• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENJAMINAN KREDIT YANG DILAKSANAKAN

B. Tujuan dan Peranan Perusahaan Umum Penjaminan

Berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor. 41 Tahun 2008, disebutkan bahwa tujuan perusahaan adalah turut serta melaksanakan dan menunjang kebijakan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional, dengan m elaksanakan kegiatan penjaminan kredit baik bersifat tunai, maupun non tunai yang diberikan bank kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi (UMKMK)35. Dalam memberikan penjaminan kredit kepada UMKMK, maka harus dilakukan kesepakatan antara Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) dengan bank yang memberikan kredit kepada UMKMK sebagai debitur. Apabila UMKMK sebagai debitur tidak dapat membayar kewajibannya kepada penerima jaminan atau kreditur, dalam hal ini perbankan pada tanggal jatuh tempo, sebagaimana yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit antara debitur dan kreditur, maka dalam kondisi ini disebutkan telah terjadi kredit macet.

Pada kondisi tersebut, debitur telah gagal dalam memenuhi kewajibannya karena berbagai risiko yang menimbulkan kegagalan usaha UMKMK. Kondisi yang terjadi seperti kredit macet, mengharuskan pihak penjamin kredit membayar sejumlah kewajiban terjamin atas kredit yang macet tersebut. Pembayaran sejumlah kewajiban kredit atas debitur tentu dapat tidak dilaksanakan, apabila dalam pelaksanaan kredit tersebut, pihak penerima jaminan melakukan berbagai pelanggaran. Beberapa kondisi yang menyebabkan tidak dibayarnya klaim kepada penerima jaminan antara lain, sebagai berikut:

a.Kreditur tidak memenuhi satu atau lebih ketentuan yang disepakati dalam persetujuan penjaminan kredit atas terjamin.

b.Jika pencarian kredit tidak dilaksanakan (tidak terjadi kredit) selama masa yang diperjanjikan.

c.Tidak dibayarnya hak penjamin atas penjaminan kredit dimaksud (fee penjaminan)

34Nasroen Yasabari & Nina Kurnia Dewi, edisi kedua, Op.Cit., hlm 137

35Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2008 tentang Perusahaan Umum (Perum) Jaminan

Kredit Indonesia

21

d.Terdapat kelalaian yang dilakukan oleh kreditur dalam pelaksanaan kredit, dan hal ini dapat dibuktikan dengan fakta atau dokumen.

e.Terbukti terdapat permufakatan jahat antara penerima jaminan dan terjamin sehingga terjadi kegagalan kredit.

f.Kreditur menjual atau mengalihgunakan yang telah diserahkan oleh debitur atau terjamin tanpa sepengetahuan pihak penjamin.

g.Kondisi force majeur atau musibah lainnya seperti banjir, gempa bumi, dan lain-lain36.

Tata cara penjaminan kredit apabila ditelaah berdasarkan hukum perdata, memiliki persamaan dengan perjanjian pertanggungan. Pertanggungan adalah suatu perjanjian dimana pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan diri, untuk memenuhi perikatan debitur manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. Perjanjian penanggungan adalah perjanjian accessoir dimana penanggungan boleh diadakan hanya sebagian saja dari utangnya atau dengan syarat-syarat yang kurang. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa pihak ketiga tersebut adalah penjamin, si berhutang adalah nasabah dan pihak terhadap siapa prestasi harus diberikan adalah bank37.

LPK untuk dapat mencapai tujuannya, maka LPK harus dapat mandiri dan melakukan usaha yang berkelanjutan, untuk itu berbagai upaya eksternal maupun internal harus terus dilakukan. Beberapa hal best practice yang harus dilakukan LPK mengacu kepada berbagai pengalaman Negara-negara lain dalam melakukan kegiatan Penjaminan Kredit, adalah sebagai berikut:

1) LPK adalah Badan Usaha Milik Negara.

Bahwa di banyak Negara, LPK merupakan perusahaan Negara dan untuk beberapa kepentingan disarankan untuk entitas bisnis sendiri yang jelas visi dan misinya.

