• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Mekanisme Klaim BPJS Kesehatan dan sanksi Bagi Para Pihak Jika

Terjadi Pelanggaran Berdasarkan Peraturan Yang Berlaku

Pertama kali setiap peserta didaftarkan oleh BPJS kesehatan pada suatu fasilitas kesehatan tingkat pertama yang ditetapkan oleh BPJS kesehatan setelah mendapat rekomendasi dinas kesehatan kabupaten/kota.99

Mekenisme klaim peserta BPJS kesehatan, langkah awal untuk mendapatkan klaim BPJS kesehatan, agar pengobatan dapat sepenuhnya ditanggung pihak BPJS kesehatan, maka peserta harus memenuhi aturan atau prosedur, yaitu:

1. Mendatangi Puskesmas Setempat

Ketika seseorang yang terdaftar pada BPJS kesehatan mengalami sakit dan ingin mengklaim haknya, peserta tidak dapat langsung datang ke rumah sakit, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah berobat ke fasilitas kesehatan (Faskes) 1 (satu) terlebih dahulu. Faskes yang dimaksud dalam hal ini adalah Puskesmas, klinik atau dokter keluarga, namun jika peserta sakit dalam keadaan darurat dan butuh penanganan cepat dan peralatan yang lebih lengkap, maka dapat

99

75

saja peserta langsung ke rumah sakit yang telah bekerjasama dengan BPJS kesehatan. Pasien dikatakan darurat sendiri jika pasien dalam kondisi sakit yang dapat menyebabkan kematian maupun cacat. Tapi jika sakit yang tidak bersifat darurat, maka peserta harus merujuk dulu ke Faskes 1 dalam hal ini yaitu Puskesmas atau dokter keluarga. Apabila peserta seorang karyawan maka sebelum ke rumah sakit alangkah lebih baiknya peserta meminta surat izin berobat terlebih dahulu dari perusahaan. Kemudian setelah mendapat surat izin, maka peserta akan leluasa untuk berobat puskesmas, klinik atau dokter keluarga.

2. Pemeriksaan di Puskesmas

Puskesmas, klinik atau dokter keluarga Fakes 1, peserta BPJS kesehatan yang sakit akan diperiksa dan diobati. Di sinilah peserta akan diputuskan apakah akan dirujuk ke rumah sakit karena kesanggupan puskesmas atau tidak. Jika memang pihak puskesmas tidak sanggup menangani, maka pasien akan dirujuk ke rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan. Saat peserta akan ke rumah sakit maka peserta harus membawa kartu atau surat rujukan dari Faskes 1. Karena tanpa adanya kartu rujukan itu, klaim peserta akan ditolak pihak BPJS kesehatan tidak akan menanggung biaya pengobatan. Maka dari itu membawa surat rujukan memang merupakan hal yang hukumnya wajib jika peserta ingin mendapatkan pengobatan secara gratis.

3. Ke Rumah Sakit Rujukan

Setelah peserta siap dengan kelengkapan yang dipersayaratkan, maka pasien langsung berangkat menuju rumah sakit yang telah ditetapkan. Ingat saat datang jangan terlambat, karena jika peserta datang terlambat maka peserta tidak

76

dilayani hari itu dan peserta harus menunggu besok harinya. Kelengkapan yang dipersyaratkan kepada pasien yang tergolong bukan pasien darurat saat berobat ke rumah sakit sendiri yaitu:

a. Kartu BPJS asli beserta foto copynya.

b. Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku. c. Foto copy Kartu Keluarga (KK).

d. Foto copy Surat Rujukan dari Faskes 1100

Pelanggaran BPJS kesehatan dapat terjadi antara peserta dengan BPJS kesehatan. Peserta BPJS kesehatan memberikan informasi yang tidak benar mengenai pekerjaan, penghasilan, anggota keluarga atau status pekerjaan. Pelanggaran juga dapat terjadi pada pemberi kerja/pengusaha, yaitu dengan melaporkan upah lebih rendah dari yang dibayarkan, mendaftarkan sebagian peserta, menunggak pembayaran, bahkan menggelapkan iuran yang dikumpulkan dari potongan gaji/upah pekerja. Tujuannya sangat jelas yaitu mengurangi jumlah iuran yang dibayarkan kepada BPJS kesehatan bahkan lebih buruk lagi adalah penyalahgunaan dana pekerja oleh pemberi kerja. Pelanggaran dalam pengumpulan iuran dapat melibatkan oknum BPJS kesehatan dan pemberi kerja. 101

