• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN QURBAN DI KECAMATAN LUBUK BASUNG A. Pelaksanaan Qurban di Kecamatan Lubuk Basung

B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Qurban dengan Berhutang Berhutang

Ibadah dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu:

1) Ibadah umum yaitu mencakup segala hal kewajiban yang dilakukan dengan niat yang ikhlas, mempunyai ruang lingkup yang luas.

2) Ibadah khusus yaitu yang ditentukan oleh syara‟ (nash) bentuk dan caranya, seperti penyelenggaraan jenazah, zakat, puasa, haji serta qurban dan aqiqah.121

Dari klasifikasi ibadah di atas, maka ibadah qurban termasuk ke dalam ibadah khusus yang bentuk dan caranya telah ditentukan oleh syara‟ (nash).

Qurban berasal dari bahasa Arab Al-qurbanu (

ﻥﺎﺑﺮﻗﻠﺍ

) dengan huruf qaf yang dibaca dhammah berarti sesuatu yang dipakai untuk mendekatkan diri kepada Allah.122 Nama lain dari qurban adalah (1) Udhiyah atau udhiyyah, (2) idhiyah atau idhiyyah, jamaknya adhahi, (3) dhahiyah, jamaknya dhahaya, dan (4) adhah jamaknya adha. Untuk itulah hari raya qurban disebut sebagai yaummul adha atau idhul adha.123

Abu Na‟im Al-Asbihani di dalam kitab dala‟ilu An-Nubuwwah menyebutkan sebuah atsar dari Wahab bin Munabbih bahwa gambaran umat Islam di dalam taurat adalah, “qurban mereka dengan darah mereka”. Artinya,

121 Rahman Ritonga, Zainudin, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 7

122 Ali Gufron, Tuntunan Berqurban dan Menyembelih Hewan, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 3

123 Ali Gufron, Tuntunan Berqurban dan Menyembelih Hewan, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 4

umat Islam mendekatkan diri kepada Allah dengan menumpahkan darah dalam berjihad.124

Di dalam sebuah hadis yang dihukumi dha‟if oleh Al-Albani juga disebutkan bahwa shalat adalah qurban setiap orang yang bertaqwa. Artinya, orang-orang yang bertaqwa mendekatkan diri mereka kepada Allah lewat shalat.

Mereka mengharap kedekatan dengan Allah melalui shalat.

Berdasarkan pengertian di atas, qurban secara bahasa adalah suatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Adapun secara syara‟, juga qurban atau dhahiyah adalah nama hewan unta, sapi, atau kambing yang disembelih pada hari raya idul adha dan tiga hari tasyriq sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah.125

Hukum berqurban menurut Imam Malik, Asy-Syafi‟i dan Hanbali adalah sunnah. Sedangkan Imam Hanafi berpendapat bahwa berqurban wajib bagi yang mampu pendapat yang masyhur dari Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa berqurban hukumnya wajib bagi orang yang bermukim dan memiliki satu nishab.

Para ulama yang berpendapat bahwa berqurban hukumnya wajib mendasarkan diri pada firman Allah di dalam surat Al-Kautsar (108) ayat 2. Disitu Allah berfirman









Artinya : “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”.

124 Ali Gufron, Tuntunan Berqurban dan Menyembelih Hewan, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 3

125 Ali Gufron, Tuntunan Berqurban dan Menyembelih Hewan, …, h. 4

Redaksi yang digunakan pada ayat ini adalah perintah (memakai fi‟il amr), dan sebagaimana diketahui, al-amru yufidu al-wujub (perintah itu menunjukkan hukum wajib).126

Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda:

ﻥ ﺎك ﻥم مﻠس و هيﻠع الله ىﻠص الله ل وس ر ل ﺎﻗو هنع الله يض ر ة ري ره يﺑأ ﻥع ﺎن لأصم ﻥﺑ رقي لأف عضي مل و ةعس هل (

هج ﺎم ﻥﺑلﺍو رمحأ هﺍور )

Artinya : Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “orang yang mempunyai rezeki untuk berqurban, namun ia tidak berqurban maka janganlah ia sekali-kali mendekati tempat shalat kami (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).127

Adapun para ulama yang berpendapat bahwa berqurban hukumnya sunnah di antaranya mendasarkan diri pada hadis Rasulullah SAW:128

ل ﺎﻗ هنع الله يض ر الله دﺑع ﻥﺑ رﺑ ﺎج ﻥع

Artinya : Dari Jabir bin Abdullah ra berkata : aku shalat Idul Adha bersama Rasulullah. Setelah selesai shalat Rasulullah membawa kambing dan menyembelihnya seraya mengucapkan “Bismillah, Allahu Akbar. Ya Allah, ini (qurban dariku) dan dari umatku yang tidak berqurban.”

