• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)

A. Sejarah Lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Gagasan untuk menghadirkan undang-undang perlindungan saksi dan korban dimulai pada tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai mempersiapkan perancangan undang-undang perlindungan saksi. Hal ini kemudian disusul dengan adanya naskah akademis66 tentang undang-undang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini kemudian menghasilkan RUU perlindungan saksi.67

Kemudian undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan (TAP) MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang menyatakan bahwa perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi. Berdasarkan amanat TAP MPR tersebut, maka Badan Legislasi DPR RI kemudian mengajukan sebuah RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada

66

Setelah dibentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Prundang-Undangan dalam proses pembentukan Undang-Undang harus ada naskah akademis.

67 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban: LPSK "http://www.lpsk.go.id/ diakses pada Rabu 18 Mei 2016, Pukul 19:05 WIB.

tanggal 27 Juni 2002 dan ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR.68

Februari 2005 Rapat Paripurna ke 13 DPR RI Peridoe 2004-2009 telah menyetujui Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Salah satu RUU yang diprioritaskan untuk segera dibahas adalah RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Sepuluh fraksi di DPR RI memandang bahwa RUU Perlindungan Saksi yang juga memuat mengenai ketentuan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki peran strategis dalam upaya penegakan hukum dan memciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi, melalui Perlindungan Saksi dan Korban.69

Selanjutnya pada tanggal 30 Agustus 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan sebuah Surat Presiden mengenai kesiapan pemerintah untuk pembahasan RUU PSK serta sekaligus menunjuk Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan tersebut. Turunnya Surat Presiden tersebut sudah menunjukkan itikad baik dari pemerintah agar RUU PSK dapat segera di bahas di DPR.70

Hal tersebut kemudian di respon oleh Komisi III DPR RI yang menetapkan pembahasan RUU PSK dalam bentuk Panitia Kerja (Panja). Proses pembahasan RUU yang dibantu oleh wakil dari pemerintah dilakukan

68

Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia Sebuah Pemetaan Awal, cet1 (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007), h. 9.

69

Zakaria, Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Upaya Perlindungan Terhadap Whistleblower (Makassar: Universitas Hasanudin, 2015), h. 30.

70

Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia Sebuah Pemetaan Awal, cet1 (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007), h. 9.

secara marathon sejak tanggal 8 Februari 2006, hasil pembahasan tersebut di rumuskan oleh Tim Perumus (Timus) dan Penelitian Bahasa (Libas) yang diteruskan dalam Rapat Komisi III dan Pleno DPR. Pada tanggal 18 Juli 2006 akhirnya RUU ini disahkan menjadi UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK).

Namun mengingat undang-undang tersebut masih terdapat beberapa kekurangan baik dalam lingkup konsep perlindungan, tata cara perlindungan, hak saksi maupun korban sampai dengan masalah kelembagaan.71 Maka kemudian dalam rangka penyempurnaan UU perlindungan saksi dan korban. Pada tahun 2014 dibuatlah UU No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 13 Tahun 2006. Lahirnya undang-undang ini ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana.

B. Visi, Misi, Serta Tugas dan Wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Visi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah terwujudnya perlindungan saksi dan korban yang ideal dalam sistem peradilan pidana. Dalam mewujudkan visi tersebut, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memiliki misi sebagai berikut:72

71

Lihat UU perlindungan Saksi Belum Progresif, Supriyadi Widodo Eddyono, ELSAM-Koalisi Perlindungan Saksi, 2006.

72

VISI & MISI LPSK

http://www.lpsk.go.id/assets/uploads/files/7470d2304eef7ec20ca2e7c6489a79cb.pdf diakses pada Rabu 18 Mei 2016, Pukul 18:05 WIB.

1. Mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam peradilan pidana.

2. Mewujudkan kelembagaan yang profesional dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban.

3. Memperkuat landasan hukum dan kemampuan dalam pemenuhan hak-hak saksi dan korban.

4. Mewujudkan dan mengembangkan jejaring dengan para pemangku kepentingan dalam rangka pemenuhan hak-hak saksi dan korban.

