• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Kejahatan Internet (Cyber Crime) Dalam Perspektif Kriminologi

Kemajuan teknologi telah berkembang sedemikian pesatnya. Teknologi yang merupakan produk dari modernitas telah mengalami lompatan yang luar

biasa. Oleh karena sedemikian pesatnya, pada giliranya manusia, sang kreator teknologi itu sendiri kebingungan mengendalikanya. Bahkan bisa dikatakan teknologi berbalik arah mengendalikan manusia.

Hukum pada prinsipnya merupakan pengaturan terhadap sikap tindak (perilaku) seseorang dan masyarakat yang terhadap pelanggarnya dikenakan sanksi oleh negara. Meskipun dunia cyber ialah dunia virtual, hukum tetap diperlukan untuk mengatur sikap tindak masyarakat setidaknya karena dua hal, pertama masyarakat yang ada di dunia virtual ialah masyarakat yang berasal dari dunia nyata, masyarakat memiliki nilai dan kepentingan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang harus dilindungi. Kedua, walaupun terjadi di dunia virtual, transaksi yang dilakukan oleh masyarakat memiliki pengaruh dalam dunia nyata, baik secara ekonomis manupun non ekonomis.5

Beberapa penulis telah mengemukakan pendekatan atau teori untuk mengambarkan hubungan antara teknologi dan hukum. Ada penulis yang mengemukakan teori substansif (substantive theory) dan ada pula yang mengemukakan teori instrumental (instrumental theory). Cockfield dan Pridmore pada tahun 2007 mendalilkan perlunya dikembangkan sintesa dari kedua teori tersebut yang dapat digunakan dalam pembentukan regulasi, dalam bagian ini dijelaskan secara ringkas mengenai teori dan pendekatan tersebut sebagai landasan pola pikir untuk memahami teknologi dan hukum yang dapat diterapkan dalam pembentukan regulasi di bidang teknologi, khususnya di bidang

cybercrime.

5

Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrime Cyberlaw, PT.Tatanusa, Jakarta, 2012, Halaman. 38.

a. Teori Instrumental

Penganut teori instrumental melihat bahwa teknologi adalah teknologi

(technology is technology), yaitu alat yang dikembangkan secara rasional untuk

memenuhi kebutuhan tertentu. Teknologi dikembangkan dengan prinsip-prinsip itu, teknologi menghadirkan atau memberikan pilihan-pilihan dan kebutuhan-kebutuhan yang rasional bagi masyarakat. Oleh karena itu, teknologi bersifat netral (tidak bersifat baik atau buruk) dan terpisah dari proses ekonomi, politik, sosial dan budaya. Produktifitasnya dapat diukur secara objektif, terlepas dari budaya, sehingga teknologi dapat dialihkan dari suatu masyarakat lain, atau dengan kata lain teknologi dapat diterapkan secara universal. Dalam hal ini terjadi suatu penyalahgunaan teknologi, teori istrumental melihat bahwa guns don’t kill

people-peple kill people. Pihak yang harus dipersalahkan ialah orang yang

menyalahgunakan teknologi, dan bukan teknologi itu sendiri. b. Teori Substantif

Penganut teori substansif melihat bahwa teknologi tidak netral karena teknologi berkaitan erat dengan kepentingan dari subjek yang membuat teknologi yang dimaksud, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, sejarah perkembangan teknologi komputer dan internet dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan perang. Oleh karena itu teknologi dapat menjadi sesuatu alat yang berbahaya karena pembuat teknologi dapat mengontrol atau mendominasi orang tau masyarakat yang mengunakan teknologi tersebut melalui teknologi yang dibuatnya. Lebih dari itu, teknologi memberi dampak bagi masyarakat baik yang sesuai dengan maupun diluar tujuan pembuatan teknologi. Teknologi telah

