• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Perspektif teori agensi merupakan dasar yang digunakan untuk memahami isu corporate governanace dan earnings management. Adanya pemisahan kepemilikan oleh principal dengan pengendalian oleh agen dalam sebuah organisasi cenderung menimbulkan konflik keagenen diantara principal dan agen. Jensen dan Meckling (1976), Watts & Zimmerman (1986) menyatakan bahwa laporan keuangan yang dibuat dengan angka-angka akuntansi diharapkan dapat meminimalkan konflik diantara pihak-pihak yang berkepentingan.

Laporan keuangan yang dilaporkan oleh agen sebagai pertanggung jawaban kinerjanya, principal dapat menilai, mengukur dan mengawasi sampai sejauh mana agen tersebut bekerja untuk meningkatkan kesejahteraannya serta sebagai dasar pemberian kompensasi kepada agen. Inti dari Agency theory atau teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997).

Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi yaitu: (a) asumsi tentang sifat manusia, (b) asumsi tentang keorganisasian, dan (c) asumsi tentang informasi. Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri

(self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion). Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetry Information (AI) antara prinsipal dan agen sedangkan asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjual belikan.

Corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberi keyakinan kepada investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang mereka investasikan.Corporate governance berkaitan dengan bagaimana investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi investor, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana /kapital yang telah ditanamkan oleh investor dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengendalikan para manajer (Sheifer dan Vishny 1997).

2.1.2 Good Corporate Governance

Istilah Corporate Governance (CG) pertama kali diperkenalkan oleh

Cadbury Committee tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai

Cadbury Report (Tjager dkk., 2003). Adapun definisi Good Corporate Governance dari Cadbury Committee yang berdasar pada teori stakeholder adalah sebagai berikut :

“A set of rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors, the government, employees and internal and external stakeholders in respect to their rights and responsibilities”.

Yang berarti seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara para pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka.Good corporate governance

(GCG) secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua

stakeholder (Monks,2003). Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.

Ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep good corporate governance, (Kaen 2003; Shaw, 2003) yaitu fairness, transparency,

accountability, dan responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip good corporate governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Konsep good corporate governance baru populer di Asia. Konsep ini relatif berkembang sejak tahun 1990-an. Konsep good corporate governance baru dikenal di Inggris pada tahun

1992. Negara-negara maju yang tergabung dalam kelompok OECD (kelompok Negara-negara maju di Eropa Barat dan Amerika Utara) mempraktikkan pada tahun 1999.

2.1.2.1 Prinsip-prinsip GCG

Secara umum terdapat lima prinsip dasar dari good corporate governance yaitu: transparency (keterbukaan informasi), accountability

(akuntabilitas), responsibility (pertanggungjawaban), independency

(kemandirian) dan fairness (kesetaraan dan kewajaran).

1. Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Prinsip Transparency menekankan pada kualitas informasi yang disajikan perusahaan. Untuk itu informasi yang ada dalam perusahaan harus diukur, dicatat, dan dilaporkan oleh akuntan sesuai dengan prinsip dan standar akuntansi yang berlaku. Prinsip ini mencerminkan variable independen yaitu leverage .

2. Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Akuntabilitas melibatkan peran akuntan yang ada di posisi komite audit. Komite audit bertugas melindungi kepentingan pihak-pihak yang berkepentingan atas

reliabilitas dan integritas laporan keuangan perusahaan. Prinsip

Accountability mencerminkan variable independen yaitu komite audit. 3. Responsibility (pertanggung jawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di

dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Prinsip Responsibility

berhubungan dengan tanggungjawab perusahaan sebagai anggota masyarakat yaitu dengan cara mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan.

4. Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Intinya, prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Prinsip Independency mencerminkan variable independen yaitu proporsi dewan komisaris independen.

