• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM TENTANG IJARAH MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Ijarah

Kata ijarah didefinisikan dari bentuk fi’il “ajara-ya’juru’ajran”.

Ajran semakna dengan kata Al ‘iwad yang mempunyai arti gantu dan upah, dan dapat berarti sewa atau upah.1 Secara bahasa ijarah juga diartikan sebagai

“balasan” atau “imbalan” yang diberikan sebagai upah sesuatu pekerjaan.2 Sedangkan secara istilah ijarah adlah pemilikan jasa dari seorang ajir (orang yang dikontakkan tenaganya) oelh musta’jir (orang yang mengontak tenaga), serta pemilikan harta dari para musta’jir oleh seorang ajir.3

Menurut Ahmad Azhar Basyir, ijarah secara bahasa berarti “balasan” atau “timbangan” yang diberikan sebagai upah suatu pekerjaan. Secara istilah ijarah berarti suatu perjanjian tentang pemakaian atau pemungutan hasil suatu benda, binatang, atau tenaga manusia. Misalnya menyewa rumah untuk tempat tinggal, menyewa kerbau untuk membajak sawah, menyewa tenaga manusia untuk mengangkat barang dan sebagainya.4

Menurut Helmi Karim, ijarah secara bahasa berarti “upah” atau “ganti” atau “imbalan” karena itu lafad ijarah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah atau kemanfaatan sesuatu benda atau imbalan suatu

1 Qomarul Huda, Fiqh Mu’amalah (Yogyakarta: Teras, 2011), 77.

2 Sudarsono Pokok Pokok Hukum Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), 422.

3 Moh Mahfur Wachid, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), 83.

4 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah (Bandung:

Al-Ma’arif, 1995), 24.

kegiatan atau upah karena melakukan suatu aktifitas. Dalam arti luas,ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu, hal in sama artinya dengan menjual manfaat sesuatu benda, buka menjual ‘ain dari kata benda itu sendiri.5

Sedangakan menurut istilah para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah , antara lain sebagai berikut:

1. Menurut Hanafiyah

ضاوعب عفانم ىلع دقع

Artinya: transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan.6

2. Menurut Syafi’iyah

ضاوعب ةحبالااو لذبلل ةلباق ةحابم ةمولعم ةدوصقم ةعفنم ىلع دقع

مولعم

Artinya: Transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu bersifat bisa dimanfaatkan, dengan suatu imbalan tertentu.7

3. Menurut Malikiyah

قلما ضعبو ىمدلاا ةعفنم ىلع ددقاعتلا ةىمست

نلاو

Artinya: Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipendahkan.8

4. Menurut Sheyh Syihab al-Din dan Sheyh Umayrah bahwa yang dimaksud dengan ijarah ialah:

ةحباءلااو لذبلل ةلباق ةدوصقم ةمولعم ةعفنم ىلع دقع

اعضو ضوعب

5 Helmi Karim, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 1997), 29.

6 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaki Dalam Islam (Jakarta: Raja grafindo Perkasa, 2004), 227.

7 Ibid.,

16

Artinya: Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberikan dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu.9

5. Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan ijarah ialah:

ورشب ض وعب ةعفنم كيلتم

ط

Artinya: pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat10.

6. Menurut Sayyid Sabiq bahwa ijarah ialah: suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.11

7. Menurut Hasbi ash-Shiddiqie bahwa ijarah ialah:

اهكيلمتىا ةدودمح ةدبم ءيىشلا ةعفنم ىلع ةلد ابلما ةعوضومدقع

عفانلما غيب ىهف ضوعب

Artinya: Akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemelikan manfaat dengan imbalan dana dengan menjual manfaat.12

8. Menurut Zuhaily bahwa ijarah ialah transaksi pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan hak pemilikan atas barang.13

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar suatu benda dengan ada imbalanya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti menyewa dan upah-mengupah,

9 Atik Abidah, Fiqih Muamalah (Stain Po Press, 2006), 88.

10 Ibid., 88.

11 Qomarul Huda, Fiqih Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2001),78.

12 Atik Abidah, Fiqih Muamalah (Stain Po Press, 2006), 88.

13 Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 185.

menyewa adalah menjual manfaat sedangakan upah-mengupah adalah menjual tenaga atau kekuatan.14

B. Dasar Hukum Ijarah

Ijarah merupakan akad yang dibolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an, Hadist, Maupin Ijma’:

1. Al-Qur’an

a. Surat al-Zukhruf ayat 32





















































Artinya:”Apabila mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka perhidupkan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian atas sebahagiaan yang lain beberepa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahaggian yang la. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang

mereka kumpulkan”.15

Relevansi ayat diatas adalah lafadz “Sukhriyan” yang terdapat dalam ayat diatas bermakna “saling mempergunakan”. Menurut Ibn Kathir, sebagaimana dikutip oleh Dimyauddin Juwaini lafadz ini diartikan dengan “supaya kalian bisa saling mempergunakan satu sama lain dalam hal pekerjaan atau yang lain, karena di antara kalian

14 Suhendi Hendi, Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Raja grafindo Perkasa, 2002),,115

15 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahanya (Surabaya: Surya Cipta Aksara, 2005), 798

18

saling membutuhkan satu sama lain. Artinya, terkadang manusia membutuhkan sesuatu yang berada dalam kepemilikan orang lain, dengan demikian, orang tersebut bisa mempergunakan sesuatu tersebut dengan cara melakukan transaksi, salah satunya dengan akad sewa-menyewa (ijarah). Dengan demikian dapat digunakan sebagai istidlal atas keabsahan praktik ijarah.16

b. Surat al-Qasas ayat 26-27

















































































Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku

ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat

dipercaya”. Berkatalah dia (Syuaib): “Sesungguhnya aku

bermaksud menikahkan kamu dengan salah satu seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”.17 Relewansi ayat ini adalah bercerita tentang perjalanan Nabi Musa yang bertemu dengan kedua putri Nabi Ishaq, salah seorang putrinya meminta Nabi Musa untuk disewa tenaganya untuk

16 Dimyauddin Djawaini, Pengantar Fiqh Mu’amalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 154.

mengembalakan kambing. Menurut Ibn Kahtir sebagaimana dikutip Dimyauddin Djawaini cerita ini menggambarkan proses penyewaan jasa seseorang dan bagaimana pembayaran upah sewa itu dilakukan.18 c. Surat at-Talaq ayat 6



































































Artinya: “tepatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat

tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepaa mereka nafkahnya hingga mereka bersalin kemudian mereka menyusukan (amak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya: dan musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untukmu”19

Dalam Tafsir Al-Maraghiy makna dari ayat “fain arda’na lakum fa;tuhunna ujrahunna” adalah jika mereka menyusui anak-anakmu sedang mereka dalam keadaan di talaq ba’in karena sudah habis masa iddahnya, maka mereka boleh menyusui anak-anak dan boleh menolaknya. Jika mereka menyusui anak, maka mereka memdapatkan upah yang sepadan, dan mereka sepakat untuk itu dengan bapak atau walinya dari anak-anak.20

18 Dimyauddin Djawaini, Pengantar Fiqh Mu’amalah, 155.

19 Depag RI, al-Qur’an dan terjemahanya, 946.

20 Al Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy juz 2, terj. Anshor Umar . (Semarang: Toha, 1989), 247.

20

2. Hadist

a. Hadist riwayat Ahmad, Abu Daut, dan Nasaiy dari Sa’id bin Abi Waqas yang berbunyi:

ا ىلع ابم ض ر لاا ى ركن اّنك :ل اق , ص اق و بي ا نب دعس نع بيسل ا نب ديعس نع و

ا و .ةّضف و ا به ذب اهي ركن تا نا رم ا و ,اهنم ء الم ا با دعس ام و ع ر زلا نم ىق ا وسل

ء اسنل ا هج رخ

Artinya: “Dari Sa’id bin Musyyab, dari Said bin Abi Waqas r.a dia

berkata kami biasa menyewakan tanah dengan tanaman yang tumbuh ditepian sungai dan tanaman yang tumbuh di bawah air tepinya, kemudia Rasulullah melarang tentang itu dan memerintahkan kami mempersewakan dengan emas atau perak.21

Pada awal mulanya para sahabat melakukan akad ijarah dengan menyewakan perkebunan mereka, dengan upah berupa hasil pertanian, kemudian Rasulullah melarangnyan disuruh mengganti upah sewa dengan menggunakan emas dan perak/uang. Dengan demikian, akad ijarah sebenarnya telah dipraktikkan pada zaman sahabat dan Rasulullah telah memberikan aturannya, sehingga akad ijarah sah dilakukan dan diberikan oleh syari’ah.22

b. Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibn Majah yang berbunyi:

الله دبع نع

يرج لأا اطع أ ملس و هيلع الله ىلص لله ا ل وسر ل اق رمع نب

)ةج ام نب ا هارو( هق رع فيج نأ لبق هرجأ

Artinya: “Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Telah bersabda

Rasulullah: “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”.23 (HR. Ibn Majah)

21 Hafidz Al-Mundziri, Mukhtashar Sunan Abu Dawud jilid 4 terj. Bey Arifin. (semarang:

Asy Sihafa’, 1993), 39.

22 Dimyauddin Djawaini, Pengantar Fiqh, 158.

Hadist ini memberikan sebuah etika dalam melakukan akad ijarah yakni memberikan pembayaran upah dengan secepat mungkin. Relevansinya dengan praktik kontrak ijarah pada saat sekarang adalah adanya keharusan untuk melakukan pembayaran sesuai dengan kesepakatan/ batas waktu yang telah ditentukan atau tidak menunda-nunda pemberian upahnya.24

c.

Hadist riwayah Imam Muslim yang berbunyi:

ك نع كل ام نب سن أ لئس :ل اق ديحم نع

مجتحا :ل اقف ؟م اّجلح ا بس

هل رم أف .ةبيط هوبا همجح زملس و هيع لله ا ىّلص لله ا ل وسر

ينع اصب

ادت ام لضف ا نأ :لقو .هجارخ نم هنع اوعض وف هله أ مّلك و .م اعط نم

مكئ ا و د لثما نموه وا .ةماجلحا هب متيو

.

Artinya: “Dari Humaid, ia berkata: “Anas bin Malik pernah ditanya

tentang pekerjaan membekam, maka dia berkata: Rasulullah pernah berbekam dan yang membekam beliau adalah Abu Thaibah. Beliau memerintahkan agar Abu

Thaibah diberi dua sha’ makanan dan berbicara pribadi

kepada keluargana, maka mereka membebaskan pajaknya. Kemudian beliau bersabda: sebaik-baiknya obat yang kamu gunakan guna berobat adalah berbekam atau

berbekam adalah obat yang paling baik bagimu.”. (HR.

Muslim).25

Nabi Muhammad SAW sendiri, selain banak memberikan penjelasan tentang anjuran juga memberikan teladan dalam memberikan imbalan (upah) terhadap jasa yang diberikan seseorang.

Hadist Nabi yang diriwayatkan oelh Imam Muslim dan Ahmad dari Anas bin Malik menyuruh memberikan upah kepada

24 Dimyauddin Djawaini, Pengantar Fiqh, 156.

25 Imam Abu Husei Muslim, Shahih Muslim Juz IV. Terj. Adib Bisri M. (Semarang:

22

tukang bekam. Hadist ini dapat dijadikan hujah para ulama’ memperbolehkan akad ijarah.

3. Ijma’

Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang memngharamkannya. Menghindari mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.26

Dan semua ulama sepakat, tidak ada seorang ulama’ yang membantah kesepakatan ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hail itu tidak dianggap.27

C. Rukun dan Syarat-syarat Ijarah

1. Rukun ijarah

Ijarah menjadi sah dengan ijab qabull lafaz sewa atau kuli dan yang berhubungan denganya, serta lafaz (ungkapan) apa saja dapat menunjukkan hal tersebut28

Sedangkan menurut Ulama telah menentukan sahnya akad ijarah, yaitu ada 3 macam yaitu:

a. Orang yang mengadakan perjanjian (‘aqid), ini meliputi orang yang menyewakan (mu’jir) dan orang yang menyewa (musta’jir).

b. Sesuatu yang dijadikan perjanjian (al ma’qud alaihi), ini meliputi ongkos dan manfaat.

26 Mardani, Fiqh Islam Syariah (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), 251.

27 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 12 terj. Kamaludin, (Yogyakarta: Pustaka, 1996), 18.

c. Pernyataan perjanjian (shighat), yaitu lafadz atau ucapan yang menunjukkan memiliki manfaat dengan ada ongkos atau segala hal yang bisa menunjukkan kepadanya. 29

2. Syarat-syarat ijarah

Dalam ijarah juag terdapat syarat yang harus dipenuhi agar transaksi ijarah menjadi sah, yaitu:

a. Syarat ‘aqid (orang yang melakukan akad)

Menurut ulama Hanafiyah Aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz dipandang sah bila telah diizinkan walinya.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah sayarat ijarah dan ual-beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi tergantung atas keridaan walinya.

Ulama Hanabilah dan Syai’iyah mensyaratkan orang yang berakad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sehingga anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.30

b. Syarat Ma’qud alaih

Ma’qud alaih adalah objek trasaksi, sesuatu dimana transaksi dilakukan di atasnya sehingga akan terdapat implikasi hukum tertentu,

29 Abdulrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alal Madzhahibil Arba’ah jilid 4 terj. Moh Zuhri dkk (Semarang: Asy-Syifa’, 1994), 171

24

atau sesuatu yang dijadikan perjanjian dalam ijarah, ini meliputi ongkos dan manfaat.

Menurut Ulama Hanafiyah bahwa ongkos ada 3 macam yaitu: mata uang berupa barang-barang yang ditakar, ditimbang dan dihitung, dan berupa dagangan. Sedangkan manfaat yaitu dijelaskan masanya, menjelaskan pekerjaan, dan menunjukkan kepada hal-hal tertentu.

Menurut Ulama Malikiyah tentang ongkos disyaratkan hendaknya berupa barang yang suci dan bisa diambil manfaatnya, dapat diserahkan dan diketahui. Sedangkan untuk manfaat disyaratkan beberapa macam syarat yaitu: manfaat itu berharga, manfaat itu bisa diserahkan, dan manfaat itu bisa dipenuhi tanpa menghabiskan barang yang disewakan.

Menurut Ulama Syafi’iyah tentang ongkos atau upah yang tertentu harus memenuhi kadarnya, jenisnya, macam dan sifatnya, jika upah ditentukan maka disyaratkan bisa dilihat. Sedangkan manfaat itu harus disyaratkan manfaat itu mempunyai harga, manfaat tersebut buka bend yang menjadi tujuan perjanjian sewa, dan pekerjaan dan manfaat sama-sama diketahui.

Menurut Ulama’ Hanabilah, ongkos atau upah harus jelas, jika tidak sah persewaan atau perburuhan jia tidak dijelaskan mengenai upahnya. Sedangkan manfaat itu harus diketahui seperti halnya

jual-beli, manfaat tersebut dapat diketahui dengan 2 hal yaitu dengan adat kebiasaan yang berlaku dan dengan mensifati manfaat.31

c. Syarat Sighat (Ijab Qabul)

Tentang syarat sighat atau ijab qabul maka sah dengan apapun lafadzh atau ucapan yang dengan ucapan itu tujuan orang yang melakukan perjanjian dapat dimengerti. Yang demikian itu umum dalam semua akad, karena yang dijadikan pedoman dalam ijab qabul adalah yang dapat dipahami oleh dua orang yang melakukan akad sehingga tidak menimbulkan keraguan dan pertentangan.32

Sedangkan menurut ulama’ fiqh ijab qabul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu:

1) Adanya kejelasan maksud dari kedua pihak. Dalam arti, ijab qabul yang dilakukan harus bisa mengekspresikan tujuan dan maksud keduanya dalam transaksi.

2) Adanya kesesuaian antara ijab dan qabul. Terdapat kesesuaian dalam hal objek dan harga, terdapat kesamaan tentang kesepakatan maksud dan objek transaksi.

3) Adanya pertemuan antara ijab qabul (berurutan dan nyambung), ijab qabul dilakukan dalam satu majelis, dalam arti kedua pihak mampu mendengarkan maksud masing-masing.

31 Abdulrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alal Madzhahibil Arba’ah jilid 4 terj. Moh Zuhri dkk, 175-198

26

4) Satu majelis akad bisa diartikan suatu kondisi yang memungkinkan kedua pihak untuk membuat kesepakatan dan tidak menunjukkkan adanya penolakan.33

Sementara itu syarat sahnya ijarah menurut sayyid sabiq adalah sebagai berikut:

1) Kerelaan dua pihak yang melakukan akad.

2) Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisihan.

3) Hendaklah barang yang menjadi objek transaksi dapat dimanfaatkan kegunaanya menurut syara’.

4) Dapat diserahkannya sesuatu yang disewakan berikut kegunaan (manfaat).

