PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PENGUNGKAP FAKTA
(WHISTLE BLOWER) DALAM PERKARA PIDANA DIHUBUNGKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
The Legal Protection Towards Whistle Blower in Criminal Case Connected to Constitution No 13 Year 2006 about Protection of Witnesses and Victims
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia
Oleh :
Herwin Susastra Nim . 3.16.08.022
Di bawah Bimbingan :
Dr. Asep Iwan Iriawan, S.H., M.Hum
JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
✁✂ ✄☎✆ ✝✞✆ ✟ ✠✆✡✞ ☛✞ ☞✌✁✂ ✡ ✠ ✝✠ ✍ ✠☛ ✍ ☎ ✁✆ ✟ ✞✆ ✟☛ ✠ ✎ ✠☛ ✌✠
Lemahnya penegakan hukum mengenai perlindungan terhadap saksi pengungkap fakta (whistle blower) membuat para saksi tidak bersedia memberikan kesaksian mengenai segala sesuatu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri. Kekakhawatiran tersebut dapatlah dimaklumi ketika seorang saksi pengungkap fakta (whistle blower) telah nyata melaksanakan kewajibannya, namun yang didapat bukanlah suatu prestasi, melainkan sebuah ancaman, baik ancaman karena saksi hukum maupun fisik dan mental, terlebih apabila kasus yang sedang diproses merupakan kejahatan yang terorganisir, sudah tentu ancaman yang mungkin muncul akan semakin besar, dan bukan hanya melibatkan saksi pengungkap fakta (whistle blower), akan tetapi juga bisa terhadap harta benda dan keluarganya, yang kesemuanya bisa dalam wujud ancaman fisik maupun mental. Berdasarkan latar belakang, maka perlunya dikaji permasalahan mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pengungkap fakta (whistle blower) dalam perkara pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan perlindungan bagi saksi pengungkap fakta (whistle blower) dalam praktek serta kelemahan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan perlindungan kepada saksi pengungkap fakta (whistle blower).
Penelitian yang dilakukan penulis bersifat deskriptif analitis dengan melukiskan fakta-fakta berupa data primer dan data sekunder dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Data yang dihasilkan dianalisis secara yuridis kualitatif, sehingga hierarki peraturan perundang-undangan dapat diperhatikan serta dapat menjamin kepastian hukum.
★ ✩ ✪✫ ✪✬✭ ✮✯✰✱ ✲ ✪✳ ✲✴✱ ✵✲✱ ✶✭ ✰✷✸ ✶✩ ✴✸ ✲ ✮✪✹ ✮✱ ✶ ✪✰✴✵✺ ✰✴✻✴ ✵✭ ✮✺ ✭✸ ✪✺ ✱ ✵ ✵ ✪✳ ✲✪ ✷✲✱★ ✩ ✪✫✭✶ ❜ ❞ ❤❫ ❴❜ ❤❤❞♦❦ve legal testimony about anything they have heard, seen, and undergone. This anxiety is understandably when a whistle blower do their obligation, they do not get achievement but a threat, either in physically or mentally, moreover if the case is an organized crime, the threat is getting bigger, and not only involve whistle blower, but also property and family. According to the background needs to be review problem about whistle blower protection in criminal case refers to the law no 13 year 2006 about protection of witnesses and victims, the role of witnesses victims protection agency in giving protection to whistle blower in practically and the weak of witnesses and victims agency in giving protection to whistle blower.
This study is descriptive analytic by describing the primary and secondary facts and using juridical normative approach. The data gained is analyzed in judicial qualitative, therefore the hierarchy of constitution can be noticed and guaranteed legal certainty.