2) Sumber Daya Manusia dan Manajemen

Sebuah LPK perlu dilengkapi dangan jumlah dan kualitas SDM yang memadai. Dalam kegiatan penjaminan, SDM dan LPK berkewajiban menangani beberapa tugas seperti menganalisis untuk kepentingan pemberian pemberian keputusan penjaminan, memonitor dan mengendalikan kredit yang sedang berjalan, memproses dan mengkaji pengajuan klaim, mengelola debitur terjamin yang bermasalah, mengelola informasi atas terjamin, membuat laporan-laporan dan bila

36Nasroen Yasabari & Nina Kurnia Dewi, edisi pertama, Op.Cit., hlm. 15

37https://agustriyono.files.wordpress.com/2007/06/lempenkredit_zulkarnain-sitompul.pdf,

diakses pada 20 November 2015

22

memungkinkan menawarkan jasa tambahan untuk kepentingan penerima jaminan (kreditur) dan terjamin.

3) Sentralisasi/Desentralisasi LPK

Pada kondisi awal, biasanya LPK bersifat sentralisasi. Untuk dapat melayani kebutuhan pengusaha dalam suatu wilayah Negara, maka LPK selanjutnya bersifat desentralisasi, walaupun hal ini mengandung konsekuensi biaya. Jika kegiatan operasionalisasi atau pendanaan LPK bergantung kepada dana perbankan (sebagai mitra), maka kegiatan penjaminan dapat melekat pada jaringan yang dimiliki bank atau lembaga keuangan lain yang menjadi mitra. Pelaksanaan kegiatan LPK dapat dilaksanakan melalui tata cara perkreditan yang bersifat khusus sesuai kondisi daerah yang menjadi target layanannya.

4) Organisasi Profit vs Non Profit

Organisasi LPK berdasarkan catatan “best practice” hendaknya tidak

berorientasi pada profit, walaupun dalam kegiatan operasionalisasi tetap mengedepankan efisiensi pemakaian sumber daya yang ada.

5) Pendekatan selektif versus portofolio

Keputusan bagaimana sebuah LPK dioperasikan sangat dipengaruhi oleh tujuan skema penjaminan itu sendiri. Kegiatan operasional LPK sangat bergantung

kepada apakah kredit yang dijamin “berkualitas tinggi” atau apakah kredit yang dijamin “mencapai jumlah atau target tertentu”. Hal ini kemudian dapat

dikategorikan dalam pendekatan selektif (pemberian penjaminan kredit dilakukan secara case by case) atau pendekatan portofolio atau pendekatan global (diberikan untuk kategori tertentu seperti besaran risiko, nilai kredit, sektor, lokasi, dan sebagainya).

Pada dasarnya jenis pendekatan yang digunakan dalam kegiatan penjaminan sangat dipengaruhi atau akan mempengaruhi hubungan antara LPK dan mitra penerima jaminan. Lembaga Penjamin dalam praktiknya akan sangat

memahami pentingnya “trade-off” dari mitra kerja perbankan atau kreditur dengan mempertimbangkan tercapainya beberapa target (misalnya kualitas penjaminan, sektor yang dijamin atau target lainnya) dan fleksibilitas jasa penjaminan itu sendiri sehingga menjadi menarik di mata kreditur mitra kerja.

6) Pemasaran

23

Kegiatan pemasaran bagi jasa penjaminan kredit sangat diperlukan untuk para kreditur (bank penerima jaminan) dan calon terjamin (pengusaha). Kegiatan pemasaran ini ditujukan untuk menawarkan skema penjaminan kredit38, antara lain untuk mensosialisasikan antara lain :

(a) Manfaat baik komersial maupun social yang akan diperoleh melalui jasa penjaminan kredit seperti keuntungan penyaluran kredit ke usaha mikro, kecil, menengah,

(b) Operasionalisasi penjaminan kredit yang sederhana dan rendah biaya, (c) Kredibilitas lembaga penjaminan kredit

(d) Transparansi dalam pembayaran dan kualitas yang diinginkan dari calon penerima jaminan

(e) Yang terpenting adalah bahwa seluruh kegiatan pemasaran harus menekankan bahwa penjaminan kredit tidak untuk meningkatkan moral

hazard39, mengingat kredit macet tidak menyelesaikan kewajiban terjamin atas pinjaman tersebut, tetapi akan muncul subrogasi.

7) Distribusi Risiko

Adanya jasa penjaminan yang menyertai perjalanan sebuah kredit dalam praktiknya, sedikit banyak berpengaruh terhadap munculnya. moral hazard, baik di kalangan pengusaha UKM sendiri maupun perbankan. Kegiatan penjaminan dapat dikatakan sukses bila risiko yang timbul atas adanya kredit tersebut terbagi diantara pihak-pihak yang terlibat, yaitu pengusaha UKM, kreditur dan penjamin sendiri. Untuk menjalankan hal ini, skema penjaminan kredit perlu dirancang sedemikian rupa sehingga seluruh pihak menanggung risiko yang seimbang, sesuai dengan manfaat yang diterima dan kewajiban masing-masing.

