• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. 1. Definisi, Epidemiologi dan Etiologi Hipospadia

Hipospadia didefinisikan sebagai suatu defek dalam pembentukan aspek ventral dari penis yang disertai dengan abnormalitas dari meatus uretra dimana meatus uretra berada di proksimal dari ujung penis dan letaknya di bagian ventral dengan bentuk penis yang melengkung ke arah ventral (dengan atau tanpa chordae) serta adanya defisiensi dari kulit preputium bagian ventral atau disebut pula dorsal hood (Lambert et al, 2011). Merupakan kelainan kongenital yang sering terjadi pada bayi laki-laki, dengan angka kejadian mencapai 1 dari 300 kelahiran (Snodgrass dan Bush, 2014).

Penyebab terjadinya kelainan ini masih belum diketahui dengan pasti. Namun diyakini bahwa hal ini terjadi karena adanya gangguan pada pembentukan urethral plate secara genetik yang dipengaruhi secara hormonal dan enzimatik. Sebagian menyebutkan ada kaitannya dengan abnormalitas pada metabolisme androgen, dan disrupsi endokrin (Baskin dan Ebbers, 2006). Insidennya yang cenderung meningkat dimungkinkan karena pengaruh polusi lingkungan yang makin tinggi, dalam hal ini banyaknya paparan zat-zat yang mengandung estrogen seperti jenis pestisida tertentu, obat-obatan herbal dan lain sebagainya (Djakovic et al, 2008; Kalfa et al, 2011).

2

2. 2. Tipe Hipospadia

Secara umum pembagian tipe hipospadia didasarkan pada letak dari meatusnya. Sejumlah pakar telah menyusun pembagian tersebut, dimulai dari Smith yang membagi hipospadia menjadi tiga derajat, derajat satu bila letak meatusnya dari corona sampai shaft penis bagian distal, derajat dua mulai dari distal shaft sampai penoscrotal junction, derajat tiga mulai dari penoscrotal junction sampai ke perineum. Kemudian menyusul pakar-pakar lain dengan klasifikasinya. Namun klasifikasi-klasifikasi tersebut tidak terlalu memperhitungkan berat ringannya chordae dan pengaruhnya terhadap lokasi muara uretra. Barca pada tahun 1973 menyusun pembagian hipospadia berdasarkan letak muara uretra setelah dilakukan release dari curvatura penis (Hadidi et al, 2004).

Gambar 2. 1.

3

Hipospadia distal lebih banyak dijumpai pada populasi barat, sedang hipospadia proksimal lebih banyak di Asia (Subramaniam et al, 2011).

Gambar 2. 2.

Gambaran klinis Hipospadia A. Glandular. B. Subcoronal. C. Midshaft. D. Penoscrotal. E. Scrotal. F. Perineal (Baskin dan Ebbers, 2006)

2. 3. Terapi Hipospadia

Penatalaksanaan satu-satunya untuk hipospadia adalah dengan operasi. Tujuan dari prosedur ini secara ringkas ada 5, yaitu: untuk mendapatkan bentuk penis yang lurus, memposisikan muara uretra di ujung penis, menormalkan kembali fungsi ejakulasi dan berkemih, membuat uretra yang adekuat dengan kaliber yang sama serta bentuk kosmetik dari penis dan glans penis yang simetris. Di mana langkah-langkah prosedurnya dapat disusun sebagai berikut:

4

1. Chodectomy - Orthoplasty (meluruskan penis), 2. Urethroplasty, 3. Meathoplasty dan Glanuloplasty, 4. Scrotoplasty dan 5. Skin coverage (Baskin dan Ebbers, 2006; Snodgrass dan Bush, 2014).