Penagihan dan pembayaran klaim fasilitas kesehatan kepada BPJS kesehatan adalah titik rawan pelanggaran yang sering dibicarakan publik akhir-akhir ini. Kecurangan dapat terjadi pada dua belah pihak. Untuk mendapatkan pembayaran seoptimal mungkin dari BPJS kesehatan, fasilitas kesehatan

100

https://www.cermati.com/artikel/cara-berobat-dengan-bpjs-bagaimana-prosedurnya, 15 Januari 2017.

101

77

menagihkan klaim yang lebih tinggi daripada pelayanan yang sebenarnya diberikan kepada peserta, atau melakukan berbagai tindakan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan. Sebaliknya, BPJS kesehatan dapat pula berlaku curang dengan mengubah sepihak kesepakatan kerja sama dengan fasilitas kesehatan semata-mata untuk meminimalkan kewajiban membayar pelayanan kesehatan, atau menunda-nunda pembayaran, bahkan ingkar membayar tagihan klaim.102

Denda dan sanksi jika peserta terlambat membayar iuran BPJS kesehatan bahkan tidak mau ikut jadi peserta BPJS kesehatan. Program pemerintah yang satu ini jadi suatu dilemah tersendiri jika masyarakat tidak ikut menjadi peserta BPJS kesehatan terutama untuk keluarga yang pas pasan saja, kalau untuk keluarga kelas menengah ke atas hal ini tidak jadi masalah, keluarga yang tidak mampu sama sekali juga bukan masalah soalnya pemeritah yang menanggung. Dampak paling buruk jika peserta tidak ikut jadi peserta BPJS kesehatan adalah tidak mendapatkan pelayanan publik seperti bikin SIM, STNK, bikin sertifikat tanah. 103

Sanksi yang dapat dijatuhkan bagi orang yang melanggar regulasi terkait BPJS berupa administrasi, denda dan pidana. Untuk itu dalam penerapan sanksi, terutama administratif, BPJS kesehatan harus menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga pemerintah yang menggelar pelayanan publik. Seperti kepolisian terkait dengan pengurusan izin mengemudi (SIM). Mengacu Pasal UU BPJS, pemberi kerja selain penyelenggara negara yang tidak mendaftarkan dirinya dan pekerjanya menjadi peserta BPJS serta tidak memberi data yang benar maka

102

http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/556, diakses tanggal 15 Januari 2017.

103

http://www.abuazmashare.id/2015/05/denda-dan-sanksi-terlambat-bayar-bpjs. html #ixzz4WCLACaNt, diakses tanggal 15 Januari 2017.

78

dijatuhi sanksi administratif. “Berupa teguran tertulis, denda dan atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu,”104

Sanksi bagi peserta BPJS kesehatan jika terjadi keterlambatan pembayaran iuran, yaitu:

1. Keterlambatan pembayaran iuran untuk Pekerja Penerima Upah dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan, yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja.

2. Keterlambatan pembayaran iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak.105

Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan dinyatakan bahwa:

Untuk Pemberi Kerja pemerintah daerah, penyetoran iuran kepada BPJS kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui rekening kas negara paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.

104

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt549149f19f7e9/ pemerintah-bahas-penerapan-sanksi-bpjs-kesehatan diakses tanggal 15 Januari 2017.

105

http://www.abuazmashare.id/2015/05/denda-dan-sanksi-terlambat-bayar-bpjs. html#ixzz4WCQgtSKD, diakses tanggal 15 Januari 2017.

79

Pasal 17A

(1) Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran jaminan kesehatan kepada BPJS kesehatan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.

Sanksi keterlambatan pembayaran iuran BPJS kesehatan tertuang sebagai berikut:

Dalam hal terdapat keterlambatan pembayaran iuran jaminan kesehatan lebih dari 1 (satu) bulan sejak tanggal 10 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) dan dalam Pasal 17A ayat (1), penjaminan peserta diberhentikan sementara.

