SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakutas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Meperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Said Agung Sedayu
NIM : 1112048000045
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
i
EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN
KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI
INDONESIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Said Agung Sedayu
NIM: 1112048000045
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Alfitra, S.H., M.Hum. Fitria, S.H., M.R.
NIP. 197220203200701034 NIP. 197908222011012007
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI
DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA”
telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu Hukum dengan Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara.
Jakarta, 6 Oktober 2016
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. NIP: 196912161996031001
PANITIA UJIAN:
1. Ketua : Drs. H. Asep Syarifudin Hidayat, S.H.,M.H. (……….) NIP: 196911211994031001
2. Sekretaris : Nur Rohim Yunus, LLM (……….)
NIP: 197904182011011004
3. Pembimbing I : Dr. Alfitra, S.H.,M.Hum (……….)
NIP: 197220203200701034
4. Pembimbing II: Fitria, S.H.,M.R (……….)
NIP: 19790822201101200
5. Penguji I : Dr.H. M. Ali Hanafiyah, S.H.,M.H (……….)
NIP: 196702032014111001
6. Penguji II : Dedy Nursamsi, S.H.,M.Hum (……….)
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 September 2016
ABSTRAK
SAID AGUNG SEDAYU, NIM 1112048000045. EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/ 2016 M. x + 71 halaman + 3 halaman Daftar Pustaka.
Skripsi ini bertujuan untuk memahami bagaimana eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk untuk mengimplementasikan UU No. 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang ditujukan untuk memastikan terakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana. Namun sebagai lembaga yang masih terbilang baru ada beberapa kendala yang dirasakan LPSK baik dari segi kelembagaan maupun undang-undang yang mengaturnya sehingga menghambat dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan normatif empiris. pendekatan ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Bahan hukum yang digunakan penulis ada tiga yaitu bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Dalam penelitian ini dapat ditemukan kendala-kendala yang dirasakan LPSK antara lain kurangnya dukungan anggaran maupun SDM sehingga pemberian layanan bagi saksi dan korban belum optimal. Kemudian mengenai kedudukannya dalam sistem peradilan pidana. Meskipun LPSK sebagai lembaga yang secara nyata sudah mempunyai mandat untuk melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban dan menjalankan peranannya dalam keseluruhan proses peradilan pidana namun kedudukannya belum diatur dalam KUHAP.
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan
semesta alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul: “EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI
DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA” dengan lancar dan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkankan kepada manusia
teristimewa yang diistimewakan oleh Allah Yang Maha Istimewa yaitu Nabi
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan juga bagi kita selaku
pengikut setia beliau hingga akhir hayat.
Dan tidak lupa ucapan terima kasih dan cinta yang sedalam-dalamnya
kepada kedua orang tua tercinta Mamah Murni dan Papah Rodi Saroyo, serta
nenek tercinta Emak Dinih. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak
pihak yang telah membantu penulis baik secara materil maupun immateril. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
3. Dr. Alfitra, SH, M. Hum dan Fitria, SH, MR selaku Dosen Pembimbing I dan
II yang telah bersedia memberikan waktu dan arahan serta masukan kepada
penulis disela-sela kesibukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas mendidik
dan membimbing penulis dari semester 1 hingga selesai penulisan skripsi ini.
Segenap staff Perpustakaan FSH dan staff Perpustakaan Utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memfasilitasi untuk mengadakan studi
kepustakaan memberi data guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Andreas selaku Humas LPSK dan Bapak Syahrial Martanto selaku
Tenaga Ahli Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban yang telah meluangkan
waktu dalam memberikan informasi dan data terkait skripsi penulis.
6. Al Habib Segaf Bin Umar Bin Abdurrahman Assegaf (Pimpinan Majelis
Ta’lim Walmudzakaroh Mahabbatussholihin) Guru teristimewa yang telah
mendoakan dan membimbing penulis. Semoga Allah SWT panjangkan umur
beliau, sehatkan badan beliau dan diberkahi setiap langkah perjuang beliau.
7. Adik tercinta Maulana Sidiq Sedayu yang telah banyak membantu dikala
printer eror, dan M Ridho Bhogowonto Sedayu yang banyak menghibur
penulis dengan celotehannya.
8. Keluarga besar yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil,
Mbah Kung dan Mbah Putri, Budhe Peni, Om Peri & Tante Nining, Tante Ita
vii
9. Sahabat-sahabat tercinta dari Ilmu Hukum Angkatan 2012 M Yusuf, Renaldi
Hendryan, Sigit Ganda, Dimas Anggri, Agie Zaky, Ade Kurniawan, Agasti
Prior, Farid Muhajir, Farhan Naziri, Maulana Malik, Rifky Razaqi,
Muhammad Ansyori, Deni Fernandez, Bagdhady Zanjani, Murtadlo dan
teman-teman lainnya terimakasih atas kebersamaan dan keceriaannya selama
ini.
10.Kelompok KKN Syakir, Agus, Aqil, Ijal, Vedra, Satrio, Aras, Imam, Salma,
Suci, Yayang, Rini, Devi, Luxy, dan Asri yang telah memberikan kesan
mendalam kepada penulis.
11.Keluarga Besar Variant Owner Riders Club (VORC) Jakarta, Bang Chandra
(Pembina VORC), Rendi Agung (WakaVORC), Dendy Apriansyah (SekBen
VORC), Tri Arianto (Kabid Humas VORC), Bowo (Humas VORC), Yudha
Eka, Bunaya, Putra (Member VORC) yang telah memacu semangat penulis,
salam RBC. Dan seluruh pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, semoga mendapat keberkahan dari Allah SWT.