Di sisi kreditur, semakin tinggi risiko yang dijamin oleh penjamin, maka akan semakin tinggi pula kemungkinan moral hazard yang muncul. Berdasarkan pengalaman di beberapa negara, nilai penjaminan 60%-80% cukup dianjurkan. Hal ini mengingat dengan coverage tersebut telah terdapat pembagian risiko dan penilaian yang cukup ketat oleh kreditur. Dalam hal ini kreditur juga diharuskan menanggung risiko yang akan terjadi.

38Nasroen Yasabari & Nina Kurnia Dewi, “Penjaminan Kredit,Mengantar UKMK

Mengakses Pembiayaan, edisi ketiga”(Bandung: PT. Alumni,2007), Hal 97

39Moral Hazard adalah keadaan yang berkaitan dengan sifat, pembawaan dan karakter

manusia yang dapat menambah besarnya kerugian dibanding dengan risiko rata-rata. Manusia itu terutama adalah tertanggung sendiri tapi juga pegawainya atau orangorang sekitarnya.

24

Sebaliknya di sisi debitur atau pengusaha terjamin, untuk menghindari

moral hazard yang akan muncul, kewajiban penyediaan jaminan atau agunan

lainnya sangat dianjurkan. Seyogyanya pelaksanaan pemasaran program penjaminan dilakukan secara komprehensif sehingga tidak mengandung moral

hazard bagi oknum-oknum tertentu40. Nilai atau jumlah jaminan yang harus disediakan oleh debitur dalam hal ini tidak terlalu tinggi, mengingat hal ini akan mengurangi fungsi penjaminan itu sendiri.

Jaminan atau agunan dan nilai idealnya adalah asset yang dimiliki oleh debitur itu sendiri. Jaminan tersebut dikatakan cukup memadai bila dapat mengikat debitur untuk tetap memenuhi seluruh kewajibannya sampai lunas.

8) Jasa Tambahan dalam Penjaminan Kredit

Berjalannya kegiatan penjaminan membutuhkan dukungan kegiatan lain terkait dengan penilaian terhadap calon terjamin, hal-hal menyangkut usaha yang dijamin serta pemahaman mitra kerja. Beberapa kegiatan terkait dengan penilaian calon terjamin antara lain adalah penyusunan database tentang debitur, sistem pemeringkatan dan informasi debitur lainnya terkait dengan upaya mengurangi fenomena informasi yang asimetris terhadap debitur.

Sedangkan terkait dengan usaha yang akan dijamin atau usaha debitur, maka jasa tambahan lain yang dapat dikembangkan oleh LPK antara lain adalah jasa konsultasi, penilaian proyek, pembuatan rencana bisnis, pelatihan tentang akutansi, manajemen, pemasaran dan lain-lain41.

9) Kegiatan Pengawasan Kredit

Berjalan lancarnya sebuah kegiatan penjaminan kredit sangat memerlukan dukungan kegiatan pengawasan kredit. Untuk mendukung kinerjanya, LPK perlu melakukan kerjasama dalam hal pengawasan kredit. Lebih mendalam lagi LPK juga perlu melakukan kerja sama pengendalian kredit42.

10) Fee

Kelangsungan hidup sebuah LPK sangat didukung oleh pendapatan yang diperoleh, yaitu dari fee penjaminan dan dari hasil pengelolaan dana investasi yang idealnya adalah dukungan keuangan negara (pemerintah) atau pihak lain.

40

Krisna Wijaya, “Analisis Kebijakan Perbankan Nasional”, (Jakarta: PT Elex Media

Komputindo, 2010), hlm 179

41Nasroen Yasabari & Nina Kurnia Dewi edisi ketiga, Op. Cit., hlm 98 42Ibid, hlm 99

25

Fee penjaminan dibayarkan atas sejumlah presentase tertentu terhadap nilai

kredit atau nilai kredit yang dijamin. Besaran fee ditetapkan, sehingga biaya operasionalisasi penjaminan dan risiko kredit dapat dipenuhi. Namun perlu dipahami, nilai fee yang tinggi menjadikan sistem penjaminan yang ditawarkan tidak lagi menarik bagi kreditur maupun calon terjamin.