2. 4. Teknik Operasi Hipospadia

Selama beratus tahun sejak pertama kali didokumentasikannya kasus hipospadia pada zaman Kerajaan Romawi, telah berkembang berbagai macam teknik operasi hipospadia (Lambert et al, 2011). Ada sekitar 300 jenis teknik yang dikembangkan, hampir setiap ahli bedah memiliki variasi dan teknik tersendiri. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada teknik yang paling sempurna (gold standard) untuk terapi hipospadia. Pemilihan teknik yang digunakan untuk koreksi hipospadia umumnya bergantung dari letak muara dari uretranya, meskipun demikian preferensi dari ahli bedahnya pun turut berperan. Teknik yang banyak dipakai dan dianggap cukup baik dengan resiko komplikasi yang lebih rendah adalah teknik Tubularized Incised Plate (TIP) yang ditemukan oleh Snodgrass. Teknik ini biasanya dipakai untuk mengkoreksi hipospadia yang muara uretranya ada di midshaft, atau shaft penis yang letaknya di distal. Prinsip dasar teknik ini adalah membuat insisi midline sampai ke urethral plate yang disesuaikan sehingga bidang yang dihasilkan dapat dibuat suatu neourethra. Sejalan dengan perkembangan teknologi dan material bedah, teknik ini mulai banyak digunakan untuk hipospadia proksimal dengan hasil operasi yang cukup baik.

Tahapan operasi untuk teknik TIP ini secara umum adalah: pertama identifikasi dari urethral platenya, buat rancangan bagian yang akan diinsisi.

5

Kemudian lakukan insisi longitudinal pada kedua sisi urethral plate sepanjang garis batas urethral plate dan glans wing selanjutnya yang sangat penting adalah membuat insis pada garis tengah urethral plate. Kemudian dilakukan pemasangan stent sebagai penyangga urethra baru, dan dilanjutkan dengan dilakukan penjahitan tubularisasi. Jahitan pada uretra baru kemudian dilapisi dengan flap dari fascia dartos, kemudian ditutup dengan kulit.

Gambar 2. 3.

6

Untuk muara penis yang terletak di glandular dapat digunakan teknik Meatal Advancement Glansplasty (MAGPI) atau dapat pula menggunakan teknik Glans Approximation Procedures (GAP). Teknik lain yang juga umum dipakai adalah Mathieu’s procedures. Untuk Hipospadia yang letaknya di proksimal khususnya di penoscrotal, scrotal maupun perineal, teknik-teknik yang biasa dipakai adalah Onlay technique, Duckett-flap, dan juga teknik operasi two step ( Hadidi et al, 2004; Djakovic et al, 2008).

2. 5. Komplikasi Pasca Operasi Hipospadia

Meskipun dengan teknik dan sarana operasi yang semakin berkembang operasi repair hipospadia masih merupakan suatu prosedur yang sulit dan rentan terhadap timbulnya komplikasi pasca operasi. Struktur organ dan jaringan penyokongnya yang halus dan rentan, suplai pembuluh darah dari flapnya yang sangat tergantung pada jaringan di sekitarnya, uretra baru yang dekat sekali dengan urine dan perineum membuatnya rentan terhadap infeksi dan juga pasien yang masih anak-anak yang umumnya kurang kooperatif merupakan sejumlah faktor yang dapat menghalangi keberhasilan operasi (Bayne dan Jones, 2010).

Komplikasi yang dapat terjadi pasca operasi hipospadi secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu

1. Komplikasi segera

Komplikasi ini dapat terjadi segera setelah operasi atau beberapa hari kemudian. Yang termasuk dalam komplikasi segera diantaranya adalah: iskemia jaringan, perdarahan dan hematoma, infeksi luka operasi dan terbukanya luka operasi (wound dehiscence). Pencegahan untuk terjadinya

7

komplikasi ini adalah dengan penanganan jaringan yang hati-hati saat operasi dengan memperhitungkan pasokan darah untuk flap yang dibuat. Apabila komplikasi ini muncul biasanya penanganannya secara konservatif, bila tidak membaik mungkin diperlukan operasi berikutnya untuk debridement luka atau bila perlu dilakukan revisi (Bayne dan Jones, 2010).