Demikian penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang terdapat dalam penulisan skripsi
ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para
pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 29 September 2016 Penulis
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 11
E. Kerangka Konseptual ... 13
F. Metode Penelitian ... 14
G. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II LANDASAN TEORI SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana ... 20
B. Komponen Sistem Peradilan Pidana ... 22
ix
2. Kejaksaan ... 26
3. Pengadilan ... 27
4. Lembaga Pemasyarakatan ... 29
5. Advokad ... 32
C. Model Sistem Peradilan Pidana ... 36
1. Crime Control Model………36
2. Due Process Model………...37
D. Kedudukan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana………...39
BAB III TINJAUAN UMUM LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) A. Sejarah Lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban……...41
B. Visi, Misi, Serta Tugas dan Wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban...43
C. Keangotaan dan Struktur Organisasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ...47
D. Tugas dan Fungsi Sekretariat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ………...48
E. Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ….………50
BAB IV EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
A. Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam
Sistem Peradilan Pidana …...60
B. Tantangan dan Kendala Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ....67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.………...74
B. Saran…...……...75
DAFTAR PUSTAKA…...……...76
LAMPIRAN :
1. Lampiran surat permohonan wawancara kepada pihak LPSK
2. Lampiran surat keterangan telah melakukan penelitian di LPSK
3. Lampiran hasil wawancara bersama Bapak Syahrial Martanto Wiryawan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Hingga saat ini negara Indonesia telah mengalami empat kali
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945),1 dalam penjelasan pasal 1 ayat (3) dirumuskan dengan tegas
menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechstaat)”.
Selain istilah rechtstaat, sejak tahun 1966 dikenal pula istilah The rule of
law yang diartikan sama dengan negara hukum.2
Namun negara hukum Indonesia agak berbeda dengan rechtsstaat
atau the rule of law. Rechtsstaat mengedepankan wetmatigheid (tindakan
pemerintah berdasarkan undang-undang), yang kemudian menjadi
rechtsmatigheid (jaminan atas tindakan pemerintah), sedangkan The rule
of law mengutamakan prinsip equality before the law. Adapun negara
hukum Indonesia, menghendaki adanya keserasian hubungan antara
pemerintah dan rakyat yang mengedepankan asas kerukunan. Dari prinsip
ini terlihat pula adanya elemen lain dari negara hukum Pancasila yakni
terjalinnya hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan
negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah, dan peradilan
1
Jimy AsshidiqieStruktur Ketatanegaraan Indonesia Seteah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, (Makalah di sampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Penegakkan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Denpasar, 14-18 Juli 2003), h.1.
2 Muhammad Tahir Azhary,
merupakan sarana terakhir. Sejauh menyangkut HAM, yang ditekankan
bukan hanya hak atau kewajiban, melainkan juga jalinan yang seimbang
antara keduanya.3
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan makna terdalam dari Negara berdasarkan atas hukum adalah: “...kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum”. Konsep negara hukum tentu saja sekaligus memadukan paham kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum sebagai satu kesatuan.4
Era reformasi, pasca perubahan atas UUD 1945, strategi
pembangunan hukum nasional berpedoman pada apa yang dikenal sebagai
Visi dan Misi Pembangunan Hukum Nasional. Visi Pembangunan Hukum
Nasional adalah terwujudnya negara hukum5 yang adil dan demokratis
melalui pembangunan sistem hukum nasional yang mengabdi kepada
kepentingan rakyat dan bangsa didalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia untuk melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
3
Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan Administrasi, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 72.
4
Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. (Bandung: PT. Alumni, 2002), h. 12.
5
Menurut Mahfud MD yang mengutip hasil dari Konferensi International
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Visi tersebut kemudian diimplementasikan dalam
Misi Pembangunan Hukum Nasional dengan:
1. Mewujudkan materi hukum di segala bidang dalam rangka
penggantian terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial
dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan
masyarakat yang mengandung kepastian, keadilan, dan kebenaran,
dengan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat;
2. Mewujudkan budaya hukum dan masyarakat yang sadar hukum;
3. Mewujudkan aparatur hukum yang berkualitas, professional, bermoral,
dan berintegritas tinggi; serta Mewujudkan lembaga hukum yang kuat,
terintegrasi, dan berwibawa.6
Dari keseluruhan hukum yang berlaku di Indonesia, berlaku pula
hukum pidana, yaitu semua aturan yang mempunyai perintah dan larangan
yang memakai sanksi (ancaman) hukuman bagi mereka yang
melanggarnya.7 Sedangkan menurut Hazewinkel Suringa, hukum pidana
adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah
atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana
(sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.8
6 Aziz Syamsudin,
Tindak Pidana Khusus, Cet. II (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.1.
7
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), h. 114.
8
Dengan demikian, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana,
tanpa tawar-menawar. Seseorang dikenakan pidana karena telah
melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apa pun yang mungkin
timbul dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan, apakah dengan
demikian masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa
lampau, tidak dilihat ke masa depan.9
Konsep hukum pidana Indonesia dari tahun ke tahun telah
menunjukkan kemajuan yang baik dalam konsepsi dasar pandangan
hukum pidana yang dialirkan melalui penyerapan perkembangan ilmu
pengetahuan dalam hal hukum pidana maupun nilai-nilai budaya atau
budaya hukum yang bersumber pada perubahan dalam pembangunan
masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan manusia ternyata sendi kebenaran
dan keadilan itu meliputi segala macam segi kehidupan dalam masyarakat,
baik di bidang hukum maupun di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya
dan kemasyarakatan lainnya.10
Pada umumnya tindak pidana yang terjadi menimbulkan korban.
Dapat dikatakan korban mempunyai peran fungsional dalam terjadinya
tindak pidana. Tindak pidana (kejahatan) dapat terjadi karena ada pihak
yang berperan, sadar atau tidak sadar, dikehendaki atau tidak oleh
9
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Cet. I (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), h.23.
10
korban.11 Selain itu terdapat juga saksi, yaitu orang yang dapat memberi
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
tentang sesuatu perkara pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri
dan dia alami sendiri.
Dalam hukum pidana terdapat sebuah sistem peradilan, atau istilah
yang mulai populer di Indonesia, yaitu criminal justice system yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi sistem peradilan pidana.12
Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system kini telah
menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem.13
Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang dibuat untuk
menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu
ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat, merupakan salah satu
usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada
dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Pelaksanaan peradilan pidana
adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat
dengan mengajukan para pelaku kejahatan ke pengadilan sehingga
11
1G. Widiartana, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), h. 26.
