• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hak Merek Sebagai Objek Jaminan Fidusia

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK MEREK SEBAGAI HARTA DAN IMPLIKASINYA SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hak Merek Sebagai Objek Jaminan Fidusia

Dalam kegiatan ekonomi masyarakat, kebutuhan tehadap pendanaan sebagian besar dana diperoleh dengan cara kegiatan pinjam-meminjam dalam bentuk penjaminan barang guna mendapatkan pembiayaan diantaranya yaitu melalui jaminan fidusia.

Secara umum jaminan diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Konsep jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Sistem hukum jaminan yang obyeknya terdiri dari benda adalah sub sistem dari sistem hukum benda yang mengandung sejumlah asas hukum kebendaan. Konsep benda yang terdapat dalam Pasal 499 KUHPerdata adalah tiap-tiap benda dan hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik.16

Fidusia adalah penglihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.17 Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya

16 Sri Mulyani, “Konstruksi Konsep Hak Atas Merek Dalam Sistem Hukum Jaminan Fidusia Sebagai Upaya Mendukung Pembangunan Ekonomi,” MMH, 2 (April, 2014), 214.

17

bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.18 Dengan demikian, berdasarkan kedua pasal tersebut di atas maka terdapat perbedaan antara fidusia dengan jaminan fidusia. Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan, sedangkan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.19

Dalam fiqih muamalah, hak milik dapat beralih dari seorang pemilik kepada orang lain sebagai pemilik baru, yaitu diantaranya dengan cara Ikhra>j al muba>hat, melalui transaksi (akad), dan warisan. Bentuk dan macam transaksi (akad) antara lain jual beli, sewa-menyewa, hibah, rahn

(gadai), syirkah dan lain-lain sebagaimana tersebut dalam Alquran, Sunnah dan Ijma. Adapun akad rahn (gadai) adalah menjaminkan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariah sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utangnya semuanya atau sebagian.20

Adapun yang dijadikan dasar hukum kebolehan atas suatu jaminan oleh para ulama di dalam QS. al-Baqarah: 283:

18

Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia .

19

Elsi Kartika Sari dan Advensi Simangunnson, Hukum Dalam Ekonomi (Jakarta: Grasindo, 2007), 24.

20

65  َْن   َ  َ   َ   َ   َ  َ   َ   َ

Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang

dipegang (oleh yang berpiutang)”.21

Fungsi jaminan secara yuridis memberikan kepastian hukum akan pelunasan utang di dalam perjanjian kredit atau dalam utang piutang atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian. Sedangkan secara ekonomis, fungsi jaminan adalah memberikan pengamanan pelunasan kredit, sebagai pendorong motivasi debitur, terkait dengan pelaksanaan ketentuan perbankan dan dapat diterima pasar (marketable).22 Dengan demikian tujuan diadakannya jaminan adalah untuk menghindari terjadinya resiko kerugian yang diakibatkan oleh debitur apabila wanprestasi atau ingkar janji dengan batas waktu yang telah ditentukan.

Jaminan fidusia menjadi salah satu pilihan masyarakat dalam memperoleh pembiayaan mengingat benda yang dijadikan jaminan tetap bisa dipergunakan oleh pemilik. Meskipun jaminan ditangan pemberi fidusia, penerima fidusia Juga mendapat kepastian hukum melalui sertifikat jaminan fidusia. Sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Unsur dalam jaminan adalah adanya benda yang dapat dijadikan objek jaminan utama. benda yang lazim digunakan dalam jaminan fidusia

21

Agama RI, Alquran dan Terjemahan, 71.

22

Mulyani, Konstruksi Konsep Hak Atas Merek Dalam Sistem Hukum Jaminan Fidusia, 214.

adalah benda-benda berwujud dan benda bergerak seperti kendaraan bermotor. Benda berwujud dan tidak bergerak seperti rumah dan tanah. Seiring dengan perkembangan zaman, kini benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak hanya benda berwujud saja akan tetapi benda tidak berwujud dapat menjadi objek jaminan fidusia. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia bahwa benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.23 Benda bergerak sekaligus tidak berwujud yang dapat dijadikan sebagai jaminan salah satunya adalah hak merek yang mana hak merek merupakan salah satu wujud hak kekayaan intelektual yang sudah diakui dan dilindungi di Indonesia.

Sebagaimana dijelaskan di atas, setiap benda yang merupakan objek hak milik dan memiliki ekonomis, tentunya dapat dijadikan objek jaminan. Oleh karena merek memenuhi kriteria tersebut, maka merek pun dapat dijadikan objek jaminan utang dalam bentuk jaminan fidusia. Bentuk jaminan fidusia paling cocok diterapkan pada merek sebab pemilik merek dapat terus menggunakan mereknya untuk memperoleh penghasilan dan penghasilan tersebut yang akan digunakan untuk membayar utangnya kepada kreditur.