5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Suatu informasi akuntansi disebut wajar apabila disajikan sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum di Indonesia. Tingkat kewajaran tersebut berasal dari opini yang diberikan oleh akuntan publik, dalam

hal ini auditor, berdasarkan petimbangan profesional mereka.Keadilan (fairness) yang meliputi perlindungan bagi seluruh hak pemegang saham, perlakuan yang sama bagi para pemegang saham. Prinsip

Fairness mencerminkan variable independen yaitu kepemilikan instutisional.

Prinsip-prinsip corporate governance yang diterapkankan memberikan manfaat diantaranya yaitu:

1. meminimalkan agency costs dengan mengontrol konflik kepentingan yang mungkin terjadi antara prinsipal dengan agen,

2. meminimalkan cost of capital dengan menciptakan sinyal positif kepada para penyedia modal,

3. meningkatkan citra perusahaan,

4. meningkatkan nilai perusahaan yang dapat dilihat dari cost of capital yang rendah, dan

5. peningkatan kinerja keuangan dan persepsi stakeholder terhadap masa depan perusahaan yang lebih baik.

2.1.2.2 Tujuan Good Corporate Governance

Tujuan dari Good Corporate Governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Pelaksanaan good corporate governance diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat yaitu:

1. meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi

operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada

stakeholders,

2. mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat lebih meningkatkan corporate value,

3. mengembalikan kepercayaan diri investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia,

4. pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan deviden.

2.1.3 Leverage

Leverage merupakan rasio antara total kewajiban dengan total ekuitas. Semakin besar rasio leverage, berarti semakin tinggi nilai utang perusahaan. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Watts dan Zimmerman (dalam Sulistyanto, 2008). Dalam hipotesis debt covenant bahwa motivasi debt covenant disebabkan oleh munculnya perjanjian kontrak antara manajer dengan perusahaan yang berbasis kompensasi manajerial.

Perusahaan yang mempunyai rasio leverage yang tinggi, berarti proporsi hutangnya lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi modal akan cenderung melakukan manipulasi dalam bentuk manajemen laba. Kebijakan hutang merupakan salah satu alternatif pendanaan perusahaan selain menjual saham di pasar modal. Hutang yang dipergunakan secara efektif dan efisien akan meningkatkan nilai perusahaan.

2.1.4 Kepemilikan institusional

Konsentrasi kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga (perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain. Masalah keagenan utama dalam perusahaan dengan konsentrasi kepemilikan seperti ini adalah konflik antara pemegang saham pengendali dengan pemegang saham minoritas. Apabila tidak terdapat perlindungan hukum yang memadai, pemegang saham pengendali dapat melakukan aktifitas yang menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan pemegang saham minoritas.

Investor institusional yang sering sebut sebagai investor yang canggih sehingga seharusnya lebih dapat menggunakan informasi periode sekarang dalam memprediksi laba masa depan dibanding investor non instusional. Hubungan yang negatif antar discretionary accrual yang tidak diekspektasi dengan imbal hasil di sekitar tanggal pengumuman karena investor institusional mempunyai akses atas sumber informasi yang lebih tepat waktu dan relevan yang dapat mengetahui keberadaan pengelolaan laba lebih cepat dan lebih mudah dibandingkan investor individual.

Hasil penelitian Jiambavo et al (1996) menemukan bahwa nilai absolut diskresioner berhubungan negatif dengan kepemilikan institusional. Hasil-hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ada efek feedback dari kepemilikan instusional yang dapat mengurangi pengelolaan laba yang dilakukan perusahaan. Jika pengelolaan laba tersebut efisien maka kepemilikan institusional yang tinggi akan meningkatkan pengelolaan laba tetapi jika pengelolaan laba yang dilakukan

perusahaan bersifat oportunis maka kepemilikan institusional yang tinggi akan mengurangi earnings management.