12
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996), h.2.
13
menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan membuat para calon
pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan.14
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (structural syncronization) dalam arti keselarasan mekanisme administrasi peradilan pidana, dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization) dalam arti menghayati pandangan, sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.15
Selama ini dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan
korban hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan
keterangan yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam mengungkap
sebuah tindak pidana. Hal ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak
hukum yang menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap
dalam mengungkap suatu tindak pidana dan memiliki hak-hak yang tidak
banyak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), padahal untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah tindak
pidana, tentunya keterangan yang disampaikan tersebut dapat
memberatkan atau meringankan seorang terdakwa.
Tentunya bagi terdakwa apabila keterangan seorang saksi dan
korban tersebut memberatkan tersangka/terdakwa, maka ada
kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai
pihak yang dapat memberatkannya dalam proses penanganan perkara, hal
14Abdussalam dan DPM Sitompul
, Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Restu Agung, 2007), h. 4.
15Muladi,
ini tentunya dapat mengancam keberadaan saksi dan korban. Berdasarkan
hal tersebut, maka tentunya seorang saksi dan korban perlu mendapatkan
perlakuan dan hak-hak khusus, karena mengingat keterangan yang
disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya sebagai seorang
saksi.16
Mengingat bahwa jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban
memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana. Sehingga dengan
keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut
dan ancaman dapat mengungkap suatu tindak pidana. Serta belum
terdapatnya mekanisme perlindungan saksi dan korban yang baik dari
lembaga-lembaga penegak hukum yang ada.
Maka dibentuklah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK), yang pembentukannya diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK). Yang
diundangkan pada 11 Agustus 2006. Kemudian dalam rangka
penyempurnaan UU perlindungan saksi dan korban. Pada tahun 2014
dibuatlah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Lahirnya undang-undang ini
ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan
korban dalam proses peradilan pidana.
16
Meski Kedudukan LPSK sangat penting dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia, lembaga ini tidak termasuk dalam komponen sistem
peradilan pidana di Indonesia. Sebagaimana ditegaskan oleh Romli
Atmasasmita, bahwa komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui
baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan pidana (criminal policy)
maupun dalam lingkup praktek penegakan hukum, terdiri atas unsur
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan.17 Jadi
selama ini sistem peradilan pidana Indonesia hanya memfokuskan
bagaimana memproses pelaku tindak pidananya saja sedangkan saksi dan
korban cukup menjadi pelengkap dalam proses peradilan tersebut.
Karena LPSK tidak termasuk dalam komponen sistem peradilan
pidana maka kedudukannya tidak diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Maka dari itu mantan Wakil Menteri
hukum dan HAM, Denny Indrayana menyatakan bahwa rumusan dalam
RUU KUHAP perlu meletakkan LPSK sebagai lembaga yang paling
berwenang dalam melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban.18
Bahkan didalam UU Nomor 31 Tahun 2014 pun masih terdapat
beberapa kelemahan. Salah satunya pada pasal 5 ayat 2 yang menyebutkan
bahwa perlindungan terhadap saksi dan korban hanya dapat diberikan pada
17
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, (Bandung: Bina Cipta, 1996), h. 16.
18
tindak pidana dalam kasus tertentu saja.19 Tidak hanya itu kendala lain
yang sangat dirasakan LPSK ialah minimnya anggaran dan jumlah SDM
yang ada sehingga membuat kinerja LPSK belum optimal. Ini
menunjukkan masih terdapat kelemahan terkait LPSK, baik dari
kedudukan, kinerja, maupun Undang-Undang yang mengaturnya.
Sehingga penulis merasa perlu adanya pembenahan dan penguatan
terhadap LPSK agar eksistensinya semakin kuat dan jelas dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia.
Melihat permasalahan tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk
mengetahui lebih dalam dan melakukan penelitian secara nyata tentang
permasalahan yang telah disebutkan. Karena itu penulis bermaksud ingin
menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul :
”Eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian skripsi ini sudah seharusnya didalamnya
memuat batasan masalah, hal ini diperlukan agar penelitian lebih
terarah dan fokus. Untuk itu penulis membatasi permasalahan dalam
19
penelitian skripsi ini mengenai eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka
rumusan masalah disusun dengan pertanyaan penelitian (research
question), yaitu:
a. Bagaimanakah peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) menurut UU Nomor 31 Tahun 2014?
b. Bagaimana tantangan dan kendala Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) dalam penguatan sistem peradilan pidana di
Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitain
1. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan :
a. Untuk mengetahui peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) menurut UU Nomor 31 Tahun 2014.
b. Untuk mengetahui tantangan dan kendala Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) dalam penguatan sistem peradilan
pidana di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu
manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah
dan menuangkan hasil-hasil penulisan tersebut dalam tulisan;
2) Menerapkan teori-teori yang telah diperoleh dari bangku kuliah
untuk diaplikasikan dalam praktik di lapangan;
3) Untuk memperoleh manfaat di bidang hukum pada umumnya,
maupun dalam bidang ketatanegaraan khususnya yakni dengan
mempelajari literatur yang ada serta perkembangan hukum
yang timbul dalam masyarakat.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis tulisan ini bertujuan menggali lebih dalam, serta
sebagai bahan rujukan di masa yang akan datang tentang eksistensi
LPSK dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Berbicara mengenai studi Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban tentunya sudah ada buku dan skripsi yang membahasnya. Untuk
menghindari kesamaan objek dalam penelitian dengan penelitian atau hasil
karya yang telah ada, penulis mengadakan studi awal terhadap studi-studi
terdahulu.