2. Komplikasi lambat

Komplikasi ini muncul dalam hitungan hari, bulan bahkan tahun. Yang termasuk dalam komplikasi lambat ini adalah:

- Urethrocutaneus fistula

Merupakan komplikasi yang paling terjadi, dan semakin komplek tipe hipospadia dan operasinya resiko terjadinya fistula semakin tinggi. Komplikasi ini dapat terjadi oleh berbagai macam sebab diantaranya karena edema yang mengganggu suplai darah, adanya infeksi dan hematoma yang mengganggu penyembuhan luka pada uretra baru, adanya obstruksi di distal sehingga menyebabkan tekanan yang tinggi saat kencing yang mengakibatkan lepasnya jahitan di bagian proksimal. Penanganannya tergantung pada ukuran dan letak fistulanya. Bila fistulanya kecil biasanya dapat menutup sendiri, namun bila ukurannya besar kemungkinan akan membutuhkan tindakan operasi untuk menutupnya.

- Striktur uretra

Merupakan komplikasi kedua tersering. Umumnya striktur ini terjadi pada tempat anastomose jahitan seperti di meatus, kamudian di akhir penutupan glans, ataupun juga pada bagian proksimal jahitan uretra baru. Striktur ini

8

biasanya nampak jelas kurang dari 3 bulan setelah operasi yang ditandai dengan lemahnya pancaran urin, anak harus mengedan saat kencing, pancaran urin yang menyebar atau adanya infeksi pada traktus urinarius. Keluhan ini apabila masih ringan seringkali tidak terlalu diperhatikan dan sering terlewatkan. Dan bila terus dibiarkan dapat menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti pyelonefritis bahkan gagal ginjal. Penyebab terjadinya striktur diantaranya adalah desain uretra baru yang kurang baik, jahitan yang terlalu tegang, spatulasi pada lokasi anastomosis yang kurang adekuat. Penatalaksanaannya dapat dengan konservatif yaitu dengan dilatasi atau endoskopi, bila tidak berhasil atau apabila strikturnya panjang maka perlu dilakukan revisi urethroplasti.

- Komplikasi lainnya yang mungkin terjadi adalah divertikulum uretra, persisten chordae, komplikasi meatal dan komplikasi lain dalam uretra serta masalah psikiatri (Bayne dan Jones, 2010).

2. 6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Komplikasi Pasca Operasi Hipospadia

Beberapa faktor diyakini berperan dalam menentukan hasil operasi, diantaranya adalah:

2.6.1 Tipe hipospadia

Dari pemeriksaan fisik yang seksama akan diperoleh data mengenai letak dari meatusnya, ada tidaknya chordae serta ada tidaknya kelainan kongenital lain yang menyertai. Hipospadia tipe proksimal disebutkan berhubungan dengan resiko terjadi komplikasi yang lebih besar dibandingkan letak yang lebih distal

9

karena uretra baru akan ukurannya akan lebih panjang dengan resiko terjadinya kegagalan yang lebih tinggi. Demikian pula dengan adanya chordae akan turut berperan dalam terjadinya resiko komplikasi pasca operasi (Bayne dan Jones, 2010).

2.6.2 Teknik operasi yang dipakai

Pemilihan teknik operasi yang tepat sesuai dengan kondisi hipospadia memegang peranan yang penting pula dalam keberhasilan operasi dan mencegah timbulnya komplikasi pasca operasi. Secara umum teknik operasi yang digunakan dapat diklasifikasikan berdasarkan prosedur rekonstruksi uretranya, yaitu teknik advancement, tubularisasi, dan penggunaan flap atau graft.