Fee penjaminan bagi sebuah LPK menjadi hal yang penting, meskipun

sensitif. Penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap risiko serta biaya-biaya yang dibutuhkan untuk operasional penjaminan sangatlah penting untuk penentuan

fee tersebut. Namun, yang lebih penting adalah mengkomunikasikan kebijakan fee

ini kepada mitra kerja dan calon terjamin. 11) Kredit Macet, Klaim dan Subrogasi

Kredit macet dan klaim tidak hanya mencerminkan kewajiban keuangan yang muncul pada sebuah skema penjaminan, tetapi juga mencerminkan bahwa kredit dan penjaminannya telah dijalankan secara professional. Bagi kemandirian sebuah LPK, skema penjaminan harus secara jelas menyebutkan bahwa penjaminan adalah kondisi terakhir yang berperan, setelah seluruh upaya untuk menghasilkan pembayaran kewajiban dari debitur dijalankan, bahkan setelah kegiatan penyelamatan kredit.

Pembelajaran dari besarnya kredit macet dan klaim yang perlu dibayar senantiasa dikaji. Dalam hal ini bila angka atau persentase kredit macet dan klaim tinggi, maka terdapat beberapa kemungkinan seperti debitur terjamin tidak diseleksi dengan benar, coverage penjaminan yang diberikan terlalu tinggi atau fee penjaminan terlalu rendah, serta kemungkinan prosedur penjaminan yang tidak berjalan sempurna.

Prosedur pengajuan dan keputusan klaim juga perlu menjadi perhatian sebuah LPK, karena disinilah poin penilaian baik tidaknya sebuah LPK melayani klaim. Berdasarkan etika bisnis, prosedur pelayanan klaim perlu diinformasikan kepada mitra kerja, termasuk hal-hal yang membatalkan atau menggugurkan klaim itu sendiri.

Subrogasi juga merupakan hal yang perlu menjadi perhatian LPK untuk dapat beroperasi secara maksimal. pengumpulan kembali piutang subrogasi merupakan pendapatan yang mendukung operasionalisai kegiatan penjaminan selanjutnya.

26

12) Hubungan Penjamin dan Penerima Jaminan

Hubungan yang baik antara penjamin dan penerima jaminan atau antara LPK dengan perbankan mitra kerja sangat diperlukan untuk pelaksanaan sebuah skema penjaminan. Meskipun demikian, penciptaan hubungan baik ini membutuhkan waktu dan insentif lainnya. Hubungan baik antara penjamin dan penerima jaminan diawali dengan kepercayaan yang dalam praktik harus senantiasa diupayakan oleh masing-masing pihak.

Penerima jaminan atau kreditur berhak untuk memutuskan apakah akan menggunakan jasa penjamin kredit dari sebuah LPK atau tidak. Sebaliknya, LPK pun memiliki hak penuh untuk memutuskan keterlibatannya dalam suatu skema kredit. Kedua pihak harus saling menghormati dan hubungan kerja sama senantiasa harus dilandasi kemitraan yang saling menguntungkan.

13) Leverage

Leverage adalah istilah yang digunakan untuk membandingkan

outstanding kredit yang dijamin dengan dana penjaminan yang tersedia. Beberapa

lembaga mengenalnya dengan istilah gearing ratio, dan hal ini sering dikaitkan dengan kemampuan LPK untuk melakukan kegiatan penjaminan. Karena tidak semua kredit yang dijamin berakhir dengan kemacetan dan pembayaran klaim, maka dana penjamin yang tersedia pada sebuah LPK dapat digunakan untuk menjamin kredit yang lebih besar sesuai dengan tingkat risiko yang ada.

Kemandirian dan kelangsungan hidup sebuah LPK juga dipengaruhi oleh kondisi leverage atau gearing ratio, untuk senantiasa bekerja pada level yang aman, LPK perlu terus menerus melakukan pengkajian atas skema-skema penjaminan dengan risiko terkendali dan penambahan dana penjaminan43.

14) Counter Guarantee

Dalam praktik penjaminan di beberapa negara, counter guarantee atau keterlibatan lembaga atau perusahaan penjamin lainnya sudah banyak dilakukan. Kondisi ini melibatkan LPK yang bersangkutan sebagai penjamin langsung atas suatu kredit dan perusahaan mitra sebagai penjamin lainnya. Lebih lanjut keterlibatan pihak lain juga dapat sebagai perusahaan penjamin lapis selanjutnya atau dikenal dengan perusahaan re-asuransi.