Jika tidak membayar 3 bulan berturut-turut kartu peserta BPJS di blokir Misalnya di sini seorang ibu yang mau melahirkan bayi sesar mereka seminggu sebelumnya baru mendaftar BPJS agar langsung di pakai dan gratis, giliran suruh bayar bulanan mereka tidak mau.106"Peserta tidak akan dikenakan denda jika tidak menggunakan fasilitas rawat inap dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak status kepesertaan aktif kembali," akan tetapi sebaliknya, peserta akan dikenakan denda jika dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari menggunakannya maka rumus penghitungannya 2,5 persen x biaya rumah sakit x jumlah bulan tertunggak.

Contoh 10 hari setelah status kepesertaan aktif, pasien dirawat di rumah sakit yang mengahbiskan biaya Rp10 juta. Berikut jumlah denda yang harus dibayar adalah 2,5 persen x Rp10 juta x 3 = Rp750.000.

106

http://www.bpjs-kesehatan.net/2015/05/akibat-terlambat-membayar-bpjs.html, diakses tanggal 15 Januari 2017.

80

B. Iuran Anggota BPJS Kesehatan dengan Pembayaran Cukup Menangani

Kebutuhan Dari Sudut Hukum Kesehatan

Pelayanan BPJS kesehatan mempunyai sasaran di dalam pelaksanaan akan adanya sustainibilitas operasional dengan memberi manfaat kepada semua yang terlibat dalam BPJS, pemenuhan kebutuhan medik peserta dan kehati-hatian serta transparansi dalam pengelolaan keuangan BPJS.107 Penghentian asuransi kesehatan dan pengalihan ke BPJS sebenarnya tidak akan jadi masalah selama kualitas layanan BPJS setara dengan kualitas layanan asuransi kesehatan yang selama ini dinikmati masyarakat.

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan. 1. Iuran Peserta PBI

Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah sebesar Rp 19.225,00 (sembilan belas ribu dua ratus dua puluh lima rupiah) per orang per bulan.

2. Iuran Peserta Bukan PBI

a. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang terdiri atas Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri sebesar 5% (lima persen) dari gaji atau upah per bulan.

b. Iuran sebagaimana dimaksud pada poin 1 (satu) dibayar dengan ketentuan sebagai berikut:

107

http://www.kompasiana.com/

81

1) 3% (tiga persen) dibayar oleh pemberi kerja; dan 2) 2% (dua persen) dibayar oleh peserta.

c. Kewajiban pemberi kerja dalam membayar iuran sebagaimana dimaksud di atas, dilaksanakan oleh:

1) Pemerintah untuk iuran jaminan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat, Anggota TNI, anggota Polri, Pejabat Negara, dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Pusat; dan

2) Pemerintah Daerah untuk Iuran Jaminan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Daerah.

d. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah selain Peserta sebagaimana dimaksud di atas yang dibayarkan mulai tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan 30 Juni 2015 sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari gaji atau upah per bulan dengan ketentuan:

1) 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan 2) 0,5% (nol koma lima persen) dibayar oleh Peserta.

e. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta sebagaimana dimaksud di atas yang dibayarkan mulai tanggal 1 Juli 2015 sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan:

1) 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan 2) 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta.108

108

Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan

82

C. Faktor yang Menghambat Pelaksanaan Pelayanan terhadap Pengguna

BPJS Kesehatan

Proses pelayanan kesehatan, ada faktor-faktor tertentu yang menjadi pendukung untuk kelancaran proses pelayanan. Faktor pendukung penting untuk diketahui agar pelayanan yang diberikan dapat terus ditingkatkan untuk memberikan pelayanan yang memuaskan. Beberapa faktor pendukung yang penting dalam pelayanan, diantaranya faktor kesadaran para pejabat serta petugas yang berkecimpung dalam pelayanan umum, faktor aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan, faktor organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan, faktor pendapatan yang memenuhi kebutuhan hidup minimum, faktor keterampilan petugas dan faktor sarana dalam pelaksanaan tugas pelayanan.109