Untuk hipospadia distal, contoh teknik advancement yang digunakan adalah teknik MAGPI (Meatal Advancement and Glanuloplasty), merupakan teknik yang sering dipakai untuk hipospadia tipe glandular. Rerata komplikasinya cukup rendah dan reoperasi umumnya jarang terjadi. Namun kadangkala bentuk meatus yang dihasilkan kurang natural. Kemudian teknik tubularisasi untuk hipospadia distal adalah teknik TIP (Tubularized Incised Plate), merupakan teknik yang paling banyak digunakan dan paling berkembang dengan resiko komplikasi yang rendah dan hasil kosmetik dan fungsional yang baik. Namun teknik ini kurang sesuai untuk digunakan pada prosedur operasi dua tahap. Teknik tubularisasi selanjutnya untuk distal hipospadia adalah teknik GAP (Glans Approximation Plasty). Dapat digunakan pada urethral plate yang cukup lebar sehingga dapat langsung ditutup tanpa membutuhkan insisi pada platenya. Sedangkan teknik flap untuk hipospadia distal adalah dengan menggunakan

10

Teknik Mathieu. Teknik ini lebih dahulu ditemukan dibanding TIP dan telah cukup berkembang dan mengalami banyak modifikasi. Pengunaannya tergantung dari penilaian dan preferensi dari ahli bedahnya. Resiko komplikasinya cukup rendah dan banyak dipengaruhi oleh keahlian dari operator.

Untuk hipospadia mid-shaft dapat menggunakan teknik onlay island flap. Sedang untuk yang proksimal dibagi menjadi dua, yaitu teknik satu tahap dan dua tahap. Untuk teknik satu tahap yang sering digunakan adalah teknik TIF (Transverse Island Flap), TIP dan teknik Koyanagi-Nonomura. Sedangkan teknik dua tahap biasanya digunakan teknik Bracka (Subramaniam et al, 2011).

Pemilihan teknik yang tepat dengan disertai kemampuan dari ahli bedahnya akan sangat berperan terhadap keberhasilan operasi dan resiko terjadinya komplikasi pasca operasi.

2.6.3 Penggunaan stent uretra

Pemasangan stent ini penting untuk menjaga patensi dari uretra baru yang dibuat, agar tidak kolaps dan juga untuk mencegah terjadinya striktur maupun stenosis. Meskipun masih ada perbedaan pendapat mengenai perlu tidaknya pemakaian stent ini (Radwan et al, 2012), namun sebagian besar ahli berpendapat bahwa pemasangan stent ini bermanfaat. Mereka memilih untuk mempertahankan stent selama 7-10 hari. Sedang sebagian lainnya berpendapat bahwa mempertahankan stent dalam waktu lama di dalam uretra yang baru akan menyebabkan iritasi dan mengganggu proses penyembuhan (Hadidi et al, 2006).

Mengenai ukuran yang tepat untuk stent yang digunakan belum ada patokan standarnya. Ukuran yang biasa digunakan adalah 6,8,10 dan 12 F,

11

disesuaikan dengan usia dan diameter lumen uretra. Pemakaian stent ini juga dikaitkan dengan resiko terjadinya komplikasi berupa bladder spasme (Turial et al, 2010). Apakah ukuran dari stent tersebut juga berkaitan dengan timbulnya komplikasi pasca operasi belum ada penelitian yang menyebutkan hal tersebut (Subramaniam et al, 2011).

2.6.4 Waktu operasi

Disebutkan bahwa usia ideal untuk operasi pada pasien hipospadi adalah sebelum anak mulai sekolah, dengan usia ideal antara 6-12 bulan. Alasannya pada usia tersebut anak belum dapat mengingat trauma suatu operasi, belum menyadari mengenai persepsi tubuh dan identitas seksualnya, dan juga belum berinteraksi sosial dengan teman-teman seusianya. Sehingga tidak akan mengganggu perkembangan emosional dan psikisnya (Weber et al, 2009). Namun permasalahannya pada usia tersebut ukuran penis masih sangat kecil sehingga memberikan kesulitan lebih dalam teknik operasinya. Kisaran usia yang ideal berikutnya adalah antara 2,5 – 4 tahun atau 4 – 5 tahun. Sejalan dengan bertambahnya usia maka resiko untuk terjadinya komplikasi juga semakin meningkat (Yildiz et al, 2013).