(HR. Imam Ahmad dan Tarmidzi dan Abu Daud).129

Menurut Syaikh Yusuf Qardhawi, pendapat jumhur yang mengatakan sunnah lebih unggul. Hal ini telah dicontohkan oleh Abu Bakar dan Umar yang pernah tidak berqurban dengan alasan bahwa keduanya khawatir jika

126 Ali Gufron, Tuntunan Berqurban dan Menyembelih Hewan, …, h. 39

127 Lutfi Arif dkk, Bulugui Maram Five in One, (Jakarta : Mizan Publika, Cet-1. 2012) h.

802

128 Ali Gufron, Tuntunan Berqurban dan Menyembelih Hewan, …, h. 40

129 Ali Gufron, Tuntutan Berqurban dan Menyembelih Hewan, …..h. 39-40

berqurban selalu dilakukannya, akan terjadi salah paham dalam masyarakat muslim bahwa berqurban hukumnya wajib.130

Maka dengan begitu, pendapat yang lebih kuat adalah berqurban itu hukumnya sunnah, tetapi sunnah muakkad (sunnah yang pelaksanaannya yang sangat ditekankan) bagi yang mampu dengan alasan bahwa dalam berqurban terdapat pemerataan kenikmatan terhadap diri sendiri, keluarga, dan fakir miskin.

Orang yang dianjurkan berqurban adalah orang yang memiliki kelebihan rezeki pada saat hari raya idul adha. Oleh karena itu ancaman Rasulullah sebagaimana hadits di atas ditujukan kepada orang yang memiliki kelapangan rezeki pada saat hari raya idul adha, tetapi tidak mau melakukan qurban.131

Imam ibnu Taimiyyah di dalam kitab majmu‟ al-fatawa, juga mengungkapkan apabila seseorang punya kemampuan untuk membayar utang, kemudian ia berutang guna membeli hewan qurban maka hal itu baik, meskipun hal itu tidak harus dilakukan. Orang seperti ini dianggap mampu karena ia mampu membayar utangnya. Hanya saja, meskipun itu terpuji, hal tersebut memang tidak harus dilakukan karena hukum dasar berqurban adalah sunnah bagi yang mampu, sedangkan orang yang mampu membayar utang belum dianggap benar-benar mampu.132

Seperti yang telah disinggung di atas bahwa berqurban dengan berhutang yang terjadi di Kec. Lubuk Basung tidak terdapat aturan tentang keharusannya

130 Ali Gufron, Tuntunan Berqurban dan Menyembelih Hewan, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 41

131 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, ..., h. 253

132 Ali Guffron, Tuntunan Berqurban dan Menyembelih Hewan, ..., h. 58

dalam aturan hukum. Perkembangan dan kompleksitas kehidupan telah mendorong sebagian masyarakat di Kec. Lubuk Basung melakukan qurban dengan berutang. Hal ini dilakukan terkait dengan kurangnya dana yang dibutuhkan untuk qurban.

Jika dilihat dalam kacamata hukum Islam bahwa berqurban dengan berutang merupakan sebuah hal yang baik bagi kemaslahatan umat. Meskipun hal itu tidak harus dilakukan, akan tetapi secara prinsip Islam mendukung hal ini. Disebabkan karena syari‟at Islam sangat memperhatikan kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Jika dikaitkan dengan kaidah hukum Islam, ada sebuah kaidah yang sangat relevan yaitu:

حلﺎﺼمﻠﺍ ﺐلج ىﻠع مﺪﻗم ﺪسﺎﻔﻤلﺍ عفﺪ

Artinya : “Menolak mafasadah didahulukan daripada meraih kemaslahatan”

Adapun sebagian kemaslahatan dunia dan kemafsadatan dunia dapat diketahui dengan akal sehat, dengan pengalaman, kebiasaan-kebiasaan manusia. Sedangkan kemaslahatan dunia dan akhirat serta kemafsadatan dunia dan akhirat tidak bisa diketahui kecuali dengan syari‟at.