Keberhasilan dari upaya pemerintah dalam menerapkan konsep SJSN khususnya pada jaminan kesehatan nasional diantaranya bergantung pada kondisi supply dan demand dari pelayanan kesehatan. Dalam ekonomi kesehatan, secara umum demand terhadap pelayanan kesehatan diartikan sebagai barang atau jasa yang benar-benar dibeli (realisasi penggunaan) oleh pasien. Istilah demand dibedakan dengan istilah need dan want. Need adalah barang atau jasa yang dipandang terbaik oleh pemberi jasa layanan kesehatan untuk digunakan dalam rangka memperbaiki kesehatan pasien, sedangkan want adalah barang atau jasa yang diinginkan (diminta) oleh pasien, misalnya obat yang murah, obat yang bekerja cepat. Pembedaan dimaksud dianggap penting khususnya dalam ilmu

109

Moenir, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, (Jakarta, Bumi Aksara, 2006), hal 88

83

ekonomi kesehatan dan kesehatan masyarakat dengan tujuan untuk memperkecil perbedaan antara need dan want. Dengan peraturan perundang-undangan, Pemerintah dapat memengaruhi keputusan dokter agar mengakomodasi keinginan pasien.110

Pelayanan kesehatan menjadi prioritas utama penyelenggara karena merupakan salah satu hak mendasar masyarakat serta penyediaannya wajib diselenggarakan oleh pemerintah. Seperti yang tertuang pada pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Sehingga pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan yang layak dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan adanya undang-undang tersebut maka dibentuklah BPJS, salah satunya adalah BPJS kesehatan. Pelayanan kesehatan yang dapat di peroleh terdiri dari semua fasilitas kesehatan yaitu fasilitas kesehatan tingkat pertama, fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, dan fasilitas kesehatan lainnya yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan, salah satu fasilitas kesehatan tingkat pertama adalah puskesmas sesuai dengan Peraturan BPJS kesehatan No. 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan. Puskesmas sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (selanjutnya disebut UPTD) memiliki tugas operasional dalam pembangunan kesehatan wilayahnya.111

Peserta BPJS hanya boleh memilih satu fasilitas kesehatan untuk memperoleh rujukan dan tak bisa ke faskes lain meski sama-sama bekerja sama dengan BPJS. Keterbatasan itu, menyulitkan orang yang sering bepergian dan

110

Novijan Janis. BPJS Kesehatan, Supply, dan Demand Terhadap Layanan Kesehatan,

Artikel, Kepala Subbidang Analisis Risiko Ekonomi, Keuangan, dan Sosial , 2015.

111

Sopia Weni Anggriani, Kualitas Pelayanan Bagi Peserta BPJS Kesehatan Dan Non BPJS Kesehatan, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN. 2442-6962 Vol. 5, No. 2 (2016)

84

bekerja di tempat jauh.112 Rumitnya alur pelayanan BPJS Kesehatan karena menerapkan alur pelayanan berjenjang. Sebelum ke rumah sakit, peserta wajib terlebih dulu ke faskes tingkat pertama, yaitu puskesmas.

Faktor-faktor yang pendukung pelaksanaan pelayanan terhadap pengguna BPJS kesehatan, antara lain :

1. Tingginya jumlah kepesertaan BPJS kesehatan yang membutuhkan standar pelayanan minimal (selanjutnya disebut SPM), hal ini dibuktikan dari banyaknya pasien pengguna SPM. Selain itu, masih banyak lagi maskin yang belum terkover dan membutuhkan bantuan, hal ini dikarenakan banyak masyarakat hampir miskin atau masyarakat yang jatuh miskin karena menderita suatu penyakit yang mengakibatkan mereka jatuh miskin karena mahalnya biaya pengobatan yang mereka keluarkan. Maka permintaan pelayanan kesehatan masyarakat semakin meningkat seiring semakin meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan akan kesehatan. 2. Aturan dan prosedur pelayanan yang jelas meskipun dikenakan persyaratan

yang tidak sedikit bagi mereka untuk mendapatkan SPM, namun mereka mengaku cukup jelas memahami alur dan prosedur pengurusan SPM dan tidaklah berbelit-belit. Hal ini membuktikan, bahwa secara umum pelaksanaan prosedur atau standar operasional prosedur (SOP), yang diterapkan telah berjalan baik dan komunikasi atau informasi diterima dengan relatif baik dari aktor pelaksana kepada masyarakat.