Kemudian penulis menemukan adanya pembahasan yang sama
terkait Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun dari segi
substansi dan urgensinya cukup jauh berbeda dengan pokok-pokok
Adapun buku dan skripsi yang terkait dengan judul diatas sebagai
berikut:
1. Skripsi Ponda Rahadyan Harimurti Winarno pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 2011, dengan judul
“Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam
Struktur Ketatanegaraan Indonesia”. Dalam skripsinya Ponda
Rahadyan lebih menekankan kedudukan LPSK dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia dan implikasi dari kedudukan LPSK
terhadap fungsi, tugas, serta wewenang LPSK dalam struktur
ketatanegaraan Republik Indonesia sedangkan penulis membahas
eksistensi LPSK dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
2. Skripsi Bill C.P Simanjorang pada Fakultas Hukum Universitas Atma
Jaya Yogyakarta 2014, dengan judul “Realisasi Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap
Saksi dan Korban di Daerah”. Dalam skripsi ini penulis sama-sama
membahas peran LPSK namun berbeda dalam penekanannya. Dalam
skripsinya Bill Simanjorang lebih memfokuskan penelitiannya pada
realisasi LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan
korban didaerah, sedangkan penulis membahas peran LPSK menurut
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi
dan korban dalam penguatan sistem peradilan pidana di Indonesia.
3. Jurnal Andi Rahman, dosen kopertis wilayah IX Provinsi Sulawesi
Proses Peradilan Pidana”. Dalam jurnal tersebut Andi Rahman lebih
fokus membahas perlindungan terhadap saksi dalam proses peradilan
pidana terkhusus lagi yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan dan
juga dalam jurnalnya tidak fokus membahas LPSK, sedangkan penulis
fokus membahas perlindungan saksi dan korban yang dilakukan oleh
LPSK dalam kaitannya sebagai penguat sistem peradilan pidana di
Indonesia.
4. Buku Supriyadi Widodo Eddyono dengan judul “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia: Sebuah Pemetaan Awal”
yang diterbitkan oleh Indonesia Corruption Watch tahun 2007. Dalam
buku tersebut Supriyadi Widodo membahas mengenai LPSK secara
umum terkait kedudukan, tugas, kewenangan, kelembagaan dan
sebagainya. Sedangkan penulis lebih fokus membahas peran LPSK
menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan
saksi dan korban serta tantangan dan kendala LPSK dalam penguatan
sistem peradilan pidana di Indonesia.
E. Kerangka Konseptual
Dalam pembahasan kerangka konseptual, akan diuraikan beberapa
konsep terkait beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
2. Korban
adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
3. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan
perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 31 Tahun 2014
Tentang perubahan atas Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang
perlindungan saksi dan korban.
4. Sistem Peradilan Pidana
Sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga lembaga
kepolisian,kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Tipe Penelitian
Studi ini menggunakan studi penelitian yuridis normatif dengan
judul Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.Dalam kaitan nya, penulis
mengacu pada peraturan perundang-undangan, gejala hukum serta
norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Dalam hal ini penulis melakukan pendekatan normatif empiris,
pendekatan ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara
pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai
unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris mengenai
implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam
aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu
masyarakat.20
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan antara lain:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan
hukum primer meliputi perundang-undangan, catataan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan atau
putusan-putusan hukum.21Bahan hukum yang terdapat di tulisan ini
antara lain UU No. 31 Tahun 2014 dan UUD NRI Tahun 1945.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan dalam
penulisan ini terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan Hukum
Tata Negara, Lembaga Independen, Sistem Peradilan Pidana,
20
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat) (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 14-15.
21
Skripsi tentang Hukum Tata Negara, Jurnal-Jurnal atau materi
hukum lain nya yang mendukung penulisan ini.
c. Bahan Non Hukum
Merupakan bahan atau rujukan yang memberikan petunjuk
atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan
sekunder.Seperti kamus hukum, ensiklopedia, berita hukum dan
lain-lain.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pengumpulan data
dengan teknik dokumenter22, yaitu dengan mencari data sekunder yang
terdiri atas:
a. Bahan hukum primer yang mencakup norma atau kaidah dasar,
yaitu Undang-Undang Dasar 1945, beberapa undang-undang yang
berkaiatan dengan lembaga negara dan wawancara langsung.
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan-bahan
pustaka yang berisikan tentang bahan primer. Data sekunder ini
diperoleh dari buku-buku, internet dan beberapa hasil penelitian
yang berhubungan dengan lembaga negara.
c. Bahan hukum tersier, yang memberikan informasi lebih lanjut
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara
22
lain kamus umum bahasa Indonesia, dictionary, majalah, Koran
dan lainnya.23
5. Analisa Data
Teknis analisis data dalam penelitian ini diawali dengan
mengkompilasi berbagai dokumen peraturan perundang-undangan
serta bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul yang
penulis ambil. Kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik
terkait kata-kata (word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan
berbagai pesan lainnya yang dimaksudkan dalam isi undang-undang
tersebut.
Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam
melakukan analisis tersebut adalah: pertama, semua bahan-bahan
hukum yang diperoleh melalui normatif disistematisir dan
diklasifikasikan menurut objek bahasannya. Kedua, setelah
disistematisir dan diklasifikasikan kemudian dilakukan eksplikasi,
yakni diuraikan dan dijelaskan tentang objek yang diteliti berdasarkan
teori. Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan
menggunakan ukuran ketentuan hukum yang berlaku.
6. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis
berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan
23
dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan dengan membagi pada lima (5) bab, tiap-tiap bab
terdiri dari sub-sub dengan rincian sebagai berikut:
Bab Pertama merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini dijelasakan latar belakang masalah, perumusan masalah dan
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
manfaat penulisan, tinjauan (review) kajian terdahulu,
kerangka konseptual, metode penelitian, sistematika
penulisan, dan daftar pustaka sementara.
Bab Kedua Gambaran umum tentang sistem peradilan pidana di Indonesia, pada tahap ini penulis akan mencoba
menjelaskan tentang : (1) Pengertian sistem peradilan
pidana, (2) Model sistem peradilan pidana, (3) Komponen
sistem peradilan pidana.
Bab Ketiga Penjelasan tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia yang meliputi: (1) Landasan hukum
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), (2)
Tugas dan wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK), (3) Tugas pokok Sekretariat Lembaga
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan
lembaga lain.