2. 7. Menilai Pancaran Urin

Salah satu komplikasi yang sering muncul adalah gangguan pada pancaran urin pasca operasi. Umumnya orang tua atau pun pasien tidak terlalu menyadari adanya abnormalitas ini karenanya sering tidak diperhatikan, atau karena tidak terlalu dikeluhkan. Gangguan ini dapat muncul dapat sebagai akibat dari komplikasi operasi berupa adanya striktur uretra, meatal stenosis maupun

12

compliance atau tahanan dari dinding urethra yang tidak sama. Namun dapat juga terjdai karena sebab lain misalnya adanya gangguan neurologis pada kandung kencing (bladder spasme), adanya penyakit pada ginjal yang mempengaruhi fungsi dan produksi urin, adanya trauma pada penis atau perineum yang menyebabkan kerusakan uretra, adanya infeksi pada saluran kencing sehingga mengakibatkan rasa nyeri saat kencing.

Metode untuk mengukur pancaran urin telah berkembang sejak pertama kali diperkenalkan oleh Johansen pada tahun 1953 dengan menggunakan gelas ukur dan stopwatch. Saat ini alat yang paling sering digunakan adalah Uroflowmetry. Metode yang dipakai sederhana dan tidak invasif. Dengan alat ini dapat diukur berapa pancaran urin rata-rata (Qavg), pancaran urin maksimal (Qmax), Volume urin yang dikeluarkan (Vvoid).

Pada penelitian ini karena ketidaktersediannya alat uroflowmetry maka peneliti menggunakan metode lain untuk mengukur pancaran urine maksimal. Dalam penelitian sebelumnya oleh Hadiwidjadja (2000), Qmax dapat ditentukan dengan cara mengkalikan Qavg dengan suatu konstanta yang didapatkan dari penelitian tersebut yang besarnya adalah 2,07. Qavg sendiri dapat diperoleh dengan membagi volume urin dengan waktu yang diperlukan untuk kencing. Jumlah minimal volume urin yang dianggap bermakna dan dapat diukur adalah bila volumenya > 100 cc dalam sekali pengukuran (Spinoid et al, 2015).

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari sejumlah penelitian, nilai normal pancaran urin pada anak-anak bervariasi. Gupta dan Sankhwar (2013)

13

merangkum hasil penelitiannya tentang Uroflowmetry Nomograms pada anak yang sehat usia 5-15 tahun disusun dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2.1.

Parameter Uroflowmetry menurut usia dan gender (Gupta dan Sankhwar, 2013)

Mean + SD Uroflowmetry

Parameters

Age 5-10 Yrs Age 11-15 Yrs

Boys Girls P Value Boys Girls P Value

Voided vol (ml) 120,93 ± 61,56 169,12 ± 125,01 0,006 214,93 ± 129,10 218,45 ± 118,09 0,55 Qmax (ml/sec) 15,26 ± 4,54 17,98± 6,06 <0,0001 22,50 ± 7,24 27,16 ± 9,37 <0,0001 Qavg (ml/sec) 7,68 ± 3,26 9,19 ± 4,23 0,002 10,78 ± 4,03 13,48 ± 5,21 <0,0001 Time to Qmax (sec) 3,59 ± 2,48 3,93 ± 3,24 0,85 5,23 ± 4,84 4,28 ± 3,25 0,1

Flow time (sec)

14,25 ± 7,86 15,82 ± 8,45 0,15 17,83 ± 9,15 15,19 ± 7,15 0,002

Dalam tabel ini nilai normal Qmax untuk anak laki-laki usia 5-10 tahun adalah 15,26 ± 4,54 ml/detik dan untuk usia 11-15 tahun sebesar 22,50 ± 7,24 ml/detik. Berdasarkan data tersebut pada penelitian ini diambil patokan untuk menentukan nilai Qmax normal adalah bila hasilnya lebih dari 15,26 – 4,54 = 10,72 dibulatkan menjadi 10 ml/detik.

Dokumen terkait