15) Faktor pendukung lainnya

43Ibid, hlm 102

27

Kemandirian dan suksesya sebuah LPK perlu pula didukung oleh faktor-faktor lain seperti:

a. Keterlibatan pemerintah untuk kegiatan penjaminan kredit khususnya di sisi dukungan pendanaan terhadap LPK atau penyediaan fasilitas co-guarantee. b. Koordinasi dan kerjasama antar lembaga terkait lainnya misalanya

departemen teknis Pembina (misalnya Pembina UKM, perdagangan, perindustrian, pertanian, dan lain-lain)

c. Kejasama dengan LPK di Negara lain untuk berbai pengalaman perihal pelaksanaan kegiatan penjaminan, praktik terbaik terhadap aspek-aspek operasional penjaminan, bimbingan teknis melalui studi banding melalui studi banding, workshop, konferensi, seminar, pelatihan staf dan manajer LPK44.

2. Peranan Perum Jamkrindo.

Penjaminan kredit yang diberikan oleh Perum Jamkrindo kepada bank yang menyalurkan KUR kepada nasabah UMKMK adalah merupakan tujuan utama pendiriannya. Hal tersebut adalah merupakan salah satu maksud dan tujuan perusahaan untuk melaksanakan dan menunjang kebijakan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional. Berdasarkan tujuan Perum Jamkrindo tersebut, Perum Jamkrindo sebagai lembaga penjaminan kredit mempunyai peran sebagai berikut:

a. Menggantikan fungsi agunan kredit

Dalam praktik perkreditan di bank atau lembaga penyediaan pembiayaan dan fasilitas kredit lainnya, pemberian kredit bagi debitur umumnya mensyaratkan jaminan sekitar 100% hingga 150%. Jaminan tersebut biasanya terdiri dari jaminan pokok berupa usaha atau proyek yang dibiayai itu sendiri senilai 100% (bila dalam hal ini kredit adalah investasi untuk peralatan usaha maka peralatan usaha tersebut yang merupakan jaminan pokok), serta jaminan tambahan yang biasanya berupa jaminan fisik dari calon debitur senilai sampai dengan 150%. Biasanya jaminan tambahan terhadap transaksi seperti ini berupa pengakuan hutang (Promissory

Notes), atau Acknowledgment of Indebtedness, Kuasa Menjual Barang, dan Assignment of Proceed (Cessie) dari asuransi. Di samping itu, sering juga

dimintakan “persetujuan istri/suami” untuk konsumen pribadi dan persetujuan

44Nasroen Yasabari & Nina Kurnia Dewi edisi kedua, Op. Cit., hlm 94

28

komisaris/RUPS untuk konsumen perusahaan, sesuai ketentuan Anggaran Dasarnya45.

Dengan persyaratan ini, jelas pengusaha calon penerima kredit sulit memperoleh kredit dari perbankan, sehingga pengusaha kecil dianggap tidak layak diberikan kredit. Dengan adanya penjaminan kredit yang dilakukan oleh LPK, maka calon debitur yang sebelumnya tidak memilik akses pembiayaan dapat memperoleh kredit sebagai modal usaha, sehingga mereka dapat meningkatkan produktivitas usaha.

Untuk peran utama LPK ini, prinsip utama penjaminan kredit adalah menggantikan agunan kredit yang pada umumnya tidak atau kurang dimiliki pelaku usaha mikro, kecil dan menengah termasuk koperasi. Pengganti agunan tidak berarti menggantikan semua kebutuhan agunan calon debitur atau calon debitur tidak memiliki kewajiban penyerahan tambahan agunan sama sekali.

Pada prinsipnya, penjaminan kredit yang diberikan LPK berperan untuk melengkapi atau memenuhi kekurangan agunan tersebut. Hal ini dapat dijalankan karena penjaminan oleh LPK umumnya diberikan maksimal sampai dengan kisaran 70%-80% dari nilai kredit yang dikeluarkan, atau mengantisipasi 70%-80% dari risiko kredit.

b. Meningkatkan akses kepada pembiayaan

Sebagai pelaku dunia usaha yang kegiatannya berada di lapis terbawah dari kegiatan ekonomi suatu negara, UMKMK memiliki berbagai keterbatasan sehingga bagi lembaga keuangan sektor ini dianggap masih harus banyak dicermati sebelum diberikan fasilitas pembiayaan. Beberapa alasan mengapa hal tersebut terjadi adalah:

1. Umumnya UMKMK tidak memiliki catatan keuangan usaha. UMKMK secara

umum dianggap “berisiko” karena biasanya terdiri dari dari pengusaha informal termasuk petani.

