PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI PENGUNGKAP
FAKTA (WHISTLEBLOWER) DALAM PERKARA PIDANA
(ANALISIS YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG
NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN)
TESIS
Oleh
HOPLEN SINAGA
067005032/HK
S E K
O L
A H
P A
S C
A S A R JA
N
A
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI PENGUNGKAP
FAKTA (WHISTLEBLOWER) DALAM PERKARA PIDANA
(ANALISIS YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG
NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
HOPLEN SINAGA
067005032/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI
PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLEBLOWER) DALAM
PERKARA PIDANA (ANALISIS YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN) Nama Mahasiswa : Hoplen Sinaga
Nomor Pokok : 067005032 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) K e t u a
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH) A n g g o t a A n g g o t a
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada
Tanggal 25 Agustus 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
:
Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS
Anggota
:
1. Prof. Dr. Syafruddi Kalo, SH, M.Hum
2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH
3. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
ABSTRAK
Berbagai perundang-undangan nasional mengatur peran serta masyarakat (publik) dalam proses penegakan hukum dengan cara melaporkannya kepada aparat penegak hukum atau menjadi saksi dalam suatu proses persidangan dan hal ini tentu membutuhkan kebranian dan keteguhan hati agar suatu kebenaran dapat terungkap. Namun suasana yang kontradiksi terjadi bahwa para pengungkap fakta (whistleblower) yakni saksi, pelapor atau korban tersebut mendapat serangan balik dari pihak yang dilaporkan bahkan yang lebih ironis terjadi, para pengungkap fakta (whistleblower) ini akhirnya menjadi tersangka atau terdakwa. Perlindungan bagi saksi penguingkap fakta (whistleblower)merupakan bagian dari upaya penegakan hukum yang sekaligus sebagai jaminan penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Jaminan perlindungan kepada para pengungkap fakta (whistleblower ) baik kepada saksi atau pelapor dan korban sebagai bagian dari warga Negara wajib diberikan oleh Negara sebagaimana diatur dalam. Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Right) tahun 1966 yang telah diratifikasi oleh Negara Republlik Indonesia dan konsekuensinya beberapa ketentuan dalam system peradilan pidana harus mengalami perubahan. Salah satu bentuk perubahan itu antara lain dengan disahkannya oleh legislasi pusat Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006. Diberlakukannya undang-undang ini sebagai ketentuan khusus (lex specialis) mengenai perlindugnan bagi para pengungkap fakta (whistleblowers), diharapkan mampu menciptakan keseimbangan untuk menutupi kekurangan didalam system hukum kita berkaitan dengan terabaikannya elemen saksi dan korban dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang RI No. 8 tahun 1981). KUHAP sebagai hasil karya agung bangsa Indonesia itu lebih cenderung mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa.
bagi para pengungkap fakta (whistleblower). Dengan demikian metode penelitian ini bersifat deskriptif analisis.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pengaturan perlindungan hukum bagi saksi pengungkap fakta (whistleblower) dalam Udnang-Udnang RI No. 13 Tahun 2006 menganut konsep protection of cooperating person (perlindungan bagi pribadi yang bekerjasama dengan penegak hukum). Menerapkan prinsip tersebut dalam Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 sangat penting terutama untuk memudahkan pembuktian terhadap tindak pidana yang digolongkan extra ordinary crime dimana suatu tindak pidana dilakukan dengan modus operandi sistematis dan terorganisir. Konsep ini prinsipnya mirip dengan mekanisme plea bargaining di Amerika Serikat. Disamping itu dalam undang-undang ini diamanatkan adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang mandiri untuk menetukan pemberian perlindungan dan bantuan bagi para pengungkap fakta (whistleblower) berupa perlindungan hukum dan perlindungan khusus. LPSK inilah yang menjadi roh atau jiwa dari Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006. Berlakunya Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentunya diprediksikan akan mengalami hambatan-hambatan secara normatif dalam hal pemberlakuan konsep protection of cooperating person maupun asas atau prinsip immunitas (kekebalan) yakni untuk tidak dituntut secara pidana dan perdata bagi para pengungkap fakta (whistleblower). Perlindungan hukum bagi para pengungkap fakta (whistleblower) diharapkan bukan menimbulkan masalah hukum baru yakni terjadinya disparitas dalam penegakan hukum itu sendiri dan pelanggaran asas hukum umum yakni asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Hal ini sangat penting diperhatikan oleh aparat penegak hukum sehingga pemberlakuannya terhadap suatu kasus pidana wajib delakukan dengan prinsip kehati-hatian.
ABSTRACT
There are any national acts that regulate the public participation in law enforcement process by make a report to the law officer or to be witness in acourt session process and this require brave and the commitment for the just. Nevertheless, there is a contradiction in which the whistleblower i.e witness, reporter or victim will attacked by anyone who reported and even the whistleblower is a part of the law enforcement in addition as the honor guarantee and protection on human basic rights. Protection for the whistleblower either witness or reporter and victim as citizen must provided by the state as mentioned in International Covenant on Civil and Political Right of 2006 that ratified by Republic of Indonesia and its consequences, there are any terms in the crime court system must be revised. One of them is the validation by national legislation the Act of RI No. 13 of 2006 concerning to the Witness and Victim Protection on 11 August 2006. The implementation of this act as special terms (lex specialis) for the whistleblower will build a balance to eliminate the weakness in our law system that related to the witness and victim elements in Crime procedure Law (Act of RI No. 8 of 1981). KUHAP (Crime Procedure Law) as “great work” of Indonesia anly regulate the rights of defendant or suspected.
The objective of this research is study the law protection concept for the whistleblower, the form of law protection for the whistleblower and any normative obstacles in law protection for whistleblower in application of Act of RI No. 13 of 2006. The applied method in this research is a normative juridical approach, i.e. by do the analysis on the problems and research by approach the law principles in casu Act of RI No. 13 of 2006 and refers to the public law principles in the national regulations. The normative juridical research applies the secondary data. The data collected by library research i.e study the Act of RI No. 13 of 2006, literatures, acts and scientific works that related to the law protection for whistleblower. Therefore, this is a descriptive analysis research.
In the implementation of Act of RI no. 13 of 2006 is predicated wiil found any normative obstacles in the implementation of protection of cooperating person or immunity principle i.e the whistleblower is not claim either in civil or crime act. Law protection for the whistleblower is hope did not cause the new law case i.e the disparity in the law enforcement. The implementation of immunity principle in this act as exceptional on public law principles, i.e a recognition on presumption of innocence for a defendant or suspected. This must be considered by the law enforcement officers in which its implementation on a crime case must be handled carefully. The important think in implementation of Act of RI No. 13 of 2006 that implementation of law protection for the whistleblower is based on the national condemnation concept in the restorative justice.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis penulis panjatkan kapada Tuhan Yang Maha Pengasih
yang telah melimpahkan rahmatNya, sehingga sehingga dapat menyelesaikan penulisan
tesis ini dengan judul ” Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta
(Whistleblower) Dalam Perkar$a Pidana (Analisis Yuridis Terhadap Undang-Undang
No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban)”.
Tesis ini disususn sebagai tugas akhir dan syarat untuk menempuh ujian Sarjana
(Strata-2) guna memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum
di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena
kemampuan penulis yang sangat terbatas. Untuk itu dengan segenap kerendahan hati,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatmya membangun dari semua pihak
untuk penyempurnaannya dikemudian hari.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Ketua Komisi
Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum dan Bapak Syafruddin S.
