• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pengertian Perjanjian

Disni istilah “perjanjian” tanpa adanya penjelasan lebih lanjut menunjuk pada perjanjian obligator, yaitu perjanjian yang menimbulkan perikatan. Sejak permulaan abad ke-18 dikenal pula perjanjian-perjanjian lainnya yang bukan semata-mata perjanjian yang menimbulkan perikatan, melainkan merupakan perjanjian-perjanjian yang sifat dan akibat hukumnya di bidang-bidang hukum keluarga, hukum kebendaan dan hukum pembuktian.

Perjanjian adalah suatu perbuatan/tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang (pihak) atau lebih, dimana tercapainya sepakat tersebut tergantung dari pihak yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban pihak yang lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.14

Pasal 1313 BW memberikan rumusan tentang “kontrak atau perjanjian

adalah “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih,” subekti memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan Tirtodiningrat memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang- undang.15

Kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.16Perikatan atau perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu

14 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

Kenotariatan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hal 3

15 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian ; Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial, Edisi 2, Cetakan 2, Penerbit Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hal 15-16

16 Ahmadi Miru, Hukum dan Kotrak Perancangan Kontrak, Cetakan ke-4, Penerbit PT.

(kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu.17

Menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

„Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Jika diperhatikan, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari suatu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut.

2. Perjanjian Borongan Kerja

Di dalam KUH Perdata perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan. Menurut pasal 1601 b KUH Perdata, pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang telah ditentukan. Definisi perjanjian pemborongan yang diatur dalam KUH Perdata menurut para sarjana adalah kurang tepat. Karena menganggap bahwa perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak, sebab si pemborong hanya memiliki kawajiban saja sedangkan yang memborongkan mempunyai hak saja. Sebenarnya perjanjian pemborongan adalah perjanjian timbal balik yaitu antara pemborong dengan mana yang memborongkan yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.

17 H. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit PT. Alumni,

Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah perjanjian dimana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan.18

Dilihat dari obyeknya, perjanjian pemborongan bangunan mirip dengan perjanjian lain yaitu perjanjian kerja dan perjanjian melakukan jasa, yaitu samasama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan pihak lain dengan pembayaran tertentu. Perbedaannya satu dengan yang lainnya ialah bahwa pada perjanjian kerja terdapat hubungan kedinasan atau kekuasaan antara buruh dengan majikan. Pada pemborongan bangunan dan perjanjian melakukan jasa tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang tugasnya secara mandiri.19

4. Penyediaan Barang dan Jasa

Pemerintah dituntut untuk memajukan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Mewujudkan hal tersebut maka pemerintah berkewajiban menyediakan kebutuhan rakyat dalam berbagai bentuk berupa barang, jasa maupun pembangunan infrastruktur, kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah inilah menyebabkan meningkatnya jumlah penyedia barang/jasa dengan berbagai macam keahlian.20

Pada konsep penyediaan barang/jasa, posisi lemah selalu dipegang oleh pihak penyedia jasa konstruksi dibandingkan dengan pengguna jasa konstruksi. Pengguna jasa selalu menempati posisi yang lebih tinggi daripada penyedia jasa.

18 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni Bandung, 1985, hal 57

19 Sri Soedewi Masjchun Sofwan. Hukum Bangunan, Perjanjian Pemborongan

Bangunan, Liberty Yogyakarta. 1982. hal 52

20 Amiruddin, Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Penerbuit Genta Publishing,

Konsep ini sudah terjadi dari masa kemasa. Ketidakseimbangan antara jumlah pekerjaan konstruksi/proyek dengan jumlah penyedia jasa dalam hal keterbatasan pekerjaan sudah sering terjadi yang mengakibatkan proses tawar-menawar menjadi sangat lemah. Pengguna jasa pun akan menjadi leluasa memilih penyedia jasa yang dianggapnya lebih menguntungkan. Selain itu untuk mendapatkan suatu proyek, sejumlah badan usaha saling berkompetisi melalui suatu proses pemilihan penyedia barang/jasa yang cukup panjang dan rumit, dan pada akhirnya hanya menguntungkan satu penyedia barang/jasa (Nazarkhan Y.,2003).21

5. Keterlambatan Penyelesaian pekerjaan

Salah satu yang menarik dalam Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah terkait dengan adanya ketentuan mengenai keterlambatan yang dapat melewati tahun anggaran. Dalam pasal 93 telah ditambahkan ketentuan mengenai keterlambatan ini, yakni pada

ayat (1a) yang berbunyi “Pemberian kesempatan kepada Penyedia

Barang/Jasa menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender, sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.1. dan huruf a.2., dapat melampaui Tahun Anggaran“. Hal ini belum pernah diatur secara tegas baik pada Keppres Nomor 80 Tahun 2003 berikut perubahannya sampai dengan dikeluarkannya Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

21 Nazarkhan, Y. Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia, PT Gramedia Pustaka

Hal ini tentu saja menjawab berbagai masalah yang selalu muncul disaat pelaksanaan pekerjaan memasuki akhir tahun anggaran dan kondisi pekerjaan diperkirakan belum dapat selesai disisa waktu kontrak normal, sedangkan masa pelaksanaan kontrak normal berada dipenghujung tahun anggaran. Untuk kondisi seperti ini sebaiknya kita dapat merujuk pada apa yang pernah terjadi di tahun 2012, dimana banyak sekali masalah yang timbul mengenai keterlambatan pelaksanaan penyelesaian pekerjaan pada proyek pemerintah. Dan dalam kondisi ini, sering para anggota pokja atau staf yang menjadi panitia pengadaan barang/jasa atau pejabat pengadaan barang/jasa di suatu SKPD menjadi sorotan utama yang berdampak menjadi rasa ketidaknyamanan bagi setiap pihak yang bertugas sebagai panitia/pejabat pengadaan barang/jasa. Seharusnya dalam kondisi ini kita harus lebih bisa mencermati permasalahan yang ada.

Masalah pengadaan umumnya tidak melanggar masalah prinsip-prinsip pengadaan yang berimbas tidak adanya kerugian negara yang ditimbulkan. Hal ini berbeda dengan pengadaan bermasalah yang cenderung melanggar ketentuan dan prinsip pengadaan dan pada akhirnya berpotensi menimbulkan kerugian negara. Kembali ke masalah utama yang akan kita bahas saat ini adalah mengenai keterlambatan dan dampak yang ditimbulkan dengan adanya pasal 93 ayat (1a) Perpres Nomor 4 Tahun 2015. Pada pasal 93 tersebut seolah-olah menjadi hak penyedia dalam memasuki masa keterlambatan penyelesaian pekerjaan, padahal sesungguhnya pada pasal tersebut adalah fasilitas pemberian kesempatan kepada penyedia yang melalui proses penilaian secara profesional oleh PPK selaku pemilik pekerjaan. Keputusan pemberian kesempatan sebagaimana diatur dalam pasal 93 Perpres Nomor 54 tahun 2010 sebagaimana diubah terakhir dengan

Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tergantung pada pada hasil penilaian PPK atas permohonan penyedia untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dimasa waktu di luar masa kontrak normal. Namun apabila dalam penilaian tersebut, PPK berkeyakinan bahwa penyedia akan dapat menyelesaikan pekerjaan dalam rentang waktu 50 hari sesuai dengan pasal 120 Perpres Nomor 54 Tahun 2012 sebagaimana diubah terakhir dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2015, maka penyedia dikenakan denda keterlambatan 1/1000 per hari untuk keterlambatan yang disebabkan atas kesalahan penyedia.22

Dokumen terkait