5. Mewujudkan kondisi yang kondusif serta partisipatif masyarakat dalam perlindungan saksi dan korban.

Untuk menjalankan visi dan misinya maka LPSK memiliki tugas dan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Dalam ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Koran (LPSK), adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam UndangUndang. Namun UU PSK tidak merinci tugas dan kewenangan dari LPSK tersebut lebih lanjut.73 Perumus UU kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan wewenang LPSK dalam suatu bagian atau bab tersendiri dalam UU No 13 Tahun 2006 seperti peraturan lainnya, melainkan menyebar di seluruh UU.74

73

Lihat Pasal 12 UU No 13 Tahun 2006.

74

Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia Sebuah Pemetaan Awal, cet1 (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007), h. 14.

Tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam UU No 13 Tahun 2006, yaitu:

1. Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan (Pasal 29).

2. Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 29).

3. Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 1). 4. Menghentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 32). 5. Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban) berupa hak

atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7).

6. Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33 dan 34).

7. Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 34).

8. Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan (Pasal 39).

LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.75 Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, LPSK melaksanakan:76

1. Merumuskan kebijakan di bidang Perlindungan Saksi dan Korban; 2. Melaksanakan perlindungan terhadap Saksi dan Korban;

3. Melaksanakan pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada Saksi dan atau Korban;

4. Melaksanakan diseminasi dan hubungan masyarakat;

5. Melaksanakan kerjasama dengan instansi dan pendidikan pelatihan; 6. Melaksanakan pengawasan, pelaporan, penelitian dan pengembangan; 7. Melaksanakan tugas lain berkaitan dengan pelindungan Saksi dan Korban.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, LPSK memiliki struktur yang terdiri dari pimpinan, anggota dan sekretaris. Anggota LPSK memiliki tanggung jawab atas tugas dan fungsi:

1. Perlindungan; 2. Bantuan; 3. Kerjasama;

4. Pendidikan dan Pelatihan; 5. Pengawasan:

6. Pelaporan;

7. Penelitian dan Pengembangan; 8. Pembentukan hukum; dan

75

Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010 tentang tugas dan fungsi LPSK. Pasal 2

76

Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010 tentang tugas dan fungsi LPSK. Pasal 3

9. Diseminasi dan humas.77

C. Keanggotaan dan Struktur Organisasi LPSK 1. Keanggotaan LPSK

Anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Akademisi, Advokat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat.78

Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK dibantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK. Sekretariat LPSK dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil.79

2. Struktur Organisasi LPSK

Dalam menjalankan tugasnya LPSK terdiri atas unsur Pimpinan dan Anggota. Unsur pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota yang dipilih dari dan oleh anggota LPSK. Pelaksanaaan kegiatan LPSK dilakukan oleh beberapa anggota yang bertanggung jawab pada bidang-bidang yakni Bidang Perlindungan, Bidang Bantuan, Kompensasi, dan Restitusi, Bidang Kerjasama, Bidang Pengembangan Kelembagaan, dan Bidang Hukum Diseminasi dan Humas.

77

Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010 tentang tugas dan fungsi LPSK. Pasal 4

78

Pasal 14 Undang-undang No 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban.

79 Pasal 18 Undang-undang No 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban

Untuk mengefektifkan kinerjanya, LPSK merubah susunan Bidang-bidang menjadi Divisi-divisi. Sebelumnya ada 5 Bidang-bidang dalam pelaksanaan kegiatan LPSK dimana masing-masing anggota bertanggung jawab pada masing-masing bidang. Seiring berjalannya pelaksanaan tugas dan fungsi LPSK, susunan tersebut dirubah menjadi dua divisi. Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban dan Divisi Hukum, Kerjasama dan Pengawasan Internal. Diseminasi dan Humas menjadi sebuah Unit langsung dibawah tanggungjawab Ketua LPSK. Dengan susunan baru ini, LPSK berharap akan lebih fokus dalam pelaksanaan kegiatannya.