Hasibuan, SH, MH selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan
dorongan, bimbingan dan curahan ilmu yang diberikan selama penulisan tesis ini dengan
Selanjutnya penulis juga menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang
setulus-tulusnya kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H. SpA (K), selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.
4. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum dan Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum selaku dosen
penguji.
5. Para Dosen dan staf pada Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum USU
yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengembangkan wawasan
ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum.
6. Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan
dukungan bagi penulis untuk mengikuti Program Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
7. Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Bapak Siwoyo,
SH, MH dan Bapak T. Suhaimi, SH) yang telah memberikan kesempatan dan
dukungan bagi penulis untuk mengikuti Program Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
8. Kasi Penuntut pada Asisten Tindak Pidana Umum pada Kejaksaan Tinggi Sumatera
SH, MH) yang memberikan dukungan bagi penulis untuk mengikuti Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
9. Bapak Dr. P. Barus, MS dan Ibu Dj. Sembiring, selaku Bapak dan Mertua yang telah
memberikan kesempatan dan dukungan secara moril dan materil yang tiada
terhingga, dan Ibu R. Lumban Siantar orang tua penulis, yang mendukung penulis di
dalam doa, untuk mengikuti Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
(Alm) M. Sinaga, Ayahanda penulis :”hari ini telah kuwujudkan salah satu
mimpi-mimpi kita.”
10.Sahabat dan rekan-rekan seperjuangan di Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan kontribusi
kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.
11.Keluarga besar : G. Barus, ST, MT, Ipda (Pol) T. Keliat, SH, Gus Anita Barus, ST
dan adik-adik Hendra, Sunawar, Rio, Irawaty dan Roma yang memberikan perhatian
dan dorongan bagi penulis selama mengikuti Program Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara khususnya dalam penyelesaian tesis ini.
12.Saudara/i INIKRIS FH USU, sebagai wadah ’pencerahan’ bagi penulis dan untuk
segala bantuan serta dukungan dalam penyelesaian tesis ini.
13.Teristimewa dengan penuh rasa kasih sayang kepada istri tercinta : Henny Triana
Barus, SH, SPn, atas cinta dan doanya yang tulus serta kesediaannya mendampingi
penulis baik dalam keadaan suka maupun duka. Dan dengan penuh haru serta kasih
sayang mendalam penulis sampaikan kepada anakku : Jeremy Hartanta Sinaga dan
Jonathan Andrew Desta Sinaga, yang selama penulis mengikuti Program
bermanja, bermain dan bersenda guruau yang seharusnya sudah menjadi hak-mu
selama ini.
Akhirnya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua, amin.
Medan, September 2008 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : HOPLEN SINAGA
Tempat/ Tanggal Lahir : Tebing Tinggi, 26 Mei 1973
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Pendidikan : 1. Sekolah Dasar RK Yos Sudarso Sei Agul, Medan (Lulus tahun 1973)
2. Sekolah Menengah Menengah Permata Negeri 14, Medan (Lulus tahun 1988)
3. Sekolah Menengah Atas, Markus Medan (Lulus tahun 1991)
4. kultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Lulus tahun 1997)
5. Penerimaan Formasi CPNS Kejaksaan RI T.A. 1998/1999 dari Program S-1 (Strata Satu), lulus Tahun 1999)
6. Pendidikan Pembentukkan Jaksa (PPJ) di Diklat Kejaksaan Agung RI, (Lulus Tahun Angkatan 2002.
DAFTAR ISI
F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 20
1. Kerangka Teoritis... 20
2. Kerangka Konsepsional ... 29
G. Metode Penelitian ... 37
H. Analisis Data ... 40
BAB II KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGKAP (WHISTLEBLOWER) MENURUT UNDANG-UNDANG RI NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN... 42
A. Pengertian dan Kualifikasi Pengungkap Fakta (Whistleblower) ... 42
B. Perlindungan Para Pengungkap Fakta (Whistleblower) Sebagai Good Governance ... 46
C. Kondisi Perlindungan Saksidi Beberapa Negara ... 52
D. Model Perlindungan Saksi (Whistleblower) ... 65
E. Konsep Protection of Cooperating Person ... 69
F. Keterangan Saksi Sebagai Salah Satu Bukti ... 77
1. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP ... 77
BAB III PERLINDUNGAN BAGI PENGUNGKAP FAKTA
(WHISTLEBLOWER) MENURUT UNDANG-UNDANG NO.
13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN
KORBAN ... 106
A. Jenis Perlindungan Bagi Pengungkap Fakta (Whistleblower) ... 106
1. Perlindunga Hukum Bagi Pengungkap Fakta (Whistleblower) ... 106
2. Perlindungan Khusus Bagi Pengungkap Fakta (Whistleblower) ... 125
B. Tata Cara Perlindungan Saksi Menurut Peraturan Pemerintah .... 132
BAB IV HAMBATAN ATAU MASALAH DALAM PERLINDUNGAN PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLEBLOWER) MENURUT UNDANG-UNDANG RI NO. 13 TAHUN 2006 ... 144
1. Hambatan Atau Masalah Perlindungan Pengungkap Fakta (Whistleblower) ... 144
2. Upaya Perlindungan Saksi dan Arah Pembaharuan Konsep Pemidanaan ... 152
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 157
A. Kesimpulan ... 157
B. Saran ... 159
ABSTRAK
Berbagai perundang-undangan nasional mengatur peran serta masyarakat (publik) dalam proses penegakan hukum dengan cara melaporkannya kepada aparat penegak hukum atau menjadi saksi dalam suatu proses persidangan dan hal ini tentu membutuhkan kebranian dan keteguhan hati agar suatu kebenaran dapat terungkap. Namun suasana yang kontradiksi terjadi bahwa para pengungkap fakta (whistleblower) yakni saksi, pelapor atau korban tersebut mendapat serangan balik dari pihak yang dilaporkan bahkan yang lebih ironis terjadi, para pengungkap fakta (whistleblower) ini akhirnya menjadi tersangka atau terdakwa. Perlindungan bagi saksi penguingkap fakta (whistleblower)merupakan bagian dari upaya penegakan hukum yang sekaligus sebagai jaminan penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Jaminan perlindungan kepada para pengungkap fakta (whistleblower ) baik kepada saksi atau pelapor dan korban sebagai bagian dari warga Negara wajib diberikan oleh Negara sebagaimana diatur dalam. Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Right) tahun 1966 yang telah diratifikasi oleh Negara Republlik Indonesia dan konsekuensinya beberapa ketentuan dalam system peradilan pidana harus mengalami perubahan. Salah satu bentuk perubahan itu antara lain dengan disahkannya oleh legislasi pusat Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006. Diberlakukannya undang-undang ini sebagai ketentuan khusus (lex specialis) mengenai perlindugnan bagi para pengungkap fakta (whistleblowers), diharapkan mampu menciptakan keseimbangan untuk menutupi kekurangan didalam system hukum kita berkaitan dengan terabaikannya elemen saksi dan korban dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang RI No. 8 tahun 1981). KUHAP sebagai hasil karya agung bangsa Indonesia itu lebih cenderung mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa.