♣ qr qs t ✉✈ q✉rq✇
Assalamu alaikum wr.wb
①②③④l④ ⑤ ⑥⑦⑧ sy⑥ ⑨⑥ ⑩ p②⑧nuls ⑤④❶⑦④t⑨④n⑨②p④❷④ ❸ll④❹ ①❺❻ ❺❼ y④n③ t②l④❹ m
②m❽ ②⑧⑨④r n s②③④l④ r④❹m④t ❷④n⑨④⑥❶⑧④r ❾④❿ny ➀❹④l④w④t s②rt④ ➀④④lm s②➁ ③ ④m t
②r➂ur④❹⑨④n⑨②⑤④❷④ ➃④❽⑧ ❽②➀ ④r ⑨⑧t④ Muhammad S.A.W, bahwa penulis masih diberikan kesempatan untuk dapat mensyukuri segala nikmat-nya, berkat taufik dan hidayah-nya penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum dengan judul
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PENGUNGKAP
FAKTA (WHISTLE BLOWER) DALAM PERKARA PIDANA
DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN
2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
Penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan penulisan hukum ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun tata bahasa, sehingga kiranya masih banyak yang perlu didalami dan diperbaiki. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang insyaallah dengan jalan ini dapat diperbaiki kekurangan dikemudian hari.
1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, Msc selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;
2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., A.K., M.S selaku Pembantu Rektor I Universitas Komputer Indonesia;
3. Yth. Bapak Prof. Dr. Moh. Tajuddin, M.A. selaku Pembantu Rektor II Universitas Komputer Indonesia;
4. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Pembantu Rektor III Universitas Komputer Indonesia;
5. Yth. Bapak Prof. Dr. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, S.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H selaku Ketua urusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
7. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
8. Yth. Ibu Febilita Wulan sari, S.H., M.H selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
9. Yth. Bapak Budi Fitriadi, S.., M.Hum selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Inonesia;
11. Yth. Ibu Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M selaku Dosen Fakultas Hukum Hukum Universitas Komputer Indonesia;
12. Yth. Ibu Rchmani Puspitadewi., S.H., M.Hum selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
13. Yth. Bapak Sigid Suseno., S.H., M.H selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
14. Yth. Yani Brilyani Tavipah., S.H., M.H selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
15. Yth. Ibu Rika Rosilawati, A.Md selaku Staff Administrasi Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
16. Yth. Bapak Muray selaku Karyawan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
17. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;
18. Teman-teman seperjuangan dari Kecamatan Belinyu Provinsi Bangka-Belitung;
19. Bebi Berista selaku orang yang selalu menemani dan mendukung perkuliahan penulis.
S.W.T, karena atas ijin-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini, semoga penulisan hukum ini bermanfaat bagi para pembaca dan penulis sendiri.
DAF
➄ ➅➆I
➇➈A. Tinjauan Umum Mengenai Saksi Pengungkap Fakta (Whistle
Blower)
1. Pengertian Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower) .
➙➛ S➜➝➞➟➞ ➠➡➞ ➢➤➜ ➥➜➟➞➡ ➞➞ ➢Whistle Blower➡ ➦➧➜➟ ➥➞ ➨➞ ➦➩➜ ➨➞➟ ➞ ..
B. Model Perlindungan Saksi (Whistle Blower) ..
C. Tinjauan Umum Mengenai Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban .
1. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Sebagai Lembaga
Yang Mandiri
2. Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban .
3. Tugas dan Kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban ...
D. Pasal-Pasal Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban Yang Berkaitan Dengan
Perlindungan Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower) ...
E. Keterangan Saksi Sebagai Salah Satu Bukti ...
1. Sistem Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
2. Keterangan Saksi dan Kekuatan Pembuktian Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ...
BAB III ➫I➭➯ ➲➳➲➭ ➵E➭ ➸E➭ ➲➺ ➻E➼➽I➭ ➾➳➭GA➭ H➳➚ ➳➵
➫E➼➪ADA➻ ➶A➚➶I ➻E➭G➳➭G➚A➻ FA➚ ➫A (WHISTLE
BLOWER) ..