Bab keempat Analisis yang memaparkan mengenai bagaimana eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia.
20 BAB II
LANDASAN TEORI SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Dalam hukum pidana terdapat sebuah sistem peradilan, atau istilah
yang mulai populer di Indonesia, yaitu criminal justice system yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi sistem peradilan
pidana.24 Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system kini
telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem.25
Sistem Peradilan Pidana ialah sistem yang dibuat untuk
menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu
ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat, merupakan salah satu
usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada
dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Pelaksanaan peradilan
pidana adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di
masyarakat dengan mengajukan para pelaku kejahatan dan membuat para
calon pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan.26
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan
ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi
24
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996), h.2.
25Romli Atmasasmita (1),
Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 2.
26 Abdussalam dan DPM Sitompul
struktural (structural syncronization) dalam arti keselarasan mekanisme
administrasi peradilan pidana, dapat pula bersifat substansial (substancial
syncronization) dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, dan
dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization) dalam arti
menghayati pandangan, sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya sistem peradilan pidana.27
Suatu definisi yang sedikit berbeda diberikan oleh Barda Nawawi
Arief, dimana beliau menjelaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana (SPP)
pada hakikatnya identik dengan Sistem Penegakan Hukum Pidana (SPHP).
Sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan sistem
kekuasaan/kewenangan menegakan hukum. Kekuasaan/kewenangan
menegakan hukum ini dapat diidentikan pula dengan istilah “kekuasaan
kehakiman”. Oleh karena itu, Sistem Peradilan Pidana atau Sistem
Penegakan Hukum Pidana (SPHP) hakikatnya juga identik dengan Sistem
Kekuasaan Kehakiman di bidang Hukum Pidana (SKK-HP).28
Perbedaan pandangan oleh para ahli hukum tersebut terhadap
istilah criminal justice system yang telah disebutkan di atas bukanlah
menunjukan adanya ketidakseragaman. Namun perbedaan tersebut muncul
dikarenakan adanya perbedaan sudut pandang dalam menterjemahkan
suatu istilah. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh LJ. Van
27
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Undip, 1995), h. 13.
28 Barda Nawawi Arief ,
Apeldorn, yang menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan dalam
melakukan pendefinisian, yaitu:29
“Hampir semua ahli hukum yang memberikan definisi tentang
hukum, memberikannya berlainan. Ini setidak-tidaknya untuk sebagian,
dapat diterangkan oleh banyaknya segi dan bentuk, serta kebesaran
hukum. Hukum banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak
mungkin orang menyatukannya dalam satu rumus secara memuaskan.”
Dari beberapa pengertian sistem peradilan pidana yang telah
dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sebuah sistem yang
dibuat untuk menanggulangi masalah kejahatan dengan memberikan
sanksi bagi pelaku kejahatan sesuai dengan hukum yang berlaku.
B. Komponen Sistem Peradilan Pidana
Dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana sistem peradilan pidana Indonesia mempunyai 4 (empat)
komponen atau 4 (empat) sub sistem, yaitu Kepolisian Negara Republik
Indonesia (POLRI), Kejaksaan dibawah Kejaksaan Agung (KEJAGUNG)
dan Pengadilan dibawah Mahkamah Agung (MA) serta Lembaga
Pemasyarakatan (LP) dibawah Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia (DEPKUMHAM).
Mardjono Reksodiputro menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan
dari Sistem Peradilan Pidana tersebut maka komponen-komponen di
29
dalamnya wajib untuk bekerja sama, terutama instansi-instansi
(badan-badan) dikenal dengan:30
1. Kepolisian;
2. Kejaksaan;
3. Pengadilan; dan
4. Lembaga Permasyarakatan.
Demikian pula diungkapkan oleh Rusli Muhammad, bahwa dalam
pandangan Sistem Peradilan Pidana, terdapat beberapa institusi penegak
hukum yang ikut mengambil peran dalam melakukan proses peradilan
pidana diantaranya adalah institusi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Lembaga Pemasyarakatan.31
1. Kepolisian
Ditinjau dari segi etimologis istilah polisi di beberapa negara
memiliki ketidaksamaan, seperti di Yunani istilah polisi dengan
sebutan “politeia”, di Inggris “police” juga dikenal adanya istilah
“constable”, di Jerman “polizei, di Amerika dikenal dengan “sheriff”,
di Belanda “politie”, di Jepang dengan istilah “koban” dan “chuzaisho”
walaupun sebenarnya istilah koban adalah merupakan suatu nama pos
polisi di wilayah kota, dan chuzaisho adalah pos polisi di wilayah
pedesaan.
30
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007), h. 141.
31 Rusli Muhammad,
Jauh sebelum istilah polisi lahir sebagai organ, kata “polisi” telah
dikenal dalam bahasa Yunani, yakni “politeia”. Kata “politeia”
digunakan sebagai title buku pertama Plato, yakni “Politeia” yang
mengandung makna suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan
cita-citanya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan
jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi.32
Secara filosofis, bahwa eksistensi fungsi kepolisian telah ada
sebelum dibentuknya organ kepolisian, karena fungsi kepolisian
melekat pada kehidupan manusia, yakni menciptakan rasa aman,
tenteram dan tertib dalam kehidupan sehari-harinya.33
Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan
fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Kepolisian sebagai lembaga penegakan hukum melakukan
fungsinya pada tahap Penyelidikan dan penyidikan seperti yang
tercantum dalam ketentuan pasal 4 KUHAP yang berbunyi
:“Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia”. Selain itu yang dimaksud penyidik diatur dalam pasal 6
ayat 1 KUHAP sebagai berikut:
“Penyidik adalah:
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
32
Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Terhadap Unsur-unsurnya, (Jakarta: UIPress, 1995), h. 19.
33 Sadjijono,
b. Pejabat Pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh Undang-undang.”