112

https://m.tempo.co/read/news/2015/08/09/173690357/4- masalah-paling-dikeluhkan-dalam-pelayanan-bpjs-kesehatan, diakses tanggal 1 Maret 2017.

85

Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pelayanan terhadap pengguna BPJS kesehatan, antara lain :

a. Tingkat ketersedian aspek pelayanan kesehatan masih menemukan sejumlah masalah yang menghambat pelaksanaan jaminan kesehatan nasional. Saat ini, tersedia lebih dari 85.000 dokter praktik umum dan lebih dari 25.000 dokter praktik spesialis, belum termasuk dokter gigi. Secara nasional jumlah tersebut cukup untuk melayani seluruh rakyat berdasarkan rasio satu dokter praktik umum pelayani 3000 orang. Pelayanan kesehatan saat ini juga didukung oleh jumlah perawat dan bidan yang jumlahnya telah mencukupi. Mengatasi berbagai permasalahan yang ada saat ini maka sangat diperlukan kesiapan yang matang oleh pihak pemangku kepentingan (stakeholder) agar nantinya program jaminan kesehatan ini dapat berjalan dengan baik.113

b. Keterbatasaan sumber daya manusia sebagai pelaksana, di mana dalam proses pendaftaran membutuhkan proses yang panjang mulai dari panjangnya antrian, sampai lamannya waktu hanya untuk memvalidasi data. Ditambah lagi ketika rakyat baik yang PBI maupun mandiri sudah terdaftar dan tervalidasi tidak langsung dapat tercetak kartunya. Jelas ini juga merupakan bentuk kecurangan yang telak dilakukan BPJS dan Kementerian Kesehatan karena tidak sesuai dengan jaminan dan iklan yang mereka janjiakan di media cetak dan elektronik.

c. Tidak adanya kontrol terhadap pelaksanaan BPJS dan juga lemahnya penerapan sangsi hukum akibat lemahnya pemahaman lembaga hukum di

113

http://www.kompasiana.com/fathia.nauri/ peserta-bpjs-kurang-bisa-dilayani-dengan-baik-karena-masih-kurangnya-sdm-kesehatan_54f38100745513802b6c78a8, diakses tanggal 15 Januari 2017.

86

Indonesia terhadap kasus kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan BPJS. Sehingga kecurangan tersebut akan terus berlangsung selama BPJS tidak dibenahi secara sistem. Pemerintah lebih cermat lagi menyikapi hal ini karena peserta juga yang menjadi korbannya. Apalagi mereka sudah membayar iuran, tapi nyatanya dalam pemberian pelayanannya masih buruk.114

Penghambat program BPJS kesehatan antara lain :

1) Aspek kepesertaan, yaitu penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai syarat pendaftaran peserta BPJS kesehatan. Ini dinyatakan dalam Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014 dan Surat Edaran (SE) BPJS Kesehatan No. 17 Tahun 2016. Perlu adanya perbaikan dalam mekanisme pendaftaran itu karena Peraturan Presiden (Perpres) No. 19 Tahun 2016 yang telah diubah menjadi Perpres No. 28 Tahun 2016 menyebut NIK bukan syarat wajib kepesertaan. Syarat kepesertaan adalah identitas. Jika NIK belum bisa disediakan oleh instansi yang bertanggungjawab, BPJS kesehatan mestinya menyediakan identitas sementara untuk peserta yang belum punya NIK. “Kebijakan BPJS kesehatan yang menjadikan NIK sebagai syarat mutlak pendaftaran peserta ini dapat menghambat perluasan kepesertaan,”

2) Pelayanan, menyangkut prinsip portabilitas. Prinsip portabilitas dalam program BPJS kesehatan yang berjalan selama ini belum optimal. Portabilitas artinya setiap peserta dapat menikmati layanan kesehatan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Kalaupun seorang peserta