A. Kasus Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower)
➹➘ P➴➷➬➮➱ ✃❐➱ ❒❮➱❰❮ ÏÐ ➮ D❮➬❮ Ñ P➴➷❮ Ò❐➷❮➱ Ó➴➷❐ ➱ ✃❮➱ ❒ ÔU➱ ✃❮➱❒ ❮➱
1. Perlindungan Saksi dalam KUHAP ..
2. Perlindungan Saksi dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia ..
3. Perlindungan Saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban ...
BAB IÕ Ö×ÖØ Ù ÚÙÚ ÛÜ ÝØ Ù ×Þß×àÖ× áß âß ã ä ÜÝáÖÞÖ Û ÚÖ âÚÙ
ÛÜ×àß×àâÖ Û åÖ â äÖ (WHISTLE BLOWER) ÞÖØ Ö ã ÛÜ ÝâÖ ÝÖ ÛÙÞÖ×Ö ÞÙ áßæ ß×à âÖ× Þ Ü×àÖ× ß×ÞÖ×à ç
ß×ÞÖ×à ×èãèÝ éê äÖ áß× ëìì í ä Ü× äÖ×à
ÛÜ ÝØÙ ×Þß×à Ö×ÚÖ â ÚÙÞÖ×âèÝæ Ö× ...
A. Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistle
Blower) Dalam Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
B. Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam
Memberikan Perlindungan Terhadap Saksi Pengungkap Fakta
(Whistle Blower) ...
C. Kelemahan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam
Memberikan Perlindungan Kepada Saksi Pengungkap Fakta
BAB îïðñ òóô õö÷ õöïõø õö
A. SIMPULAN ..
B. SARAN .
÷õùúõø òóïúõûõ ..
÷õùúõøøðüõýõú þð ÷óò ô õñ òðø õö
103
103
105
ÿ ÿ ✁
✂ ✄☎✆ ✝ ✞✟ ✞ ☎
✠✡ ☛☞ ✌☞ ✍✎ ✏✑☞ ✒☞ ✓✔
Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum,
merupakan penegasan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. sesuai
dengan penegasan diatas dapat dipahami dan dimengerti bahwa Negara
Republik Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai Negara hukum, Indonesia
menerima ideologi untuk menciptakan adanya keamanan dan ketertiban,
keadilan dan kesejahteraan, dalam kehidupan yang bermasyarakat dan
bernegara, serta menghendaki agar hukum ditegakkan, artinya hukum harus
dihormati dan ditaati oleh siapa pun tanpa kecuali baik oleh seluruh
masyarakat. Perwujudan Negara hukum ditandai dengan proses peradilan
yang bebas melalui penerapan asas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan equality before the law, yaitu
perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan pembedaan perlakuan di depan hukum.
Sistem peradilan pidana di Indonesia pada hakikatnya merupakan
sistem kekuasaan menegakan hukum pidana, yang diimplementasikan dalam 4
(empat) subsistem yaitu : kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan,
2
putusan pidana, empat lembaga ini sering disebut dengan istilah sistem
peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).
Proses pembuktian dalam perkara pidana dijelaskan didalam Pasal 184
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang
menyatakan :
Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Keterangan Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu pristiwa pidana yang ia
dengar sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu.
2. Keterangan Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki
keahlian husus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
3
3. Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c
KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah ialah :
a. Berita acara dan surat lain, dokumen dalam bentuk yang sesuai
dibuat pejaat umum yang berwenang.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang suatu keadaan.
c. Surat keterangan ahli yang diminta secara resmi
d. Surat lain yang hanya berlaku jika berhubungan dengan isi dan
alat pembuktian lain.
4. Petunjuk sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf d
yaitu Perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
5. Keterangan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
meliputi apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan
4
Sistem peradilan pidana terpadu mengenal adanya saksi yang mana
disebutkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepetingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 26 KUHAP).