bagi para pengungkap fakta (whistleblower). Dengan demikian metode penelitian ini bersifat deskriptif analisis.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pengaturan perlindungan hukum bagi saksi pengungkap fakta (whistleblower) dalam Udnang-Udnang RI No. 13 Tahun 2006 menganut konsep protection of cooperating person (perlindungan bagi pribadi yang bekerjasama dengan penegak hukum). Menerapkan prinsip tersebut dalam Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 sangat penting terutama untuk memudahkan pembuktian terhadap tindak pidana yang digolongkan extra ordinary crime dimana suatu tindak pidana dilakukan dengan modus operandi sistematis dan terorganisir. Konsep ini prinsipnya mirip dengan mekanisme plea bargaining di Amerika Serikat. Disamping itu dalam undang-undang ini diamanatkan adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang mandiri untuk menetukan pemberian perlindungan dan bantuan bagi para pengungkap fakta (whistleblower) berupa perlindungan hukum dan perlindungan khusus. LPSK inilah yang menjadi roh atau jiwa dari Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006. Berlakunya Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentunya diprediksikan akan mengalami hambatan-hambatan secara normatif dalam hal pemberlakuan konsep protection of cooperating person maupun asas atau prinsip immunitas (kekebalan) yakni untuk tidak dituntut secara pidana dan perdata bagi para pengungkap fakta (whistleblower). Perlindungan hukum bagi para pengungkap fakta (whistleblower) diharapkan bukan menimbulkan masalah hukum baru yakni terjadinya disparitas dalam penegakan hukum itu sendiri dan pelanggaran asas hukum umum yakni asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Hal ini sangat penting diperhatikan oleh aparat penegak hukum sehingga pemberlakuannya terhadap suatu kasus pidana wajib delakukan dengan prinsip kehati-hatian.
ABSTRACT
There are any national acts that regulate the public participation in law enforcement process by make a report to the law officer or to be witness in acourt session process and this require brave and the commitment for the just. Nevertheless, there is a contradiction in which the whistleblower i.e witness, reporter or victim will attacked by anyone who reported and even the whistleblower is a part of the law enforcement in addition as the honor guarantee and protection on human basic rights. Protection for the whistleblower either witness or reporter and victim as citizen must provided by the state as mentioned in International Covenant on Civil and Political Right of 2006 that ratified by Republic of Indonesia and its consequences, there are any terms in the crime court system must be revised. One of them is the validation by national legislation the Act of RI No. 13 of 2006 concerning to the Witness and Victim Protection on 11 August 2006. The implementation of this act as special terms (lex specialis) for the whistleblower will build a balance to eliminate the weakness in our law system that related to the witness and victim elements in Crime procedure Law (Act of RI No. 8 of 1981). KUHAP (Crime Procedure Law) as “great work” of Indonesia anly regulate the rights of defendant or suspected.
The objective of this research is study the law protection concept for the whistleblower, the form of law protection for the whistleblower and any normative obstacles in law protection for whistleblower in application of Act of RI No. 13 of 2006. The applied method in this research is a normative juridical approach, i.e. by do the analysis on the problems and research by approach the law principles in casu Act of RI No. 13 of 2006 and refers to the public law principles in the national regulations. The normative juridical research applies the secondary data. The data collected by library research i.e study the Act of RI No. 13 of 2006, literatures, acts and scientific works that related to the law protection for whistleblower. Therefore, this is a descriptive analysis research.
In the implementation of Act of RI no. 13 of 2006 is predicated wiil found any normative obstacles in the implementation of protection of cooperating person or immunity principle i.e the whistleblower is not claim either in civil or crime act. Law protection for the whistleblower is hope did not cause the new law case i.e the disparity in the law enforcement. The implementation of immunity principle in this act as exceptional on public law principles, i.e a recognition on presumption of innocence for a defendant or suspected. This must be considered by the law enforcement officers in which its implementation on a crime case must be handled carefully. The important think in implementation of Act of RI No. 13 of 2006 that implementation of law protection for the whistleblower is based on the national condemnation concept in the restorative justice.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Majalah Time (Edisi 22 Desember 2002) menganugrahkan penghargaan
Person of The Year kepada Cyntia Cooper, Coleen Rowley dan Sherron Watkins atas
keberanian ketiga perempuan itu membongkar skandal keuangan dan politik di tiga
lembaga yang berbeda. Cyntia Cooper mengambil risiko personal dan professional
yang amat besar untuk membongkar skandal keuangan di WorldCom. Coleen Rowley
mengambil sikap sama, membongkar skandal politik di Federal Bureau Investigation
(FBI) dan Sherron Watkins membongkar skandal keuangan di Enron. 90
Sherron Watkins adalah Wakil Presiden Enron yang menulis surat kepada
Direktur Kenneth Lay pada musim panas tahun 2001. Dalam surat itu, Watkins
mengingatkan Lay, metode akuntansi perusahaan tidak patut yang akhirnya
mengakibatkan Enron kolaps.91
Coleen Rowley adalah pengacara staf FBI yang mengirim memo kepada
Direktur FBI Robert Mueller dimana dalam memo itu Rowley mengungkapkan, FBI
telah menghilangkan nama Zacarias Moussaoui, warga Perancis keturunan Maroko,
dari daftar orang yang harus diinvestigasi karena terindikasi sebagai salah satu otak
serangan 11 September. Sementara itu, Cynthia Cooper membongkar skandal
90
Kompas, Opini : Sang Peniup Peluit oleh Yenny Zannuba Wahid , 18 April 2007 hal 7
91
keuangan WorldCom saat perusahaan itu menutup kerugian 3,8 Miliar dollar AS
lewat laporan pembukuan palsu.92
Kasus skala nasional yang masih segar dalam ingatan kita yakni kisah tentang
seorang yang bernama Endin Wahyudin melaporkan perbuatan pidana yang diduga
dilakukan oleh beberapa orang hakim. Kemudian hakim tersebut melakukan
“serangan balik” dengan mengadukan Endin telah melakukan tindak pidana
pencemaran nama baik. Sang hakim bebas dari hukuman, sementara sang pelapor
dihukum pengadilan karena terbukti melakukan tindak pidana yang dituduhkan. 93
Kasus Agus Sugandhi yang tidak hanya harus mengungsi karena rumahnya di
Perumahan Cempaka Indah Kabupaten Garut, Jawa Barat, hampir ambruk setelah
dilalap api pada tanggal 2 Maret 2007 sekitar pukul 03.00 Wib. Ia juga
mengkhawatirkan keluarganya karena terror yang lebih hebat dari pembakaran
rumahnya masih mungkin terjadi. Agus Sugandhi yakin bahwa rumahnya sengaja
dibakar terkait dengan aktivitasnya di Garut Government Watch (GCW), sebuah
organisasi yang aktif mengawasi praktik korupsi di Kabupaten Garut.94
Kasus terbaru yang mendapat sorotan adalah kasus Vincentius Amin Sutanto,
mantan Group Financial Controller Asian Agri, yang melaporkan dugaan
penggelapan pajak di tempat kerjanya. Kasus Vincent merupakan kasus paling
menarik karena melibatkan orang dalam dari pihak yang diduga melakukan
92
Ibid, hal, 7
93
Harian Seputar Indonesia Opini Pentingnya Perlindungan Saksi, Pelapor dan Korban oleh Yunus
Husein, Senin 15 Mei 2006, hal 8 94
kejahatan. Berbeda dengan kasus lainnya, Vincent terlebih dahulu dinyatakan sebagai
tersangka dalam kasus pembobolan uang Rp 28 Miliar milik PT Asian Agri Oil and
Fats Ltd di Singapura, salah satu anak perusahaan Asian Agri Group. Pada saat
menjadi tersangka dan buron itulah Vincent kabur ke Singapura dan ia sempat
berencana untuk bunuh diri dan akhirnya menyerahkan diri ke polisi Singapura
karena merasa keselamatannya terancam di Indonesia. Namun berkat bantuan
wartawan Tempo, Vincent kemudian dihubungkan dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Hanya KPK pada waktu itu yang dipercayai Vincent untuk menerima
laporannya. Selanjutnya, Vincent menyerahkan diri dan melaporkan dugaan
pengemplangan pajak Asian Agri yang diduga merugikan negara sedikitnya Rp 1,3
Triliun.95
Penghukuman terhadap Vincent atas kasus pembobolan uang perusahaannya
berlangsung begitu lancar. Vincent dijerat dengan dakwaan kumulatif tindak pidana
pencucian uang dan pemalsuan surat. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang
memvonis Vincent bersalah dan dihukum 11 (sebelas) tahun penjara diperkuat oleh
Pengadilan Tinggi Jakarta. Serangan terhadap Vincent tak hanya dalam satu kasus.