Agar tugas dan fungsi LPSK sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 13 Tahun 2006 dapat berjalan, maka diangkat seorang Sekretaris berdasarkan Permensesneg No. 5 Tahun 2009 tentang Organisasi Tata Kerja Sekretariat LPSK.80

D. Tugas dan Fungsi Sekretariat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Sekretariat merupakan satu organisasi yang memiliki peran penting dalam mendukung pelaksanaan tugas lembaga. Diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2008 tentang Kesekretariatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan Peraturan Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja

80

LPSK - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban :

http://www.lpsk.go.id/page/51b6b27a9b4ab. diakses pada Rabu 18 Mei 2016, Pukul 20:05 WIB.

Kesekretariatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, menjadi dasar hukum bagi pengelolaan dan tata laksana organisasi kesekretariatan LPSK.81

Sesuai Peraturan Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 komposisi jabatan struktural di Sekretariat LPSK terdiri dari:

1. 1 (satu) Sekretaris setingkat Eselon II.

2. 4 (empat) Kepala Bagian setingkat Eselon III.

3. 9 (sembilan) Kepala Sub Bagian setingkat Eselon IV.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009, Sekretariat Perlindungan Saksi dan Korban menyelenggarakan fungsi:

1. Penyelenggaraan kegiatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; 2. Pengelolaan pelayanan administrasi permohonan perlindungan, kompensasi, restitusi dan pemberian bantuan;

3. Pengelolaan pelayanan administrasi pengaduan dari masyarakat; 4. Pelaksanaaan urusan hukum dan hubungan masyarakat;

5. Pelaksanaan urusan kerjasama kelembagaan, penelitian dan kepatuhan; 6. Pengelolaan program dan anggaran;

7. Pengelolaan urusan kepegawaian; 8. Pengelolaan urusan keuangan;

9. Pengelolaan urusan ketatausahaan; dan

81

VISI & MISI LPSK

http://www.lpsk.go.id/assets/uploads/files/7470d2304eef7ec20ca2e7c6489a79cb. pdf, diakses pada Ju ’at Mei , Pukul : WIB.

10. Pengelolaan urusan perlengkapan dan rumah tangga.

E. Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK

Perlindungan terhadap saksi dan korban diberikan berdasarkan beberapa asas seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yaitu: “penghargaan atas harkat dan martabat, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum”. Sebelum saksi dan korban bisa mendapatkan perlindungan hukum dari LPSK, mereka harus melewati beberapa prosedur yang telah ditetapkan oleh LPSK. Seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 28 – pasal 36 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.

Proses Pemberian Perlindungan Bagi Saksi dan/atau Korban:82

a. Permintaan diajukan secara tertulis oleh pihak yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri, diajukan oleh orang yang mewakilinya, dan atau oleh pejabat yang berwenang kepada LPSK;

b. Pemberian perlindungan dan bantuan kepada Saksi dan/atau Korban ditentukan dan didasarkan pada “Keputusan LPSK;

c. Dalam hal LPSK menerima permohonan tersebut, Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan berkewajiban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban;

d. Perlindungan LPSK diberikan kepada Saksi dan/atau Korban termasuk keluarganya sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan;

e. Perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban diberikan sejak ditandatanganinya perjanjian pemberian perlindungan;

f. Pembiayaan perlindungan dan bantuan yang diberikan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

g. Perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan: (a) inisiatif sendiri dari Saksi dan/ atau Korban yang dilindungi, (b) atas permintaan pejabat yang berwenang, (c) saksi dan/ atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau (d) LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/ atau Korban

82

LPSK Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban http://www.lpsk.go.id/permohonan di akses pada Ju ’at Mei , Pukul : WIB.

tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan; dan

h. Penghentian perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban harus dilakukan secara tertulis.

Pasal tersebut sudah cukup baik dalam mengatur proses pemberian perlindungan bagi saksi dan korban. Mulai dari permohonan sampai proses penghentian perlindungan yang dari segi regulasi cukup memudahkan pemohon. Tinggal mengimplementasikannya dalam praktek dilapangan.

Adapun beberapa persyaratan yang telah di tentukan oleh LPSK untuk pemberian perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang berbunyi: “Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:”

a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;

b. Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;

c. Basil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban; d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau

Korban.83

Ada pula syarat untuk mendapatkan perlindungan bagi pelapor dan saksi pelapor menurut peraturan bersama, Menteri hukum dan hak asasi manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi RI, Ketua LPSK No: M.HH-11.HM.03.02.th.2011 No : PER-045/A/JA/12/2011 No : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 No : 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama, adalah sebagai berikut:

83

a. Adanya informasi penting yang diperlukan dalam mengungkap terjadinya atau akan terjadinya suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir;

b. Adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman atau tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap Pelapor dan Saksi Pelapor atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya; dan

c. Laporan tentang adanya ancaman atau tekanan tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan tahap penanganannya dan dibuatkan berita acara penerimaan laporan.

Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sebagai berikut:

a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;

b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud;

c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.

Dari ketentuan Pasal 29 ini ada pengaturan mengenai apakah permohonan itu secara tertulis atau permohonan perlindungan seharusnya bukan cuma dari pihak saksi/korban dan pejabat yang berwenang tetapi juga oleh keluarga saksi dan korban yang bersangkutan dan pendamping saksi dan korban.Pengajuan seharusnya dapat dilakukan oleh orang tua atau walinya terhadap korban atau saksi masih dibawah umur atau anak-anak.84

84

Muhadar, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Surabaya: PMN, 2010), h. 204.

Permohonan yang telah diterima akan dilanjutkan kepada UP2 oleh ketua LPSK. UP2 (Unit Penerimaan Permohonan) adalah Unit yang bertugas untuk memberikan pelayanan penerimaan permohonan perlindungan bagi saksi dan korban yang terkait pelaksanaan fungsi dan tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.Sedangkan mengenai keputusan LPSK perihal diterima ataupun ditolaknya suatu permohonan perlindungan yang berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan disampaikan paling lambat 7 hari sejak permohonan perlindungan tersebut diajukan.

Selanjutnya dalam pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 menyebutkan bahwa: “Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban.” Adapun mengenai pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan yang harus ditandatangani oleh saksi dan/atau korban diatur dalam pasal 30 ayat (2) yang berisi:

Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

a. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;

b. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;

c. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK;

d. Kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan e. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.

Proses pengajuan permohonan hingga disetujuinya permohonan tersebut sering kali membingungkan para saksi dan korban, karena mereka harus melewati proses yang tidak pendek untuk mendapat perlindungan dari LPSK ini. Hal inilah yang sering menjadi penyebab saksi dan atau korban merasa enggan untuk meminta perlindungan dari LPSK dan memilih untuk diam. Para saksi dan korban merasa kurang mengerti akan prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh LPSK. Apalagi bagi para saksi dan korban yang tidak begitu mengerti akan hukum. Karena itulah pemdampingan akan seorang advokat akan sangatlah membantu para saksi dan korban ini.

Dengan berada dibawah perlindungan LPSK, saksi dan/atau korban ini tidaklah secara sepenuhnya merasa aman, karena banyaknya persoalan yang kian datang sesuai dengan berjalannya suatu persidangan. Dalam realita sosial penegak hukum tidak mau mendengar, melihat, atau merasakan bahwa saksi yang dipanggil oleh penegak hukum, apakah dirinya merasa aman atau nyaman, termasuk anggota keluarganya. Apalagi dalam setiap tahap pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan yang bertele-tele memakan waktu cukup lama. Kadang-kadang perkara yang telah berlangsung cukup lama, sehingga secara manusiawi saksi atau korban lupa akan peristiwa itu, tetapi di depan sidang pengadilan harus dituntut kebenaran kesaksiannya.85

F. Hubungan Kerja Sama Lembaga Perindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dengan Lembaga Lain

85 Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, (Sinar Grafika, 2012), h. 305.

a. Kerjasama dengan Lembaga atau Instansi Lainnya

Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang. Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan maka instansi terkait, sesuai dengan kewenangannya, wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalamUndang-Undang ini.86

Dari paparan tersebut terlihat bahwa LPSK dalam menjalankan tugasnya akan dibantu oleh berbagai instansi terkait terutama instansi pemerintah. Hal ini memang sudah seharusnya diberikan. Karena sudah menjadi platform umum, bahwa masalah yang terkait dengan perlindungan saksi hanya bisa ditangani secara efektif melalui pendekatan multi lembaga.87