Istilah hukum Islam sendiri merupakan kata majemuk yang masing-masing kata pada mulanya berasal dari bahasa Arab yaitu, hukum dan Islam.

Akan tetapi penggunaan kedua kata tersebut dalam kata majemuk, hanya digunakan dalam bahasa Indonesia, sedangkan dalam bahasa Arab sendiri, penggunaan kata majemuk tersebut tidak terkenal.

Di dalam bahasa Indonesia, ditemukan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam adalah: peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang

berkenaan dengan kehidupan berdasarkan kitab Al-Qur‟an dan hukum syara‟.

Tentu saja definisi tersebut juga tidak memenuhi pengertian hukum Islam yang biasa dipahami oleh para akademisi di Indonesia. Sebab hukum Islam tidak dibatasi hanya yang terkait dengan perbuatan manusia pada umumnya, di mana ia tidak mencakup masalah akidah atau kepercayaan dan akhlak. Di samping itu, sumber hukum Islam bukan hanya dari Al-Qur‟an, tetapi juga dari sunnah, dan melalui berbagai metode pertemuan hukum yang dikenal dalam ushul fiqh.

Untuk memudahkan pemahaman, secara sederhana dapat dikatakan, sebenarnya yang dimaksud dengan hukum Islam tidak lain dari terjemahan makna fiqh Islam. Dengan demikian, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jika disebut kata hukum Islam, maka maksudnya adalah seperangkat aturan yang berisi hukum-hukum syara‟ yang bersifat terperinci yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yang dipahami dan digali dari sumber-sumber (Al-Qur‟an dan hadits) dan dalil-dalil syara‟ lainnya (berbagai metode ijtihad).133

Sedangkan yang dimaksud dengan hukum syara‟ itu sendiri ialah firman (titah) Allah SWT (termasuk juga hadits-hadits Nabi) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk thalab (tuntutan atau perintah untuk melakukan perbuatan, ataupun larangan meninggalkan suatu perbuatan), ataupun takhyir (pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan), dan wadhi‟i (ketentuan syari‟ah dalam bentuk penetapan sesuatu sebagai sebab (sabab), syarat (syarth), atau halangan (mani‟) dari suatu perbuatan tertentu.

133 Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 15

Praktek yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Kecamatan Lubuk Basung, yang jika dihubungkan dengan hukum syara‟ merupakan salah satu bentuk hukum yaitu hukum taklifi. Dinamai hukum taklifi karena hukum-hukumnya (baik dalam bentuk perintah, larangan, maupun pilihan perbuatan) berkaitan langsung dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani pertanggung jawaban untuk melaksanakan hukum tersebut). Hukum taklifi terbagi menjadi lima macam, yang oleh jumhur ulama disebut hukum taklif yang lima (ahkam, at-taklifi al-khamsah), sebagaimana diuraikan di bawah ini:134

1. Tuntutan asy-syari‟ untuk berbuat yang bersifat mesti dilakukan. Bentuk hukum taklifi ini disebut al-ijab. Sedangkan pengaruhnya terhadap suatu perbuatan mukallaf disebut al-wujub. Sementara perbuatan yang dituntut untuk dilakukan mukallaf yang melakukannya berhak mendapat imbalan pahala dan balasan surga karena ketaatannya. Sebaliknya, karena tuntutan perbuatan ini tidak boleh ditinggalkan, maka mukallaf yang meninggalkannya pantas mendapat dosa dan ancaman siksa neraka karena kedurhakaannya.

2. Tuntutan asy-syari‟ untuk berbuat yang bersifat tidak mesti dilakukan.

Bentuk hukum taklifi ini disebut an-nadb. Sedangkan pengaruhnya terhadap suatu perbuatan mukallaf juga disebut an-nadb. Sementara perbuatan yang dituntut untuk dilakukan mukallaf disebut al-mandub. Karena tuntutan ini bersifat tidak mesti dilakukan, maka mukallaf yang melaksanakannya

134 Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 41

berhak mendapat imbalan pahala dan balasan surga karena ketaatannya.