Tujuan mencantumkan kedua pasal tersebut diatas adalah
adalah agar dapat mengukur dan memahami hal ikhwal proses
penegakan hukum dari awal dengan benar, yaitu dimulai dengan
penyelidikan dan penyidikan oleh lembaga yang berwenang untuk
itu.34
Dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan
bahwa kepolisian mempunyai tugas untuk memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Hal
tersebut dipertegas dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang
Kepolisian bahwa polisi berwenang melakukan penyidikan terhadap
semua tindak pidana. Dengan demikian, polisi adalah penyidik dan
berwenang melakukan penyidikan tindak pidana yang sebelumnya
didahului oleh tindakan penyelidikan oleh penyelidik.35
Berdasarkan kewernangan tersebut, apabila ada laporan dan
pengaduan dari masyarakat telah terjadi tindak pidana, maka proses
pertama untuk pemeriksaan agar terpenuhi unsur-unsur pidana
34
Hartono, penyidikan dan penegakan hukum pidana melalui pendekatan hukum progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 17.
35 H. Pudi Rahardi,
dilakukan oleh polisi dengan melakukan proses penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana. Tindakan penyelidikan dan penyidikan
terdapat beberapa rangkaian kegiatan, akan tetapi setiap tindakan yang
dilakukan itu masing-masing harus dibuatkan berita acara. Berita
acara yang dimaksud, berita acara mengenai pemeriksaan tersangka,
berita acara penangkapan, berita acara penahanan, berita acara
penggeledahan/penyitaan dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu
akan dihimpun ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dan
kemudian setelah itu dilimpahkan kepada kejaksaan.36
2. Kejaksaan
Pengertian “Jaksa” dan “Penuntut Umum” menurut Pasal 1
Butir 6a dan 6b KUHAP, sebagai berikut.
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan Hakim”.
Dengan perkatan lain jaksa yang menangani perkara dalam
tahap penuntutan disebut “Penuntut Umum”. Penuntut umumlah yang
dapat melaksanakan penetapan hakim. Dengan demikian jaksa lain
(yang bukan Penuntut Umum) tidak dapat melaksanakan penetapan
36
hakim tetapi penuntut umum, dapat melakukan eksekusi karena dia
adalah jaksa (bukan sebagai Penuntut Umum).37
Tugas pokok kejaksaan menurut Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 adalah mengadakan penuntutan dalam perkara pidana,
melaksanakan penetapan hakim. Disamping itu, kalau perlu kejaksaan
mengadakan penyelidikan tambahan atau lanjutan (nasporing). Jaksa
sebagai penuntut umum ditugaskan merumuskan perkara yang
diterima dari kepolisian atau instansi yang bertugas sebagai penyidik
untuk menyelesaikan perkara menurut hukum. Pasal 13 dan Pasal 14
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, bahwa jaksa sebagai Penuntut
Umum, berwenang untuk menerima dan memeriksa berkas perkara,
membuat surat dakwaan, melimpahkan berkas perkara ke pengadilan,
memberikan perpanjangan pembantu Presiden yang menempatkan
posisinya sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan.38
3. Pengadilan
Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala
sesuatu mengenai perkara peradilan.39 Peradilan juga dapat diartikan
suatu proses pemberian keadilan disuatu lembaga.40 Dalam kamus
37 Leden Marpaung,
Bahasa Arab disebut dengan istilah qadha yang berarti menetapkan,
memutuskan, menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah
adalah penyelesaian sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang
mana penyelesaiannya diselesaikan menurut ketetapan-ketetapan
(hukum) dari Allah dan Rasul. Sedangkan pengadilan adalah badan
atau organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus atau
mengadili perselisihan-perselisihan hukum.41
Berkaitan dengan tujuan peradilan pidana ini, Harry C.
Bredmeire memandang bahwa tugas pengadilan adalah untuk
membuat suatu putusan yang akan mencegah konflik dan gangguan,
terciptanya suatu kerjasama. dalam hal ini untuk mewujudkan
tugasnya itu pengadilan membutuhkan tiga masukan (input), yaitu :
1. Pengadilan membutuhkan suatu analisis tentang hubungan sebab
akibat antara hal-hal yang diputus dengan
kemungkinan-kemungkinan yang akan diderita akibat dari putusan tersebut.
2. Pengadilan membutuhkan evaluasi tuntutan-tuntutan yang saling
bertentangan dan mengantisipasi efek-efek dari suatu putusan.
3. Pengadilan membutuhkan suatu kemauan para pihak untuk
menggunakan pengadilan untuk penyelesaian konflik.42
41
Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 3.
42 Achmad Ali,
Lembaga pengadilan merupakan pelaksanaan atau penerapan
hukum terhadap suatu perkara dengan suatu putusan hakim yang
bersifat melihat, putusan mana dapat berupa pemidanaan, pembebasan
maupun pelepasan dari hukuman terhadap pelaku tindak pidana.
Lembaga pengadilan sangat penting, dikarenakan pada hakikatnya
pengadilan merupakan tempat pengujian dan perwujudan negara
hukum, merupakan barometer dari pada kemampuan bangsa
melaksanakan norma-norma hukum dalam negara, sehingga tanpa
pandang bulu siapa yang melanggar hukum akan menerima hukuman
yang setimpal dengan perbuatannya, dan semua kewajiban yang
berdasarkan hukum akan terpenuhi.43
4. Lembaga Permasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan disebut LAPAS adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan.44 Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat
tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan
merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu
Departemen Kehakiman).45
43
Djoko Prakoso, Penyidikan, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987).
44
Lihat Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
45 http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan, diakses pada hari
Lembaga Pemasyarakatan berasal dari istilah asing “social -institution” atau pranata-sosial , yaitu suatu sistem tata kelakuan dan
hubungan yang berpusat kepada aktivits-aktivitas untuk memenuhi
kebutuhan khusus dalam suatu masyarakat. Lembaga Pemasyarakatan
merupakan himpunan dari norma-norma dari segala tingkatan yang
berkisar pada suatu kebutuhan pokok di kehidupan masyarakat.46
Lembaga permasyarakatan merupakan bagian paling akhir
dalam sistem peradilan pidana. Pengelolaan dari lembaga
pemasyarakatan di bawah wewenang Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia/Dephukham. Sebagai suatu tahapan pemidanaan yang
terakhir, sudah semestinya dalam tingkatan ini harus terdapat
bermacam harapan dan tujuan dari sistem peradilan pidana yang
ditopang oleh pilar-pilar proses pemidanaan dari mulai kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan.