23

67

Sebagaimana disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, Hak atas merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena, pewarisan, wasiat, wakaf, hibah, perjanjian atau sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.24 Mengenai pengalihan hak atas merek di atas dibenarkan oleh Undang-Undang salah satunya melalui perjanjian, yang dalam hal ini merupakan perjanjian membebankan merek tersebut sebagai suatu jaminan atas perjanjian kredit (pinjam meminjam).

MUI juga telah menjelaskan tentang keberadaan hak merek di dalam kajian fiqih. Berikut ini adalah uraian Keputusan Fatwa MUI Nomor: 1/MUNAS VII/MUI/5/2005 Tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Fatwa MUI yang mengeluarkan ketentuan dalam hukum Islam, HKI dipandang sebagai salah satu huqu>q ma>liyyah (hak kekayaan) yang mendapat perlindungan hukum (mashu>n) sebagaimana

ma>l (kekayaan), HKI yang mendapat perlindungan hukum Islam tersebut adalah HKI yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, HKI dapat dijadikan obyek akad (al-ma’qu>d ‘alaih), baik akad mu’awadhah

(pertukaran, komersial), maupun akad tabarru’at (non komersial), serta dapat diwaqafkan dan diwariskan, Setiap bentuk pelanggaran terhadap HKI, termasuk namun tidak terbatas pada menggunakan, mengungkapkan, membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, mengedarkan, menyerahkan, menyediakan, mengumumkan, memperbanyak, menjiplak,

24

Pasal 41 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.

memalsu, membajak HKI milik orang lain secara tanpa hak merupakan kedzaliman dan hukumnya adalah haram.25

Karena Kekayaan Intelektual atas merek dianggap sebagai harta maka dapat menjadi hak milik. Ketika harta sudah menjadi milk ta>m

(penuh) seseorang maka harta itu dapat dijadikan jaminan. Dalam syariat Islam pemindahan hak itu dapat dilakukan melalui adanya transksi (akad). Seperti jual beli, rahn (gadai), hibah, dan sewa-menyewa. Akan tetapi ketika harta benda digadaikan atau masih dalam perjanjian sewa-menyewa atau dalam bentuk akad lainnya, maka kepemilikan bukan lagi milk ta>m, tetapi menjadi milk naqis{yaitu pemilikan yang terbatas hanya memiliki salah satu dari benda tersebut, memiliki manfaatnya (kegunaan) saja tanpa memiliki zatnya.

Berkaitan dengan hak atas merek yang dapat dijadikan sebagai jaminan fidusia tentunya memiliki ekonomis. Hal ini merupakan karakteristik suatu benda yang digunakan sebagai objek jaminan utang adalah benda yang mempunyai nilai ekonomis dalam artian apabila suatu saat debitur tidak dapat melunasi hutangnya maka benda tersebut dapat menutup utang. Lembaga jaminan fidusia adalah lembaga jaminan yang memungkinkan dibebankan pada hak atas merek sebagai objek jaminan utang karena objek jaminan fidusia adalah benda bergerak. Namun disisi lain terdapat perbedaan yang pada mulanya objek jaminan fidusia adalah benda bergerak berwujud, sedangkan hak merek adalah benda bergerak

25

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 1/MUNAS VII/MUI/5/2005 Tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

69

tidak berwujud. Meskipun tidak berwujud, hak merek memiliki manfaat sehingga dari manfaat itulah, hak merek memiliki nilai ekonomis yang bisa dikomersialkan untuk jaminan fidusia. Manfaat dan hak yang melekat pada merek itu bersifat maknawi (intangible). Bisa dimungkinkan untuk memiliki dan menjaganya, yaitu dengan menjaga asal dan sumbernya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah penemu atau pencipta atas merek.

Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh golongan ulama selain

H{anafiyah (Shafi’iyah, Hanafiyah, Hanbali) yang termasuk harta tidak berupa materi tetapi juga termasuk manfaat dari suatu benda. Selain itu manfaat dapat digolongkan harta sebab dapat dikuasai dengan cara menguasai dzatnya. Jika sesuatu itu tidak bermanfaat, manusia tidak mungkin mencari dan mencintai harta.26 Harta umumnya berwujud, dapat disimpan dan memiliki manfaat. Ini sesuai dengan pendapat H{anafiyah, yang bisa dikatakan sebagai harta adalah sesuatu yang berwujud dan dapat disimpan, sehingga sesuatu yang tidak berwujud dan tidak dapat disimpan tidak termasuk harta seperti hak dan manfaat.