5) Bahwa manfaat adalah hal yang mubah, bukan yang haram.34

D. Macam-macam Ijarah

Berdasarkan uraian tentang definisi dan syarat ijarah, maka dilihat dari segi objeknya ijarah dibagi menjadi dua macam yaitu:

1. Ijarah ‘ala al-Manafi’

Ijarah ‘ala al-Manafi’ yaitu ijarah yang objek akadnya adalah manfaat, seperti menyewakan rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, baju untuk dipakai dan lain-lain. Dalam ijarah ini tidak

33 Dimyauddin Djawaini, Pengantar Fiqh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 157

34 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah jilid 12 terj.kamaludin (Yogyakarta: Pustaka, 1996), 19-20.

dibolehkan menjadi objek sebagai tempat yang dimanfaatkan untuk kepentingan yang dilarang oleh shara’.

Para ulama berbeda pendapat tentang kapan ijarah ini dinyatakan ada. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, akad ijarah bisa ditetapkan sesuai dengan perkembangan manfaat yang dipakai. Konsekuensi dari pendapat ini adalah sewa tidak dapat dimiliki ileh pemilik barang ketika akad itu berlangsung, melainkan harus dilihat dahulu perkembangan penggunaan manfaat tersebut.35

2. Ijarah’ala al-‘ammal

Ijarah’ala al-‘ammal atau ijarah yang bersifat pekerjaan, ialah dengan cara memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah semacam ini dibolehkan seperti buruh bangunan, tukang jahit, tukang sepatu, dan lain-lain, yaitu ijarah yang bersifat kelompok (serikat). Ijarah yang bersifat pribadi juga dibenarkan seperti mengaji pembantu rumah tangga, tukan kebun dan satpam.36

Apabila dilihat dari segi pekerjaan yang harus dilakukan maka ajir dapat dibagi menjadi ajir khash dan ajir mushtarak.37

Ajir khash pekerja atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan secara individual dalam waktu yang telah ditetapkan, seperti pembantu rumah tangga dan sopir. Menurut Wahbah al-Zuhayli, pekerjaan menyusukan anak kepada orang lain dapat digolongkan dalam akad ijarah

35 Qomarul Huda, Fiqih Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2001), 85.

36 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaki Dalam Islam (Jakarta: Raja grafindo Perkasa, 2004), 236.

28

khash. Jumhur ‘Ulama mengatakan, seorang suami tidak boleh menyewa istrinya ,untuk menyusukan anaknya karena pekerjaan tersebut merupakan kewajiban istri. Bahkan imam malik menambahkan, suami dapat memaksa istrinya untuk menyusukan anaknya (jika dia menolak). Namun menurut Ahmad, boleh menyewa istri sendiri untuk menyusukan anaknya.38

Sedangkan ajir mushtarak adalah pihak yang harus melakukan pekerjaan yang sifat pekerjaannya umum dan tidak terbatas pada hal-hal (pekerjaan) tertentu yang bersifat khusus.39 Dia mendapatkan upah karena profesinya, bukan karena penyerahan dirinya terhadap pihak lain. Misalnya pengacara dan konsultan.40

E. Beberapa Ketentuan dalam Ijarah

1. Hak Atas Upah

Bagi ajir khash berhak atas upah yang telah ditentukan bila ia telah menyerahkan dirinya kepada musta’jir dalam waktu berlakunya perjanjian itu, meskipun ia tidak mengerjakan apapun, karena misalnya pekerjaan memang tidak ada. Hak atas upah itu masih dikaitkan pada syarat bahwa ajir khash menyerahkan dirinya keoada musta’jir itu dalam keadaan yang memungkinkan untuk melakukan pekerjaan yang dimaksud. Dengan demikian bila ajir khash datang menyerahkan diri dalam keadaan sakit yang tidak memungkinkan bekerja sesuai dengan isi perjanjian, tidak berhak atas upah yang telah ditentukan.

38 Qomarul Huda, Fiqih Muamalah, 87.

39 Sudarsono Pokok Pokok Hukum Islam, 428.

Apabila musta’jir tidak memerlukan lagi, tetapi masih dalam waktu berlakunya perjanjian ia masih berkewajiban membayar upah penuh kepada ajir khash, kecuali bila pada diri ajir terdapat halangan yang memungkinkan musta’jir membatalkan perjanjian, mislanya ajir dalam keadaan sakit yang tidak memungkinkan untuk bekerja sesuai dengan isi perjanjian.41

Menurut Sayid Sabiq dalam fiqh al sunnah disebutkan bahwa hal menerima upah itu apabila:

a) Selesai bekerja berdasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Majah berbunyi:

نب الله دبع نع

يرج لأا اطع أ ملس و هيلع الله ىلص لله ا ل وسر ل اق رمع

)ةج ام نب ا هارو( هق رع فيج نأ لبق هرجأ

Artinya: “Dari Abdullah bin Umar, ia berkata “ Telah bersabda Rasullah: “Berikanlah upah sebelum keringatnya kering”.