membatasi kebebasan manusia karena manusia sesemakin tergantung dengan teknologi, dan teknologi bukanlah manusia yang memiliki kebebasan atau makhluk otonom. Penganut teori substansif juga melihat bahwa dibalik rantai produksi, distribusi, dan konsumsi teknologi, ada struktural sosial yang kompleks. Kekompleksan struktural sosial ini tidak dilihat oleh teori instrumental. Kedua teori tersebut dapat diterapkan dalam pembuatan kebijakan dan regulasi. Teori instrumentalis memberikan pendekatan yang konservatif, kaku dan melihat ke belakang (backward-looking) dalam pembentukan kebijakan atau regulasi. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan teknologi adalah hukum (technology is law). Teori substantif memberikan pendekatan yang fleksibel, liberal, dan melihat ke depan (forward-looking) dalam pembentukan kebijakan atau regulasi. Pendakatan ini disebut sebagai pendekatan hukum adalah teknologi (law is

technology).

c. Pendekatan Sintesa Teori Hukum dan Teknologi

Cockfiled dan Pridmore pada tahun 2007 mengajukan suatu sintesa terhadap teori mainstream hukum dan teknologi yang berkembang (teori substansif dan teori teori instrumental). Mereka menyadari bahwa baik teori substansif maupun teori instrumental memiliki kelebihan dan kekuranganya masing-masing, karena itu membuat suatu kerangka berpikir yang dapat digunakan oleh regulator dalam menbentuk regulasi dengan mengunakan kedua teori tersebut melalui 2 tahapan analisa sebagai berikut.

Tahap pertama, pembuat regulasi harus menentukan apakah perkembangan suatu teknologi telah menggangu atau merusak kepentingan atau

nilai yang telah diatur oleh hukum yang ada. Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi kepentingan yang terkena dampak perkembangan teknologi tersebut dengan menggunakan hukum serta doktrin-doktrin hukum yang telah ada dan menilai apakah kepentingan tersebut telah benar terganggu akibat perkembangan teknologi yang dimaksud.

Dalam tahap ini digunakan teori instrumentalis yang menggunakan pendekatan backward looking yaitu melihat bahwa hukum yang telah ada cukup untuk menyesuaikan dirinya dengan perkembangan teknologi. Apabila dari hasil analisa di atas pembuat regulasi meyakini bahwa kepentingan atau nilai yang telah dilindungi hukum yang tidak terngangu maka pembuat regulasi tidak perlu membentuk regulasi yang baru untuk menanggapi perkembangan teknologi yang dikhawartikan itu.

Akan tetapi, apabila dari hasil analisa regulator meyakini bahwa kepentingan yang dimaksud ternggangu akibat perkembangan teknologi itu, pembuat regulasi perlu melakukan tahap kedua yaitu memeriksa dengan cermat ruang lingkup teknologi yang berubah itu dan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh teknologi tesebut terhadap kepentingan atau nilai yang telah diatur hukum yang ada dan membentuk regulasi untuk melindungi kepentingan atau nilai itu, dengan tetap diusahakan sedapat mungkin selaras dengan hukum yang telah ada.

Pada tahap kedua diterapkan teori substansif dengan pendekatan “melihat kedepan (looking forward) artinya pembuat regulasi harus membentuk regulasi yang baru untuk melindungi kepentingan yang terganggu akibat perkembangn teknologi. Pembentukan regulasi dilakukan dengan cermat dengan

mempertimbangkan teknologi yang berkembang, hukum yang telah ada, kepentingan atau nilai yang telah dan akan dilindungi; dan hukum yang akan diperlukan.

d. Implementasi

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yakni UU Nomor 11 Tahun 2008merupakan cyberlaw pertama di Indonesia yang mengatur secara khusus tentang informasi dan transaksi elektronik. Materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu pengaturan informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang (cybercrime). Ketentuan cybercrime dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengacu kepada European

Union Conventionon Cybercrime (CoC) yang merupakan instrumen internasional

yang digunakan oleh banyak negara.6

2. Convention onCybercrime

Dalam CoC diatur mengenai dua jenis

cybercrime, yaitu cybercrime dalam arti computer crime dan dalam arti

computer-related crime.

