• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan tentang Hibah dan Wasiat dalam Hukum Islam 1. Pengertian Hibah

Nomor: 0600/023.04.01/14/2011 Tahun Anggaran 2011

TINJAUAN PUSTAKA

B. Tinjauan tentang Hibah dan Wasiat dalam Hukum Islam 1. Pengertian Hibah

Menurut Pasal 171 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

2. Rukun Hibah 1) Pemberi hibah.

Syarat pemberi hibah sekurang-kurangnya berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa paksaan (Pasal 210 ayat (1) KHI).

2) Penerima hibah

Penerima hibah adalah orang dan lembaga (Pasal 210 ayat (1) KHI). 3) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari pemberi hibah, dan

sebanyak-banyaknya adalah sepertiga (Pasal 210 ayat (2) KHI).

Mengenai benda yang dapat dihibahkan secara prinsip sama dengan benda yang dapat diwasiatkan, yakni harus merupakan hak si penghibah.

3. Penarikan Hibah

Menurut Pasal 212 KHI, hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orangtua kepada anaknya. Hibah kepada selain anak dapat ditarik kembali asalkan disetujui oleh penerima hibah.

4. Pengertian Wasiat

Kata wasiat diambil dari kata washshaitu asy-syaia, uushiihi, artinya aushaltuhu (aku menyampaikan sesuatu), maka muushii (orang yang berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan di waktu ia hidup untuk dilaksanakan sesudah ia meninggal (Sayyid Sabiq, 1987: 230).

158

Dalam istilah syara’, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal (Sayyid Sabiq, 1987: 230).

Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, wasiat adalah suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang dilaksanakan sesudah meninggal dunia yang berwasiat (Rachmad Budiono, 1999: 22).

Menurut Pasal 171 huruf (f) KHI, wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia.

5. Dasar Hukum Wasiat

Dasar hukum wasiat dalam hukum Kewarisan Islam, berturut-turut adalah: QS. Al Baqarah ayat 180, QS. Al Maidah ayat 106, QS. An Nisa ayat 11. QS. Al Baqarah ayat 180 menentukan yang artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (inilah) kewajiban atas orang yang bertakwa.” QS. Al Maidah ayat 106, artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kematian akan merenggut salah seorang diantara kamu, sedang ia akan berwasiat, maka hendaklah disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” QS. An Nisa ayat 11, artinya: “...sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat atau sesudah dibayar hutangnya...”.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, wasiat diatur mulai Pasal 194-209 KHI.

6. Rukun dan Syarat Wasiat Rukun wasiat adalah:

159 1) Orang yang memberi wasiat; 2) Orang yang diberi wasiat; 3) Sesuatu yang diwasiatkan; 4) Ijab qabul.

Syarat orang yang memberi wasiat yaitu orang yang ahli kebaikan, yaitu orang yang mempunyai kecakapan yang sah. Keabsahan kecakapan ini didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar, dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian. Menurut Pasal 194 ayat (1) KHI orang yang memberi wasiat telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan. Termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang sudah menikah.

Syarat orang yang diberi wasiat yaitu:

1) Dia bukan ahli waris dari orang yang memberi wasiat (QS. Al Baqarah ayat 180)

2) Orang yang diberi wasiat itu ada di waktu pemberi wasiat meninggal dunia, baik ada secara benar-benar ataupun ada secara perkiraan.

3) Orang yang diberi wasiat tidak membunuh orang yang memberi wasiat.

Ada orang-orang tertentu yang tidak dapat diberi wasiat, yaitu: (Pasal 195 ayat (3) jo Pasal 207, Pasal 208 KHI):

1) Ahli waris; kecuali wasiat tersebut disetujui oleh semua ahli waris lainnya. 2) Orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan orang

yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu pewasiat menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.