Aparat penyidik Polda Metro Jaya berniat akan menjerat Vincent dengan perkara
tindak pidana pemalsuan paspor yang dilakukannya sekitar Oktober 2006 di
Singkawang, Kalimantan Barat. Perkaranya kini sudah dilimpahkan ke Kepolisian
Resor Singkawang. 96
95
Tempo, Kolom oleh Yunus Husein (Kepala PPATK) 13 Januari 2008, hal 118 96
Beberapa contoh atau kasus diatas kisah tragis sang pelapor (whistleblower)
memberikan pesan negatif bagi penegakan hukum di Indonesia dan memiliki satu
kesamaan yakni berbuah “serangan balik “ dari pihak yang dilaporkan. Tidak banyak
orang yang bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika
dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman
yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukan. Begitu juga dengan saksi
jikalau tidak mendapat perlindungan yang memadai, akan enggan memberikan
keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan dirasakan sendiri.
Praktek Internasional, statuta pengadilan-pengadilan dan persidangan
(tribunal) pidana internasional mengakui pentingnya kesaksian ini sebelum jurisdiksi
ini dilindungi olehnya. Mereka telah mengembangkan langkah-langkah perlindungan
yang akan dijamin untuk kesaksian sebelum, selama dan setelah proses pengadilan,
dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk melindungi hak atas pengadilan yang
fair bagi terdakwa. Jurisprudensi ini merupakan sumber yang penting bagi pengadilan
pidana internasional dan prosedur tentang perlindungan saksi. 97
Hukum Acara dan Pembuktian (Rules and Procedure of Evidence) mengakui
hak-hak saksi seperti berikut : tidak mempublikasikan identitas mereka, perlindungan
kerahasiaan saksi, prosedur menetapkan langkah-langkah untuk perlindungan saksi,
melakukan sesi-sesi khusus (close hearing), membeberkan bukti-bukti yang tidak
97
membahayakan keselamatan saksi, diskresi luas pengadilan untuk mengakui
bukti-bukti, keadaan kesaksian, tata cara pembuktian dalam kasus kekerasan seksual.98
Keputusan untuk mengijinkan, dalam kondisi tertentu, identitas saksi dan
korban untuk dirahasiakan di depan terdakwa bahkan di tingkat pengadilan telah
menjadi tantangan, dan hal tersebut melanggar hak-hak terdakwa atas pengadilan
yang fair, yang meliputi antara lain, akses penuh terdakwa serta pengacaranya
terhadap seluruh bukti-bukti di pengadilan.
Jaminan perlindungan kepada saksi (baik sebagai saksi sebagai korban
maupun saksi bukan sebagai korban) sebagai bagian dari warga negara wajib
diberikan oleh negara dalam proses penegakan hukum. Pasal 9 Kovenan Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1966 mengajukan hak atas kebebasan dan keamanan
seseorang. Hak ini diperkuat oleh pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(bersama dengan hak atas hidup) pasal 5 Konvensi Eropa dan pasal 7 Konvensi
Amerika. 99
Istilah “hak atas kebebasan”--- yang dalam kata-kata lain seperti “kebebasan
untuk kebebasan”--- terdengar seperti slogan abstrak. Tetapi istilah ini
98
Ibid, hal 13, menetapkan langkah perlindungan saksi termasuk ijin kepada Majelis Hakim untuk memutuskan proses pengadilan secara tertutup (in camera) dengan maksud untuk : 1) menetapkan langkah-langkah kepada publik atau media mencegah dibukanya identitas saksi ke public atau media serta keberadaan mereka , seperti : (a). menghapus nama dan identifikasi informasi dari catatan public Majelis Hakim, (b). merahasiakan kepada public hal-hal mengenai catatan-catatan yang berkaitan dengan identitas korban, (c). memberikan kesaksian melalui gambar atau suara yang disamarkan atau melalui televise (close circuit television), (d). menggunakan nama samaran (pseudonym), 2). Melakukan sesi-sesi khusus; dalam kaitannya dengan aturan 79 dan 3). Tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memfasilitasi kesaksian korban dan saksi yang rentan seperti menggunakan televise system tertutup (close circuit television). Bagian C dari pasal tersebut menyebutkan bahwa, “ Majelis Hakim, jika diperlukan, menjaga sikap pada saat mengajukan pertanyaan untuk menghindari adanya pelecehan atau intimidasi.
99
mengimplikasikan kebebasan fisik dan meliputi kebebasan yang benar-benar konkret
dan khusus dari penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, hak yang sama
kritisnya dengan sesuatu yang biasa dipermalukan di zaman kita.
Setiap masyarakat menggunakan hukum dan lembaga-lembaga pidana untuk
mempertahankan ketertiban dan keadilan maupun untuk melindungi hak dari
gangguan orang lain. Prosedur dan sanksi proses pidana, meski demikian,
memperkokoh kebebasan individu yang dituduh dan dihukum karena melakukan
kejahatan. Invasi terhadap kebebasan semacam itu dibenarkan bila diperlukan untuk
melindungi masyarakat tetapi hanya bila dan pada taraf yang sunguh-sungguh
diperlukan. Bagaimanapun, proses pidana merupakan ancaman paling besar terhadap
hak asasi manusia, khususnya hak atas hidup dan kebebasan.100
Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu tonggak dari
hak asasi manusia dan memiliki posisi penting bagi berbagai jenis hak dan kebebasan
lainnya. Untuk hal itulah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengesahkan sebuah
Kovenan khusus mengenai ini dalam Konfrensi Kebebasan Informasi di Jenewa
1948.
Pembuatan formulasi dari pasal yang memuat kebebasan berpendapat dan
berekspresi dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia itu melibatkan proses
pengumpulan semua formulasi yang ada dalam konstitusi-konstitusi nasional seperti
layaknya rancangan-rancangan yang dipersiapkan oleh asosiasi-asosiasi dan
organisasi-organisasi umum, privat dan ilmiah; abstraksi dari semua elemen-elemen
100
itu tidak hanya terlihat penting dalam sebuah instrument dunia tetapi kelihatannya
juga dapat diterima secara menyeluruh.
Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan : “Semua
orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini meliputi kebebasan
untuk mempertahankan pendapat tanpa paksaan dan untuk mencari, menerima dan
menyebarluaskan informasi dan ide-ide melalui media apapun dan tanpa melihat
batasan.”
Pasal ini merupakan basis atau dasar dari dua paragraf pertama pasal
19 Kovenan :
1. Semua orang harus memiliki hak untuk mempertahankan pendapatnya tanpa
paksaan.
2. Semua orang harus memiliki hak atas kebebasan berekspresi; hak ini harus
meliputi kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarluaskan segala jenis
informasi dan ide tanpa melihat batasan baik secara lisan, tulisan atau tercetak
dalam bentuk seni ataupun melalui media lain sesuai pilihannya.
Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini ada tanpa terikat batasan wilayah. Hak
atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat diterapkan tidak hanya dalam satu
negara saja tetapi berlaku secara internasional. Hak-hak ini adalah hak-hak
internasional.
Tepat kiranya disini negara (pemerintah) dipahami sebagai sebuah “rechstaat
dalam pengertian khusus” yakni merupakan tatanan hukum yang relatif sentralistik
umum, norma-norma yang diciptakan parlemen yang dipilih oleh rakyat, kepala
negara mungkin atau mungkin tidak berpartisipasi dalam penciptaan ini anggota
pemerintahan bertanggungjawab atas tindakan mereka, pengadilan bersifat
independen dan kebebasan sipil tertentu bagi warga, khususnya kebebasan beragama,
berbicara dijamin.101
Pembangunan merupakan suatu proses yang dikaitkan dengan
pandangan-pandangan yang optimistis yang terwujud dalam usaha-usaha untuk mencapai taraf
kehidupan yang lebih baik daripada apa yang telah dicapai.102 Melaksanakan
pembangunan hukum berarti melakukan upaya pembaharuan hukum secara terarah
dan terpadu dengan jalan antara lain menyusun perundang-undangan baru yang
sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung pembangunan yang sesuai dengan
perkembangan masyarakat.103
Kepastian hukum sebagai salah satu elemen penting untuk mendorong
pembangunan dan kemajuan suatu negara mengharuskan diciptakannya
peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum. Presiden dalam pidato
kenegaraan yang diucapkan pada tanggal 16 Agustus 1967 mengatakan bahwa
101
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), (Bandung : Nusamedia
dan Nuansa,2007), hal 346 102
Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Bandung : PT Citra
Aditya Bakti, 1989), hal 11 103
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,
pelaksanaan hukum harus diabdikan untuk kepentingan masyarakat serta kepastian
hukum harus diwujudkan dalam tertib hukum.104
Sistem Peradilan Pidana (Indonesia) pada hakikatnya merupakan sistem
kekuasaan menegakkan hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman di bidang
hukum pidana, diwujudkan/diimplementasikan dalam 4 (empat) subsistem yaitu :105
a. Kekuasaan penyidikan (oleh badan/lembaga penyidik);
b. Kekuasaan penuntutan (oleh badan/lembaga penuntut umum);
c. Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana (oleh badan pengadilan);
dan ;
d. Kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana (oleh badan aparat pelaksana/eksekusi)
Ke-empat tahap/subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum
pidana yang integral atau sering dikenal dengan istilah sistem peradilan pidana
terpadu (integrated criminal justice system).
Setiap negara di dunia ini memiliki sistem hukum masing-masing demikian
juga halnya sistem peradilan pidananya sebagai bagian dari sitem hukumnya. Sistem
hukum memiliki lebih banyak lagi selain kode aturan (codes of rules), aturan (do’s
and don’ts), peraturan (regulations) dan perintah (orders).106 Lawrence M.
104
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta :
Universitas Indonesia, 1984), hal 55 105
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
(Bandung : PT Citra Aditya Bakti 2005), hal 40 106
Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction (Hukum Amerika Sebuah Pengantar),
Friedman 107 dalam bukunya American Law Introduction selanjutnya berpendapat
unsur-unsur sistem hukum yakni :
1. Sistem hukum mempunyai struktur
2. Sistem hukum mempunyai substansi
3. Sistem hukum mempunyai budaya hukum
Ketiga faktor yang terdapat dalam sistem hukum ini yang sangat mempengaruhi
proses penegakan hukum dalam suatu negara.
Sistem hukum bukanlah sesuatu yang dipilih dan dipertimbangkan sebelum
dianut oleh negara tetapi sistem hukum itu ikut berevolusi bersama dengan
masyarakat negara itu sendiri. Sistem hukum yang dianut suatu negara , terutama
negara-negara bekas jajahan, sering terdapat beberapa hal yang kurang sesuai dengan
kebiasaan dan nilai-nilai tradisional masyarakat setempat. Setiap negara dalam
praktiknya mengembangkan Sistem Peradilan (termasuk Sistem Peradilan Pidana)
sendiri-sendiri yang ditentukan perkembangan kepercayaan (agama), kebiasaan,
budaya dan tradisi, pengalaman sejarah bangsa tersebut, struktur ekonomi dan
organisasi politik negara tersebut.108
Studi terhadap perbedaan dan persamaan sistem peradilan pidana pada
negara-negara di dunia, Ebbe menyimpulkan bahwa pengalaman politik suatu negara
107
Ibid hal 7-8 108
memainkan peran signifikan dalam pembentukan hukum dan nilai-nilai yang
menentukan suatu perbuatan merupakan tindak pidana serta sistem peradilannya.109
Beberapa negara Asia dan Afrika, sistem hukum tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh kolonial, dimana negara-negara Eropa dan Inggris memperkenalkan sistem
hukum untuk mencerminkan nilai-nilai kultural Eropa dan melindungi kepentingan
ekonomi, agama dan kepentingan politiknya. Akan tetapi, hingga saat ini
negara-negara tersebut tetap memiliki sistem hukum dan system peradilannya yang berasal
dari budaya negaranya masing-masing.
Setiap negara memiliki ciri khas sistem peradilan pidana. Mardjono
Reksodipoetro memberikan pengertian bahwa sistem peradilan pidana adalah “sistem
pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan pemasyarakatan terpidana”. Selanjutnya, dikatakan bahwa tujuan
sistem peradilan pidana adalah :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan ;
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana ;
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
lagi kejahatannya.110
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) memiliki sejarah panjang yang
dimulai dari martabat alamiah dan hak-hak kemanusiaan yang sama dan tidak dapat
109
Ibid, hal 3
110
dicabut. Pengakuan martabat dan hak-hak tersebut merupakan dasar kemerdekaan,
keadilan dan perdamaian dunia. Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai sesuatu yang
vital untuk menjaga kehidupan manusia tetap manusiawi dan menjaga hak yang
paling berharga, yaitu hak untuk menjadi manusia.
Istilah martabat dan hak-hak kemanusiaan tersebut disebut sebagai hak asasi
manusia. Pasal 4 Undang-Undang RI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menyebutkan sejumlah hak asasi yang bersifat mutlak, tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan oleh siapapun. Hak-hak tersebut antara lain :
1. Hak untuk hidup; 2. Hak untuk tidak disiksa;
3. Hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani; 4. Hak beragama;
5. Hak untuk tidak diperbudak;
6. Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum; 7. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;
Rumusan pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang hak
Asasi Manusia sama dengan rumusan pasal 28 I ayat (1) Amandemen
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yaitu 111: “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk tidak diakui sebagai pribadidi hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun.”
111
Komisi HAM PBB telah membentuk dua kovenan dan satu protokol yang
merupakan bagian dari empat produk PBB yang dinamakan International Bill of
Human Rights, yang terdiri dari :112
1. Universal Declaration of Human Right (UDHR)
2. The International Covenant on Economic, Social and Cultural Right
3. International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR)
4. Optional Protocol to The international Covenant on Civil and Political Right
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights- ICCPR) . Konsekuensinya beberapa
ketentuan dalam sistem peradilan pidana harus mengalami perubahan.
Saksi memainkan peranan kunci utama dalam sistem pembuktian hukum
pidana sekalipun saksi (keterangan saksi) bukan satu-satunya alat bukti dimana
KUHAP menganut pendekatan pembuktian negatif berdasarkan perundang-undangan
atau “Negatief Wettelijk Overtuiging.”113
Peranan saksi (keterangan saksi) yang sangat penting terutama dalam
kejahatan yang dikelompokkan extra ordinary crime dan sebagai salah satu alat bukti
dalam KUHAP sangat kontras dengan bentuk perhatian atau perlindungan yang
diberikan oleh negara cq aparatur penegak hukum. Perlindungan disini berupa
perlindungan hukum dan/atau perlindungan khusus lainnya. Adakalanya seorang
saksi itu memang murni dalam pengertian saksi yang juga menjadi korban (saksi
112
OC Kaligis, op.cit, hal 8 113
Indriyanto Seno Adji, Korupsi Dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta : Kantor Pengacara
korban) sebagaimana dimaksud dalam KUHAP tapi pada kasus yang lain saksi disini
adalah salah seorang pelaku (tersangka/terdakwa) dari suatu perbuatan pidana yang
dilakukan secara bersama-sama (berkelompok). Posisi yang sebagaimana disebutkan
terakhir ini tentunya terjadi pergulatan batin saksi yang juga sebagai pelaku dan
sudah sepatutnya pula hukum (aparat penegak hukum) memberikan perhatian dan
penghargaan yang setimpal pula atas keberaniannya mengungkapkan fakta suatu
kebenaran seperti tindak pidana yang sulit pembuktiannya oleh karena faktor –faktor
antara lain dilakukan secara terorganisir (berkelompok; berjamaah) dan termasuk
kejahatan kerah putih (white collar crime) seperti tindak pidana korupsi, tindak pidan
perambah hutan (illegal logging), terorisme, tindak pidana perdagangan orang
(trafficking), tindak pidana pencucian uang (money laundering) dan lain-lain
sebagainya.
Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP, Undang-Undang RI No. 8 Tahun
1981), baik secara teoritis dan praktisnya tidak menaruh perhatian yang sangat serius
terhadap masalah perlindungan saksi sementara disisi yang lain saksi (keterangan
saksi) menempati peringkat utama dalam tata urutan alat bukti menurut pasal 184
KUHAP. Pasal 184 KUHAP berbunyi : 114
(1) Alat bukti yang sah ialah :
a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;
d. Petunjuk;
114
PAF. Lamintang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan pembahasan Secara
e. Keterangan terdakwa;
Tentunya ada menjadi penyebab hingga pembuat undang-undang (legislasi)
menempatkan keterangan saksi (baca : saksi) pada posisi atau urutan pertama dari 5
(lima) alat bukti dalam KUHAP. KUHAP memberikan pengertian saksi sebagaimana
pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 26 yaitu : “orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Selanjutnya pada angka 27 menyebut keterangan saksi adalah : “salah satu alat bukiti
dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu.”
Beranjak dari pengertian tentang saksi dan keterangan saksi sebagaimana
termaktub dalam undang-undang (KUHAP) bahwa sudah barang tentu seorang atau
beberapa orang yang menjadi saksi yang kemudian mejadi alat bukti berupa
keterangan saksi memainkan peranan yang sangat penting untuk membuktikan
kesalahan tersangka atau terdakwa baik sejak di tingkat penyidikan maupun di tingkat
penuntutan. Seseorang yang menempati posisi sebagai saksi dalam suatu tindak
pidana berarti saksi tersebut adalah yang melihat langsung dengan mata kepala
sendiri bagaimana suatu perbuatan (tindak pidana) tersebut dilakukan si tersangka
atau terdakwa. Pemahaman saksi disini meliputi saksi bukan sebagai korban maupun
Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 dinilai sebagai suatu
terobosan yang diharapkan mampu menutupi kelemahan-kelemahan sistem hukum
kita berkaitan dengan terabaikannya elemen saksi dan korban dalam sistem peradilan
pidana sebagaimana KUHAP lebih banyak mengatur hak-hak tersangka atau
terdakwa saja untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia. Undang-Undang ini dengan lebih spesifik (lex
specialis) mengatur syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan bagi
saksi dan atau korban sebagai pelapor (whistleblower) yang sebelumnya
terserak-serak dalam beberapa peraturan.
Bagian Penjelasan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan : “…. dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Selanjutnya disebutkan … Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya…”115
Beberapa undang-undang yang menekankan partisipasi masyarakat dalam
pengungkapan suatu tindak pidana antara lain : pasal 5 Undang-Undang RI No.
23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 54 jo pasal 57 Ayat
(1) Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, pasal 57 jo pasal 76
Ayat (1) Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, pasal 8 ayat
Undang-undang RI No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang
115
Bersih dan Bebas KKN, Undang Tindak Pidana Korupsi yakni
Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI
No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 44,
pasal 92 jo pasal 100 Undang-Undang RI No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, pasal 34 Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia, pasal 17 Undang-Undang RI No 40 Tahun 1999 Tentang Pers
Demikian juga dengan Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, pasal 72 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, pasal 15 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan pasal 60 Undang-Undang RI No.
21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) oleh
pemerintah merupakan kebutuhan yang mendesak saat ini dalam kerangka penegakan
hukum (pidana) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan dalam rangka mentaati prinsip-prinsip
“Good Governance” yakni tegaknya supremasi hukum.116
116
Krisna Harahap,Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, (Bandung : PT.Grafitri, 2006),
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan paparan permasalahan hukum yang dikemukakan di atas, maka
beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah konsep perlindungan hukum bagi pengungkap fakta
(whistleblower) dalam tindak pidana yang sulit pembuktiannya berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban?
2. Bagaimanakah jenis perlindungan yang diberikan kepada pengungkap fakta
(whistleblowers) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban?
3. Bagaimanakah hambatan atau kendala yang terdapat dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban bagi pengungkap fakta (whistleblower) ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui konsep perlindungan hukum bagi pengungkap fakta
(whistleblower) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk tindak pidana yang
2. Untuk mengetahui jenis perlindungan bagi pengungkap fakta (whistleblower)
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
3. Untuk mengetahui hambatan atau kendala yang terdapat dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi bagi
pengungkap fakta (whistleblower).
D. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermamfaat bagi pengembangan
pemikiran teoritis maupun kegunaan praktis yaitu :
1. Secara teoritis :
Diharapkan bermanfaat mengkonstribusikan pemikiran ilmiah terhadap
pengembangan ilmu hukum pidana khususnya di bidang perlindungan saksi
pengungkap fakta (whistleblower) atau kebijakan pidana dalam hal tindak pidana
yang sulit pembuktiannya sehingga dapat menambah khasanah literatur ilmu hukum
bagi masyarakat akademis yang mendalami hukum pidana.