Salah satu instrumen internasional yang mengatur cybercrimes secara regional adalah Covention on Cybercrime-Budapest, 23. XI. 2001. CoC dibuka untuk ditandatangani oleh negara-negara anggota sejak 23 November 2001, tetapi baru mulai berlaku pada tahun 2004. Sampai saat ini, telah ada 43 negara anggota

Council of Europe yang menandatangani konvensi yang di maksud, dari negara

6

CoC telah diratifikasi atau diaksesi oleh 30 negara baik dari negara baik negara Uni Eropa maupun di luar wilayah tersebut, dan telah ditandatangani oleh 16 negara lainya meskipun belum diratifkasi, sebagaimana dimuat dalam http://conventions.coe.int/Treaty/Commun/ChercheS ig.asp?NT=185&CL=NG, diakses pada 8 juli 2014.

yang telah menandatangani konvensi, 32 negara telah meratifikasinya. Selain itu, negara non anggota Council of Europe yang telah menandatangani Convention on

Cybercrime ialah Kanada, Jepang, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat.

Konvensi ini bertujuan untuk mengharmonisasi hukum dari negara-negara anggota, baik hukum materil maupun hukum prosedural, termasuk pengaturan mengenai kerjasama internasional dalam menangani cybercrime, harmonisasi ini dinilai penting mengingat karakteristik cybercrime yang memerlukan penanganan yang khusus secara bersama. Oleh karena itu, konvensi ini mengatur 3 bagian penting yaitu beberapa definisi yang digunakan dalam konvensi, hukum pidana materil dan hukum pidana formil, serta kerja sama internasional.

Sebagaimana terlihat dari jumlah negara yang telah menjadi anggota konvensi baik dari dalam maupun dari luar Council of Europe, dapat dikatakan bahwa CoC merupakan instrumen hukum internasional yang paling banyak dijadikan acuan utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana cyber oleh negara-negara di dunia,termasuk Indonesia. Sebagian besar dari materi dalam konvensi ini telah di terapkan, jika tidak dapat dikatakan diapdosi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang akan dijelaskan dalm bagian-bagian selanjutnya. Oleh karena itu, penting dalam bagian berikut untuk diulas secara umum materi-materi dalam Convention on Cybercrime yang mencakup beberapa terminologi yang digunakan dalam konvensi, ruang lingkup tindak pidana cyber,

hukum acara yang digunakan dalam penyidikan atau proses pengadilan pidana

cyber, serta kerja sama internasional antar negara anggota.

a. Terminologi yang digunakan

CoC memberi definisi mengenai perangkat dan penyelenggara. Defenisi mengenai perangkat, yang diatur dalam CoC ialah sistem komputer, komputer data, dan data trafik, sedangkan penyelengara yang dimaksud dalam CoC ialah penyelengara layanan. Sepintas terminologi-terminologi ini terkesan sderhana dan terbatas, tetapi terminologi yang digunakan dalam CoC ialah istilah umum pada masanya, dan diatur dalam lingkup yang luas.

b. Pengaturan Pidana

Dalam bagian kedua dari konvensi ini diatur mengenai perbuatan-perbuatan yang di tetapkan sebagai tindak pidana cyber, beberapa perbuatan tersebut telah di atur dalam hukum pidana konvensional, sedangkan yang lain merupakan kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan baru yang belum diatur atau setidaknya masih sangat diperdebatkan dalam hukum pidana konvensional. Pengaturan tindak pidana ini harus diimplementasikan dalam hukum nasional negara-negara anggotanya. Jenis perbuatan yang diatur adalah:

1. Tindak pidana terhadap kerahasiaan, integritas dan ketersediaan data dan sistem komputer (offences against the confidentiality, integrity and

availability of computer data and systems). Tujuan dari pengaturan dalam

bagian ini adalah untuk melindungi dan menjaga kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data komputer serta sistem komputer, termasuk melindungi tindakan-tindakan yang sah yang terkait dengan perancangan jaringan atau

aktifitas lainya yang umum dilakukan dalam pengoperasian sistem komputer dan dalam perdangangan. Tindak-tindak pidana ini merupakan ruang lingkup cybercrimes dalam arti sempit (computer crimes). Jenis kejahatan yang dimaksud di bagi menjadi :

a. Akses ilegal (illegal access)

b. Intersepsi ilegal (illegal interception) c. Gangguan terhadap data (data interference) d. Gangguan terhadap sistem (system interference) e. Penyalahgunaan alat dan perangkat (misue of device)

2. Tindak pidana yang terkait dengan komputer (computer related offences). Pengaturan ini bertujuan untuk mengkriminalisasi tindak-tindak pidana konvensional yang sering dilakukan dengan menggunakan sistem komputer atau sistem elektronik. Tindak-tindak pidana ini merupakan ruang lingkup

cybercrimes dalam arti luas (computer related crimes). Tindak pidana yang

dimaksud terdiri dari :

a. Pemalsuan dengan penggunaan komputer (computer related forgery) b. Penipuan dengan penggunaan komputer (computer related fraud)

3. Tindak pidana yang terkait dengan konten (content-related offences). Tindak pidana yang dimaksud dalam bagian ini hanyalah tindakan mendistribusikan, mentramisikan. Membuat dapat diaksesnya pornografi anak, sedangkan pornografi dewasa tidak diatur. Pornografi anak yang dimaksud dalam materi pornografi yang memperlihatkan secara eksplisit gambar anak di bawah umur, seseorang yang tampak sebagai anak di bawah

umur, gambar yang merepresentasikan anak di bawah umur, yang terlibat dalam aktivitas seksual yang terang-terangan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi anak dengan memperkuat instrumen dalam perlidungan anak,khususnya dari eksploitasi seksual. Tindak pidana tersebut merupkan bagian dari cybercrimes dalam arti luas.

4. Tindak pidana yang terkait dengan pelanggaran hak cipta dan hak yang terkait. Pengaturan dalam CoC hanya ditujukan terhadap pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran yang sangat sering terjadi di internet, tindak pidana ini juga merupakan bagian dari cybercrimes dalam arti luas. 5. Tindak pidana percobaan (attempt) dan pembantuan (aiding or abetting) c. Pembatasan Pertanggungan jawaban Pidana

Terkait dengan ketentuan pembantuan dalam tindak pidana cyber,

Convention on Cybercrime memberikan batasan pertanggungjawaban terhadap

penyelengara jasa yang telibat dalam transmisi atau komunikasi elektronik. Misalnya, meskipun transmisi konten malicious code memerlukan keterlibatan penyelengara jasa, mereka yang tidak memiliki tujuan untuk melakukan tindak pidana tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana atas perbuatan yang terjadi melalui layanannya. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban bagi penyelengara jasa untuk memonitor konten secara terus menerus dalam rangka menghindari pertanggung jawaban pidana berdasarkan ketentuan ini.

d. Pengaturan Prosedural

Mengingat Convention on Cybercrime merupakan konvensi regional untuk negara-negara anggota Council of Europe meskipun dapat diterapkan oleh

negara-negara lain yang mengaksesi atau meratifikasi konvensi yang dimaksud, dalam konvensi ini diatur hukum acara pidana yang harus diterapkan oleh negara anggota dalam peraturan perundang-undangan untuk menciptakan keseragaman pengaturan. pengaturan hukum acara pidana dalam CoC mencakup kewenangan prosedur dalam menangani :

1. Penyidikan tindak pidana yang diatur dalam konvensi

2. Penyidikan tindak pidana lain yang dilakukan dengan menggunakan sistem komputer

3. Pengumpulan alat bukti elektronik e. Kerja Sama Internasional

Karakteristik tindak pidana cyber yang lintas batas negara mengharuskan aparat penegak hukum untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum dari negara lainya. Untuk memfasilitasi kerjasama tersebut, Convention on Cybercrime mencantumkan pengaturan kerjasama internasional dalam bidang penyidikan maupun proses peradilan pidana lainya terkait dengan sistem komputer dan data komputer serta pengumpulan alat bukti elektronik. Secara umum, kerja sama yang dimaksud ialah dalam bidang ekstradisi dan dalam bidang bantuan timbal balik

(mutual assistance).

c. Perlindungan Hukum Terhadap korban kejahatan.

