• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses proses peradilan di luar peradilan pidana.14 Menurut Jac E. Bynum dalam bukunya Juvenile Deliquency a Sociological Approach, yaitu:

Diversion is ‘an attempt to diveert, or channel out, youthful offenders from the

juvenile system’ (terjemahan diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk

mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidan anak keluar dari sistem peradilan pidana).15

Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan diversi ini adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak secara non-litigasi serta menanamkan rasa bertanggung jawab dan bersalah kepada seorang anak dan untuk mencegah seorang anak menjadi pelaku tindak pidana di masa depan.

Diversi tidak bertujuan untuk mengabaikan hukum dan keadilan sama sekali,akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk

12 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif , Alfabeta, Bandung, 2013, hal.87 13 Ibid, hal.90

14 Pasal 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 15 Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice, USU Press, 2010, hal.14 (selanjutnya disebut dengan Buku I)

membuat orang mentaati hukum.16 Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang tua.

Tiga jenis pelaksanaan program diversi dilaksanakan yaitu :

a. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua bagi pelaku oleh masyarakat.

b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service

orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada keluarga dan pelaku. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

c. Menuju proses restorative justice atau perundingan (ballanced or

restorative justice), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan

pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaaanya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama- sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.17

2. Pengertian Anak

Pengertian mengenai anak belum serempak dan masih sangat bervariatif di Indonesia. Khusus dalam lingkup hukum pidana, pengertian mengenai anak juga masih sangat banyak. Batasan usia anak menurut hukum positif di Indonesia, antara lain:

16 Ibid, hal:14

a. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan , anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,termasuk anak yang masih didalam kandungan.18

b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak dikategorikan menjadi dua, yakni:

1) Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.19

2) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana20.

c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.21 d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana menyatakan, anak yang diperbolehkan untuk

18 Pasal 1 angka 1Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 19 Pasal 1 angka 2Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentangSistem Peradilan Pidana Anak

20 Pasal 1 angka 3Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

memberikan keterangan tanpa sumpah adalah anak yang umurnya belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin.22

e. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyatakan, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.23

f. Konvensi Hak Anak menyatakan, anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.24

Berdasarkan Konvensi Hak-Hak anak, hak-hak anak secara umum dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, antara lain :

a. Hak untuk kelangsungan hidup ( The Right To Survival ) yaitu hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup ( The Right of Live ) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan sebaik-baiknya.

b. Hak terhadap perlindungan ( Protection Right ) yaitu hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.

c. Hak untuk tumbuh kembang ( Developments Rights ) yaitu hak-hak anak dalam konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan dan hak untuk mencapai standar hidup bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak ( The rights of standart of

living ).

d. Hak untuk berpartisipasi ( Participation Rights ), yaitu hak-hak anak yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak.25

3. Pengertian Pelaku Tindak Pidana

Pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur

22 Pasal 171 angka 1 Kitab Hukum Acara Pidana

23 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 24 Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak

tersebut dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP. Kata “barang

siapa” menunjukkan pelaku perbuatan tersebut adalah seorang manusia dan bukan badan hukum. Pelaku tindak pidana dapat dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana, apabila :

a. Orang yang melakukan,yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu;

b. Orang yang dengan pemberian,perjanjian,salah memakai kekuasaan atau pengaruh,kekerasan,ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan,daya-upaya atau keterangan,sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.26

Berdasarkan hal di atas Pelaku Tindak Pidana dikategorikan menjadi 4 (empat) macam yaitu27 :

1) Orang yang melakukan (pleger).

Orang yang melakukan adalah seorang pribadi yang melakukan suatu peristiwa pidana yang diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Orang ini adalah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana.

2) Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger)

Orang yang menyuruh melakukan sedikitnya ada dua orang yaitu seorang yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh (plegen). Orang yang menyuruh melakukan adalah satu-satunya orang yang dapat dihukum atas perbuatannya sendiri sedangkan, orang yang disuruh (plegen) tidak dapat dihukum dikarenakan sebagai suatu alat yang digunakan oleh seorang yang menyuruh (doen plegen).

26 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 55 angka 1, hal.72 27 Lihat penjelasan pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Orang yang disuruh (plegen) tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggung-jawabkan atas perbuatannya sendiri, misalnya : orang tersebut tidak cakap, perbuatan tersebut dilakukan pada saat keadaan terpaksa (overmacht), atas perintah jabatan yang tidak sah,tidak adanya unsur kesengajaan yang terdapat didalam diri orang yang disuruh.

3) Orang yang turut melakukan (medpleger)

Orang yang turut melakukan adalah seorang yang ikut melakukan suatu perbuatan secara bersama-sama. Turut melakukan dalam arti kata bersama-sama melakukan. Tidak boleh hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya menolong, sebab jika

demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger” akan

tetapi dihukum sebagai “ membantu melakukan “ (medeplichtge). Turut

melakukan memiliki sifat yang berupa pelaksanaan dari suatu perbuatan pidana,sedangkan membantu melakukan adalah sifat membantu di dalam menjalankan suatu tindak pidana.Perbuatan yang sifatnya membantu dihukum berdasarkan pasal 56 KUHP.

4) Orang yang membujuk melakukan (uitlokking)

Orang yang membujuk melakukan disini adalah seseorang yang membujuk orang lain dengan cara menyalahgunakan kekuasaannya sendiri,melakukan suatu pemberian kepada orang lain, melakukan kekerasan agar seseorang takut dan mau mengikuti perkataan yang diucapkan olehnya.

Syarat-syarat uit lokking:

(a) harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana

(b) harus ada orang lain yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana (c) cara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang

tersebut didalam pasal 55 (1) sub 2e (pemberian,perjanjian, ancaman, dan lain sebagainya)

(d) orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak pidana sesuai dengan keinginan orang yang menggerakan28

Pelaku tindak pidana dapat berupa manusia maupun badan hukum. Manusia sebagai pelaku tindak pidana dapat dilihat berdasarkan pasal 55 KUHP sedangkan, terhadap badan hukum tidak dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan KUHP dikarenakan KUHP hanya ditujukan terhadap manusia atau naturlijke persoon. Badan Hukum adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum dilakukan seperti manusia, yaitu memiliki hak dan kewajiban, dan memiliki hak digugat maupun menggugat di pengadilan.29 Badan Hukum dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana apabila melakukan kejahatan korporasi.Menurut Bismar, di dalam KUHP yang dianggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person)30 sehingga, KUHP saat ini tidak bisa dijadikan sebagai

landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi. Berdasarkan pandangan yang diberikan oleh Bismar tesebut dapat disimpulkan, bahwa korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana yang ditujukan kepada

28 Lisa, Hukum Pidana, diakses dari http://makalah-hukum-

pidana.blogspot.com/2014/01/pelaku-tindak-pidana-dader.html pada tanggal 27 Maret 2015. Pukul 22.12 WIB.

29 Jurnal Cendikia, Vol.1, No.2, Oktober 2012, hal.2-3 30 Bismar Nasution, Kegiatan Hukum Ekonomi, diakses dari

pengurus korporasi. Dengan pandangan tersebut juga dapat disimpulkan, korporasi tidak dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana akan tetapi, pengurus korporasi dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana.

Dokumen terkait