Sebaliknya, karena tuntutan perbuatan ini boleh ditinggalkan, maka mukallaf yang meninggalkannya tidak pantas mendapatkan dosa dan acaman siksa neraka.

3. Tuntutan asy-syari‟ untuk meninggalkan perbuatan yang bersifat mesti.

Bentuk hukum taklifi ini disebut at-tahrim. Sedangkan pengaruhnya terhadap suatu perbuatan mukallaf disebut al-hurmah. Sementara perbuatan yang dituntut untuk tidak dilakukan mukallaf tersebut al-haram. Karena tuntutan ini bersifat mesti, maka mukallaf yang meninggalkan perbuatan yang haram itu berhak mendapat imbalan pahala dan balasan syurga karena ketaatannya. Sebaliknya, kerena tuntutan meninggalkan perbuatan itu sama sekali tidak boleh dilanggar, maka mukallaf yang melanggarnya pantas mendapat dosa dan ancaman neraka, karena kedurhakannya.

4. Tuntutan asy-syari‟ untuk meninggalkan perbuatan yang bersifat tidak mesti. Bentuk hukum taklifi ini disebut al-karahah. Sedangkan pengaruhnya terhadap suatu perbuatan mukallaf juga disebut al-karahah. Sementara perbuatan yang dituntut untuk dilakukan mukallaf disebut al-makruh.

Karena tuntutan meninggalkan perbuatan ini bersifat tidak mesti, maka mukallaf yang meninggalkan perbuatan yang makruf ini berhak mendapat imbalan pahala dan balasan syurga karena ketaatannya. Sebaliknya, karena tuntutan meninggalkan perbuatan ini tidak bersifat mesti, maka mukallaf yang melanggarnya tidak pantas mendapat dosa dan ancaman neraka karena kedurhakaannya.

5. Firman (titah) asy-syari‟ yang berupa pilihan bagi mukallaf untuk berbuat atau tidak berbuat. Bentuk hukum taklifi ini disebut al-ibahah. Sedangkan pengaruhnya terhadap suatu perbuatan mukallaf juga disebut al-ibahah.

Sementara perbuatan yang diberikan pilihan kepada mukallaf diberi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya itu disebut al-mubah.

Karena kepada mukallaf diberi kebebasan untuk memilih, untuk melakukan atau tidak melakukannya, maka mukallaf yang melakukannya tidak berhak mendapat pahala atau dosa. Demikian juga ia tidak melakukannya, meskipun dengan demikian apabila pilihan tersebut dikaitkan dengan niat baik atau buruk pelakunya, maka tindakan berbuat atau tidak berbuat yang dipilihnya dapat melahirkan pahala ataupun dosa.135

Berqurban dengan berhutang yang terjadi di Kecamatan Lubuk Basung, jika dikaitkan dengan ke lima macam hukum taklifi di atas, maka hal tersebut berada pada tingkatan hukum mubah, di mana ketetapan tersebut tidak bersifat mutlak sama sekali, melainkan secara parsial saja. Dengan kata lai n, ketetapan ini hanya berlaku untuk sebagian waktu, sebagian situasi dan untuk sebagian orang saja, khususnya yang berada di Kecamatan Lubuk Basung.

Dalam istilah epistimologi hukum Islam, berqurban dengan berhutang yang terjadi di Kecamatan Lubuk Basung menggunakan metode al-maslahah, yaitu mashlahah mursalah. Al-maslahah sebagai dalil hukum mengandung arti bahwa al-mashlahah menjadi landasan tolak ukur dalam penetapan hukum.

Dengan kata lain, hukum masalah tertentu di tetapkan sedemikian rupa karena

135 Abd Rahman Dahlan, Usul Fiqh,…, h. 43

kemaslahatan menghendaki agar hukum tersebut ditetapkan oleh nash atau ijma‟ didasarkan atas hikmah dalam bentuk meraih manfaat atau kemaslahatan dan menghindarkan mafsadah.