3) Notaris dan saksi-saksi yang berkaitan dengan pembuatan akta wasiat. Syarat sesuatu yang diwasiatkan adalah bisa dimiliki dengan salah satu cara pemilikan setelah pemberi wasiat meninggal dunia, baik berupa harta, barang maupun manfaat. Perkataan “benda” dalam Pasal 171 huruf (f) dapat ditafsirkan sebagai “sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik”. Hal ini berarti benda tersebut meliputi benda berwujud dan benda tidak berwujud, benda bergerak dan

160

benda tetap (Pasal 200 KHI). Adapun jenis benda yang dapat diwasiatkan harus memenuhi syarat, yaitu “harus merupakan hak dari pewasiat”.

Syarat ijab dan qabul wasiat yaitu melalui pernyataan, atau isyarat yang dapat dipahami, tetapi jika pemberi wasiat tidak sanggup berbicara maka ijab dapat dilakukan dengan tulisan.

7. Bentuk Wasiat

Wasiat dapat dilakukan dengan cara lisan maupun tertulis. Berdasarkan Pasal 195 KHI, dapat disimpulkan bahwa wasiat tertulis dapat dibuat dengan akta di bawah tangan dan akta otentik. Wasiat lisan maupun tertulis harus dilakukan dihadapan dua orang saksi. Apabila wasiat ditujukan kepada ahli waris, maka persetujuan ahli waris yang lain mutlak diperlukan, baik lisan maupun tertulis dihadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris.

8. Besarnya Wasiat

Pemberi wasiat adakalanya mempunyai ahli waris dan adakalanya tidak mempunyai ahli waris. Apabila pemberi wasiat mempunyai ahli waris, maka ia tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Hal ini berdasarkan Hadist Rasulullah:

“Rasulullah SAW datang mengunjungi saya pada tahun haji Wada’, waktu saya sakit keras. Lalu saya bertanya: Hai Rasulullah, saya sedang sakit keras, bagaima pendapat Tuan. Saya ini orang berada, akan tetapi tak ada yang dapat mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan, apakah sebaiknya saya wasiatkan dua pertiga hartaku untuk beramal? Jangan, jawab Rasulullah,. Separoh ya Rasulullah?, sambungku. Jangan jawab Rasulullah. Lalu sepertiga? Sambungku lagi. Rasulullah menjawab, sepertiga. Sebab sepertiga itu banyak dan besar, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan cukup adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak (HR. Bukhari Muslim).”

Apabila ia mewasiatkan lebih dari sepertiga, maka wasiatnya tidak dapat dilaksanakan kecuali atas ijin dari para ahli waris. Demikian pula, seandainya

161

pemberi wasiat tidak mempunyai ahli waris, maka iapun tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga (Sayyid Sabiq, 1987: 250).

9. Batalnya Wasiat.

Menurut Pasal 197 ayat (1) KHI wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:

1) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat.

2) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman lima tahun atau hukuman yang lebih berat.dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.

3) Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.

Selanjutnya menurut Pasal 197 ayat (2) KHI, wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:

1) Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum pewasiat meninggal.

2) Mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia menolak untuk menerimanya. 3) Mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi tidak pernah menyatakan

menerima atau menolak sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat.

10. Pencabutan Wasiat

Pada dasarnya wasiat dapat dicabut kembali, apabila calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 199 ayat (1) KHI. Dengan demikian apabila calon penerima wasiat telah menyatakan persetujuannya

162

atau tidak menarik kembali persetujuannya, maka suatu wasiat tidak dapat dicabut. Dari ketentuan ini ternyata bahwa KHI memandang wasiat bukan merupakan perbuatan hukum sepihak, melainkan dua pihak, sebagaimana layaknya suatu perjanjian. Suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan apabila mendapat persetujuan dua belah pihak.

Pasal 199 ayat (2) KHI menegaskan bahwa pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan. Apabila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris. Suatu wasiat yang dibuat berdasarkan akta notaris hanya dapat dicabut berdasarkan akta notaris pula.

163 BAB IV

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN