• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Fungsi dan Makna Katana Shinken Setelah Perang Dunia II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perubahan Fungsi dan Makna Katana Shinken Setelah Perang Dunia II"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN FUNGSI DAN MAKNA KATANA SHINKEN SETELAH PERANG DUNIA II

DAI NI JI SEKAI TAISENGO NO KATANA KANSURU TO IGI

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra

Jepang

Oleh

RISKY ZIVO LOISE NIM. 090 708 030

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERUBAHAN FUNGSI DAN MAKNA KATANA SHINKEN SETELAH PERANG DUNIA II

DAI NI JI SEKAI TAISENGO NO KATANA KANSURU TO IGI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

dalam bidang ilmu Sastra Jepang

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, MS., Ph.D.

NIP : 19580704 1984 12 1 001 NIP : 19600919 1988 03 1 001

Drs.EmanKusdiyana,M. Hum.

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Disetujui oleh : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

DepartemenSastraJepang Ketua,

NIP : 19600919 1988 03 1001 Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum.

(4)

3

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini berjudul Perubahan Fungsi dan Makna Katana Shinken Setelah Perang Dunia II, merupakan salah satu tugas akhir dalam melengkapi persyaratan untuk menyelesaikan program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatra Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak terdapat kekurangan serta masih jauh dari sempurna. Karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini dimasa mendatang. Dalam tahap-tahap penulisan skripsi ini penulis tidak lepas dari bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih secara khusus kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah menyediakan waktu untuk mengikuti sidang pertanggungjawaban skripsi ini.

(5)

4. Bapak Drs. Eman Kusdiyana M. Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah membantu mengoreksi penyelesaian skripsi ini.

5. Seluruh Staff Dosen serta pegawai di kantor Departemen Sastra Jepang yang telah memberikan ilmu dan membantu penulis selama menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Teristimewa ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibunda tercinta Ratni Br Ginting yang selalu memberikan doa, dukungan, serta dorongan moril maupun materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Untuk Andika Siagian Sensei dan Nurham Sensei yang telah membantu memberikan sumber dalam penyelesaian skripsi

8. Untuk Kurota Sembokuya (Kenny Sensei) yang memberikan saran dan sumber materi dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Buat Franz M.W Harahap SH, Fernando Jimmy Lukas Amk, Timothy A.K SE dan abang serta kakak rohani lainnya yang telah mementor saya dan mendukung penyelesaian skripsi selama ini.

10. Buat Reni Melisa Esther S.Ab dan Fetricya Naomi Harahap sahabat yang seperti saudari saya yang memberikan dukungan selama ini.

(6)

5

Atas semua ini penulis tidak dapat membalasnya. Penulis hanya dapat mendo’akan semoga seluruh bantuan yang telah diberikan kepada penulis akan diberi balasan yang berlipat ganda oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, Januari 2014 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Perumusan Masalah... 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan... 7

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori... 7

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 13

1.6 Metode Penelitian... 13

BAB II. TINJAUAN UMUM KATANA SHINKEN... 15

2.1 Bagian-Bagian Pedang Jepang... 16

2.2 Jokoto... 22

2.3 Koto... 20

2.4 Shinto... 30

2.5 Shinshinto... 33

2.6 Gendaito... 34

(8)

7

BAB III. KATANA SHINKEN DALAM MASYARAKAT JEEPANG

SETELAH PERANG DUNIA KE II... 38

3.1 Fungsi dan Makna Katana Shinken sebelum Perang Dunia ke II... 38

3.1.1 Fungsi Katana Shinken... 38

3.1.2 Makna Katana Shinken... 39

3.2 Fungsi dan Makna Katana Shinken Setelah Perang Dunia Ke II... 40

3.2.1 Fungsi Shinken Sebagai Barang Seni dan Perhiasan... 41

3.2.2 Fungsi Shinken Sebagai Benda Seni Beladiri... 42

. 3.2.3 Makna Shinken Sebagai Esensi Tradisional... 43

3.2.4 Makna Shinken Sebagai Benda dengan Esensi Spiritual... 45

3.3 Perbandingan Fungsi dan Makna Katana Shinken...47

3.3.1 Perbandingan Fungsi... 47

(9)

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN... 50

4.1 Kesimpulan... 50

4.2 Saran... 51

DAFTAR PUSTAKA

(10)

63 ABSTRAK

要旨

FUNGSI DAN MAKNA KATANA SHINKEN SETELAH PERANG DUNIA KE II

第二次世界大戦後

だ い に じ せ か い た い せ ん ご

の刀神剣の 関数

かんすう

と意義

Evolusi bentuk, fungsi dan makna pedang Jepang yang melahirkan shinken dalam proses ribuan tahun merupakan alasan utamanya. Pengaruh

perang, pemberontakan, unsur religius dan politik kebijakan pemerintah

merupakan bagian yang mempengaruhi kehadiran shinken. Sejarah panjang

い ぎ

Shinken adalah pedang Jepang yang memiliki arti pisau yang tajam.

Penyebutan shinken terhadap pedang yang tidak memiliki sertifikat NBHTK oleh

tosho bersertifikat merupakan hal yang tidak sopan. Hal tersebut dikarenakan

Jepang menganggap ilmu pembuatan shinken merupakan bagian dari harta

warisan kebudayaan negara Jepang. Penggunaan kata “katana” lebih dianjurkan

dalam penyebutan pedang yang mirip shinken.

神剣とは鋭い小刀の意味をもっている日本刀である。神剣の呼び

名は図書証明書に日本美術刀剣保存協会の証明書を持っていない刀に対し て、それは失礼である。なぜならば、日本人にとって神剣創造学は日本文

化遺産の一つの部分だと思われている。神剣に似ている刀の呼び名で「刀」

(11)

tersebut jugalah yang membuat katana shinken dianggap sebagai bagian sejarah

dan barang seni yang mengalami perubahan makna dan fungsi awalnya setelah

perang dunia ke 2.

何千年もの間、神剣を生産している日本刀の意味と機能と形の進

化は主な理由である。戦争、反乱、宗教的な要素、政治政策などの影響、 すべてのことは神剣の存在を影響していた。その長い歴史こそ刀神剣を一

つの歴史に思われ、第二次世界大戦後の初期関数と意味を変化している芸

術品であった。

Shinken yang awal mulanya bertujuan sebagai senjata berperang untuk

membunuh. Kemudian dapat dimiliki oleh siapapun, diproduksi tanpa batas dan

beredar luas dengan harga yang dapat dibeli banyak orang. Tetapi sekarang

berubah menjadi benda tajam yang digunakan sebagai perhiasan, barang seni

dan bagian dari peralatan beladiri. Hal tersebut terjadi begitu saja mengingat

pemerintah Jepang menyadari shinken merupakan bagian dari harta Jepang,

namun tidak dapat digunakan untuk berperang mengingat Jepang yang telah

memasuki masa damai. Sehingga peraturan baru adalah cara untuk

mempertahankan keberadaan shinken.

神剣はもともと殺すための武器としてを目標とした。それから誰

もが所有できるし、無限に生産されるし、それに大勢の人に買える値段で 広がってきた。しかし、現在は、武道具の部分、芸術品、アクセサリ-と

(12)

65

一つの部分だと自覚したので、そんなことでそのままに起こったが、日本

は平和な時代に入ったので戦争に使うわけにはいかない。それ故に、新し

い規則は神剣の存在を保護するための方法である。

Dari sisi makna, shinken tetap mengandung unsur religius didalamnya.

Hal tersebut dipengaruhi oleh legenda yang memaparkan pedang Jepang

merupakan satu dari tiga harta dewi amaterasu. Namun aplikasi makna tersebut

sudah mengalami perubahan cara dengan menyesuaikan keadaan di zaman

sekarang. Melakukan tameshigiri terhadap manusia yang di anggap buruk untuk

mencoba ketajaman shinken yang baru dibuat dianggap sah mengingat shinken

merupakan bagian benda suci, telah berubah menjadi tameshigiri dengan

menggunakan bambu atau tatami untuk melihat kemampuan memotong secara

praktis. Shinken yang membuat para samurai menganggap diri sendiri adalah

dewa perang berubah menjadi media pengusiran roh-roh jahat atau hal yang

tidak baik agar mendapat berkah keselamatan dan kesehatan.

意味的から、神剣のことでは宗教的な要素を含んでいる。そのこ とは日本刀が天照大神の財産の三文の一について物語る伝説に影響されて

いるからである。しかし、現代の状態に適応し、その意味の応用に対して

の見解が変わってきた。不良に思われている人間に対して、作りたての神 剣の切れ味を試すために試し切りをするのは正当だと思われていた。なぜ

かというと、神剣は実用的に切る力を見るのために畳とか竹で試し切りに

(13)

争の神だと考えさせる神剣は安全と無病息災のために邪気や良くないこと

を断ち切る媒体になって変わってきた。

Hal-hal demikian juga yang menjadi alasan mengapa katana shinken

dianggap sah untuk beredar dan dibawa di negara Jepang. Karena faktor fungsi dan makna yang berubah setelah perang dunia ke 2, shinken dianggap sebagai

barang seni yang juga memiliki nilai spritiual, bukan lagi senjata tajam terlarang

seperti pedang tajam atau bilah pisau pada umumnya.

なお、刀神剣が日本で持ってきて、回っているのは正当だ思われ

ている。第二次世界大戦後の変わった意義と関数の要素で神剣が精神的価

(14)

9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kesehariannya berinteraksi dengan sesamanya dengan menghasilkan apa yang disebut dengan peradaban. Semenjak terciptanya peradaban dan seiring dengan terus berkembangnya peradaban tersebut, melahirkan berbagai macam bentuk kebudayaan dan kebudayaan tersebut menghasilkan suatu karya (artefak) hasil kebudayaan dimana karya tersebut bertujuan membantu peradaban dalam hal kehidupan sosial, bekerja maupun dalam mempertahankan dan merebut sesuatu. Ahli antropologi Cateora kebudayaan merupakan kebudayaan material yang mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Hal ini berarti kebudyaan selalu berubah dan menyesuaikan diri dengan masyarakat sesuai kebutuhan situasi pada zamannya

Pedang sebagai hasil karya suatu kebudayaan tidak pernah lepas dari pola hidup masyarakat suatu bangsa, baik itu dalam hal nilai fungsi maupun makna. Dalam kebudayaan Jepang, jika dibandingkan dengan senjata lainnya, pedang terkhususnya “Katana Shinken” biasanya memiliki nilai kebanggaan, penghormatan yang paling tinggi dalam masyarakat Jepang. Hal tersebut dikarenakan nilai historis, unsur mistis, proses ribuan tahun peralihan pedang dan sejarah bangsa Jepang yang tidak bisa lepas dari pedang itu sendiri. Penyebutan

(15)

makna dao yang berarti pisau/belati di China. Pengertian Katana menurut kamus Jepang-Indonesia “Kenji Matsura” adalah pedang (hal 449).

Dapat dikatakan katana secara umum dan shinken Secara khusus sangat mendunia dewasa ini. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai macam film animasi anak yang memakai Katana Shinken di dalam animasi tersebut, maupun tersebar luasnya ilmu beladiri pedang Jepang di seluruh dunia yang menggunakan shinken sebagai alat utamanya seperti Shinkendo (眞劍道) yang memiliki arti jalan pedang

sesungguhnya dan mempelajari cara penggunaan shinken dalam pertempuran

Samurai, Iaido ( 居 合 道) merupakan beladiri pedang yang mengutamakan

kelembutan mengayun pedang, memasukkan dan mencabut pedang dari sarung,

dan membersihkan darah dari pedang , maupun Kenjutsu (剣術) ilmu pedang

yang mempelajari penggunaan pedang shinken zaman feudal. Katana Shinken yang dahulu merupakan bentuk peralihan dari tachi (pedang panjang) menjadi katana shinken dikarenakan efisiensi dalam penggunaannya, mengalami evolusi

yang jauh dari arti awal pembuatannya dan menjadi suatu hasil budaya yang memiliki nilai mistis, seni maupun fungsional.

Sejarah pedang Jepang dibagi menjadi beberapa bagian zaman pedang itu

sendiri, diantaranya adalah jokoto 上古刀(Pedang purba/Ancient swords, sekitar

tahun 900 Masehi), koto 古刀(Era pedang awal/old swords, sekitar tahun 900– 1596), Shinto 元新刀 (Era pedang baru/ new swords, pada tahun 1596–1780),

shinshinto新々刀 (Evolusi dari era Shinto/new new swords, pada tahun 1781–

(16)

11

1945), dan shinsakuto 新作刀 (Pedang Jepang masa kini/newly made swords 1953–sekarang)

Secara umum bagi para praktisi pedang maupun pembuat pedang di Jepang, pedang di Sebut “Shin ken (真剣) ” apabila memiliki klasifikasi seperti

berikut ini :

1. Pedang jepang / gaya jepang dengan nagasa (panjang bilah) lebih dari 2 shaku (60,6 cm)

2. Mengalami penempaan baik itu secara tradisional maupun modern (massal)

3. Mengikuti pakem yang ada, seperti bentuk bilah, shinogi zukuri, dll. Katana merupakan kata umum yang menunjuk pada pedang Jepang

pada masa sekarang. Pada zaman perang saudara (Sengoku Jidai) katana merupakan pedang yang paling penting bagi samurai. Bisa dikatakan pada zaman tersebut muncul kepercayaan roh seorang samurai ada pada pedang atau katananya. Sehingga walaupun seorang samurai tersebut mati di medan pertempuran ataupun dikarenakan sakit rohnya tetap ada pada katana Shinken tersebut.

Penggunaan tachi (太 刀) yang dalam kamus besar bahasa Jepang-Indonesia adalah pedang dalam bagian Pedang Jepang (日本刀) hanya berakhir

(17)

pertarungan duel dengan jarak dekat. Sebelum beralih kepada penggunaan shinken, tachi mengalami kendala dalam pertarungan jarak dekat, oleh sebab itu dibuatlah

uchigatana (打刀) yang merupakan pedang dengan ukuran 70 centimeter dan

dibuat sebagai pendamping tachi yang dapat digunakan dalam pertarungan jarak dekat. Pada periode akhir muromachi terjadi masa peralihan pedang, peralihan tersebut terjadi karena perubahan taktik perang yang tadinya kalveleri (naik kuda) berubah menjadi infantri (jalan) sehingga penggunaan katana shinken dianggap lebih praktis dalam pertarungan jarak dekat. Efisiensilah yang menjadi alasan utama dalam evolusi pedang

Shin ken 真剣 sendiri artinya pedang sungguhan (live blade/pedang tajam).

Secara terminologi, semua pedang yang memenuhi kaidah sebagai pedang Jepang walau dibuat secara modern dan fungsional (tajam) bisa disebut sebagai shinken. Namun orang Jepang memandang tinggi budaya mereka sendiri, bagi mereka

Shinken yang dibuat oleh Tosho 刀 匠 yang merupakan pekerjaan dengan kemampuan membuat bilah pedang dari biji besi menjadi pedang asli dan merupakan orang Jepang yang benar-benar dapat dianggap sebagai Shinken, dan bagi orang Jepang segala bentuk pedang buatan pabrik maupun Tosho yang bukan asli orang Jepang adalah sampah atau biasa disebut pisau besar.

(18)

13

satu benda yang sampai saat ini dijadikan salah satu kebanggaan masyarakat Jepang.

Pedang sebelum perang dunia ke2 dianggap sebagai senjata paling muktahir dan membanggakan. Hal ini dikarenakan harga pembuatan pedang yang tinggi dan hanya orang terterntu saja yang dapat memilikinya. Katana Shinken yang masih bertahan sampai saat ini, penggunaannya sudah memiliki berbagai macam evolusi bentuk, fungsi dan makna Katana Shinken itu sendiri. Dengan masuknya senjata api ke Jepang maka muncullah formasi baru yaitu pasukan senapan. Maka katana shinken mengalami perubahan untuk dapat menembus baju besi yang lebih kuat yang sesungguhnya baju tersebut digunakan untuk menahan peluru. Sehingga pada abad ke 16 tachi yang pemakaiannya semakin berkurang akhirnya ditinggalkan.

(19)

untuk membuat pedang kembali. Akan tetapi Katana Shinken pada zaman setelah perang dunia ke-2 banyak mengalami perubahan dalam pandangan masyarakat Jepang, baik fungsi dan maknanya.

Untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah perang Dunia II penulis memfokuskan tulisan ini tentang Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah perang Dunia II sebagai skripsi.

Dengan demikian penulis membuat judul skripsi ini “ Fungsi Dan Makna Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah perang Dunia II ”.

1.2. Perumusan masalah

Pada tahun 1946 sampai dengan tahun 1953 hanya 60 Shinken yang

ditempa untuk keperluan upacara pembaharuan kuil Shinto yaitu Ise Jingū (伊勢

神宮) yang didedikasikan kepada dewi Amaterasu. Upacara keagamaan tersebut

(20)

15

dengan pengetahuan warisan para tosho dengan fungsi shinken yang melegenda akan kekuatan, nilai seni dan nilai spiritual didalamnya, walaupun bukan lagi sebuah senjata yang efektif dan mengalami perubahan yang dianggap sebuah alat pertempuran menjadi barang seni yang mengandung nilai spiritual. Dari hal tersebut dan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, ada 2 masalah yang akan dikaji dalam skripsi ini adalah :

1. Apa fungsi Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II ? 2. Apa makna Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II ?

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Untuk menghindari batasan yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian pada kajian mengenai fungsi dan makna Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II. Penulis sebelum memaparkan uraian pembahasan pada bab III akan menjelaskan terlebih dahulu sejarah pedang Jepang tiap zamannya, pengertian katana shinken, dan konsep tosho. Hal ini diharapkan dapat memberi kejelasan gambaran mengenai fungsi dan makna katana shinken dalam masyarakat Jepang setelah perang dunia ke II.

1.4. Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori

1.4.1. Tinjauan Pustaka

(21)

Menurut Kroeber dan Kluckhohn(1952) mengumpulkan berpuluh-puluh defenisi yang dibuat ahli-ahli antropologi dan membaginya atas 6 golongan, yaitu : (1) depskriptif, yang menekankan unsur-unsur kebudayaan, (2) Historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan, (3) Normatif, yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku, (4) Psikologis, yang menekankan kegunaaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup, (5) Struktural, yang menekan sifat kebudayaan sebagai suatu system yang berpola dan teratur, (6) Genetika, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia (P.W.J.Nababan,1984 : 49).

Herskovits dan Malinowski

Menurut Eppink

) mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah ini disebut dengan Cultural-Determinism. Herskovist memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganik.

Sedangkan menurut Tylor

), Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial,religious, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistic yang menjadi cirri khas suatu masyarakat.

(22)

17

kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat”.

Dari berbagai defenisi tersebut, dapat diperoleh pengertian bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi system idea tau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuannya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat

1.4.2. Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disorot (Nawawi, 2001:39-40). Tidak mungkin melakukan penelitian tanpa teori dan tidak mungkin mengembangkan suatu teori tanpa penelitian.

(23)

Teori menyediakan konsep-konsep yang relevan, asumsi-asumsi dasar yang bisa digunakan, membantu dalam mengarahkan pertanyaan penelitian yang dapat diajukan dan membantu dalam memberikan makna terhadap data. Mengacu kepada judul yang diangkat ada 2 teori yang digunakan penulis yaitu teori Fungsionalisme Struktural dan teori Semiotik Pragmatik Arsitektur. Didalam pendekatan ini kita dapat melakukan penguraian data-data yang diperoleh secara kronologis.

Teori Fungsionalisme Struktural mengutarakan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian dan struktur-struktur yang saling berkaitan dan saling membutuhkan keseimbangan, fungsionalisme struktural lebih mengacu pada keseimbangan (Robert K. Merton, 1937) html

Terciptanya suatu benda kebudayaan tidak terlepas dari kondisi sosial atau kehidupan masyarakat. Demikian halnya dengan Katana Shinken terbentuk karena pengaruh banyak faktor yang saling berkaitan didalam kehidupan masyarakat Jepang. Karena Katana Shinken sendiri mengalami evolusi penggunaan dikarenakan faktor politik, peperangan dan kebutuhan didalam masyarakat Jepang

(24)

19

maka penelitian akan fungsi Katana Shinken dapat dilakukan dengan teori Fungsionalisme Struktural

Semiotik pragmatik arsitektur menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Pragmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.

(25)

suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.

Benda hasil kebudayaan selain dari segi fungsi tentu mempunyai makna bagi masyarakat. Katana Shinken merupakan benda kebanggaan masyarakat Jepang yang mempunyai berbagai makna yang berubah-ubah didalamnya, merupakan benda suci, memiliki nilai spiritual, maupun benda dengan nilai kebanggaan tinggi bagi Jepang. Dari berbagai macam makna yang berevolusi tersebut maka penelitian akan makna Katana Shinken dapat dilakukan menggunakan teori Semiotik Pragmatik Arsitektur.

(26)

21 1.5 .Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan fungsi Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II

2. Untuk mengetahui makna Katana Shinken pada masyarakat Jepang setelah Perang Dunia II

1.5.2. Manfaat Penelitian

1. Penulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi ataupun memberikan informasi bagi masyarakat secara umum maupun mahasiswa yang berminat terhadap Katana Shinken.

2. Dengan adanya penulisan ini diharapkan Katana Shinken dapat semakin dikenal oleh masyarakat luas sehingga membuat masyarakat luas tersebut tertarik mengetahui dan mempelajari hasil budaya Jepang khususnya tentang Katana Shinken.

1.6. Metode penelitian

Menurut Djajasudarma (1993:3), metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian dalam menggunakan data. Metode memiliki peran yang sangat penting, metode merupakan syarat atau langkah-langkah yang dilakukan dalam sebuah penelitian.

(27)

metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan memperjelas secara tepat sifat-sifat individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekwensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala lain dalam masyarakat. Dalam hal ini sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan (Koentjraningrat,1991:29).

Sedangkan menurut Hadari dan Mimi martini (1994:176), penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian Kuantitatif.

(28)

23

BAB II

TINJAUAN UMUM KATANA SHINKEN

Dalam bab ini akan dibahas secara mendalam mengenai bagian-bagian pedang Jepang yang merupakan asal usul katana shinken untuk menjelaskan perbedaan jenis pedang, dan evolusi apa saja yang terjadi pada zaman tiap-tiap pedang itu sendiri sehingga katana shinken ada setelah mengalami perubahan bentuk dari tachi menjadi uchigatana kemudian katana shinken. Sugata (姿)

yaitu perubahan bentuk bilah pedang Jepang dijelaskan pada bab ini, hal tersebut dilakukan untuk menghindari pembahasan Nihonto yang terlalu luas dan hanya memusat pada Jenis pedang yang menjadi cikal bakal katana shinken saja.

2.1 Bagian-Bagian Pedang Jepang

Pedang Jepang sangat berbeda dari segala jenis pedang dari bangsa lain. Hal tersebut dikarenakan setiap detail dari pedang Jepang itu sendiri, dipandang berharga oleh masyarakat maupun Tosho. Detail dari setiap bagian pedang Jepang mengalami perubahan pada tiap zaman yang membuat pedang berubah Fungsi dan Maknanya. Untuk membantu penjelasan akan perubahan tiap zaman pedang Jepang maka perlu di jabarkan bagian pedang Jepang itu sendiri.

Bagian – bagian dari satu set pedang Jepang, antara lain :

(29)

2. Yokote : Area dalam ujung pedang, atau disebut sebagai punggung kissaki.

3. Shinogi : Sebuah garis menonjol di kedua sisi bilah pedang, yang menyambung sampai ujung pedang daerah yokote. Garis ini biasanya lebih dekat ke area belakang (mune) dari pada sisi tajam (ha).

4. Ha : Bagian sisi bawah pedang yang merupakan area tajam.

5. Hamon : Garis tempa yang berkelok pada kedua sisi pedang yang berada di antara tempahan ha dan ji, garis ini merupakan

8. Shinogiji : Area diantara shinogi dan mune.

9. Mune : Bagian punggung bilah pedang. Dapat dikatakan bagian tumpul atas pedang.

10.Munamachi : Sudut lekukan pada bagian tepi punggung pedang (mune). Terletak pada dekat area pangkal besi genggaman pedang (nakago).

(30)

25

12.Habakimoto : Wilayah yang dicakup oleh habaki, yaitu bagian pangkal sisi tajam pedang yang dipasang diantara nakago dan dan bagian yang dipoles ketika pedang sudah terpasang dengan gagang kayu.

13.Nakago : Bagian kasar pedang yang tidak dipoles dan ditempa secara tajam, yang merupakan pangkal besi yang akan menjadi gagang pedang setelah dipasang penutup kayu. Dalam bahasa Inggris disebut tang.

14.Yasurime : Semacam tulisan tanda pada tang, non fungsional pada pertarungan tetapi banyak variasi tulisan/gambar yang dibuat dari penempa-penempa pedang maupun sekolah penempa pedang dan ditujukan sebagai tanda sejenis tangan tambahan.

15.Mei : Tandatangan yang terletak pada tang dibawah yasurime.

16.Nakagojiri : Bagian pangkal tang.

17.Mekugiana : Lubang untuk mempertahankan peg (mekugi) yang memegang dan mempertahankan tang pada gagang kayu.

18.Nagasa : Panjang, didefinisikan sebagai ukuran dari ujung pedang (kissaki) sampai munamachi.

19.Sori : Kurva atau lekukan, yang didefinisikan sebagai jarak tegak lurus terbesar antara nagasa dan mune.

(31)

21.Motohaba : Lebar bilah di habakimoto. Istilah fumbari digunakan apabila bilah yang lebih luas di motohaba dibanding sakihaba

22.Monouchi : Bagian bilah pedang utama yang digunakan untuk pemotongan, dihitung dari kissaki kedaerah bilah bawa sepanjang 5-6 inci (Kanzan Sato, 1983;15-16)

2.2 Jokoto ( Sampai tahun 900 )

Sekitar setelah zaman batu dan selama zaman besi, teknik pembuatan pedang pertama kali diperkenalkan di Jepang dari daratan Asia. Tidak jelas kapan tepatnya hal tersebut terjadi. Tetapi dari pemeriksaan penemuan pedang yang telah digali dari tumuli ( bukit kecil / gundukan tanah ) dan kofun, membuat seluruh arkeolog Jepang memperkirakan bahwa sekitar abad ke empat atau lima masehi merupakan awal pedang zaman Jokoto berada. Tentu keberadaan pedang sebenarnya sudah ada sebelum abad ke empat, namun penggunaan pedang secara meluas berada pada waktu tersebut (Kanzan Sato, 1983;28).

(32)

27

Pada tahap pertama pembangunan Jepang, impor alat besi dan persenjataan dari benua-benua penempa besi masuk ke negara Jepang. Pedang logam tertua yang tercatat di Jepang merupakan dua buah pedang yang dikirim sebagai hadiah untuk ratu Himiko dari China selama dinasti Wei pada sekitar tahun 240 masehi. Pada tahun 280 masehi banyak pedang besi yang di impor dari China ke Jepang. Tosho dan para pelajar penempa pedang di zaman sekarang percaya banyak temuan pedang purba merupakan buatan China yang dikirim ke Jepang dan hanya beberapa yang dibuat oleh orang Jepang menyerupai buatan China, beberapa diantaranya sangat tipis. Adanya kopian pedang China buatan Jepang dikarenakan meningkatnya kebutuhan akan pedang besi tersebut, maka sekitar abad ke empat atau ke lima pedang besi baja sudah dibuat di Jepang (Yoshinda, 1987:20).

(33)

centimeter. Oleh karena hal tersebut sebuah pedang dengan ukuran sepuluh kepalan dapat mencapai 90 centimeter sampai dengan 1 meter panjangnya.

Salah satu jenis bilah pedang pada zaman Jokoto adalah jenis bilah pedang Kiriha-zukuri, bilahnya dengan sisi datar namun dengan sudut tajam meruncing

pada ujungnya dan tajam pada sisi ha. Pedang lain adalah jenis bilah pedang Kamasu-kissaki atau hira-zukuri yang merupakan pedang dengan bilah datar namun memiliki ha(sisi tajam) di kedua sisinya. Kedua pedang lurus tersebut dipengaruhi oleh mencontoh bentuk pedang China yang sebelumnya diperoleh dari jalur perdagangan semenanjung Korea. Walaupun sudah ditinggalkan zaman karena rentan akan patah dan efisiensinya kedua jenis pedang ini selanjutnya tetap digunakan sebagai salah satu alat persembahan di kuil untuk dewi Amaterasu.

Sebuah pedang jenis terakhir pada era Jokoto adalah jenis bilah Kissaki-moroha-zukuri diperkirakan dibuat dan masih digunakan pada sekitar tahun 700

sampai dengan 800 masehi. Pedang ini merupakan pedang era purba Jokoto yang mengalami evolusi metalurgi yang membuat logamnya menjadi lebih kuat. Pedang jenis ini yang paling terkenal diberi nama Kogarasu Maru (gagak kecil) dibuat pada tahun 900 masehi yang menandai akhir era pedang zaman Jokoto

2.3 Koto (900 – 1596)

(34)

29

keagamaan, pedang pada era Koto banyak digunakan dalam pertempuran. Pada zaman ini juga para tosho memulai menandatangani pangkal besi genggaman pedang. Salah satu pedang tertua yang masih ada di museum Jepang yang memiliki tanda tangan tosho adalah pedang yang di tempa oleh Sanjo Munechika.

Pedang pada era Koto disebut dengan Tachi digunakan dalam pertempuran berkuda (kalveleri). Teknik pertarungan diatas kuda gaya pasukan Jepang lebih mengutamakan menyayat atau memotong, daripada menusuk. Dalam situasi gaya pertarungan tersebut, pedang dengan bilah melengkung lebih menguntungkan daripada bilah yang lurus. Pedang tachi harus ringan untuk dapat dipegang dengan satu tangan dalam penggunaannya dengan mengendarai kuda. Pedang pada era Koto berukuran 1 meter, hampir sama dengan ukuran pedang era Jokoto. Namun perbedaan jelas terletak pada bentuknya yang melengkung. Pedang ini digunakan dengan memakai sarung pedang (saya) diselipkan di pinggang dengan kissaki dan sisi tajam menghadap kebawah.

Pedang ini menggunakan bentuk fumbari yaitu bilah yang lebih luas di motohaba dibanding sakihaba, kebalikan dari bentuk Shinken. Pada beberapa temuan pedang ini masih ditemukan hamon yang masih terjaga. Untuk jenis pedang Tachi yang masih ada sampai sekarang tergolong sebagai peninggalan era sangat awal lahirnya pedang Jepang yang digunakan dalam pertempuran.

(35)

penempa pedang memiliki hak ekslusif dalam memproduksi bilah-bilah pedang. Banyak ditemukan Tachi dari zaman ini dengan ukiran motif (horimono) Buddha pada bagian Yasurime .(Yoshinda, 1987:22). Horimono motif religi yang ditemukan pada bilah pedang semenjak era Heian sampai Nambokucho adalah motif Buddha pelindung Fudo, motif dewa perang dan pemanah Hachiman, motif dewi matahari Amaterasu, dan motif dewa kuil Kasuga. Dimana hal tersebut menunjukkan pedang para samurai dianggap suci dan membuat para samurai dilindungi oleh para dewa (Sato, 1983:64).

Seiring perubahan zaman Heian menjadi zaman Kamakura (1185-1333) , pembuatan pedang menjadi lebih maju. Jepang berada dibawah kekuasaan kelas ksatria. Periode Kamakura sering di sebut sebagai zaman keemasan pedang Jepang. Perkembangan ini didorong oleh kaisar Gotoba (1180-1239) yang memerintahkan untuk mengumpulkan pandai besi dan penempa pedang yang terbaik pada saat itu sehingga penggunaan baja karbon kualitas tinggi banyak digunakan dalam penempaan pedang di zaman tersebut.

(36)

31

(kelengkungan) terlihat terlalu melengkung dengan titik sori berada dekat dengan sisi nakago. Jenis sori ini disebut Koshi-zori yang berarti pedang melengkung di pinggang bilah (tang). Lebar dekat kissaki (Monouchi) tidak begitu berbeda dari dekat Nakago (Habakimoto), jenis kissaki, relatif relative lebih pendek dan disebut ko-kissaki (kissaki kecil). Bentuk bilah tersebut mendominasi pada periode ini mungkin karena tachi ini digunakan dengan berkuda untuk menusuk tenggorokan musuh, yang dianggap lebih efisien daripada menebas. Panjang standar dari periode ini adalah sekitar 79-80cm. Hamon pada periode ini didasarkan pada Sugu-ha, yaitu lurus (Sato, 1983:52).

Pedang era pertengahan Kamakura dipengaruhi oleh terjadinya perang pada tahun 1232, keluarga Hojo memegang kekuasaan dan kewenangan shogun pun semakin diperluas. Kamakura menjadi pusat budaya Samurai dan permintaan akan pedang pun meningkat. Keshogunan Kamakura menarik beberapa tosho dengan keterampilan unggul dari Kyoto dan Okayama. Para tosho pindah dengan membawa keluarga untuk tinggal permanen, sehingga Kamakura menjadi tempat pusat produksi pedang. Bentuk pedang pada zaman ini menjadi lebih kuat dari zaman sebelumnya. Bilah menjadi lebih lebar, tetapi ada perbedaan antara lebar kissaki dengan nakago. Bilah menjadi lebih tebal dari sebelumnya, selain itu,

kissaki berubah menjadi Ikubi dan sisi tajam menjadi Hamaguri-ba karena bagian

(37)

dimana mereka membuat hamon dengan pola obusa choji atau nama lainnya juka choji yang merupakan pola hamon yang popular pada zaman tersebut.

(38)

33

Setelah periode pedang era Koto Kamakura berganti menjadi pedang era

Koto periode Nambokucho (1333-1392), kaisar Godaigo (後醍醐) melakukan

pemberontakan untuk menggulingkan Keshogunan dalam upaya mengembalikan kekuatan istana kekaisaran dan memperoleh kendali negara. Tapi setelah hanya dua tahun berkuasa Ashikaga Takauji i (足利 尊氏) mengangkat Kaisar sendiri

yaitu Komyo ((光 明) untuk berkuasa. Kekuatan terbelah dua pemerintahan,

Godaigo memerintah di Yoshino (Nara) dan Komyo membangun pemerintah di Kyoto. Bagian utara (Nan) dan selatan (Hoku) yang menyebabkan peperangan terjadi selama 60 tahun. Perang saudara tersebut membentuk suatu strategi peperangan baru yang membuat pedang menjadi semakin flamboyan dengan bilah pisau lebar, jenis fumbari yang mengecil. Selama periode Nambakucho sebuah tipe hamon baru tercipta dan disebut dengan Hitatsura yang digunakan untuk pertama kalinya pada pedang produksi provinsi Sagami. Pada hamon bergaya

hitatsura tanda yang tertinggal karena proses tempering (teknik

pembakaran/pemanasan logam) muncul di daerah di sekitar daerah pinggir pedang. Dimana pada tipe tersebut akan mempengaruhi sejarah pembuatan pedang Jepang kedepannya.

(39)

bentuk hamon pada era ini adalah hamon bentuk klasik notare (lebar dan memiliki garis gelombang) dan gunome (garis gelombang yang tajam) (Sato, 1983:6).

Pada tahun 1392, di akhir era Nambokucho, dua kubu yang berperang menjadi satu. Ashokaga Yoshimochi (足 利 義 持 1386-1428) membentuk

pemerintahan Muromachi distrik Kyoto. Suasana damai terbentuk, tetapi hal tersebut berlangsung singkat, karena kenyataannya. Shogun Ashikaga secara de facto tidak berdaya, dan kekuasaan sesungguhnya dipegang oleh Daimyo. Kondisi

yang sangat berbahaya ini mau tidak mau meninggalkan sebuah masalah. Pertempuran untuk kekuasaan sesungguhnya dimulai pada 1467 dengan apa yang disebut perang Onin yang memulai terjadinya Sengoku Jidai (zaman perang saudara). Jepang berada dalam keadaan perang yang konstan selama hampir seratus tahun lamanya, sampai Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieasu akhirnya berhasil memperoleh kekuasaan dan menenangkan negara.

(40)

35

samurai percaya roh seorang pemakai pedang akan tetap berada pada pedangnya apabila pemilik tersebut mati dalam pertempuran. Hal ini berlangsung sampai masa kini, baik pedang uchigatana maupun katana shinken yang merupakan peninggalan leluhur dianggap memiliki roh didalamnya.

Untuk melihat perubahan pedang tersebut dapat dibagi menjadi 3 bagian era pedang Muromachi, yaitu era awal pedang Muromachi (1394-1466), era pedang pertengahan Muromachi (1467-1554) dan era pedang akhir Muromachi (1555-1595).

Pada era awal pedang Muromachi, dengan berubahnya strategi peperangan yang tadinya kavaleri (berkuda) menjadi infantry (berjalan kaki) yang membuat kekuatan dan taktik perang pasukan berubah. Maka teknik bertarung dengan menggunakan pedang dan jenis pedang yang digunakan pun terpengaruh. Walaupun pada era ini tachi masih di produksi dan dipakai, namun pedang uchigatana yang penggunaan awalnya sebagai pendamping tachi mengalami pembuatan besar-besaran oleh para tosho dikarenakan intensitas pemakaiannya yang meningkat tajam. Uchigatana mudah dibawa, pusat kelengkungannya (sori) tepat berada ditengah bilah besi pedang, penempatan pedang berada di Obi (sabuk) dengan sisi tajam menghadap keatas yang merupakan kebalikan dari posisi tachi dan membuatnya dapat cepat ditarik dari sarung untuk langsung

melakukan Battōjutsu (抜刀術 ) atau seni mencabut pedang dari saya (sarung

(41)

Era pertengahan pedang Muromachi, dimana pergerakan pasukan yang strategis dan efisien semakin penting, membuat ukuran pedang menjadi semakin pendek. Kebanyakan pedang yang diproduksi pada periode ini memiliki panjang sekitar 24 inci atau 60 cm. Pedang era ini dapat digunakan menggunakan satu tangan untuk memotong dan cepat dalam melakukan battojutsu. Tidak ada perbedaan lebar antara monouchi dan habakimoto. Nakago menjadi lebih pendek yang memungkinkan pedang digunakan dengan genggaman satu tangan. Peranan tachi digantikan dalam dunia militer oleh uchigatana pada era ini. Meningkatnya

kebutuhan pedang pada era ini membuat pedang diproduksi secara massal sehingga hanya sedikit saja pedang yang ditemukan memiliki kualitas tinggi. Istilah Kazuuchimono atau Taba - gatana digunakan untuk menunjukkan pedang dari segi kualitas pada zaman ini . Kazu-uchi berarti diproduksi secara massal dan Taba-gatana berarti mereka dijual dalam bundel/paket. Pedang jenis ini dijual dan

di ekspor ke China pada saat dinasti Ming sebanyak sepuluh ribu bilah.

(42)

37

Tanegashima teppo pun berhasil dibuat. Daimyo segera menyadari potensi senjata seperti itu, dan semenjak saat itu Jepang menjadi negara dengan jumlah arquebuses tertinggi didunia. Teppo tersebut secara total menggantikan yumi yang merupakan busur tradisional.

Oda Nobunaga menggunakan 3000 teppo dengan sangat efektif dalam pertempuran Nagashino pada tahun 1573. Pasukan dari klan Takeda yang dianggap terbaik dan tak dipukul mundur oleh Ashigaru (pasukan infantry) yang tidak cakap dalam berperang, tetapi dilatih untuk menggunakan teppo. Dikarenakan maraknya penggunaan teppo maka evolusi baju zirah pasukan infantry sampai kelas samurai pun berubah. Beberapa baju zirah menjadi berat dan tebal untuk melindungi dari peluru yang malah menyebabkan pedang uchigatana tidak mampu menembusnya sehingga di periode selanjutnya katana

muncul untuk menggantikan pedang uchigatana. Setelah kematian Oda Nobunaga, negara Jepang bersatu di bawah penerusnya Toyotomi Hideyoshi, Sengokujidai dan era pedang koto pun berakhir.

(43)

2.4Shinto (1596 – 1780)

Perkembangan yang paling penting di akhir abad keenambelas dan awal abad ketujuhbelas adalah hampir tidak ada lagi yang menggunakan tachi dan lahirnya era katana shinken serta penerapan baru tentang kebiasaan memakai sepasang katana panjang dan pendek (wakizashi) bersama-sama. Beberapa bilah pedang dibuat lebar dan tebal dengan kissaki yang lebih besar dari zaman sebelumnya.

Zaman Momoya dan zaman Edo masuk dalam evolusi katana shinken

yang ada saat ini. Semenjak periode Momoya era pedang disebut Shinto (Sato, 1983:68). Shinto berarti "pedang baru" dan memasuki penggunaan umum pedang dalam waktu Meiji. Hal ini mengacu pada pedang yang dibuat dengan bahan-bahan baru dan metode baru, yang keduanya menggunakan teknologi terbaru. Hal ini berlaku terutama untuk proses penggalian baja besi terbaik dari bijih besi Jepang (tamahagane), yang pada zaman ini memberikan bahan yang lebih baik untuk menempa. Semua proses ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi permintaan besar katana shinken yang berlangsung selama 100 tahun kedepan, tosho pada zaman ini memproduksi pedang secara massal untuk kebutuhan

(44)

39

yang rumit sebagai ajang pamer status sosial daripada fungsi pertempurannya itu sendiri dapat dikatakan era ini merupakan era evolusi terbaik metalurgi bilah pedang jepang namun kemerosotan pedang Jepang secara makna.

Zaman Edo merupakan era pedang satu-satunya yang memiliki 2 era pedang dalam 1 periode pemerintahan yaitu Shinto dan Shinshinto, pada zaman ini pedang Shinto dibagi menjadi 3 bagian waktu, diantaranya Kaigen Shinto (1596-1623), Kanbun Shinto (1658-1683), dan Genroku Shinto (1684-1763). Era pedang Keigen Shinto diambil dari inisial Keicho dan Genna. Pedang era ini memiliki mihaba yang hampir sama lebarnya pada kissaki dan dekat nakago. Bentuk kissakinya adalah o-kissaki dengan kasane tebal.

(45)

yang rending dibawah samurai. Sangat banyak wakizashi yang ditemukan daripada shinken dikarenakan pedagang dilarang untuk memiliki katana. Meskipun begitu, beberapa kelas kalangan pedagang kaya tetap memiliki katana shinken. Pedang buatan Sukehiro adalah yang paling terkenal di Osaka pada

periode ini. Dimana bentuk hamon yang disebut toran-ha menjadi sebuah mode

dan yakidashi yaitu bentuk lereng miring dari habakimoto muncul untuk yang

pertama kalinya (Sato, 1983:70). Pada periode ini terlihat dimana katana shinken buatan tosho Edo lebih mengarah kepada fungsi penggunaan pertempuran dan Osaka kepada keindahan bentuk. Bentu posisi sori pada shinken jaman ini semakin mengecil sehingga pedang menjadi tampak sedikit lurus.

Era pedang Genroku Shinto dipercaya sebagai era keemasan seni dan manufaktur pedang Jepang. Orang-orang termasuk kalangan Samurai jatuh kedalam kebiasaan mewah, mulai rusak, memeras dan korupsi dikarenakan tidak adanya lagi kegiatan perang yang mempengaruhi produksi katana shinken. Pada

zaman ini tosho menderita secara financial akibat turunnya budo (( dikalangan samurai itu sendiri. Keadaan finansial berbanding lurus dengan masa damai tanpa perang yang mengakibatkan katana shinken tidak terlalu memiliki fungsi dan mengalami penurunan yang tajam dalam permintaan. Tokugawa

Yoshimune (徳 川 吉 宗) yang merupakan shogun kedelapan bertindak untuk

(46)

41

wilayah mereka dan memanggil mereka ke istana Edo, serta memerintahkan mereka untuk membuat shinken di sana. Yoshimune memilih tiga katana shinken buatan tosho yang paling baik dan mengizinkan mereka untuk mengukir Aoi-mon (lambang keluarga Tokugawa) pada karya-karya mereka. Bentuk shinken dalam periode ini tidak hampir lurus seperti di periode pedang Kanbun Shinto, tetapi kembali melengkung dan lebar dekat kissaki lebih kecil dari dekat nakago. Tosho mulai bermain dengan teknik mereka pada hamon untuk menciptakan shinken yang indah agar diminati.. Gunung Fuji, seorang ibu di atas air dan desain khayalan dapat ditemukan di hamon periode ini.

2.5Shinshinto (1781 – 1876)

Katana pada zaman Edo akhir ini dipengaruhi teknik pembuatan katana

(47)

Pada era pedang ini juga shinken mengalami dua bentuk perbedaan fungsi penggunaan yang di ciptakan oleh tosho itu sendiri. Tosho pertama menekankan interaksi tekstur pada penggunaan logam, sedangkan yang lain menekankan seni yang terpahat pada bilah shinken yang dipengaruhi masuknya pencampuran pedang era koto. Pada tahun 1841 tosho semakin mengalami kesulitan dalam memproduksi pedang karena pemerintah. Setelah sebuah periode panjang inflasi, keshogunan meminta agar tosho menjual katana shinken dipasaran dengan harga yang diturunkan (Yoshindo 1987:27). Penggunaan kata nihontō dan shinken muncul dan menjadi sering digunakan pada era ini dikarenakan masuknya pedang dari barat dan di adopsi menjadi kata yang merujuk pada pedang Jepang untuk membedakannya dengan Yoto (洋 刀)

2.6Gendaito (1876-1945)

Larangan total kepemilikan pedang muncul setelah jatuhnya keshogunan Tokugawa dan diambilnya kekuasaan pemerintahan oleh kaisar Meiji yang mencoba memodernisasi Jepang yang disebut dengan Restorasi Meiji. Dalam rangka memodernisasi bangsa, Kaisar Meiji menghapus kelas tradisional kuno dan membangun kehidupan sosial yang lebih modern dimasyarakat. Samurai tidak diberi hak istimewa lagi, termasuk hak untuk membawa katana yang telah menjadi hak istimewa samurai selama hampir 250 tahun lamanya. Peraturan larangan membawa katana shinken di muka umum dan larangan melakukan tameshigiri dengan menggunakan mahluk hidup mulai diberlakukan.

(48)

43

pengaruh larangan pembuatan pedang tradisional Jepang membuat tosho meninggalkan ilmu pengetahuan yang begitu hebat dari leluhur-leluhur mereka terkubur begitu saja. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pembuatan pedang secara tradisional di Jepang berhenti. Kaisar sendiri memiliki beberapa tosho kerajaan untuk membuat katana shinken bagi dirinya sendiri secara tradisional sebagai barang seni / perhiasan (Yoshindo 1987:27).

Namun beberapa tahun setelah larangan tersebut, setelah perang Sino Jepang dan perang Russo Jepang (1894-1895 Dan 1904-5), katana kembali diproduksi secara masal untuk keperluan kalangan militer dan tentara nasional. Pedang masa ini disebut era gendaito (pedang modern) namun tidak dapat disebut

shinken melainkan Gunto. Katana gunto dibuat dengan pengaruh pengalaman

petualangan militer dari kedua perang tersebut. Mayoritas katana gunto tidak memiliki hamon, bilah pedang ditempa menggunakan baja cetakan pabrik dengan bentuk menyerupai shinken tradisional buatan tosho, namun tidak dibuat habakimoto, maupun bentuk keindahan lainnya.

2.8Shinsakuto (1953 - sekarang)

(49)

Meskipun beberapa Nihonto telah dikembalikan dan di simpan negara, namun katana Honjo beserta katana bersejarah lain masih hilang sampai sekarang. Pada

masa ini seni pedang Jepang berada di ambang kepunahan.

Ketakutan akan punahnya tradisi pembuatan pedang membuat departemen kebudayaan Jepang pada 1948 mendirikan Nihon Bijutsu Token Hozon Kyokai

(日本美術刀剣保存協会) (NBTHK) atau disebut Lembaga Pelestarian Seni Pedang Jepang yang merupakan lembaga pemerintah dengan tuga mencatat, melestarikan dan mendaftarkan tiap bilah pedang antik. Sisi lain pendirian lembaga tersebut adalah tanggapan terhadap larangan pembuatan pedang setelah perang dunia ke2 terhadap pihak sekutu. Hingga hasilnya sampai tahun 1953 dimana Jepang berdaulat kembali memperbolehkan pembuatan katana secara tradisional, namun dalam pembuatannya haruslah bertujuan untuk keperluan seni semata dan bukan lagi instrumen perang. Untuk mencegah produksi dalam skala masal yang akan membuat hilangnya nilai estetika sebuah katana dan menjadikannya barang murahan, NBTHK memutuskan untuk memberlakukan peraturan untuk para tosho yang berlaku sampai dengan sekarang dimana dari peraturan tersebut era pedang Jepang disebut Shinsakuto atau pedang Jepang masa kini.

(50)

45

orang Jepang menerapkan kata katana sebagai sebutan umum untuk pedang dan shinken sebagai kata khusus untuk pedang yang benar-benar buatan tosho Jepang.

Peraturan yang berlaku dalam pembuatan Nihonto di Jepang adalah,

1. Hanya tosho berlisensi yang diizinkan membuat Nihonto (instrumen pemotongan dengan bilah tajam lebih dari 6 inci, memiliki hamon, dan lubang paku pada bagian tang, melebihkan maupun mengurangi criteria dianggap tidak tunduk pada peraturan). Lisensi dapat diperoleh hanya dengan belajar dan magang di bawah tosho berlisensi selama minimal lima tahun.

2. Seorang tosho berlisensi hanya di izinkan membuat 2 bilah katana shinken untuk satu bulannya.

(51)

BAB III

KATANA SHINKEN DALAM MASYARAKAT JEPANG

SETELAH PERANG DUNIA KE II

Untuk dapat melihat perbedaan yang mencolok mengenai Fungsi dan makna katana shinken dalam masyarakat Jepang setelah perang dunia ke 2, haruslah di jelaskan mengenai fungsi dan maknanya sebelum perang dunia ke 2 berakhir.

3.1 Fungsi dan Makna Katana Shinken Sebelum perang dunia ke

II

3.1.1 Fungsi katana shinken

Katana shinken sejatinya sudah muncul pada era pedang Shinto di zaman

Edo, namun penggunaan istilah shinken muncul setelah perang dunia ke 2 dimana banyak tercecer gunto, pedang katana shinken buatan negara lain yang memiliki kemiripan, dan untuk membedakan secara terminologi didalam jepang mengenai senjata tajam biasa atau senjata tajam harta negara.

Shinken sebelum perang dunia kedua berfungsi sebagai senjata perang para

(52)

47

darah dan mengambil nyawa disepanjang sejarah Jepang masa lalu. Kisah 47 Ronin merupakan satu dari sekian banyak sejarah pembantaian menggunakan katana shinken. Kebebasan pemakaian pada zaman Edo memungkinkan shinken

dapat dipakai kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja, yang bahkan samurai tak bertuan (ronin) pun dapat menggunakannya untuk menembus kediaman

pejabat tinggi istana

3.1.2 Makna katana shinken

Pengaruh era pedang Jokoto berlangsung hingga mempengaruhi katana shinken sebelum perang dunia ke 2. Legenda mengenai 3 perhiasan dewi

Amaterasu yang turun ke bumi berupa pedang Kusanagi, perhiasan Magatama, dan Cermin Kashiko Dokoro, membuat pedang begitu di hormati karena merupakan barang berharga Dewi Jepang. Oleh sebab itu banyak di temukan katana shinken dengan motif dewa dan unsur keagamaan didalamnya

sampai-sampai setiap samurai terkena dampak menganggap diri mereka dewa perang karena menggunakannya.

(53)

3.2 Fungsi dan Makna Katana Shinken Setelah Perang Dunia ke

II

Masyarakat yang modern, Jepang yang damai dan terbentuknya NBTHK merupakan salah satu alasan katana shinken mengalami perubahan fungsi dan makna berbeda setelah masa perang dunia. Terutama pembagian sertifikasi mengenai katana shinken yang ditetapkan oleh NBTHK memiliki bagian besar terhadap perubahan fungsi dan makna itu sendiri. NBTHK menetapkan 4 tingkatan klasifikasi dalam system ini, yaitu:

1. Hozon ( layak dilestarikan )

2. Tokubetsu Hozon ( pekerjaan bernilai tinggi layak dilestarikan ) 3. Juyo Token ( pedang penting)

4. Tokubetsu Juyo Token ( Pedang bernilai tinggi dan penting)

Dimana sertifikasi tersebut mampu membuat katana shinken buatan tosho bernilai sepuluh kali lipat lebih mahal. Dilain sisi tosho mengejar gelar Mukansa yaitu posisi 10 tosho terbaik yang bahkan beberapa diantaranya dapat menjadi Ningen

Kokuhō (人間国宝) yaitu Harta Nasional yang hidup yang merupakan istilah

popular bagi individu yang diberikan sertifikat sebagai orang yang berpengaruh penting terhadap kebudayaan Jepang oleh Kementrian Pendidikan, kebudayaan,

(54)

49

3.2.1 Fungsi shinken sebagai barang seni dan perhiasan

Walaupun tidak digunakan dalam peperangan lagi, namun masih banyak kalangan masyarakat Jepang yang mengoleksi shinken, baik itu peninggalan leluhur maupun shinken yang dibuat setelah perang dunia ke 2. Keindahan seni dan nilai mewah yang di tawarkan bilah yang telah mendapat sertifikasi NBTHK yang menjadi alasannya. Pedang dengan sertifikasi NBTHK dapat mencapai harga 146 juta sampai dengan 365 juta Rupiah untuk kelas tosho Biasa dan 400 sampai 600 juta untuk tosho dengan kelas mukansha dan diatas 1 milyar untuk shinken peninggalan orang penting maupun artefak yang memiliki sejarah penting Jepang didalamnya. Bahkan semakin lama dan bagus kondisi shinken tersebut disimpan maka semakin mahal harga yang ditawarkan atas usia bilah pedangnya.

Dalam pemesanan pembuatan shinken kepada tosho juga tidak sama seperti sebelum perang dunia ke2 dimana para pengguna katana dapat dipesan sesuai kriteria yang di inginkan. Shinken tidak dibenarkan dipesan dengan kriteria keinginan pemesan pedang. Segala kualitas dan desain diserahkan sepenuhnya kepada tosho. Rata-rata pemesan pedang memahami dan menerima nilai seni dari shinken setelah pedang tersebut selesai dibuat dan dijelaskan oleh tosho pembuat.

Jika pembeli memaksakan keinginan bentuk dan desain kepada tosho maka dipastikan penolkan pembuatan shinken terjadi. Bagi tosho nilai seni akan shinken terjadi begitu saja saat pembuatan, dan seni pembuatan pedang tidak bisa dibuat berdasarkan perencanaan di awal.

Shinken buatan tosho Kanekuni Ogawa pada 2011 contohnya, untuk

(55)

Rupiah. Hal tersebut dikarenakan Kanekuni sudah mengikuti kontes pedang NBTHK dan memenangkan beberapa penghargaan dari hal tersebut walaupun belum pernah mendapatkan gelar Mukansha dan umurnya yang sudah 86 tahun yang mengakibatkan tosho tersebut hanya mampu membuat sebilah shinken untuk satu ta

3.2.2 Fungsi shinken sebagai benda seni beladiri

Toshishiro Obata “Kaiso”, penemu beladiri pedang “Shinkendo” mengatakan dalam seminar Shinkendo Shimbukan Indonesia di Jakarta November 2013 “ A Shinken is valuable both as a weapon and an aesthetic object; it's

overall beauty is composed of both elements” ( sebuah shinken berharga baik

sebagai senjata maupun sebagai objek estetika, keindahan keseluruhannya tersusun dari kedua elemen dalam satu shinken). Meskipun tidak lagi lagi digunakan sebagai senjata perang, namun kesan benda seni dan juga barang beladiri senjata tertuang dalam shinken itu sendiri. Hal tersebut di karenakan kasta dan profesi samurai yang memang tidak ada lagi di Jepang, namun ilmu samurai tersebut, masih tertinggal utuh dengan masing-masing aliran teknik pedang yang tersebar di negara Jepang sampai seluruh dunia.

(56)

51

merupakan salah satu alasan terbesarnya. Walaupun begitu setiap siswa praktisi pedang pemula yang baru mengikuti selalu diwajibkan memakai pedang kayu (bokken) hanya untuk melakukan latihan kata(cara) dan suburi(mengayun pedang) sampai dirasa pantas untuk tameshigiri(tes memotong) dengan menggunakan shinken. Mahalnya biaya perawatan shinken di Jepanglah yang menjadi alasannya.

Kunimasa Matsuba salah seorang tosho berpengalaman di Jepang menyampaikan dalam seminarnya yang bertajuk “Paradoks Pedang Jepang” di

Japan Foundation Los Angeles Amerika Serikat bahwa shinken di Jepang sudah

mengalami perubahan fungsi menjadi senjata sekaligus objek Seni yang telah membuat pedang tersebut terlalu mahal untuk digunakan memotong oleh orang yang bukan praktisi beladiri pedang Jepang. Memerlukan dana sebesar 420.000 Yen atau sebesar 49 juta Rupiah untuk layanan perawatan pengasahan bilah

shinken tumpul yang hanya dapat dilakukan oleh togishi bersertifikat

(http://www.jflalc.org/ac-lecture12.html). Oleh karena itu cara melakukan tameshigiri yang salah dapat membuat shinken menjadi tumpul dan mengeluarkan

biaya lagi untuk mengasahnya saja.

3.2.3 Makna shinken sebagai Harta Tradisional

(57)

tosho sudah dapat dipastikan yang keluar adalah kata-kata dengan emosi tinggi yang dianggap menghina shinken yang asli dari Jepang sendiri. Bagi masyarakat Jepang, duplikat katana shinken yang beredar di luar Jepang, tanpa sertifikat yang Jelas, merupakan barang sampah, pisau biasa, atau yang paling halus hanya disebut sebagai besi tajam.

Hampir seluruh pedang tajam baik itu pisau, pisau lipat, parang, celurit bahkan katana buatan luar negara Jepang, disahkan oleh undang-undah sebagai senjata tajam terlarang untuk di bawa ke depan publik. Dapat dipastikan setiap orang yang membawa katana shinken buatan Yogyakarta, China, maupun negara lain ke Jepang akan disita, dan dikenai sanksi denda sampai dengan kurungan penjara. Namun apabila memiliki katana shinken asli dari tangan tosho yang sudah mendapat sertifikat dengan ketajaman yang luar biasa, tidak akan mendapatkan masalah untuk membawanya kemanapun selama masih berada di negara Jepang.

(58)

53

kedepannya akan menjadi warisan sejarah Jepang kelak. Hal tersebut di ikuti dengan persyaratan shinken tersebut haruslah dibuat oleh para tosho bersertifikat, disahkan oleh kantor pemerintahan Jepang dan memiliki kartu registrasi.

3.2.4 Makna shinken sebagai benda dengan esensi spiritual

Shinken setelah perang dunia ke 2, tetap mendapat tempat penghormatan,

namun sudah tidak dibenarkan lagi melakukan tameshigiri dengan menggunakan objek mahluk hidup apapun. Shinken walau dihormati statusnya tetap tidak melebihi manusia pada saat ini. Tameshigiri dilakukan dengan menggunakan bambu ataupun tatami yang digulung dan dijemur seharian terlebih dahulu, melakukan tameshigiri di zaman ini bukan lagi bermakna untuk melihat ketajaman shinken lagi tetapi lebih kepada kemampuan pemakai pedang itu sendiri apakah sudah dapat melakukan teknik pemotongan dengan baik atau tidak. Dalam arti lain tameshigiri sudah lebih melihat kepada orangnya, bukan shinken lagi.

Disisi lain shinken mengalami perubahan sudut makna dalam hal religius, dimana dahulu juga digunakan untuk persembahan di kuil-kuil Shinto. Kini

shinken digunakan dalam ritual Misogi (Purification/penyucian). Salah satu

(59)

“一年いちねんのはじめに 道 場どうじょうの安全あんぜんとメンバめ ん ば ーの無病息災むびょうそくさいを 祈願き が んして 行

ぎょう

つています。東西南北とうざいなんぼくに大たいして 行おこなう四歩切よ ん ほ ぎりと八歩切は ち ほ ぎりがあり ますが 私わたしたちの 道 場どうじょうは八歩切は ち ほ ぎりで 行ぎょうつています。日本に ほ んでは かたな刀

は 邪気じ ゃ きを 断だち切きる 力ちからがあるとされて降おりますので神剣しんけんを使つかい

ます。”

Alasan melakukannya misogi dengan shinken adalah.

Mendoakan untuk kesehatan anggota (tanpa penyakit) dan keselamatan dojo diawal tahun pertama. Kearah timur barat utara selatan kami melakukan shihogiri dan happogiri (memotong dengan empat arah dan delapan arah) tetapi di dojo kami melakukan happogiri. Di Jepang kalau ada kekuatan untuk membunuh roh-roh jahat maka digunakanlah katana ( shinken).

Dalam hal religius, shinken berkembang menjadi media yang dipercaya dapat memutuskan kuasa roh jahat di empat sampai delapan arah mata angin dan memberikan hasil keselamatan dan kesehatan serta berkah di tempat dilakukannya Misogi dalam memulai aktifitas di awal tahun yang baru terutama dilakukan oleh

(60)

55

3.3

Perbandingan Fungsi dan Makna Katana Shinken

3.3.1 Perbandingan Fungsi

Dari segi fungsi sebelum dan sesudah perang dunia ke 2, terlihat perbedaan yang signifikan. Shinken sebelum perang dunia ke 2 memang ditujukan sebagai senjata untuk melukai, melumpuhkan bahkan membunuh manusia. Hal tersebut dipengaruhi oleh system kasta samurai dimana memperbolehkan membawa shinken kemanapun dan didukung oleh kemampuan teknik bermain pedang yang sangat baik sehingga hal tersebut dapat dilakukan kapan saja. Disisi lain sistem keamanan dan bahaya yang mengancam merupakan dua hal yang seimbang, hal tersebut dikarenakan oleh persenjataan yang sama yaitu shinken itu sendiri. Harga yang tidak terlalu mahal dan kebebasan tosho untuk membuat

shinken kapanpun tosho tersebut mau membuat pedang tersebut sangat mudah

untuk didapatkan dan dimiliki.

(61)

non Jepang memandang estetika bentuk dan nilai sejarah evolusi shinken yang menjadikannya sebagai benda tajam yang bernilai tinggi untuk dijadikan perhiasan maupun benda mewah. Hanya kalangan atas yang dapat memilikinya, berbeda dengan sebelum perang dunia ke 2, dimana kalangan manapun dapat memiliki shinken.

3.3.2 Perbandingan Makna

Perubahan sudut pandang makna sebelum dan sesudah perang dunia ke 2 juga mengalami perbedaan yang mencolok. Dimana pada hal melakukan

tameshigiri (tes memotong) sebelum perang dunia kedua dilakukan untuk

mengetes pedang baru terhadap manusia yang merupakan tawanan perang maupun tahanan kejahatan. Perspektif akan katana merupakan harta dewi Amaterasu membuat melakukan tameshigiri terhadap manusia jahat ataupun musuh dianggap hal yang wajar dengan benda “suci” tersebut. Namun setelah perang dunia ke 2 berakhir, tameshigiri menggunakan mahluk hidup manapun sudah dilarang dan diganti dengan bamboo dan tatami. Maknanya juga sudah tidak untuk melihat bagaimana tajamnya shinken tersebut, tetapi bagaimana hebatnya sipemakai shinken memotong target dengan baik.

Sebelum perang dunia ke 2, para samurai yang menggunakan shinken

(62)

57

shinken digunakan dalam ritual misogi yaitu penyucian. Masih dianggap sebagai

(63)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dikemukakan, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa :

1. Shin ken 真剣 telah mengalami perubahan fungsi dan makna dari waktu

ke waktu sampai sekarang. Keadaan Jepang yang damai setelah perang dunia ke 2, membuat shinken berubah dari maksud tujuan awal penggunaannya.

(64)

59

3. Dalam hal makna shinken yang dahulu dapat mempengaruhi penggunanya sehingga menganggap diri pemiliknya adalah dewa perang sudah berubah, dikarenakan tidak adanya lagi perang besar-besaran setelah masa damai Jepang. Melakukan tameshigiri terhadap manusia menggunakan shinken pun sudah tidak diperbolehkan walau tetap dianggap sebagai harta dewi Amaterasu. Shinken sekarang, dianggap media yang dapat mengusir roh-roh yang jahat dari delapan arah mata angin dengan melakukan Misogi sehingga dapat memberikan berkah dimana tempat dilakukannya hal tersebut. Tameshigiri bukan lagi menjadi ajang shinken memotong tubuh manusia yang bersalah untuk melihat ketajaman pedang tersebut, melainkan berubah menjadi bentuk praktisi pedang dapat menguasai tebasan menggunakan shinken. Sudut pandang makna yang berubah dari objek benda menjadi subjek manusia.

4.2

Saran

1. Bagi para mahasiswa yang akan melakukan penelitian lebih lanjut mengenai benda-benda tradisional Jepang (khususnya katana shinken) dikemudian hari, diharapkan agar lebih menguasai konsep shinken dan dapat terjun langsung ke lapangan.

(65)
(66)

61

DAFTAR PUSTAKA

Christommy, Tommy.2001. “Pengantar Semiotik Pragmatik Peirce : Nonverbal dan Verbal” dalam Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya

Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Bahan penelitian Semiotika, hlm. 7-14.

Clyde, Kluckhohn, A. L. Kroeber, Wayne Untereiner. 1952. Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. New York : Vintage Book.

Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Fresco.

Kerlinger, Fred N. 1986. Foundations of behavioral research. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Koentjraningrat. 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Leon, Hiroko Kapp, Yoshindo Yoshihara. 1987. The Craft Of The Japanese Sword . Tokyo: Kodansha International.

Mulyati, Sri dkk. 2007. Sosiologi:Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik : suatu pengantar. Jakarta : Gramedia. Nasution, M. Arif. 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

(67)

Nawawi, Hadari, Mimi Martini. 1994. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nazir, moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta:Ghalila Indonesia.

Sato, Kanzan.1983.The Japanese Sword. Tokyo: Kodansha International. Sinaga M, dan Sinuhaji J. 1997. Metode Penelitian. Medan: USU Press.

Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan 1. Medan: USU Press.

(11/04/13)

(24/08/13)

Referensi

Dokumen terkait

Jika 2 t it ik let is mempunyai parit as yang sama maka sesuai sif at penj umlahan maka dapat dipast ikan kedua t it ik let is memiliki j arak mendat ar dan j arak vert

...,.... LEMBAR KERJA PENILAIAN CAKUPAN MATERI BUKU TEKS PELAJARAN AGAMA KHONGHUCU. SMA

Sebuah segienam berat uran dan sebuah segit iga sama sisi mempunyai keliling yang sama.. Dua buah dadu dilemparkan

karya-karya ulama dan intelektual muslim dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang begitu banyaknya, baik itu agama ataupun umum, menunjukkan bahwa agama Islam memberi

Setiap hari, pada minggu pembinaan tersebut, setiap siswa mengirimkan 5 email kepada siswa lain atau guru.. Pada acara penutupan, setengah dari siswa mendapat 6 email, sepertiga

[r]

Mengambil informasi dari isi teks sederhana untuk melengkapi tabel Disajikan teks sederhana / bacaan pendek berisi data (hasil pertanian di suatu desa; data siswa disuatu sekolah;

Produk Bolmut Ikan adalah kombinasi dari berbagai macam sumber daya alam yang merupakan produk diversifikasi dari hasil perikanan untuk di olah menjadi