Dalam hal ini setiap „illah yang menjadi landasan suatu hukum bermuara pada kepentingan kemaslahatan manusia, baik kemaslahatan di dunia maupun di akhirat.136

Mashlahah al-mursalah merupakan salah satu bentuk mashlahah yang dikenal dalam ushul fiqh.137 Dalam istilah ulama ushul fiqh mashlahah al-mursalah ialah suatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz‟i (rinci) yang mendukungnya, tetapi kemaslahatan itu didukung oleh sejumlah nash melalui cara istiqra‟ (induksi dari sejumlah nash).138 Tasyri‟ hukum tidak bermaksud selain dari untuk menetapkan kemslahatan masyarakat. Artinya, mendatangkan kemanfaatan dan menghapuskan kemudaratan dalam masyarakat.139

Menurut ulama-ulama terkemuka, bahwa mashlahah al-mursalah itu merupakan hujjah syar‟iyah. Di atasnya dibina syari‟at hukum. Masalah-masalah yang tidak diatur oleh hukum, baik yang berdasarkan nash, ataupun ijma‟, qiyas, atau istihsan, dalam hal ini orang mansyari‟atkan hukum yang mengatur mashlahah mutlak. Tidak menghentikan tasyri‟ hukum dibina atas mashlahah ini untuk mengadakan saksi tasyri‟ dengan penjelasannya.140

136 Abd Rahman Dahlan, Usul Fiqh,…, h. 206

137 Busyro, Fiqh Maqashid, (Ciputat Timur: Adelina Press, 2015), h. 153

138 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana, 1997), h. 114

139 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah: Halimuddin, (Jakarta: PT. Rineka Cipta 1995), h. 98

140 Busyro, Fiqh Maqashid,…, h. 155

Dalil-dalil yang dikemukakan orang dalam masalah ini ada dua yaitu: Pertama, memperbaharui kemaslahatan masyarakat dan tidak mengadakan larangan-larangan.

Kalau tidak disyari‟atkan hukum maka orang akan mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Untuk memelihara keselamatan orang menurut perkembangan masa dan mengenai kemungkinan-kemungkinan yang timbul. Mendirikan tasyri‟ dalam lalu lintas perkembangan masyarakat. Ada hal-hal yang tidak disepakati dan tidak diinginkan oleh syari‟ dalam menetapkan kemaslahatan masyarakat.

Kedua, ketetapan tasyri‟ sahabat dan tabian. Begitu juga imam mujtahid.

Nyatanya mereka mensyari‟atkan hukum untuk menetapkan secara mutlak kemaslahatan masyarakat. Bukan hanya sekedar untuk mengadakan saksi dengan keterangan-keterangan yang diberikannya. Abu Bakar mengumpulkan benda-benda yang bertuliskan Al-Qur‟an. Dia juga memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat.

Walaupun mashlahah al-mursalah dijadikan salah satu dalil hukum Islam, tetapi pemberlakuannya tidak mutlak. Ulama memberikan persyaratan tertentu untuk memberlakukan mashlahah al-mursalah sebagai salah satu metode istinbat hukum.

Menurut Amir Syarifuddin ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk memberlakuan mashlahah al-mursalah ini, yaitu:141

1. Mashlahah al-mursalah itu adalah maslahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti dapat diterima akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan mudharat dari manusia secara utuh.

141 Busyro, Fiqh Maqashid,…, h. 154

2. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu maslahah yang hakiki betul-betul telah sejalan dengan maksud dan tujuan syara‟ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.

3. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan berbenturan dengan dalil syara‟ yang telah ada, baik dalam bentuk nash al-Qur‟an dan sunnah, maupun ijma‟ ulama terdahulu.

4. Mashlahah al-mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya persoalannya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan.

Memperhatikan syarat-syarat di atas, begitu hati-hatinya ulama dalam memberikan maslahah al-mursalah ini. Kehati-hatian itu perlu mengingat dalil hukum yang dipergunakan tidak mempunyai sandaran pasti. Di samping itu, ketetapan hukum yang dihasilkan juga harus menekankan kepada tercapainya tujuan syari‟, yaitu mewujudkan kemaslahatan dan melindungi dari kemudaratan.142

Jumhur ulama sebenarnya menerima mashlahah al-mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistimbatkan hukum Islam. Alasan jumhur ulama dalam menetapkan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:143

a. Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah SWT berfirman dalam surat Al-Anbiya ayat 107:

142 Busyro, Fiqh Maqashid,…, h. 155

143 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I,…, h. 123













Artinya : Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Menurut jumhur ulama, Rasulullah SAW itu tidak menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat Al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah SAW, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan mashlahah terhadap hukum-hukum lain yang mengandung kemaslahatan adalah legal.

b. Kemaslahatan manusia senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri apabila syari‟at terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.

c. Jumhur ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar bin Khatab tidak memberi bagian zakat kepada para mu‟allaf (orang yang baru masuk Islam), karena menurut Umar kemaslahatan orang banyak menuntut hal itu. Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur‟an atas saran Umar bin Khatab, sebagai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan Al-Qur‟an dan menuliskan Al-Qur‟an pada satu logat bahasa di zaman Utsman bin Affan demi memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al-Qur‟an itu sendiri.