Akan tetapi harta berwujud yang tidak memiliki manfaat maka bukan disebut sebagai harta. Karena ketika harta itu tidak memiliki manfaat, maka tidak mungkin harta itu disimpan. Eksistensi harta adalah yang bisa diambil manfaatnya. Adapun merek adalah hak. Hak yang melekat pada pencipta/pemilik. Dengan adanya hak yang melekat pada pencipta/pemilik merek, maka hak dari pencipa/pemilik adalah

mendapatkan manfaat yang dapat dinikmati dan hak ekonomi (economic rights). Hak ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan atas merek. Merek dapat dinilai uang karena adanya penggunaan sendiri atau karena penggunaan pihak lain berdasarkan lisensi atau surat perjanjian yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak. Sehinga bisa diartikan hak sebagai harta, karena seorang pencipta merek bisa menikmati hasil karyanya meskipun tidak berwujud.

Hak cipta dalam dalam khazanah Islam kontemporer dikenal dengan istilah hak ibtika>r yaitu kreasi yang dihasilkan seseorang untuk pertama kali. Sama halnya dengan merek. Merek merupakan hasil dari kratifitas pemikiran manusia dalam mencipakan hal baru. Bagi penciptanya, maka melekatlah hak atas merek tersebut. Hak atas merek inilah yang nantinya akan memberi keuntungan bagi pencipta/pemilik. Untuk menjaga keberadaan hak merek harus mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah lewat peraturan atau undang-undang dengan mempertimbangkan maslahah kedua belah pihak. Hak merek di Indonsia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016. Adapun tindakan pemerintah mengatur hak ibtika>r (hak cipta) bagi warga negaranya itu tidak bertentangan dengan kaidah hukum islam, “tas{aruf imam terhadap rakyatnya harus dihubungkan dengan kemaslahatan”.

Mengingat hak ibtika>r (hak cipta) atas merek merupakan hal baru dan belum ditemukan nas{ hukumnya (dalil khusus) baik dari ayat Alquran maupun al-hadi>th. Fathi Al-Durainiberijtihad bahwa landasan hukum dari

71

hak cipta adalah‘urf dan mas{lahah mursalah.‘Urf adalah suatu adat kebiasaan yang berlaku umum dalam suatu masyarakat. Kebiasaan yang sudah berjalan dan berlaku umum dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Sebagaimana dalam kaidah hukum islam yang berbunyi

َ ةَمكَ مَُ ةَداَعلا.

Tetapnya hak cipta atas merek bagi pencipta telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari yang telah diterima secara umum di kalangan masyarakat. Mas{lahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak ada nashnya dari Alquran dan sunnah, namun mengandung kebaikan padanya. Kaidah dalam hukum Islam

دِساَفَمْلاَ عْفَدوَ حِلاَصَمْلاَ بْلَج

, mendatangkan maslahah dan menolak kerusakan.

Kemaslahatan akan didapatkan ketika hak ini terlindungi. karena ini salah satu bentuk penghargaan kepada pencipta merek. Dan adanya perlindungan terhadapnya berarti tindakan preventif bagi terjadinya kedzaliman kepada pemiliknya. Kemaslahatan yang diambil adalah adanya hak untuk menikmati sebuah merek bagi para pemiliknya, baik dari segi moral ataupun dari segi keuntungan materi. Sehingga bagi siapa saja yang melakukan kezaliman seperti pencurian atas merek maka telah melakukan tindakan pidana.

Dasar inilah yang menjadi patokan bahwa hak merek yang dikategorikan sesuatu tidak berwujud diibaratkan sama dengan benda yang berwujud karena bisa dimiliki dan memiliki nilai ekonomis. Jika dilihat dari segi benda bergerak dan tidak bergerak, hak merek dikategorikan

sebagai benda bergerak. Di dalam Islam disebut dengan istilah harta

manqu>l dan ghoiru manqu>l. Dengan demikian hak merek mempunyai kedudukan yang sama dengan kepemilikan harta lain yang bisa ditransaksikan, diwariskan atau diwariskan. Salah satu transaksi yang bisa digunakan adalah sebagai jaminan fidusia.

Namun dalam praktiknya, merek belum dapat diterima sebagai obyek jaminan fidusia pada praktik perbankan di Indonesia, yaitu karena faktor ekonomi mempengaruhi belum diterimanya merek sebagai agunan antara lain kesulitan bagaimana mengukur nilai ekonomi dari merek, karena tidak semua merek mempunyai nilai ekonomi, tidak semua hak atas merek bernilai uang yang dapat diperjualbelikan (marketable). Pertimbangan Bank Indonesia membatasi obyek jaminan fidusia, mengingat hak atas merek apabila akan dijadikan sebagai jaminan fidusia, bank kesulitan bagaimana mengukur nilai merek dan adakah pangsa pasarnya, juga dalam rangka mengantisipasi potensi kerugian dan risiko bank.27 Inilah alasan yang menyatakan bahwa merek tidak bisa digunakan sebagai jaminan. Akan tetapi ada juga perbankan yang menerima merek sebagai jaminan, itupun hanya sebagai jaminan tambahan (sekunder), bukan sebagai jaminan utama. Sertifikat merek yang hanya dipergunakan sebagai legalitas pendukung dari usaha dari calon nasabah.