Proses peradilan yangfairadalah perlindungan terhadap saksi, terlebih
untuk kasus-kasus khusus yang sulit pembuktiannya. Keberadaan saksi sangat
penting guna mengungkap kebenaran yang sulit diselidiki dengan pendekatan
formal. Dalam sistem hukum pidana terpadu, perlindungan bagi saksi
tampaknya belum memperoleh perhatian serius, bahkan seringkali para saksi
yang seharusnya memperoleh perlindungan, mendapatkan serangan balik dari
aparat penegak hukum.
Lemahnya penegakan hukum mengenai perlindungan saksi
pengungkap fakta (whistle blower) membuat para saksi enggan memberikan
kesaksian mengenai segala sesuatu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri.
Kekhawatiran tersebut dapatlah dimaklumi ketika saksi telah nyata
melaksanakan kewajibannya, namun yang didapat bukanlah suatu prestasi
melainkan sebuah ancaman, baik ancaman karena saksi hukum maupun fisik
dan mental, terlebih apabila kasus yang sedang diproses merupakan kejahatan
5
terhadap harta dan keluarganya, yang kesemuanya bisa dalam wujud ancaman
fisik maupun mental.
Adapun resiko-resiko lain yang membuat seorang whistle blower dan
justice collabolatortidak ingin memberikan keterangan yang diketahui adalah
sebagai berikut :1
1. Resiko Internal
a. Para whistle blower dan justice collabolator akan dimusuhi
oleh rekan-rekannya sendiri.
b. Keluarga whistle blower dan justice collabolator akan
terancam.
c. Para whistle blower dan justice collabolator akan dihabisi
karier dan mata pencahariannya.
d. whistle blower dan justice collabolator akan mendapat
ancaman pembalasan phisik yang mengancam keselamatan
jiwanya.
2. Resiko Eksternal
1
Firman Wijaya,Whistle Blower dan Justice Collabolator Dalam Perspektif Hukum,
6
a. whistle blower dan justice collabolator akan berhadapan
dengan kerumitan dan berbelit-belit rentetan proses hukum
yang harus dilewati.
b. whistle blower dan justice collabolator akan mendapat resiko
hukum ditetapkan status hukumnya sebagai tersangka, atau
bahkan terdakwa, dilakukan upaya paksa penangkapan dan
penahanan, dituntut dan diadili, dan divonis hukuman berikut
ancaman denda dan ganti rugi yang beratnya seperti pelaku
lain.
Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan saksi dan korban pada tanggal 11 Agustus 2006
dinilai sebagai suatu terobosan yang diharapkan mampu menutupi
kelemahan-kelemahan sistem hukum yang berkaitan dengan terabaikannya elemen saksi
dan korban dalam sistem peradilan pidana sebagaimana dinyatakan di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang ini
dengan lebih spesifik (lex specialis) mengatur syarat dan tata cara pemberian
perlindungan dan bantuan bagi saksi dan atau korban sebagai pelapor (whistle
blower).
Ancaman sanksi hukum berupa tuntutan pidana atas kesaksian atau
7
menjadi terpidana. Persoalan banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi
saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena
tidak adanya jaminan yang memadai terutama jaminan atas perlindungan
ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi dan melaporkan tindak kejahatan.
Fakta yang dialami saksi pengungkap fakta (whistle blower) adalah kasus
Mindo Rosalina Manulang dalam memberikan saksi di persidangan terdakwa
kasus wisma atlet Nazarudin. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
menguraikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan masalah-masalah
di atas dengan menganalisa dan mengambil judul : PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP SAKSI PENGUNGKAP FAKTA (✕✖✗ ✘✙✚ ✛
✜✚✢✕✛✣) DALAM PERKARA PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN .
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah yang akan penulis bahas dalam penulisan hukum
ini, yaitu :
1. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi saksi pengungkap fakta
(whistle blower) dalam tindak pidana berdasarkan Undang-Undang
8
2. Bagaimana peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam
memberikan perlindungan bagi saksi pengungkap fakta (whistle
blower) dalam praktek ?