Dengan demikian, jelaslah bahwa berqurban dengan berhutang yang terjadi di Kecamatan Lubuk Basung menurut hukum Islam mubah (dibolehkan) dengan catatan seseorang yang berhutang tersebut merasa mampu untuk membayarnya, dengan kata lain ada kepastian untuk membayar hutang tersebut, sebab keberadaan qurban

tersebut berkaitan dengan kemaslahatan umat, dan dapat dikatakan bahwa berqurban merupakan salah satu ibadah sosial dalam Islam. Dengan berqurban tersebut, kita selalu diingatkan untuk peduli terhadap kondisi lingkungan sekitar, dan peduli terhadap kondisi masyarakat, agar semua kalangan dapat menikmati daging qurban, baik yang kaya maupun yang miskin. Serta agar tercipta sebuah tujuan yang baik, yaitu ketaqwaan, kebahagiaan, kedamaian serta kasih sayang di antara umat manusia.

BAB V PENUTUP

Setelah penulis membahas bab demi bab yang berhubungan dengan pembahasan tentang “Hukum Qurban Berhutang” (Studi Kasus di Kecamatan Lubuk Basung)”, maka dalam bab V ini penulis akan memberikan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan beserta saran-saran kepada pihak yang terkait dengan permasalahan yang penulis bahas ini.

A. Kesimpulan

1. Ibadah qurban merupakan perbuatan baik secara sunnatullah, dan untuk menjaga kesucian dalam sebuah kedamaian serta kasih sayang di antara umat, maka sebagian masyarakat di Kecamatan Lubuk Basung berusaha untuk benar-benar dapat membuat para pihak lainnya merasa lebih tenang dan merasa sama tanpa ada perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin. Berqurban dengan berhutang yang terjadi di Kecamatan Lubuk Basung tersebut mubah atau dibolehkan, di mana ketetapan tersebut tidak bersifat mutlak sama sekali, melainkan parsial saja. Dengan kata lain ketetapan ini hanya berlaku untuk sebagian waktu, sebagian tempat, serta sebagian situasi saja, karena hal yang utama yang harus diperhatikan ialah kemaslahatan masyarakat tersebut, sehingga bermanfaat untuk masyarakat tanpa memberatkan, dan hal itu harus tetap mengacu kepada dalil -dalil hukum Islam yang ada. Hanya saja, meskipun itu dibolehkan, hal tersebut tidak harus dilakukan, karena hukum dasar berqurban adalah sunah bagi yang mampu.

2. Berdasarkan hukum Islam berqurban dengan berhutang yang terjadi di Kecamatan Lubuk Basung, berdasarkan pada dalil hukum Islam yaitu mubah (dibolehkan), dengan syarat seseorang yang berhutang tersebut merasa mampu untuk membayarnya atau ada kepastian untuk membayar hutang tersebut.

B. Saran

1. Agar lebih validnya pelaksanaan qurban tersebut sebaiknya di Kecamatan Lubuk Basung diadakan arisan dalam rangka berqurban, karena arisan qurban digolongkan sebagai utang yang jatuh tempo panjang atau utang yang mudah dilunasi dan tidak memberatkan seseorang, maka berqurban dengan arisan adalah suatu hal yang baik.

2. Bagi panitia pelaksanaan qurban hendaknya mengatur manajemen qurban, baik antara panitia dengan panitia maupun panitia dengan peserta qurban.

Hal ini bertujuan agar nantinya tidak ada terjadi yang namanya penggantungan pembayaran hewan qurban.

3. Agar tulisan ini dapat menjadi pengetahuan dan dijadikan bahan masukan bagi pihak-pihak terkait.

Dokumen terkait