114

87

pergi ke daerah lain, ia tetap bisa mendapatkan layanan. Namun, dari sejumlah Faskes yang ditemui DJSN menyebut ada kebijakan BPJS Kesehatan yang membatasi pelayanan bagi peserta yang berobat di luar faskes tingkat pertama (FKTP) tempat peserta terdaftar. Peserta bisa mendapat pelayanan di FKTP itu maksimal 3 kali. Ada juga FKTP menolak melayani peserta dari FKTP wilayah lain dengan alasan mekanisme pembayaran untuk portabilitas belum jelas. Jika tetap ingin dilayani, ia harus menghubungi layanan di daerah asal. Pemantauan DJSN menunjukan portabilitas pada kasus darurat relatif berjalan. Tapi hal serupa tidak ditemui dalam portabilitas pelayanan non darurat. DJSN merekomendasikan agar pembatasan pelayanan sebanyak tiga kali itu ditujukan kepada peserta yang terdaftar di faskes yang masih dalam satu kabupaten/kota; menyediakan petugas call center di daerah untuk pelayanan portabilitas; dan mengembangkan pola pembayaran khusus kepada FKTP yang memberi pelayanan kepada peserta yang berasal dari FKTP daerah lain.

3) Menyangkut regionalisasi rujukan. Pelayanan dalam program BPJS kesehatan dilaksanakan secara berjenjang mulai dari FKTP sampai faskes rujukan tingkat lanjutan (FKRTL). Beberapa provinsi seperti Sumatera Selatan dan Jakarta mengatur rujukan itu berdasarkan wilayah administratif pemerintan daerah. DJSN menilai regionalisasi rujukan tidak tepat karena menyebabkan peserta terhambat untuk mengakses pelayanan kesehatan. Peserta harus menempuh jarak yang jauh dengan biaya yang

88

besar untuk mencapai sebuah faskes. Masalah rujukan juga dialami peserta karena FKTP hanya boleh merujuk ke rumah sakit tipe C terlebih dulu. Padahal, tidak semua rumah sakit tipe C punya fasilitas dan sumber daya manusia yang dapat melayani peserta sesuai diagnosa rujukan. Itu menimbulkan kesan pelayanan terhadap peserta diperlambat atau dipersulit. Bahkan bisa menyebabkan kondisi penyakit yang diderita peserta lebih parah dan meningkatkan biaya transportasi rujukan yang ditanggung BPJS kesehatan. Untuk mengatasi masalah rujukan itu DJSN mengusulkan agar regionalisasi rujukan diatur berdasarkan ‘konsep jangkauan’ dan ‘kemampuan’ faskes.

4) Kriteria gawat darurat (emergency). Selama dua tahun program BPJS keseharan berjalan, kriteria gawat darurat jadi kendala pelaksanaan pelayanan kesehatan di lapangan. Belum ada regulasi yang detail mengelompokkan kondisi-kondisi yang tergolong gawat darurat atau bukan. Penjaminan BPJS kesehatan dalam kasus gawat darurat di Faskes yang tidak bekerjasama dengan BPJS kesehatan hanya mengacu diganosa, bukan kriteria yang dimaksud darurat. DJSN merekomendasikan BPJS kesehatan, IDI dan perhimpunan profesi untuk menetapkan kriteria darurat dan stabil. BPJS kesehatan dituntut mampu mengumpulkan informasi tentang kemampuan dan ketersediaan tempat tidur di faskes yang bekerjasama. Sehingga pasien darurat dapat dipindahkan ke rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan.

89

5) Pembagian kelas perawatan. Pembagian kelas perawatan rawat inap yang ada saat ini dinilai DJSN tidak sesuai dengan amanat UU SJSN dan UU BPJS. Regulasi itu jelas menyebut kelas perawatan bagi peserta yang membutuhkan rawat inap menggunakan kelas standar tanpa ada pembagian kelas. Pembagian kelas I, II dan III sebagaimana berlangsung saat ini berdampak terhadap diskriminasi pelayanan karena tarif yang dibayar berbeda, tergantung kelas perawatannya. Diskriminasi ini bertentangan dengan prinsip kemanusiaan sebagaimana amanat UU SJSNdan UU BPJS.

6) Pengadaan obat-obatan. DJSN berpendapat item obat dalam e-catalogtidak dapat memenuhi kebutuhan. Karena itu e-catalog bukan satu-satunya cara untuk pengadaan obat dalam program JKN/KIS. Item obat yang tidak ada di e-catalog dapat mengacu harga pasar. Tetapi terkendala Permenkes No. 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Beleid ini menyebut

Dokumen terkait