3. Apakah Kelemahan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
dalam memberikan perlindungan kepada saksi pengungkap fakta
(whistle blower?
✤✥ ✦✧★✧ ✩✪✫✬✪✬✭✮✯✮ ✩✪
1. Menggambarkan tentang perlindungan hukum bagi saksi pengungkap
fakta (whistle blower) dalam sistem pidana terpadu
2. Menggambarkan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam
memberikan perlindungan bagi saksi pengungkap fakta (whistle blower)
dalam praktek ?
3. Menggambarkan tentang kendala-kendala Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban dalam memberikan perlndungan bagi saksi pengungkap fakta
(whistle blower).
✰✥ ✱✬✲✧✪ ✩✩✪✫✬✪✬✭✮✯✮ ✩✪
1. Secara teoritis, diharapkan penulisan ini dapat dijadikan sumber bagi
9
2. Secara praktis, penulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai pertimbangan
dalam melakukan perlindungan dan pemidanaan terhadap saksi
pengungkap fakta (whistle blower).
✳ ✴ ✵✶✷✸ ✹✺✻✸✼✶✽ ✾✻ ✾✷✸ ✹
Perlindungan terhadap masyarakat di atur di dalam alenia keempat
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa :
kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang membentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia .
Amanat dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 tersebut merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah
tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan juga
kesejahteraan sosial melalui pembangunan nasional. Selain itu juga
merupakan landasan perlindungan hukum kepada masyarakat, karena kata
melindungi mengandung asas perlindungan hukum bagi segenap Indonesia
untuk mencapai keadilan. Selain itu Pembukaan Alenia keempat
10
dimana adil dan makmur tersebut bisa diimplementasikan di dalam sila ke-5
(lima) Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan juga
dinamika berbudaya mengenai kepentingan individu, masyarakat dan negara.
Alenia keempat Undang-Undang Dasar 1945 juga menjelaskan kata
mewujudkan, dimana kata mewujudkan mengandung arti untuk mencapai
kepastian hukum di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang
didukung oleh teori Hans Kelsen, yaitu teori murni, yang menyatakan bahwa
hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis, bahwa tidak ada
kaitannya dengan unsur etis, sosiologis, politis, dan filosofis, jadi harus murni
yuridis normatif yang bersih dari hal-hal yang menyangkut baik buruk
nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, kekuasaan, dan
keadilan.2
Ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan
bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum, maka semua peristiwa
hukum yang terjadi di Indonesia harus diatur oleh peraturan
perundang-undangan agar tidak terjadi kekosongan hukum dan terciptanya kepastian
hukum.
Tujuan hukum pada dasarnya adalah memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat, sebagaimana dalam teori Jeremy Bentham sebagai pendukung
2
11
teori kegunaan yang menjelaskan tujuan hukum pada dasarnya adalah
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat The Great Happiness for the
greats number .3 Berdasarkan teori tersebut Negara Indonesia harus
melindungi setiap warga Indonesia, tidak terkecuali mereka yang menjadi
saksi pengungkap fakta (whistle blower).