(HR. Ibn Majah)42

b) Mengalirkannya ijarah jika ijarah itu untuk barang

c) Memungkinkan mengalirnya manfaat jika masanya berlangsung, ia mungkin mendatangnya manfaat pada masa itu sekalipun tidak terpenuhi keseluruhannya

d) Mempercepat dalam bentuk pelayanan atau sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak sesuai dengan syarat, yaitu mempercepat pembayaran.43

41 Ibid., 34.

42 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah jilid 2 (Beirut: Daral Fikri, 1415h), 20.

30

2. Hak Menahan barang untuk minta upah dipenuhi

Ajir berhak menahan barang yang dikerjakan dengan maksid agar upah pekerjaanya dipenuhi, dengan ketentuan bila dalam perjanjian terdapat persyaratan pembayaran upah dengan tunai. Bila selama ditahan barang mengalami kerusakan, ajir tidak dibebani ganti kerugian, karena kesalahan yang sebenarnya terletak pada keterlambatan musta’jir

memberikan upah setelah pekerjaan selesai dilakukan.

Tetapi bila dalam perjanjian terdapat syarat pembayaran upah ditangguhkan, ajir tidak berhak menahan barang setelah selesai dikerjakan, dengan akibat bila ia menahanya juga, tiba-tiba terjadi kerusakan barang yang ditahan itu, ia dapat dituntut membayar atas kerusakan barang yang dimaksud.44

Ketentuan menahan hak barang tersebut berlaku bila pekerjaan terletak dan nampak nyata pada barang yang dikerjakan, mislanya tukang jahit, bengkel mobil dan sebagainya. Bila hasil pekerjaan tidak terletak dan Nampak nyata barag yang dikerjakan, seperti pengangkutan barang dari suatu tempat ke tempat lain, ajir tidak berhak menahan barang yang dimaksud minta dipenuhinya upah yang telah ditentukan. Bial ajir menahan juga, tiba-tiba barang mengalami kerusakan, ia dapat dituntut membayar atas kerusakan tersebut45

44 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah, 34.

3. Ketentuan waku berlakunya perjanjian

Bila perjanjian kerja dituju pada ajir khash, lama waktu berlakunya perjanjian harus diterangkan, perjanjian dipandang harus diterangkan dengan akibat bila waktu tidak diterangkan, perjanjian dipandang rusak (fasid), sebab factor waktu dalam perjanjian tersebut menjadi ukuran besarnya jasa yang diinginkan. Tanpa menyebutkan waktu yang diperlukan, objek perjanjian menjadi kabur, bahkan tidak diketahui dengan pasti sehingga mudah menimbulkan sengketa dibelakang hari.

Berbeda halnya bila perjanjian kerja ditujukan pada ajir mustarak, menentukan waktu berlakunya perjanjian hanya kadang-kadang diperlukan guna menentukan kadar manfaat yang dinikmati, bila untuk itu harus melalui waktu panjang, seperti memelihara ternak dan sebagainya. Dalam perjanjian yang demikian sifatnya, keterangan waktu diperlukan dengan akibat bila ketentuan waktu tidak disebutkan sama sekali perjanjian dipandang fasid, karena dengan demikian terdapat unsur ketidakjelasan (gharar) dalam bentuk perjanjian.

Ketentuan waktu dalam perjanjian kerja dituju pada ajir musyarak pada umumnya hanya untuk mengira-ngirakan selesainya pekerjaan yang dimaksud, yang erat hubunganya dengan besar kecilnya upah yang dibayarkan. Dalam hal ini ajir berhak penuh atas upah yang telah ditentukan bial dapat menyelesaikan pekerjaan pada waktu yang telah ditentukan pula.46

32

4. Resiko Kerusakan Barang

Barang musta’jir ketiak ditangan ajir adalah suatu amanat, yaitu sesuatu kepercayaan yang diberikan kepada musta’jir. Oleh kerenanya, bila barang yang dpercayakan kepada ajir itu mengalami kerusakan ajir tidak dibebani resiko apapun, kecuali bila kerusakan itu terjadi akibat

Dokumen terkait