Harapan dan tujuan tersebut dapat saja berupa aspek
pembinaan dari penghuni Lembaga Permasyarakatan (LAPAS) yang
disebut sebagai narapidana (NAPI).47 Pemasyarakatan adalah kegiatan
untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan
46
Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana, (jakarta: Sarwoko, 1986), h. 61.
47 Sidik Sunaryo,
berdasarkan sistem, kelembagan, dan cara pembinaan yang merupakan
bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.48
Untuk melaksanakan pembinaan-pembinaan tersebut, dikenal
empat tahap proses pembinaan, yaitu :49
a. Tahap pertama. Setiap narapidana yang ditempatkan di dalam
lembaga
pemasyarakatan itu dilakukan penelitian untuk mengetahui segala
hal tentang diri narapidana, termasuk tentang apa sebabnya mereka
telah melakukan pelanggaran, berikut segala keterangan tentang
diri mereka yang dapat diperoleh dari keluarga mereka, dari bekas
majikan atau atasan mereka, dari teman sepekerjaan mereka, dari
orang yang menjadi korban perbuatan mereka dan dari petugas
instansi lain yang menangani perkara mereka.
b. Tahap kedua. Jika proses pembinaan terhadap seseorang
narapidana itu telah berlangsung selama sepertiga dari masa
pidananya yang sebenarnya, dan menurut pendapat dari Dewan
Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan, antara
lain ia menunjukkan keinsafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada
peraturan-peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga
pemasyarakatan, maka kepadanya diberikan lebih banyak
48
Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
49 P.A.F. Lamintang,
kebebasan dengan memberlakukan tingkat pengawasan medium
security.
c. Tahap ketiga. Jika proses pembinaan terhadap seseorang
narapidana itu telah berlangsung selama setengah dari masa
pidananya yang sebenarnya, dan menurut pendapat dari Dewan
Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan baik
secara fisik maupun secara mental dan dari segi keterampilan,
maka wadah proses pembinaan diperluas dengan memperbolehkan
narapidana yang bersangkutan mengadakan asimilasi dengan
masyarakat di luar lembaga pemasyarakatan.
d. Tahap keempat. Jika proses pembinaan terhadap seseorang
narapidana itu telah berlangsung selama dua per tiga dari masa
pidananya yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya sembilan
bulan, kepada narapidana tersebut dapat diberikan lepas bersyarat,
yang penetapan tentang pengusulannya ditentukan oleh Dewan
Pembina Pemasyarakatan.
5. Advokat / Penasehat Hukum
Kata advokat secara etimologi berasal dari bahasa Latin
advocare, yang berarti to defend, to cell to one, is aid to voch or
favour of or depend by argument, to support, indicate, or
recommended publicly.50
Secara terminilogi terdapat beberapa pengertian advokat yang
didefinisikan oleh para ahli hukum, peraturan dan
perundang-undangan :
a. Menurut Harlcn Sinaga, advokat adalah mereka yang memberikan
bantuan hukum baik dengan bergabung atau tidak dalam satu
persekutuan advokat baik sebagai mata pencaharian atau tidak,
yang disebut sebagai pengacara atau penasehat hukum dan
pengacara praktek.51
b. Menurut Yudha Pandu, Advokat adalah orang yang mewakili
kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat
kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara
persidangan dipengadilan atau beracara di pengadilan.52
c. Sedangkan menurut KUHAP, advokat adalah seseorang yang
memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh atau berdasarkan
undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.53
Dari beberapa pengertian advokat yang telah dikemukakan oleh
para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
50
Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia, Citra, Idealisme, dan Keperhatinan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), 19.
51
V. Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 20.
52
Yudha Pandu, Klien dan Penasehat Hukum dalam Persepektif Masa Kini , (Jakarta: PT Abadi Jaya, 2001) h.11
53
advokat adalah seseorang yang memenuhi syarat berdasarkan
undang-undang untuk memberikan bantuan hukum bagi kliennya baik di dalam
maupun di luar persidangan.
Advokat berprofesi memberi jasa hukum dan bertugas
menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik secara litigasi maupun
nonlitigasi, Menurut Frans Hendra Winata, tugas advokat adalah
mengabdikan dirinya pada masyarakat sehingga dia dituntut untuk
selalu turut serta dalam penegakan Hak Asasi Manusia, dan dalam
menjalankan profesinya ia bebas untuk membela siapapun, tidak
terikat pada perintah (order) klien dan tidak pandang bulu siapa lawan
kliennya, apakah dia dari golongan kuat, penguasa, pejabat bahkan
rakyat miskin sekalipun.54
Yang menjadi menarik untuk dicermati adalah posisi dari
seorang advokat / lawyer / penasehat hukum di dalam Sistem Peradilan
Pidana. Mengutip pendapat dari Deborah M. Hussey Freeland,
bahwa:55
“Di dalam diskusi Sejarah Hukum dan Common Law terkait
fungsi dari seorang pengacara, Saya menemukan hipotesis yang
mendukung pentingnya posisi pengacara sebagai pejabat pengadilan
(officer of court). Untuk menilai sejauh mana diskusi ini menunjukkan
54
Hendra Winata, Frans, Advokat Indonesia, Citra, Idealisme dan Kepribadian. (Jakarta: Sinar Harapan,1995), h. 14.