Perlindungan bagi saksi pengungkap fakta (whistle blower) merupakan
yang essensial untuk membuktikan kebenaran suatu pristiwa (pidana) dalam
rangka penegakan hukum dan tujuan hukum.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengadopsi
norma-norma yang termaksud di dalam Universal Declaration of Human
Right (1945) dan International Convention on Civil and Political Rights,
sekalipun sudah banyak memberikan perlindungan dan penghormatan hak-hak
tersangka atau terdakwa, belumlah mencakup upaya-upaya perlidungan
kepentingan korban yang sekaligus menjadi saksi pelapor dalam suatu tindak
pidana.4
Perlindungan saksi merupakan isu tragis, pendokumentasian dan
penuntutan pelanggaran dan penuntutan kasus-kasus tindak pidana bergantung
3
Otje Salman Soemadiningrat, Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali. PT. Reflika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 156
4
12
pada kemampuan untuk mengumpulkan informasi yang relevan secara
independent, objektif dan imparsial. Proses ini, bukti kesaksian seringkali
dianggap penting untuk menetapkan fakta-fakta dasar tindakan tersebut,
termasuk pertanggungjawaban. Kondisi ini sering kali dijadikan acuan pada
sumber atau alat bukti tidak tersedia atau dihilangkan atau dirusak, secara
sengaja atau lainnya khususnya dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Hukum dalam tujuannya meliputi 4 (empat) nilai yakni, kepastian,
kegunaan, kebahagiaan dan keadilan, perlindungan hukum bagi saksi atau
dengan kata lain dasar atau konsep menjadi pembenar saksi perlu dilindungi,
bepijak pada upaya mencari kebenaran materil dan perlindungan hak asasi
manusia. Proses pembuktian kejahatan (tindak pidana) oleh aparat penegak
hukum wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
berlaku, artinya pembuktian kesalahan/kejahatan yang dilakukan seorang
pelaku kejahatan dengan berdasarkan alat bukti. Terbukti tidaknya seorang
pelaku yang diduga melakukan tindak pidana adalah hasil pengelutan atau
pertarungan kekuatan alat bukti semata-mata, jadi bukan berdasarkan opini
atau asumsi.
Hukum (Undang-Undang) yang baik adalah yang mampu memberi
keadilan yang sama kepada semua orang, artinya memberikan perlakuan
13
hukum yang tertua usianya sebagaimana hubungan antara keadilan dan hukum
positif jadi pusat perhatian para ahli pikir yunani (penganut filsafat hukum
alam). Prinsip keadilan dalam kovenan internasional mengenai hak-hak sipil
dan politik ditetapkan antara lain, hak atas persamaan di depan hukum
(equality before the law) dan hak atas nin diskriminasi dalam penerapannya,
larangan penangkapan, penahanan atau pengasingan yang sewenang-wenang,
hak atas peradilan yang adil. Hukum acara pidana sebagai bagian prosedur
beracara di persidangan wajib memberikan keseimbangan, baik bagi hak
tersangkla/terdakwa untuk memberikan pembelaan hukumnya maupun korban
(saksi korban) yang diwakili oleh aparat penegak hukum untuk melakukan
tuntutan hukum karena terganggunya kepentingan umum.
Sistem peradilan pidana yang digariskan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan sistem terpadu (integrated
criminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan
prinsip diferensiasi fungsional diantara aparat penegak hukum sesuai dengan
tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada
masing-masing. Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi
supermasi hukum dalam menangani tindak pidana, yaitu tidak seorang pun
berada dan menempatkan diri di atas hukum (no one is above the law) dan
hukum harus diterapkan kepada siapa pun berdasarkan prinsip perlakuan dan
14
Pengungkap fakta (whistle blower), baik itu dalam istilah sebagai saksi
atau korban, pelapor merupakan pihak yang bertujuan untuk membuat terang
suatu perbuatan pidana dan pihak yang perlu mendapat perlindungan hukum.
Siapa saja yang mengambil sikap dan keputusan untuk menjadi pengungkap
fakta (whistle blower) tentunya sudah siap dengan segala konsekuensi.
Orang banyak yang tidak bersedia mengambil resiko untuk
melaporkan suatu tindak pidana jika dirinya, keluarganya dan harta bendanya
tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena
laporan yang dilakukan, begitu juga dengan saksi kalau tidak mendapat
perlindungan yang memadai akan enggan memberikan keterangan sesuai
dengan fakta yang dilihati, didengar, dan dialami.