2. Biaya-biaya yang diperlukan untuk mengucurkan kredit kepada UMKMK terdiri dari biaya penilaian kredit, monitoring dan penagihan angsuran yang dikeluarkan oleh bank.

3. Informasi yang tidak sama antara pelaku UMKMK dan bank atau calon pemberi kredit terhadap kemampuan dan kemauan pengembalian kredit46.

45

Munir Fuady, “Hukum tentang Pembiayaan”, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014),

hlm: 168

46Nasroen Yasabari & Nina Kurnia Dewi, Penjaminan Kredit, Mengantar UKMK

Mengakses Pembiayaan, edisi kedua Op. Cit., hlm 88

29

Kehadiran LPK pada prinsipnya dapat memperkecil kekhawatiran perbankan atas beberapa kekurangan UMKMK sebagai target pembiayaan kredit untuk mendukung bergairahnya kegiatan ekonomi.

c. Meningkatkan fungsi intermediasi lembaga keuangan.

Fungsi perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana. Bank dalam fungsinya sebagai intermediator, berarti bahwa di satu sisi sebagai penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit kepada pihak-pihak yang membutuhkan, merupakan motor penggerak roda perekonomian47.

Pada beberapa bank, kredit masih merupakan primadona dalam memperoleh penghasilan, yaitu sebagai kontributor terbesar pendapatan bank dibandingkan dengan pendapatan dari fee dan jasa-jasa keuangan. Di lain pihak, kredit merupakan sumber permasalahan bank, bila kualitas kesehatan kredit tersebut tidak baik.

d. Menurunkan risiko kredit

Usaha yang tidak dapat memenuhi persyaratan teknis perbankan umumnya dipandang oleh bank mendukung unsur kemungkinan kredit macet. Dalam praktiknya, untuk menekan risiko tersebut, bank akan mewajibkan adanya jaminan tambahan untuk kredit yang akan dikucurkan, mengasuransikan baik kredit yang diberikan maupun jaminan kredit yang dimiliki oleh pengusaha calon penerima kredit atau bahkan menolak pemberian kredit tersebut, walaupun pengusaha memiliki prospek usaha yang sangat baik.

Risiko kredit macet yang mengkhawatirkan hampir semua bank dan lembaga keuangan, berakibat pada rendahnya pemberian kredit kepada pelaku usaha yang masih dianggap rawan yaitu kalangan UMKMK48.

Secara teknis dapat disampaikan bahwa jika bobot risiko kredit yang dijamin oleh LPK yang dimiliki pemerintah dikenakan bobot risiko yang lebih rendah dari 100% (misalnya 50%), maka bank dapat meningkatkan kapasitas pemberian kredit sekaligus mendapat keuntungan yang diperoleh tanpa harus menambah modal. Dalam hal ini penjaminan kredit merupakan satu cara untuk

47Ibid, hlm 89 48Ibid, hlm. 92

30

mentransfer risiko bank. Penjaminan kredit selanjutnya, dapat digunakan sebagai faktor pengurang risiko dalam perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum.

e. Menjadi pendukung pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Secara umum dari sudut pandang ekonomi, penjaminan kredit melalui LPK merupakan bentuk subsidi yang diberikan pemerintah . Dengan adanya penjaminan kredit maka persyaratan jaminan yang diminta oleh bank atau lembaga keuangan dapat terpenuhi terkait dengan peran penjaminan kredit sebagai pengganti agunan.

Setiap kebijakan pemerintah yang dimaksudkan untuk mendukung kepentingan pembangunan ekonomi, pasti melibatkan perbankan dan lembaga keuangan untuk mendukung pendanaan kebijakan tersebut49. Kebijakan pemerintah tersebut tentu saja akan membutuhkan kucuran kredit. Dalam hal ini keberadaan LPK dapat digunakan untuk mewujudkan pelaksanaan kebijakan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.

C. Peran Lembaga Penjaminan Di Indonesia Menurut Peraturan Pemerintah

Dokumen terkait