Masalah korban kejahatan menimbulkan berbagai permasalahan dalam masyarakat pada umumnya pada korban/pihak korban kejahatan pada khususnya (orang dewasa dan anak). Belum adanya perhatian dan pelayanan terhadap korban kejahatan suatu masyarakat merupakan tanda belum atau kurang adanya keadilan

dan pengembangan kesejahteraan dalam masyarakat tersebut. Ini berarti juga bahwa citra mengenai sesama manusia dalam masyarakat tersebut masih juga belum memuaskan dan perlu di sempurnakan demi pembangunan manusia yang seutuhnya.7

Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak diperdulikan sama sekali.8

Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immateril maupun materil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat Dalam setiap penanganan perkara pidana aparat penegak hukum (polisi, jaksa) sering kali dihadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan yang terkesan saling berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus dilindungi untuk memulihkan penderitaanya karena telah menjadi korban kejahatan (secara mental, fisik, maupun material), dan kepentingan tertuduh/tersangka sekalipun dia bersalah, tetapi dia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Terlebih apabila atas perbuatanya itu belum ada putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Oleh karena itu, pelaku harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah).

7

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, UniversitasTrisakti, Jakarta , 2007, Halaman. 17.

8

Dikdik, M. Arief Mansur, Urgensi perlindugan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, Halaman. 24.

bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil.

Hukum pidana materil dan hukum pidana formal (KUHAP) lebih menitik beratkan perhatian pada pembuat korban (pelaku kejahatan) dari pada korban, seolah-olah terdapat suatu perbedaan atau pemisahan yang tajam antara si pembuat korban dengan si korban, walaupun keduanya memiliki peranan yang fungsional dalam terjadinya tindak pidana.

Dalam penegakan hukum pidana Nasional (baik KUHP maupun KUHAP) harus dilaksanakan sesuai dengan isi ketentuan hukum pidana nasional tersebut, yang telah diatur secara tegas tanpa memerhatikan kedudukan dan kepentingan korban, ternyata hingga sekarang hanayalah sebuah regulitas yang bersifat rutin namun tanpa makna ketika harus berhadapan dengan pentingnya perlindungan korban kejahatan, Jika hukum pidana nasional berlaku secara umum untuk seluruh wilayah Indonesia, muncul pertanyaan, berlaku untuk siapa ketentuan tersebut jika tidak memerhatikan kepentingan para korban kejahatan. Baik KUHP maupun KUHAP seolah-olah layaknya sebuah hiperealitas hukum, yaitu undang menjadi pembenar sebuah kejahatan dan pelaksana undang-undang berubah menjadi mayat hidup, robot, dan mesin dengan remote control yang pada akhirnya realitas undang menopengi kebenaran dan undang-undang kejahatan.9

Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting karena masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau bahkan sebagai pelaku kejahatan.

Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.

Dalam penanganan perkara pidana, kepentingan korban sudah saaatnya untuk diberikan perhatian khusus, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before the law). Perhatian kepada korban dalam penanganan perkara pidana hendaknya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban (compassion and respect for their dignity).

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yan mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita, menderitanya korban bisa di sebabkan murni karena keterlibatan korban di dalamnya, namun demikian secara umum korban merupakan individu atau kelompok yang menderita secara fisik, mental, dan sosial karena tindakan kejahatan, bahkan korban dapat menderita ketakutan berkepanjangan jika ia melaporkan perbuatan pelaku dan memberikan kesaksian yang memberatkan pelaku di pengadilan.

Dokumen terkait