bahkan bertentangan. Berkenaan dengan pendidik orang dewasa adalah penerapan pemikiran perkembangan kognitif pada pengembangan profesi dan pengembangan ranah-ranah di luar penalaran keadilan, sepanjang hidup, dan di tempat kerja.Sebagaimana dirangkum Schrader, “Kohlberg memang memiliki sifat pengkritik, tapi bagi para pengkritiknya, ide-ide Kohlberg tetap perlu dipertimbangkan dan menjadi titik awal bagi ide-ide baru. Kohlberg menyambut setiap dialog dan kontroversi. Ia percaya bahwa tanpa konflik dan dialog kognitif, kita tidak akan berkembang”. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemikiran Kohlberg sebagaimana diuraikan di atas menegaskan tentang arti pentingnya pendidikan moral dalam proses pendidikan di sekolah. Nilai-nilai moral yang dikembangkan pada peserta didik harus disesuaikan dengan tahapan tingkat usia anak pada tingkat jenjang pendidikan.Meskipun pemikiran Kohlberg tersebut menekankan pada pendidikan moral, namun sebenarnya dalam mengimplementasikan pada praktik proses pembelajaran di sekolah, juga mengandung makna dalam membentuk karakter anak melalui proses pendidikan walaupun tidak secara eksplisit disebutkan dalam teks kajiannya.

Kelebihan teori Kohlbreg tentang perkembangan penalaran moral, memilih untuk mempelajari tentang respon respon moral dan Kohlbreg mengenali enam tahap dari penalaran moral dan dikelompokkan kedalam tiga tingkat utama. Dan empat sifat dalam perkembangan tahap adalah bahwa seseorang mesti melangkah memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mempraktikkan kebaikan-kebaikan ini, dan memberi penghargaan kepada mereka yang mempraktikkannya serta memberi hukuman kepada yang tidak mempraktikannya. Kelemahan teori Kohlberg terletak pada pendekatannya ke perkembangan kognitif dan melibatkan secara demokratis. Sedangkan pendekatan afektif dan pendekatan psikomotorik tidak digunakan oleh teori Kohlberg dimana kedua pendekatan tersebut sangat berpengaruh dalam perkembangan moral.

Grant theory yang digunakan sebagai dasar utama untuk menelaah disertasi ini mengacu pada teori pendidikan karakter dan moral menurut Lickona, Ki Hadjar Dewantara, dan Kohlberg seperti yang telah diuraikan di muka, yang selanjutnya dapat dirumuskan tentang konsepsi, proses, pendekatan, dan pihak-pihak yang berperan dalam pendidikan karakter dan moral di sekolah. Menurut pendapat penulis, secara umum, ketiga ahli tersebut memiliki persamaan pandangan bahwa proses pendidikan karakter dan moral terhadap anak didik akan berjalan efektif apabila semua warga sekolah terlibat dan didukung oleh orang tua (keluarga di rumah). Di samping itu nilai-nilai karakter dan moral yang perlu dikembangkan di sekolah adalah nilai-nilai moral yang bersifat universal. Namun demikian, terdapat perbedaan terutama dalam fokus kajian dan pendekatan yang digunakan. Lickona memfokuskan

cakupannya sangat luas yaitu meliputi aspek kognitif (moral knowing), afektif

(moral fiiling), dan perilaku moralitas (moral action) sehingga menjadikan

individu sebagai pribadi dan warga negara yang baik dan berahlak mulia, meskipun pada kenyataannya masih kurang dalam mempraktikkan perilaku moral (moral action). Dewantara memfokuskan kajian tentang nilai-nilai budi pekerti dengan metode sistem among: asah, asih, dan asuh; serta pola pendekatan tutwuri handayani: ing ngarsa sung tulada, ing madya mbangun

karsa, tutwuri handayani. Kohlberg memfokuskan kajian tentang perkembangan atau penalaran moral dengan mengutamakan pendekatan kognitif dan melibatkan anak secara demokratis, sedangkan pendekatan afektif dan pendekatan psikomotorik tidak digunakan oleh teori Kohlberg dimana kedua pendekatan tersebut sangat berpengaruh dalam perkembangan moral.

Kesamaan dan perbedaan dari teori penididikan karakter dan moral oleh Lickona, Dewantara, dan Kohlberg secara terrinci dapat dilihat pada tabel rekapitulasi berikut ini.

Grant Theory: Pendidikan Karakter dan Moral

No Aspek Kajian Lickona Dewantara Kohlberg

1 Konsep

Pendidikan Karakter dan Moral

Fokus kajian:

character education and moral:

Moral knowing, moral filling, moral action. Proses menuju kede-wasaan dan memanu-siakan manusia atau individu

Fokus kajian:

Pendidikan Budi Pekerti.

Proses menuju

ke-dewasaan dan

memanusiakan manusia atau indi-vidu.

Fokus kajian:

Perkembangan atau

Penalaran Moral.

Penanaman nilai me-lalui tahapan secara berurutan.

Proses menuju ke-dewasaan dan me-manusiakan manusia atau individu 2 Proses Pendidikan Karakter Melalui pendidikan di sekolah dan didukung keluarga (orang tua)

Melalui pendidik-an di sekolah dpendidik-an didukung keluar-ga (orang tua), dan pergerakan. Melalui pendidikan di sekolah dan didu-kung keluarga (orang tua). 3 Pendekatan dalam Praktik 1. Menekankan pada kognitif, afektif, dan perilaku. 2. Didukung kultur sekolah dan keluarga. 1. Menekankan pada kognitif, afektif, dan psi-komotorik 2. Didukung keg. Ekstrakurikuler 1. Menekankan pada kognitif. 2. Didukung kegiatan ekstrakurikuler 4 Pihak-Pihak yang Berperan dalam Pendidikan Karakter di Sekolah

Kepala Sekolah, Guru, Staf, dan Siswa

Kepala Sekolah, Guru, Staf, dan Siswa

Kepala Sekolah,

Guru, Staf, dan

Siswa 5 Peran Pendidikan Mengembangkan materi pembelajaran Proses menuju kedewasaan dan Membantu perkem-bangan moral atau

dengan pedekatan terintegrasi (terpadu), yaitu perpaduan antara materi pembelajaran dengan nilai-nilai luhur yang diintegrasikan untuk dapat diinternali-sasi (dihayati) menjadi acuan perilaku dan terwujud (diamalkan) dalam perbuatan murid sehari-hari sehingga merupakan kebiasaan (habit). memanusiakan manusia atau individu perkembangan keputusan moral

3