Terkait dengan kerjasama antar lembaga/instansi lainnya dapat dilihat peran masing-masing lembaga tersebut adalah sebagai berikut:88 a. Kepolisian, berperan:

1. Memberi dukungan keamanan dan penjagaan dalam program perlindungan;

2. Penerima benefit (sebagai penyelidik yang saksinya dilindungi). b. Kejaksaan, berperan:

86

Lihat Pasal 36 UU No 13 Tahun 2006.

87

Lihat Nicholas R. Fyfe, Perindungan Saksi Terintimidasi, ELSAM, 2006

88

Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia Sebuah Pemetaan Awal, cet1 (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007). h. 30.

1. Memberi dukungan administrasi (pihak perpanjangan tangan bagi saksi yang melaporkan intiidasi);

2. Penerima benefit (sebagai penuntut umum yang saksinya dilindungi);

3. Memberi dukungan untuk informasi hasil pengadilan, putusan atau pembebasan pelaku.

c. Pengandilan, berperan:

1. Memberi dukungan untuk perlindungan dalam sidang pengadilan, misalnya: merubah format ruang sidang, mempersiapkan siding tertutup, teleconference, dan sebagainya;

2. Memberi dukungan untuk informasi hasil pengadilan.

d. Departemen Dalam Negeri, berperan memberi dukungan untuk perubahan status administrasi kependudukan dan lain-lain.

e. Departemen Kesehatan, berperan:

1. Memberi dukungan untuk pengobatan medis maupun psikososial; 2. Memberi dukungan untuk perubahan catatan medis, face off dan

lain-lain.

f. Departemen Hukum dan HAM, berperan memberi dukungan perlindungan bagi saksi dalam status narapidana: pemindahan tahanan, penjagaan khusus dalam LP dan lain-lain.

g. Departemen Pendidikan, berperan:

1. Memberi dukungan perubahan akte, ijazah dan administrasi pendidikan;

2. Memberi dukungan untuk menyediakan sekoah bagi saksi atau keuarga saksi yang mendapat relokasi.

h. Komisi Khusus: KPK, Komnas HAM, PPATK, BNN, dan lain-lain, berperan:

1. Memberi dukungan administrasi (pihak perpanjangan tangan bagi saksi yang melaporkan intimidasi);

2. Penerima benefit (yang saksinya dilindungi);

3. Memberi dukungan perlindungan yang mungkin ada berdasarkan kewenangannya.

i. Kepala Pemerintahan Daerah, berperan:

1. Memberi dukungan untuk akses relokasi di wilayahnya; 2. Memberi dukungan untuk kemudahan administrasi. j. Departemen Tenaga Kerja, berperan:

1. Memberi dukungan pemindahan tenaga kerja; 2. Memberi dukungan pemberian pekerjaan bagi saksi.

b. Kerjasama dengan Lembaga Swasta dan Organisasi Masyarakat lainnya Disamping itu LPSK sangat perlu bekerjasama dengan masyarakat baik pihak swasta maupun organisasi masyarakat, dalam rangka memberikan dukungan. Perlu dikemukakan bahwa saat ini sudah banyak masyarakat secara swadaya membentuk task force perlindungan saksi bagi kasus-kasus tertentu, seperti: pemberian rumah aman atau rumah singgah

(safe house) sementara bagi kasus-kasus kekerasan seksual dan KDRT baik bagi korban perempuan maupun anak.89

Untuk mensinergikan perlindungan maka UU PSK harus pula membuka kerjasama dengan masyarakat, disamping itu hal ini berguna pula bagi LPSK baik secara logistik maupun dukungan sumberdaya perlindungan. Dalam prakteknya LPSK juga akan melakukan kordinasi dengan lembaga seperti.90

a. Organisasi Masyarakat, NGO, berperan:

1. Memberi dukungan keamanan dan penjagaan dalam program perindungan;

2. Memberi dukungan akomodasi dan “safe house”.

Dokumen terkait