Dalam meminimalkan risiko hukum, Bank melakukan penilaian atas objek jaminan secara seksama dan cermat khususnya berkaitan

27

Mulyani, Konstruksi Konsep Hak Atas Merek Dalam Sistem Hukum Jaminan Fidusia, 217.

73

dengan jangka waktu perlindungan merek dan pencantuman klausula penting dalam perjanjian gadai yang dibuat secara otentik, yaitu berkaitan dengan penggunaan hak merek, berkaitan dengan keuntungan dan pembagian sehubungan dengan hak merek, larangan pemberi agunan untuk mengalihkan atau membebani hak merek dalam bentuk apapun dan larangan pemberi agunan untuk memanfaatkan hak merek yang bertentangan dengan kepentingan penerima agunan.

Salah satu upaya untuk meminimalkan risiko hukum khususnya untuk pembebanan jaminan atas agunan dengan melakukan analisa secara seksama terhadap agunan yang diserahkan oleh nasabah. Agunan (collateral), yaitu asset atau benda yang diserahkan nasabah sebagai agunan terhadap pembiayaan yang diterimanya. Collateral tersebut harus dinilai oleh bank syariah untuk mengetahui risiko kewajiban finansial nasabah kepada bank syariah. Penilaian terhadap agunan meliputi jenis, lokasi, bukti kepemilikan dan status hukumnya.

Penilaian terhadap collateral dapat ditinjau dari dua segi. Pertama, dari segi ekonomis yaitu nilai ekonomis dari benda yang akan diagunkan. Kedua, dari segi yuridis yaitu menilai apakah agunan tersebut memenuhi syarat-syarat yuridis untuk dipakai sebagai agunan.28 Ketika merek itu dijadikan sebagai jaminan, baik jaminan utama maupun jaminan pendukung (sekunder) maka harus disurvei lebih dahulu agar diketahui

28 Trisadini Prasastinah Usanti, “Analisis Pembebanan Gadai Atas Sertifikat Merek Di Bank Syariah,” Mimbar Hukum, 3 (Oktober, 2017), 421.

kejelasan hukum dari merek tersebut. Dengan melihat pangsa pasar maupun jangka waktu perlindungan merek terdaftar. Sehingga, kecil resiko kerugian bagi pihak Bank maupun calon nasabah.

75

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Setelah meneliti, menganalisis, serta melakukan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dari pembahasan hak merek sebagai jaminan fidusia dapat disimpulkan bahwa:

1. Kedudukan merek sebagai harta ditinjau hukum Islam termasuk kategori hak ibtika>r yang dipandang sebagai harta. Sebab memiliki nilai ekonomi yang dapat dipertahankan oleh penguasa hak cipta atas merek tersebut. Klasifikasi merek sebagai harta itu ada tiga macam. Pertama, dalam hukum Islam bisa diklasifikasikan dalam harta berharga (ma>l mutaqawwim) yaitu harta yang boleh digunakan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Kedua, hak merek termasuk sebagai harta nafi’i. Dalam hukum positif disebut dengan intangible property (hak kebendaan yang bersifat immateri). Ketiga, hak merek masuk sebagai bergerak (harta manqu>l).

2. Hak merek sebagai objek jaminan ditinjau dari hukum Islam itu diperbolehkan. Karena merek adalah benda yang dapat dinilai uang. Hal ini berdasarkan pendapat ulama Shafiiyah, H{anafiyah dan

H{anbali yang mengartikan hak sebagai harta, karena seorang pencipta

karya bisa menikmati hasil karyanya. Keuntungan ekonomi tersebut merupakan kekayaan (hak milik) seseorang yang dapat mengakibatkan timbulnya kebebasan bagi pemiliknya untuk memetik manfaat,

mengembangkan, memelihara, mengalihkan dan bahkan memusnahkannya.

B. Saran

Adanya fatwa MUI memberikan payung hukum bagi perlindungan HKI. Namun belum terdapatnya peraturan khusus mengenai agunan syariah seperti halnya hak merek membuat pelaksanaan praktiknya mengalami hambatan. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan segera membuat peraturan mengenai agunan syariah dalam bentuk hak kekayaan intelektual.

Dokumen terkait