• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATANA SHINKEN DALAM MASYARAKAT JEPANG

SETELAH PERANG DUNIA KE II

Untuk dapat melihat perbedaan yang mencolok mengenai Fungsi dan makna katana shinken dalam masyarakat Jepang setelah perang dunia ke 2, haruslah di jelaskan mengenai fungsi dan maknanya sebelum perang dunia ke 2 berakhir.

3.1 Fungsi dan Makna Katana Shinken Sebelum perang dunia ke

II

3.1.1 Fungsi katana shinken

Katana shinken sejatinya sudah muncul pada era pedang Shinto di zaman Edo, namun penggunaan istilah shinken muncul setelah perang dunia ke 2 dimana banyak tercecer gunto, pedang katana shinken buatan negara lain yang memiliki kemiripan, dan untuk membedakan secara terminologi didalam jepang mengenai senjata tajam biasa atau senjata tajam harta negara.

Shinken sebelum perang dunia kedua berfungsi sebagai senjata perang para prajurit, samurai dan alat perlindungan pribadi shogun dimasa tersebut. Banyak sekolah beladiri pedang telah berdiri pada saat tersebut dengan tujuan melatih para praktisi pedang untuk dapat menggunakan shinken secara maksimal dalam serangan pertarungan membunuh dan sebagainya. Pedang ini banyak dilumuri

47

darah dan mengambil nyawa disepanjang sejarah Jepang masa lalu. Kisah 47 Ronin merupakan satu dari sekian banyak sejarah pembantaian menggunakan katana shinken. Kebebasan pemakaian pada zaman Edo memungkinkan shinken dapat dipakai kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja, yang bahkan samurai tak bertuan (ronin) pun dapat menggunakannya untuk menembus kediaman

pejabat tinggi istana

3.1.2 Makna katana shinken

Pengaruh era pedang Jokoto berlangsung hingga mempengaruhi katana shinken sebelum perang dunia ke 2. Legenda mengenai 3 perhiasan dewi Amaterasu yang turun ke bumi berupa pedang Kusanagi, perhiasan Magatama, dan Cermin Kashiko Dokoro, membuat pedang begitu di hormati karena merupakan barang berharga Dewi Jepang. Oleh sebab itu banyak di temukan katana shinken dengan motif dewa dan unsur keagamaan didalamnya sampai- sampai setiap samurai terkena dampak menganggap diri mereka dewa perang karena menggunakannya.

Sejak zaman edo pula setiap pedang shinken yang baru dibuat, akan di coba ketajamannya dengan mengadakan tameshigiri (tes pemotongan) menggunakan manusia dengan cara memenggal dan memotong tubuh tahanan perang, maupun penjahat. Shinken dianggap senjata suci yang lebih berharga dari nyawa manusia yang berdosa pada saat itu, sehingga praktik mencoba shinken baru dianggap sah-sah saja.

3.2 Fungsi dan Makna Katana Shinken Setelah Perang Dunia ke

II

Masyarakat yang modern, Jepang yang damai dan terbentuknya NBTHK merupakan salah satu alasan katana shinken mengalami perubahan fungsi dan makna berbeda setelah masa perang dunia. Terutama pembagian sertifikasi mengenai katana shinken yang ditetapkan oleh NBTHK memiliki bagian besar terhadap perubahan fungsi dan makna itu sendiri. NBTHK menetapkan 4 tingkatan klasifikasi dalam system ini, yaitu:

1. Hozon ( layak dilestarikan )

2. Tokubetsu Hozon ( pekerjaan bernilai tinggi layak dilestarikan ) 3. Juyo Token ( pedang penting)

4. Tokubetsu Juyo Token ( Pedang bernilai tinggi dan penting)

Dimana sertifikasi tersebut mampu membuat katana shinken buatan tosho bernilai sepuluh kali lipat lebih mahal. Dilain sisi tosho mengejar gelar Mukansa yaitu posisi 10 tosho terbaik yang bahkan beberapa diantaranya dapat menjadi Ningen

Kokuhō (人間国宝) yaitu Harta Nasional yang hidup yang merupakan istilah

popular bagi individu yang diberikan sertifikat sebagai orang yang berpengaruh penting terhadap kebudayaan Jepang oleh Kementrian Pendidikan, kebudayaan, olahraga, sains dan teknologi (Jūyō Mukei Bunkazai Hojisha - 重要无形文化财 保持 者).

49

3.2.1 Fungsi shinken sebagai barang seni dan perhiasan

Walaupun tidak digunakan dalam peperangan lagi, namun masih banyak kalangan masyarakat Jepang yang mengoleksi shinken, baik itu peninggalan leluhur maupun shinken yang dibuat setelah perang dunia ke 2. Keindahan seni dan nilai mewah yang di tawarkan bilah yang telah mendapat sertifikasi NBTHK yang menjadi alasannya. Pedang dengan sertifikasi NBTHK dapat mencapai harga 146 juta sampai dengan 365 juta Rupiah untuk kelas tosho Biasa dan 400 sampai 600 juta untuk tosho dengan kelas mukansha dan diatas 1 milyar untuk shinken peninggalan orang penting maupun artefak yang memiliki sejarah penting Jepang didalamnya. Bahkan semakin lama dan bagus kondisi shinken tersebut disimpan maka semakin mahal harga yang ditawarkan atas usia bilah pedangnya.

Dalam pemesanan pembuatan shinken kepada tosho juga tidak sama seperti sebelum perang dunia ke2 dimana para pengguna katana dapat dipesan sesuai kriteria yang di inginkan. Shinken tidak dibenarkan dipesan dengan kriteria keinginan pemesan pedang. Segala kualitas dan desain diserahkan sepenuhnya kepada tosho. Rata-rata pemesan pedang memahami dan menerima nilai seni dari shinken setelah pedang tersebut selesai dibuat dan dijelaskan oleh tosho pembuat. Jika pembeli memaksakan keinginan bentuk dan desain kepada tosho maka dipastikan penolkan pembuatan shinken terjadi. Bagi tosho nilai seni akan shinken terjadi begitu saja saat pembuatan, dan seni pembuatan pedang tidak bisa dibuat berdasarkan perencanaan di awal.

Shinken buatan tosho Kanekuni Ogawa pada 2011 contohnya, untuk

Rupiah. Hal tersebut dikarenakan Kanekuni sudah mengikuti kontes pedang NBTHK dan memenangkan beberapa penghargaan dari hal tersebut walaupun belum pernah mendapatkan gelar Mukansha dan umurnya yang sudah 86 tahun yang mengakibatkan tosho tersebut hanya mampu membuat sebilah shinken untuk satu ta

3.2.2 Fungsi shinken sebagai benda seni beladiri

Toshishiro Obata “Kaiso”, penemu beladiri pedang “Shinkendo” mengatakan dalam seminar Shinkendo Shimbukan Indonesia di Jakarta November 2013 “ A Shinken is valuable both as a weapon and an aesthetic object; it's

overall beauty is composed of both elements” ( sebuah shinken berharga baik

sebagai senjata maupun sebagai objek estetika, keindahan keseluruhannya tersusun dari kedua elemen dalam satu shinken). Meskipun tidak lagi lagi digunakan sebagai senjata perang, namun kesan benda seni dan juga barang beladiri senjata tertuang dalam shinken itu sendiri. Hal tersebut di karenakan kasta dan profesi samurai yang memang tidak ada lagi di Jepang, namun ilmu samurai tersebut, masih tertinggal utuh dengan masing-masing aliran teknik pedang yang tersebar di negara Jepang sampai seluruh dunia.

Kenjutsu, Iaijutsu, Iaido, Shinkendo, Toyama-ryu dan masih banyak lagi aliran seni beladiri Jepang yang tersebar memungkinkan shinken masih tetap digunakan sebagai barang seni beladiri, walupun fungsi berlatih untuk perangnya sudah tidak ada lagi. Di Jepang sendiri tidak banyak yang menekuni beladiri pedang, perlengkapan yang mahal dan harga shinken yang sangat mahal

51

merupakan salah satu alasan terbesarnya. Walaupun begitu setiap siswa praktisi pedang pemula yang baru mengikuti selalu diwajibkan memakai pedang kayu (bokken) hanya untuk melakukan latihan kata(cara) dan suburi(mengayun pedang) sampai dirasa pantas untuk tameshigiri(tes memotong) dengan menggunakan shinken. Mahalnya biaya perawatan shinken di Jepanglah yang menjadi alasannya.

Kunimasa Matsuba salah seorang tosho berpengalaman di Jepang menyampaikan dalam seminarnya yang bertajuk “Paradoks Pedang Jepang” di

Japan Foundation Los Angeles Amerika Serikat bahwa shinken di Jepang sudah

mengalami perubahan fungsi menjadi senjata sekaligus objek Seni yang telah membuat pedang tersebut terlalu mahal untuk digunakan memotong oleh orang yang bukan praktisi beladiri pedang Jepang. Memerlukan dana sebesar 420.000 Yen atau sebesar 49 juta Rupiah untuk layanan perawatan pengasahan bilah

shinken tumpul yang hanya dapat dilakukan oleh togishi bersertifikat

(http://www.jflalc.org/ac-lecture12.html). Oleh karena itu cara melakukan tameshigiri yang salah dapat membuat shinken menjadi tumpul dan mengeluarkan biaya lagi untuk mengasahnya saja.

3.2.3 Makna shinken sebagai Harta Tradisional

Banyak beredar pedang katana shinken di luar Jepang saat ini. Di Yogyakarta sebilah katana shinken dapat dibeli dengan kisaran harga 500 sampai dengan 5 juta Rupiah, buatan China dapat dibeli dengan kisaran harga paling mahal 12-15 juta Rupiah. Namun apabila pedang itu di sebut shinken didepan orang Jepang yang merupakan praktisi pedang, kolektor pedang Jepang ataupun

tosho sudah dapat dipastikan yang keluar adalah kata-kata dengan emosi tinggi yang dianggap menghina shinken yang asli dari Jepang sendiri. Bagi masyarakat Jepang, duplikat katana shinken yang beredar di luar Jepang, tanpa sertifikat yang Jelas, merupakan barang sampah, pisau biasa, atau yang paling halus hanya disebut sebagai besi tajam.

Hampir seluruh pedang tajam baik itu pisau, pisau lipat, parang, celurit bahkan katana buatan luar negara Jepang, disahkan oleh undang-undah sebagai senjata tajam terlarang untuk di bawa ke depan publik. Dapat dipastikan setiap orang yang membawa katana shinken buatan Yogyakarta, China, maupun negara lain ke Jepang akan disita, dan dikenai sanksi denda sampai dengan kurungan penjara. Namun apabila memiliki katana shinken asli dari tangan tosho yang sudah mendapat sertifikat dengan ketajaman yang luar biasa, tidak akan mendapatkan masalah untuk membawanya kemanapun selama masih berada di negara Jepang.

Alasan utama mengapa shinken asli buatan tosho bersertifikat diperbolehkan dibawa di negara Jepang adalah metode menempa bilah besi, pelipatan tamahagane, pembuatan koshirae yang indah, pembuatan hamon, dan sebagainya yang menggunakan tangan tosho dengan cara tradisional Jepang dianggap suatu warisan keterampilan tradisional dan kebudayaan Jepang. Pemerintah Jepang harus menjaga kebudayaan untuk selama-lamanya sehingga pemerintah memutuskan bahwa hanya shinken yang dibuat dengan metode yang benar dan kemampuan dari tosho bersertifikat walaupun memiliki ketajaman luar biasa tidak diperlakukan sebagai sebuah senjata melainkan sebuah karya seni yang

53

kedepannya akan menjadi warisan sejarah Jepang kelak. Hal tersebut di ikuti dengan persyaratan shinken tersebut haruslah dibuat oleh para tosho bersertifikat, disahkan oleh kantor pemerintahan Jepang dan memiliki kartu registrasi.

3.2.4 Makna shinken sebagai benda dengan esensi spiritual

Shinken setelah perang dunia ke 2, tetap mendapat tempat penghormatan, namun sudah tidak dibenarkan lagi melakukan tameshigiri dengan menggunakan objek mahluk hidup apapun. Shinken walau dihormati statusnya tetap tidak melebihi manusia pada saat ini. Tameshigiri dilakukan dengan menggunakan bambu ataupun tatami yang digulung dan dijemur seharian terlebih dahulu, melakukan tameshigiri di zaman ini bukan lagi bermakna untuk melihat ketajaman shinken lagi tetapi lebih kepada kemampuan pemakai pedang itu sendiri apakah sudah dapat melakukan teknik pemotongan dengan baik atau tidak. Dalam arti lain tameshigiri sudah lebih melihat kepada orangnya, bukan shinken lagi.

Disisi lain shinken mengalami perubahan sudut makna dalam hal religius, dimana dahulu juga digunakan untuk persembahan di kuil-kuil Shinto. Kini

shinken digunakan dalam ritual Misogi (Purification/penyucian). Salah satu

metode misogi adalah Misogi no Ken, happogiri no misogi yang dilakukan oleh Kurota Sembokuya Sensei seorang instruktur beladiri Aikido dan Iaido Jepang di Vancouver, Kanada. Dalam wawancara via email beliau mengatakan alasannya

” “一年いちねんのはじめに 道 場どうじょうの安全あんぜんとメンバめ ん ば ーの無病息災むびょうそくさいを 祈願き が んして 行 ぎょう つています。東西南北とうざいなんぼくに大たいして 行おこなう四歩切よ ん ほ ぎりと八歩切は ち ほ ぎりがあり ますが 私わたしたちの 道 場どうじょうは八歩切は ち ほ ぎりで 行ぎょうつています。日本に ほ んでは かたな刀 は 邪気じ ゃ きを 断だち切きる 力ちからがあるとされて降おりますので神剣しんけんを使つかい ます。”

Alasan melakukannya misogi dengan shinken adalah.

Mendoakan untuk kesehatan anggota (tanpa penyakit) dan keselamatan dojo diawal tahun pertama. Kearah timur barat utara selatan kami melakukan shihogiri dan happogiri (memotong dengan empat arah dan delapan arah) tetapi di dojo kami melakukan happogiri. Di Jepang kalau ada kekuatan untuk membunuh roh-roh jahat maka digunakanlah katana ( shinken).

Dalam hal religius, shinken berkembang menjadi media yang dipercaya dapat memutuskan kuasa roh jahat di empat sampai delapan arah mata angin dan memberikan hasil keselamatan dan kesehatan serta berkah di tempat dilakukannya Misogi dalam memulai aktifitas di awal tahun yang baru terutama dilakukan oleh Aikido Iwama yang dipengaruhi Ōmoto-kyō.

55

3.3

Perbandingan Fungsi dan Makna Katana Shinken

3.3.1 Perbandingan Fungsi

Dari segi fungsi sebelum dan sesudah perang dunia ke 2, terlihat perbedaan yang signifikan. Shinken sebelum perang dunia ke 2 memang ditujukan sebagai senjata untuk melukai, melumpuhkan bahkan membunuh manusia. Hal tersebut dipengaruhi oleh system kasta samurai dimana memperbolehkan membawa shinken kemanapun dan didukung oleh kemampuan teknik bermain pedang yang sangat baik sehingga hal tersebut dapat dilakukan kapan saja. Disisi lain sistem keamanan dan bahaya yang mengancam merupakan dua hal yang seimbang, hal tersebut dikarenakan oleh persenjataan yang sama yaitu shinken itu sendiri. Harga yang tidak terlalu mahal dan kebebasan tosho untuk membuat

shinken kapanpun tosho tersebut mau membuat pedang tersebut sangat mudah

untuk didapatkan dan dimiliki.

Berbeda dengan fungsi shinken setelah perang dunia ke 2, peraturan yang ketat, sistem keamanan yang modern, Jepang yang damai, harga bilah shinken yang mahal dan berubahnya sudut pandang masyarakat Jepang terhadap senjata perang menjadi barang seni tersebut membuat perubahan yang drastis terhadap penggunaannya. Untuk tetap menjaga warisan negara yaitu seni beladiri pedang, dojo yang mengajarkan ilmu beladiri pedang tetap berdiri utuh dan mengajarkan menggunakan shinken, namun penggunaanya hanya sebatas menikmati gerakan seni, disiplin dan postur. Bukan lagi sebuah seni yang dipelajari untuk menghadapi peperangan. Keadaan yang berubah tersebut juga membuat fungsinya berubah menjadi barang seni dikarenakan masyarakat Jepang, bahkan

non Jepang memandang estetika bentuk dan nilai sejarah evolusi shinken yang menjadikannya sebagai benda tajam yang bernilai tinggi untuk dijadikan perhiasan maupun benda mewah. Hanya kalangan atas yang dapat memilikinya, berbeda dengan sebelum perang dunia ke 2, dimana kalangan manapun dapat memiliki shinken.

3.3.2 Perbandingan Makna

Perubahan sudut pandang makna sebelum dan sesudah perang dunia ke 2 juga mengalami perbedaan yang mencolok. Dimana pada hal melakukan

tameshigiri (tes memotong) sebelum perang dunia kedua dilakukan untuk

mengetes pedang baru terhadap manusia yang merupakan tawanan perang maupun tahanan kejahatan. Perspektif akan katana merupakan harta dewi Amaterasu membuat melakukan tameshigiri terhadap manusia jahat ataupun musuh dianggap hal yang wajar dengan benda “suci” tersebut. Namun setelah perang dunia ke 2 berakhir, tameshigiri menggunakan mahluk hidup manapun sudah dilarang dan diganti dengan bamboo dan tatami. Maknanya juga sudah tidak untuk melihat bagaimana tajamnya shinken tersebut, tetapi bagaimana hebatnya sipemakai shinken memotong target dengan baik.

Sebelum perang dunia ke 2, para samurai yang menggunakan shinken memiliki kebanggan tersendiri sampai menganggap diri mereka adalah seorang dewa. Dikarenakan pedang yang sudah banyak merasakan darah dengan membunuh orang. Pedang benar-benar dianggap sebagai media dewa memberi kekuasaan untuk mencabut nyawa. Setelah perang dunia ke 2, sudut pandangnya sudah berubah, pada beberapa tempat beladiri (dojo), Aikido salah satunya;

57

shinken digunakan dalam ritual misogi yaitu penyucian. Masih dianggap sebagai barang dewa namun penggunaannya lebih kepada mengusir roh-roh jahat di dunia spiritual. Perbedaan yang jauh dimana sisi pertama shinken membuat penggunanya menjadi merasa seorang dewa, disisi kedua shinken dianggap benda suci dewa yang dapat mengusir hal-hal yang tidak baik.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dikemukakan, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa :

1. Shin ken 真剣 telah mengalami perubahan fungsi dan makna dari waktu

ke waktu sampai sekarang. Keadaan Jepang yang damai setelah perang dunia ke 2, membuat shinken berubah dari maksud tujuan awal penggunaannya.

2. Fungsi katana shinken dalam pandangan masyarakat Jepang setelah perang dunia ke 2 bukan lagi sebuah senjata perang untuk mendapatkan kekuasaan, bukan lagi sebuah simbol status kebangsawanan, melainkan sebuah barang perhiasan yang sangat mahal harganya. Peraturan pemerintah memberi jatah pembuatan bilah shinken kepada tosho dan sertifikasi yang membuat shinken menjadi sepuluh kali lebih mahal, membuat shinken tidak dibuat banyak. Meskipun di Jepang masih tetap ada beladiri pedang tradisional yang menggunakan shinken. Namun tujuan penggunaan shinken bukan lagi menjadikannya sebagai senjata perang ataupun menjadi alat praktisi untuk menjadi samurai yang handal. Para praktisi menganggap shinken merupakan media untuk mendapatkan filosofi samurai yaitu Budō (武道), media olahraga, dan juga hobi.

59

3. Dalam hal makna shinken yang dahulu dapat mempengaruhi penggunanya sehingga menganggap diri pemiliknya adalah dewa perang sudah berubah, dikarenakan tidak adanya lagi perang besar-besaran setelah masa damai Jepang. Melakukan tameshigiri terhadap manusia menggunakan shinken pun sudah tidak diperbolehkan walau tetap dianggap sebagai harta dewi Amaterasu. Shinken sekarang, dianggap media yang dapat mengusir roh- roh yang jahat dari delapan arah mata angin dengan melakukan Misogi sehingga dapat memberikan berkah dimana tempat dilakukannya hal tersebut. Tameshigiri bukan lagi menjadi ajang shinken memotong tubuh manusia yang bersalah untuk melihat ketajaman pedang tersebut, melainkan berubah menjadi bentuk praktisi pedang dapat menguasai tebasan menggunakan shinken. Sudut pandang makna yang berubah dari objek benda menjadi subjek manusia.

4.2 Saran

1. Bagi para mahasiswa yang akan melakukan penelitian lebih lanjut mengenai benda-benda tradisional Jepang (khususnya katana shinken) dikemudian hari, diharapkan agar lebih menguasai konsep shinken dan dapat terjun langsung ke lapangan.

2. Penulis juga berharap adanya penelitian yang lebih lanjut dan mendalam terhadap katana shinken ini di kemudian hari oleh rekan-rekan mahasiswa ataupun segala pihak yang sedang mempelajari dan mengkaji kebudayaan Jepang.

3. Melalui penelitian terhadap katana shinken ini diharapkan para mahasiswa dan semua kalangan masyarakat dapat mengetahui sejarah terjadinya dan dapat membedakan istilah maupun deskripsi salah satu benda Jepang, Sehingga muncul rasa tertarik yang membuat lebih mencintai dan memelihara peninggalan kebudyaan di Indonesia, dengan belajar dari pengalaman-pengalaman Jepang.

61

DAFTAR PUSTAKA

Christommy, Tommy.2001. “Pengantar Semiotik Pragmatik Peirce : Nonverbal dan Verbal” dalam Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Bahan penelitian Semiotika, hlm. 7-14.

Clyde, Kluckhohn, A. L. Kroeber, Wayne Untereiner. 1952. Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. New York : Vintage Book.

Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Fresco.

Kerlinger, Fred N. 1986. Foundations of behavioral research. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Koentjraningrat. 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Leon, Hiroko Kapp, Yoshindo Yoshihara. 1987. The Craft Of The Japanese Sword . Tokyo: Kodansha International.

Mulyati, Sri dkk. 2007. Sosiologi:Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik : suatu pengantar. Jakarta : Gramedia. Nasution, M. Arif. 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidanag Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada Uneversity press.

Nawawi, Hadari, Mimi Martini. 1994. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nazir, moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta:Ghalila Indonesia.

Sato, Kanzan.1983.The Japanese Sword. Tokyo: Kodansha International. Sinaga M, dan Sinuhaji J. 1997. Metode Penelitian. Medan: USU Press.

Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan 1. Medan: USU Press. (11/04/13) (24/08/13)

Dokumen terkait