2.1.5 Proporsi Dewan Komisaris Independen

Proporsi dewan komisaris dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas

atau kemungkinan terhindar dari kecurangan laporan keuangan. Adanya dewan komisaris menjamin transparansi dan keinformatifan laporan

keuangan sehingga memfasilitasi hak pemegang saham untuk mendapatkan informasi yang berkualitas. Proporsi dewan komisaris independen dalam mekanisme good corporate governance berperan penting tidak hanya melihat kepentingan pemilik tetapi juga kepentingan perusahaan secara umum. Karakteristik dewan komisaris khususnya komposisi dewan komisaris independen dapat menjadi suatu mekanisme yang menentukan tindakan manajemen laba. Dewan komisaris independen merupakan posisis terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate governance.

Hal ini mendukung penelitian Dechow(1996) bahwa perusahaan memanipulasi laba lebih besar kemungkinannya apabila memiliki dewan komisaris yang didominasi oleh manajemen dan lebih besar kemungkinannya memiliki Chief Executive Officer (CEO) yang merangkap menjadi chairman of board. Hal ini berarti tindakan memanipulasi akan berkurang jika struktur dewan direksi berasal dari luar perusahaan. Jika fungsi independensi dewan direksi

cenderung lemah, maka ada kecendrungan terjadinya moral hazard yang dilakukan oleh para direktur perusahaan untuk kepentingannya melalui pemilikan perkiraan-perkiraan akrual yang berdampak pada manajemen laba .

Perusahaan yang menyelenggarakan sistem corporate governance diyakini akan membatasi pengelolaan laba yang oportunis. Oleh sebab itu, semakin tinggi kualitas audit, semakin tinggi proporsi komisaris independen, kepemilikan manajerial, semakin kecil kemungkinan earnings management dilakukan. Hubungan negatif antara corporate governanace dan earnings management

ini dapat memperlemah pengaruh antara earnings management dan nilai perusahaan

2.1.6 Komite Audit

Keberadaan komite audit diatur melalui surat edaran Bapepam Nomor SE03/PM/2002. Dalam pelaksanaan tugasnya komite audit mempunyai fungsi membantu dewan komisaris untuk :

1. meningkatkan kualitas laporan keuangan,

2. menciptakan kedisplinan dan pengendalian yang dapat mengurangsi kesempatan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan perusahaan,

3. meningkatkan efektivitas fungsi internal audit maupun eksternal audit, 4. mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris.

Tanggung jawab komite audit dalam bidang good corporate governance

adalah untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku, melaksanakan usahanya dengan beretika,

melaksanakan pengawasannya secara efektif, terhadap benturan kepentingan dan kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan. Tugas komite audit dalam bidang ini adalah sebagai berikut:

a) menilai kebijakan perusahaan yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap undang-undang dan peraturan, etika, benturan kepentingan dan penyelidikan terhadap perbuatan yang merugikan perusahaan,

b) memonitor proses peradilan yang sedang terjadi ataupun yang ditunda serta yang mengangkut masalah good corporate governance,

c) memeriksa kasus-kasus penting yang berhubungan dengan benturan kepentingan, perbuatan yang merugikan perusahaan dan kecurangan.

d) keharusan auditor internal untuk melaporkan hasil pemeriksaan good corporate governance dan temuan-temuan penting lainnya.

2.1.7 Manajemen Laba (Earning Management)

Scott (1997) mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut “Given that managers can choose accounting policies from a set (for example, GAAP), it is natural to expect that they will choose policies so as to maximize their own utility and/or the market value of the firm”. Dari definisi tersebut manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari standar akuntansi yang ada dan secara alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau nilai pasar perusahaan. Manajemen laba sebagai suatu proses mengambil langkah yang disengaja dalam batas prinsip akuntansi yang

berterima umum baik didalam maupun diluar batas General Accepted Accounting Princisp (GAAP).

Definisi manajemen laba yang hampir sama dinyatakan pada pernyataan dibawah ini.

• Manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari proses tersebut). Manajemen laba adalah suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Addopted Accounting Principles

(GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan.

• Manajemen laba adalah tindakan manajer yang menaikkan (menurunkan) laba yang dilaporkan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan dengan kenaikan atau penurunan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang.

• Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan judgement dalam laporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan, sehingga menyesatkan stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil yang berhubungan dengan kontrak yang tergantung pada angka akuntansi.

• Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba adalah salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan

dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa.

• Manajemen laba merupakan area yang kontroversial dan penting dalam akuntansi keuangan. Manajemen laba tidak selalu diartikan sebagai suatu upaya negatif yang merugikan karena tidak selamanya manajemen laba berorientasi pada manipulasi laba.

• Manajemen laba tidak selalu dikaitkan dengan upaya untuk memanipulasi data atau informasi akuntansi, tetapi lebih condong dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dalam batasan GAAP. Pihak-pihak yang kontra terhadap manajemen laba, menganggap bahwa manajemen laba merupakan pengurangan dalam keandalan informasi yang cukup akurat mengenai laba untuk mengevaluasi return dan resiko portofolionya.

Motivasi untuk melakukan manajemen laba menurut Stice, Stice & Skousen (2004:421) antara lain: (1) memenuhi target internal (target laba, target penjualan); (2) memenuhi harapan eksternal (stakeholder); (3) meratakan atau memuluskan laba (income smoothing); (4) mendandani angka laporan keuangan (window dressing) untuk penjualan saham perdana (IPO) atau memperoleh pinjaman.

Scoot dalam Restie (2010) mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba.

1. Bonus Purpose

Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara opportunistic untuk mengatur laba bersih tersebut sehingga dapat memaksimalkan bonus mereka berdasarkan compensation plans

perusahaan.

2. Political Motivations

Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan aturan yang lebih kuat.

3. Taxation Motivation

Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.

4. Pergantian CEO

CEO yang mendekati masa pensiun cenderung akan menaikkan laba untuk meningkatkan bonus mereka. Demikian juga dengan CEO yang kurang berhasil memperbaiki kinerja perusahaan, mereka akan memaksimalkan laba agar tidak diberhentikan.

5. Initial Public Offering (IPO)

Perusahaan yang akan go public belum memilki harga pasar sehingga menetapkan nilai saham yang akan ditawarkan. Hal ini menyebabkan manajer

perusahaan yang go public melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas sahamnya.

6. Pentingnya Memberi

Informasi Kepada Investor Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga laba perlu disajikan agar investor dapat menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Adapun ringkasan penelitian terdahulu disajikan pada tabel 2.1 berikut :

Tabel 2.1

Ringkasan Penelitian Terdahulu

No. Peneliti (Tahun Penelitian) Variabel Penelitian Metode Penelitian Hasil penelitian 1. Girsang (2010) Variabel Independen: kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris dan komite audit. Variabel Dependen: manajemen laba dan kinerja perusahaan Analisis regresi linier berganda (multiple regression), Dalam GCG, hanya kepemilikan manajerial yang berpengaruh terhadap manajemen laba, proporsi dewan

komisaris dan komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba dan GCG juga tidak berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. 2. Novalina (2011) Variabel Independen: kepemilikan institusional, komisaris independen,dan Analisis regresi linier berganda (multiple regression), Dalam GCG,

Hanya dewan komisari independen yang berpengaruh terhadap manajemen laba, dan komite audit

komite audit. Variabel Dependen: manajemen laba berpengaruh terhadap manajemen laba dan GCG juga tidak berpengaruh terhadap kinerja 3. Popy (2012) Variabel Independen: kepemilikan manajerial, kepemilikan instutional proporsi dewan komisaris independen dan komite audit. Variabel Dependen: manajemen laba Analisis regresi linier berganda (multiple regression),

Mekanisme good corporate governance dalam hal ini kepemilikan Manajerial, Kepemilikan institusioanal, Proporsi dewan komisaris independen dan komite audit secara bersama-sama tidak mempengaruhi manajemen laba.