55
baik hanya aspiratif atau menyadari sepenuhnya untuk peran
pengacara, saya mempertimbangkan bagaimana seseorang menjadi
seorang pengacara dan bagaimana pengacara berhubungan dengan
pengadilan. Untuk melengkapi analisis hukum dan struktural, saya
menarik dari teori-teori pembentukan identitas, dialektika Hegel, dan
dari sangat langkanya upaya untuk mengeksplorasi apa pengacara
tersebut. Saya menemukan bahwa pengacara memanifestasikan,
melakukan dan tetap sebagai petugas pengadilan. Jika pengacara
belum ditunjuk oleh pengadilan untuk membantu dalam administrasi
keadilan, dia tidak akan menjadi pengacara, dan dia tidak akan hadir
untuk mewakili kliennya sebagai pihak tindakan hukum. Tugas
mewakili dari pengacara dijalankan untuk pengadilan dan kepada
klien, dan yang terakhir tergantung dari mantan klien. Identitas
profesional pengacara sebagai petugas pengadilan penting bagi
pengacara pribadi yang mungkin terganggu dengan mengamati dirinya
secara sempit sebagai advokat yang penuh semangat, dan penting juga
untuk upaya sistem peradilan kita dalam mempengaruhi supremasi
hukum.”
Demikian pula ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menjelaskan
sebagai berikut: “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas
dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan
Dengan melihat betapa pentingnya peran penasihat hukum atau
advokat ini dalam membela dan melindungi kepentingan hak-hak
kebebasan fundamental dari pencari keadilan dalam proses peradilan
bidana.56 Serta keberadaannya tercantum di dalam KUHAP dan diatur
pada undang-undang lainnya maka jelas advokad adalah sub sistem
peradilan pidana.
C. Model Sistem Peradilan Pidana
Herbert L. Packer dalam bukunya The Limits of The Criminal
Sanction, mengungkapkan ada dua model dalam proses peradilan pidana
(Two Models of The criminal Process), yaitu crime control model (model
pengendalian kejahatan) dan due process model (model perlindungan
hak).57
1. Crime Control Model
Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa crime control model
merupakan tipe affirmative model, yaitu model yang selalu
menekankan pada effisiensi dan penggunaan kekuasaan pada setiap
sudut proses peradilan pidana, dan dalam model ini kekuasaan
legislatif sangat dominan.58 Crime Control Model didasarkan pada
sistem nilai yang mempresentasikan tindakan represif pada kejahatan
56
http://pusdiklat.law.uii.ac.id/index.php/Berita-Harian/Kedudukan-dan-Fungsi-Advokat-Dalam-Sistem-Peradilan-Pidana.html diakses pada Kamis 22 September 2016 pukul 18.54 WIB.
57
Herbert L. Packer dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir,
Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 56.
58 Romli Atmasasmita (1),
sebagai fungsi yang paling penting dalam suatu Sistem Peradilan
Pidana.59
Tujuan dari Sistem Peradilan Pidana ialah untuk menekan
tindak kejahatan, yang dikendalikan melalui pengenaan sanksi pidana
terhadap terdakwa. Untuk mencapai tujuannya tersebut, maka Crime
Control Model menyatakan bahwa perhatian utama haruslah ditujukan
pada efisiensi. Efesiensi ini adalah diatas segalanya. Efisiensi
mencakup kecepatan, ketelitian dan daya guna administratif di dalam
memproses pelaku tindak pidana. Setiap pekerjaan harus dilakukan
dengan cepat dan harus segera selesai.60
2. Due Process Model
Menurut John Griffith, due process model tampak sangat
berbeda dengan crime control model, sistem due process model
berkisar sekitar konsep penghormatan terhadap individual dan konsep
pembatasan kekuasaan resmi.61 Menurut Due Process Model, tujuan
Rusli Muhammad,Sistem Peradilan Pidana Indoensia, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 43.
61
John Griffith, Ideology i Cri i al Procedure or a Third Model of Cri i al
Process, Faculty Scholarship Series, The Yale Law Journal, Paper 3994, 1970, h. 363. Teks Asli: The Due Process Model seems radically different. Its system of values revolves
arou d the co cept of the pri acy of the i dividual a d the co ple e tary co cept of
dari sistem peradilan pidana adalah untuk menangani terdakwa pidana
secara adil dan sesuai dengan standar konstitusi.62
Menurut Romli Atmasasmita, Nilai- nilai yang mendasari Due
Proses Model adalah:63
1. Kemungkinan adanya faktor “kelalaian” yang sifatnya manusiawi
(human error) menyebabkan model ini menolak “informal fact
finding process” sebagai cara untuk menetapkan secara definitive “factual guild” seseorang. Model ini hanya mengutamakan “formal
adjudicative and adversary fact finding”. Hal ini berarti dalam
setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang
tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak
penuh untuk mengajukan pembelaannya.
2. Model ini menekankan pada pencegahan (preventive measures)
dan menghapuskan sejauh mungkin administrasi pengadilan.
3. Model ini beranggapan bahwa proses pengadilan dipandang
sebagai coercive (menekan), restricting (membatasi) dan
merendahkan martabat manusia.
4. Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap
kekuasaan.
5. Adanya gagasan persamaan di muka hukum.
62
Raul Soares da Viega dan Andre Ventura, Analysis of Different Models of Criminal Justice System-A New Scientific Perspektive, Revista de Ciências Jurídicas e Econômicas, Vol. 2, No. 2, 2010, h. 204.
63
6. Model ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi
pidana.
D. Kedudukan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana
Selama ini dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan
korban hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan
keterangan yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam mengungkap
sebuah tindak pidana. Hal ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak
hukum yang menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap
dalam mengungkap suatu tindak pidana dan memiliki hak-hak yang tidak
banyak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), padahal untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah tindak
pidana, tentunya keterangan yang disampaikan tersebut dapat
memberatkan atau meringankan seorang terdakwa.
Tentunya bagi terdakwa apabila keterangan seorang saksi dan
korban tersebut memberatkan tersangka/terdakwa, maka ada
kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai
pihak yang dapat memberatkannya dalam proses penanganan perkara, hal
ini tentunya dapat mengancam keberadaan saksi dan korban. Berdasarkan
hal tersebut, maka tentunya seorang saksi dan korban perlu mendapatkan