2. Secara praktis :
Diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan di lingkungan institusi penegak
hukum terutama Kepolisian dan Kejaksaan sebagai lembaga penyidik tindak pidana
(umum/khusus) yang mempunyai wewenang melakukan tindakan penyidikan dan
menciptakan suasana kondusif dalam meningkatkan peran serta masyarakat untuk
E. Keaslian Penelitian
Sepanjang pengetahuan penulis bahwa penelitian mengenai “Perlindungan
Hukum Bagi Pengungkap Fakta (Whistleblower) dalam Perkara Pidana (Analisis
Yuridis Terhadap Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban)” belum pernah dilakukan sebelumnya, oleh karena itu dapatlah
dikatakan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
F. Kerangka Teoritis dan Konsepsional
1. Kerangka Teoritis
Teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek
yang dijelaskannya. Namun, suatu penjelasan bagaimanapun meyakinkan tetap harus
didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
M. Solly Lubis,117 mengatakan bahwa untuk dapat disebut sebagai teori
ilmiah harus memenuhi dua syarat utama, yaitu harus konsisten dengan teori-teori
sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan
secara keseluruhan dan harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori keilmuan
secara keseluruhan dan harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang
bagaimana pun konsistennya kalau tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat
diterima kebenarannya. Pendekatan rasional menggunakan logika deduktif dan
pendekatan empirismenggunakan logika induktif. Gabungan antara kedua logika
117
tersebut disebut logika ilmiah yang merupakan sebuah sistem dengan mekanisme
korektif. Penjelasan yang lebih berguna untuk prediksi dan pengendalian ialah
penjelasan yang didasarkan atas hukum-hukum kausal bukan korelasional. Oleh
karena itu, penjelasan rasional yang belum teruji kebenarannya secara empiris
statusnya bersifat empiris.
Pengertian tentang teori dan konsep dalam literatur ilmu hukum dan ilmu
sosial terkesan cukup beragam rumusannya. Masing-masing pakar memiliki batasan
yang khas dalam merumuskan pengertian teori dan konsep. Walaupun demikian
secara substantif hakikatnya tidak berbeda prinsipil.
Dibidang ilmu hukum, A. Hamid S Attamimi118 merumuskan teori ialah
“sekumpulan pemahaman, titik tolak-titik tolak dan asas-asas yang saling berkaitan
yang memungkinkan kita memahami lebih terhadap sesuatu yang kita coba untuk
mendalaminya.”
Satjipto Rahardjo119 mengatakan bahwa “teori memberikan penjelasan dengan
cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.”
Demikian pula menurut Redbruch120 “bahwa tugas teori hukum adalah membikin
jelas nilai-nilai serta postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya
yang tertinggi.” Pentingnya kerangka teori menurut Ronny Hanitijo Soemitro121
118
A. Hamid S Attamimi, Teori perundang-Undangan Indonesia, Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang Menjelaskan dan Mencerminkan, (Pidato pada Pengukuhan Jabatan Guru besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia) Jakarta, 25 April 1992, hal 2 119
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni,1986), hal 224
120
Ibid hal 224 121
Ronny Hantijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia,
adalah “setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.
Hal ini disebabkan karena adanya hubungan timbal-balik antara teori dengan
kegiatan-kegiatan pengumpulan data, konstruksi data, pengolahan data dan analisis
data.”
Bertitik tolak dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kerangka
pemikiran teoritis sebagai landasan konsepsional pendekatan masalah penelitian
dapat disusun menggunakan teori, konsep, asas-asas dan pendapat-pendapat ilmuwan
yang dinilai relevan untuk membuat jernih dan atau memecahkan suatu masalah yang
diteliti.
Perlindungan bagi saksi pengungkap fakta (whistleblower) merupakan hal
yang essensial untuk membuktikan kebenaran suatu peristiwa (pidana) dalam rangka
penegakan hukum.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengadopsi
norma-norma yang termaktub di dalam Universal Declaration of Human Right (1945) dan
International Convention on Civil and Political Rights sekalipun sudah banyak
memberikan perlindungan dan penghormatan kepada hak tersangka atau terdakwa,
belumlah mencakup upaya-upaya perlindungan kepentingan korban yang sekaligus
menjadi saksi pelapor dalam suatu tindak pidana.122
Perlindungan saksi merupakan isu strategis, Investasi, pendokumentasian
dan penuntutan pelanggaran dan Penuntutan kasus-kasus tindak pidana bergantung
122
pada kemampuan untuk mengumpulkan informasi yang relevan secara independent,
objektif dan imparsial, memverifikasi, menetapkan fakta dan menghimpun
bukti-bukti yang handal tentang tindak pidana tersebut, sebab-sebab, mekanisme
kejadiannya, konteks serta tanggungjawabnya. Proses ini, bukti kesaksian
(testimonial evidence) seringkali dianggap penting untuk menetapkan fakta-fakta
dasar tindakan tersebut, termasuk pertanggungjawabannya. Kondisi ini seringkali
dijadikan acuan pada saat sumber atau alat bukti tidak tersedia atau dihilangkan
atau dirusak, secara sengaja atau lainnya khususnya dalam kasus pelanggaran hak
asasi manusia.
Pendokumentasian kasus pelanggaran hak asasi manusia secara eksklusif
sangat bergantung pada apa yang terekam dalam ingatan para korban, saksi dan
pihak-pihak lain. Pengumpulan kesaksian mereka hanya mungkin jika mereka
mau dan mampu bersaksi, secara lisan dan tulisan, tanpa dihantui oleh aksi
pembalasan dendam, keluarganya atau orang-orang yang terkait dengan mereka.
Kemampuan para saksi untuk bersaksi secara bebas dan perlindungan bagi para saksi
sangat penting untuk memfasilitasi pengumpulan kesaksian kunci terhadap kekerasan
dan kejahatan, untuk menetapkan rekaman faktual (factual record) atas peristiwa
yang telah terjadi (pernyataan kebenaran), untuk menuntut pelaku serta
membongkar mekanisme yang dialami para saksi dan menginisiasi reformasi
institusional yang relevan (pelaku melakukannya melalui organ negara) serta
Hukum dalam esensi-nya mengandung 3 (tiga) nilai yakni keadilan, kepastian
hukum dan kegunaan (faedah) hukum itu sendiri. Perlindungan hukum bagi saksi atau
dengan kata lain dasar atau konsep menjadi pembenar saksi perlu dilindungi, berpijak
pada upaya mencari kebenaran materil dan perlindungan hak asasi manusia.
Tersangka atau terdakwa yang diduga melakukan suatu tindak pidana, perlu
mendapat jaminan perlindungan hak-hak asasinya. Penghormatan terhadap prinsip
asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) menetapkan bahwa seseorang
yang diduga melakukan suatu kejahatan (tindak pidana) wajib untuk dianggap tidak
bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan badan
peradilan yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti. Setiap orang yang
disangka atau didakwa melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana harus
diperlakukan sebagaimana layaknya manusia biasa yang tidak bersalah dengan segala
hak asasi manusia yang melekat pada dirinya. Perlakuan secara sewenang-wenang,
secara kejam, secara tidak manusiawi ataupun diperlakukan di luar batas-batas
kemanusiaan. Bahkan andaikata kejahatan (tindak pidana) yang disangkakan atau
didakwakan terhadapnya sudah terbuktipun dan sudah dijatuhi putusan oleh
pengadilan dengan kekuatan mengikat yang pasti, tersangka/terdakwa/terpidana juga
harus diperlakukan selayaknya seperti manusia biasa dengan segala hak asasinya.