Girsang (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh Good Corporate Governance terhadap manajemen laba dan kinerja perusahaan real estate dan property yang terdaftar di BEI. Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris, dan komite audit. Variabel dependennya adalah manajemen laba dan kinerja perusahaan. Sampel penelitian ini sebanyak 17 perusahaan dengan tahun pengamatan 2007-2008. Hasil penelitian ini menemukan bahwa hanya kepemilikan manajerial yang berpengaruh terhadap manajemen laba, proporsi dewan komisaris dan komite audit tidak berpengaruh sama sekali terhadap manajemen laba.

Novalina (2011) melakukan penelitian mengenai pengaruh Good Corporate Governance terhadap manajemen laba dan kinerja perusahaan real estate dan property yang terdaftar di BEI. Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan instutioanal komisaris dewan komisaris independen, dan komite audit. Variabel dependennya adalah manajemen laba dan kinerja perusahaan. Sampel penelitian ini sebanyak 14 perusahaan dengan tahun pengamatan Perusahaan property and real estate yang terdaftar di BEI selama tahun 2007- 2009 hasil penelitian menyatakan. Dalam GCG, hanya dewan komisari independen yang berpengaruh terhadap manajemen laba, dan komite audit tidak berpengaruh Terhadap manajemen laba dan GCG juga tidak berpengaruh terhadap kinerja.

Popy (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh Good Corporate Governance terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris, dan komite audit. Variabel dependennya adalah manajemen laba. Sampel penelitian ini sebanyak 25 perusahaan dengan tahun pengamatan 2008-2010. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kepemilikan Manajerial, Kepemilikan institusioanal, Proporsi dewan komisaris independen dan komite audit secara bersama-sama tidak mempengaruhi manajemen laba.

2.3Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 2.3.1 Kerangka Konseptual

Adapun kerangka konseptual adalah sebagai berikut : Gambar 2.1 Kerangka konseptual

Kerangka Konseptual Sesuai dengan kajian teori keagenan (agency Theory), hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal)

mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut (Jensen dan Meckling, 1976).

Pengelola perusahaan, manajer lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaaan dimasa yang akan datang dibandingkan dengan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban memberikan sinyal

Manajemen

laba (y)

Leverage (X1 )

Kepemilikan instutisional (X2 )

Proporsi dewan komisaris independen ( X3 )

mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Informasi yang disampaikan terkadang tidak sesuai dengan informasi perusahaan yang sebenarnya dan dikenal dengan istilah asimetri informasi (information asymmetry). Asimetri antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) memberi kesempatan manajer untuk melakukan manajemen laba (Richardson, 1998).

Mekanisme Good Corporate Governance terdiri dari Leverage,

kepemilkian institusional, proporsi dewan komisaris independen, dan komite audit. Semakin besarnya rasio leverage mengakibatkan risiko yang ditanggung oleh pemilik modal juga akan semakin meningkat. Achmad et al. (2007) menunjukkan bahwa peningkatan motivasi perjanjian hutang (debt covenant) akan meningkatkan praktik manajemen laba. Alasannya bahwa motivasi debt covenant merupakan praktik manajemen laba berlaku umum. Leverage yang tinggi akan menyebabkan nilai pembiayaan yang juga tinggi, yang bertujuan untuk mempertahankan kinerja jangka panjang. Hal tersebut dapat menyuburkan perilaku opportunistic pihak manajemen terhadap laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.

Investor institusional merupakan pihak yang dapat memonitor perusahaan dengan kepemilikannya yang besar, sehingga motivasi manejer untuk mengatur laba menjadi berkurang. Proporsi dewan komisaris independen akan memberikan pengaruh terhadap manajemen laba karena dewan komisaris mengawasi penyeimbangan kepentingan manajemen laba. Hal ini berarti proksi dewan komisaris independen dapat meminimalisasi manajemen laba. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi

monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate governance. Hasil penelitian Dechow memberikan simpulan bahwa perusahaan yang memiliki proporsi anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan atau

outside director dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba. Jika anggota dewan komisaris dari luar meningkatkan tindakan pengawasan, hal ini juga akan berhubungan dengan makin rendahnya penggunaan discretionary accruals (Cornett et al., 2006).

Dokumen terkait