Proses pembuktian kejahatan (tindak pidana) oleh aparat penegak hukum
(negara) wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan atau undang-undang yang berlaku
(hukum positif) artinya pembuktian kesalahan/kejahatan yang dilakukan seorang
yang diduga melakukan tindak pidana adalah hasil pergelutan atau pertarungan
kekuatan alat bukti semata-mata, jadi bukan berdasarkan opini atau asumsi.
Hukum (undang-undang) yang baik adalah yang mampu memberi keadilan
yang sama kepada semua orang, artinya memberikan perlakuan hukum yang sama
kepada tersangka/terdakwa dan juga kepada korban (saksi korban). Pencapaian
keadilan adalah tujuan utama atau dapat dikatakan tujuan hukum yang tertua
usianya sebagaimana hubungan antara keadilan dan hukum positif jadi pusat
perhatian para ahli fikir Yunani (penganut filsafat hukum alam).123 Prinsip keadilan
dalam kovenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik ditetapkan antara
lain : hak atas persamaan di depan hukum (equality before the law) dan hak atas non
diskriminasi dalam penerapannya (pasal 7), larangan penangkapan, penahanan atau
pengasingan yang sewenang-wenang (pasal 9), hak atas peradilan yang adil (pasal
10).124 Hak asasi atas peradilan yang adil (dalam) urusan perdata dan pidana suatu
hak yang sangat penting bagi implementasi dari semua hak-hak asasi yang lain,
tergantung pada administrasi peradilan yang layak.125 Hukum Acara Pidana sebagai
bagian prosedur beracara di persidangan wajib memberikan keseimbangan, baik bagi
hak tersangka/terdakwa untuk memberikan pembelaan hukumnya maupun korban
(saksi korban) yang diwakili oleh aparat penegak hukumnya (polisi, jaksa) untuk
melakukan tuntutan hukum karena terganggunya kepentingan umum.
123
W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum (Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum), Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1993, ha16
124
T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia (Isu dan Tindakan), Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal 70
125
Peran serta masyarakat dalam penegakan hukum (pidana) dewasa ini sangat
penting dalam sistem peradilan pidana (nasional) mengingat kualitas dan kuantitas
kejahatan. Keterkaitan antara kejahatan dan sistem peradilan pidana (criminal justice
system) adalah terletak pada tujuan akhir (goal) yang ingin dicapai oleh komponen
criminal justice sistem secara keseluruhan yaitu menanggulangi masalah kejahatan.
126
Muladi, SH127 berpendapat “sistem peradilan pidana (criminal justice system)
sebagai suatu jaringan (network) peadilan yang menggunakan hukum pidana sebagai
sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum
pelaksanaan pidana.”
Didalam sistem peradilan pidana ini terkandung gerak sistemik dari
komponen-komponen pendukungnya yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
totalitas berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output)
yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan pidana ini yaitu sasaran jangka pendek
adalah resosialisasi pelaku kejahatan, sasaran jangka menengah adalah pencegahan
kejahatan serta tujuan jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan
masyarakat.
Pendekatan dengan teori sistem peradilan pidana dianggap perlu oleh karena
dalam hal penanganan tindak pidana terdapat keterkaitan dan keterpaduan dalam
setiap tahapan proses pemeriksaan mulai dari proses penyidikan (kepolisian),
126
Mahmud Mulyadi, Modul Perkuliahan Semester Ganjil (III) Tahun Akademik 2007/2008 Konsentrasi Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum (Sekolah Pasca Sarjana USU,2007), hal 24 127
penuntutan (kejaksaan), pemeriksaan persidangan (pengadilan) hingga pemidanaan
(lembaga pemasyarakatan).
Sistem peradilan pidana yang digariskan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) merupakan sistem terpadu (integrated criminal justice
system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi
fungsional diantara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan
yang diberikan undang-undang kepada masing-masing.128
Konstitusi memberi hak dan kewenangan istimewa bagi aparat penegak
hukum seperti polri untuk : memanggil, memeriksa, menangkap, menahan,
menggeledah, menyita terhadap tersangka dan barang yang berkaitan dengan tindak
pidana. Pelaksanaan hak dan kewenangan istimewa tersebut, harus taat dan tunduk
kepada prinsip : the right of due process.
Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi supremasi
hukum dalam menangani tindak pidana : tidak seorang pun berada dan menempatkan
diri di atas hukum (no one is above the law) dan hukum harus diterapkan kepada
siapa pun berdasar prinsip perlakuan dan dengan cara yang jujur (fair manner).
Pengungkap fakta (whistleblower; peniup peluit), baik itu dalam istilah
sebagai saksi atau korban, pelapor merupakan pihak yang bertujuan untuk membuat
terang suatu perbuatan pidana dan pihak inilah yang perlu mendapat perlindungan
hukum. Siapa saja yang mengambil sikap dan keputusan untuk menjadi pelapor
128
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta : Sinar Grafika ,
(whistleblower) tentunya sudah siap dengan segala konsekuensi yang akan
dipikulnya.
Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu
tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat
perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukan.
Begitu juga dengan saksi jikalau tidak mendapat perlindungan yang memadai akan
enggan memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang dialami, dilihat dan
dirasakan.
Sudah sepatutnya hukum memberikan perhargaan dan penghormatan kepada
para pengungkap fakta ini. Seyogyanya, dengan sistem peradilan pidana yang terpadu
ada garis koordinasi dan merupakan kebijakan pidana bagi aparat penegak hukum
untuk memberikan semacam perlakuan khusus bagi sang pengungkap fakta.
Perlakuan khusus ini dapat diperoleh pelapor baik itu sejak di tingkat penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di persidangan hingga pemidanaannya.
Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban mengamanatkan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) dalam tempo 1 (satu) tahun setelah diundangkannya undang-undang ini.
Kebutuhan akan perlindungan hukum ini sangat mendesak bagi para aktivis anti
korupsi dan aktivis Hak Asasi Manusia. Kebutuhan ini begitu penting manakala para
Hakristuti Hakrisnowo129 berpendapat : LPSK merupakan refleksi tanggungjawab negara pada warganya yang berkontribusi dalam proses peradilan pidana. Kemudian memberikan jaminan hukum pada saksi dan korban agar dapat memberikan keterangan tanpa ketakutan akan intimidasi atau retailasi pelaku. Kemudian lanjutnya : LPSK juga menjamin koordinasi antar lembaga dalam penanganan saksi dan korban disamping itu juga mendorong partisipasi publik dalam proses peradilan pidana.
Perlindungan saksi juga sangat membantu kinerja aparat penegak hukum
terutama bagi pembuktian tindak pidana yang sulit pembuktiannya yang dilakukan
oleh orang dalam dan dilakukan secara terorganisir. Bab II Perlindungan dan Hak
Saksi dan Korban, pasal 5 menyebutkan beberapa hak dari seorang saksi dan korban.
Oleh karena itu, sebagaimana undang-undang memberikan jaminan perlindungan dan
hak yang diperoleh para pengungkap fakta maka negara wajib memberikan perhatian
serius kepada keberadaan LPSK yang mencakup tugas dan kewenangannya.
2. Kerangka Konsepsional
Upaya menghindari kesalahan persepsi dalam melakukan penelitian maka
harus diberikan batasan penelitian yang dijadikan pedoman dalam proses
pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.
Istilah perlindungan hukum yang dikemukakan dalam penulisan ini
mencerminkan kewajiban dan tanggungjawab yang diberikan dan dijamin oleh
Negara untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak-hak asasi
manusia berdasarkan undang-undang dan peraturan hukum.
129