Sepatutnya hukum memberikan penghargaan dan penghormatan
kepada para pengungkap fakta (whistle blower) sesuai dengan sistem
peradilan pidana terpadu dan merupakan kebijakan pidana bagi aparat
penegak hukum untuk memberikan semacam perlakuan khusus bagi saksi
pengungkap fakta (whistle blower). Perlakuan khusus ini dapat diperoleh saksi
pengungkap fakta (whistle blower), baik itu sejak di tingkat penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di persidangan hingga pemidanaannya.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
15
Korban (LPSK) dalam tempo 1 (satu) tahun setelah diundangkannya
undang-undang ini.
Perlindungan saksi juga sangat membantu kinerja aparat penegak
hukum terutama bagi pembuktian tindak pidana yang sulit pembuktiannya
yang dilakukan oleh orang dalam dan dilakukan secara terorganisir. Bab II
undang-undang perlindungan saksi dan korban, Pasal 5 menyatakan beberapa
hak dari seorang saksi dan korban, oleh karena itu, sebagaimana
undang-undang memberikan jaminan perlindungan dan hak yang diperoleh para
pengungkap fakta (whistle blower), maka negara wajib memberikan perhatian
serius kepada keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
yang mencakup tugas dan kewenangannya.
✿❀ ❁❂❃ ❄❅❂❆❂ ❇❂ ❈❉❃ ❉❊ ❇
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Spesifikasi penelitian
Spesifikasi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analisis yaitu metode penelitian yang digunakan dengan
16
a. Data sekunder bahan hukum primer, yaitu berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perlindungan saksi dan korban, diantaranya Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.
b. Data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin atau
pendapat para ahli hukum terkemuka.
c. Data sekunder bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang
didapat dari majalah, artikel-artikel, surat kabar dan internet.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini
yaitu secara yuridis normatif, yaitu dimana hukum dikonsepsikan
sebagai norma, asas atau dogma-dogma. Pada penulisan hukum
ini, penulis mencoba melakukan penafsiran hukum gramatikal,
yaitu penafsiran dilakukan dengan cara melihat arti kata pasal
dalam undang-undang yang digunakan dalam penulisan hukum ini.
3. Tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pernelitian kepustakaan (Library
17
Langkah ini dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer
berupa bahan hukum yang mengikat, yaitu perundang-undangan,
seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Bahan hukum sekunder yang
meliputi referensi hukum berupa hasil penelitian, karya ilmiah dan
bahan-bahan hukum tersier berupa berbagai artikel dari media
massa, kamus dan lain-lain.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan data yang
diperoleh dari perundang-undangan, hasil seminar, buku-buku
teks, hasil penelitian, majalahm artikel dan lain-lain.
5. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif, yaitu
peraturan perundang-undangan tidak boleh saling bertentangan,
memperhatikan hirarki peraturan perundang-undangan dan
berbicara tentang kepastian hukum, bahwa perundang-undangan
yang berlaku benar-benar dilakukan oleh para pihak penegak
hukum. Disamping itu, berdasarkan berdasarkan Pasal 5
18
Kehakiman, digunakan pula hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis.
6. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian untuk memperoleh data dalam penulisan ini
adalah :
a. Perpustakaan
1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Komputer
Indonesia, Bandung.
2) Perpustakan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran,
Bandung.
3) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan,
Bandung.
b. Website
1) http://hukumonline.com
2) http://legalitas.org
■❏ ❑▲❏▼◆❖P▲❏ ◗❏
❏❘ ❙❖◗ ❖❚❙❖◗❖
❯❱ ❲❳❨❩❬zah, ❯sas ❭❯❪❩s ❨❫ ❴❫❬❵❳ ❲❩❱ ❩❛❜❳❱ ❝ ❴❩❞❳pt❩❛❡❩ ❴❩rt❩❛❢❣❣ ❤ ✐
❯❱ ❲❳ ❨❩❬zah, ❥❦ ❧❦ ♠ Acara Pidana Indonesia, ♥❳❱ ❩r Grafika, Jakarta,
2005.
Bambang Waluyo, Viktimilogi Perlindungan Korban & Saksi, Jakarta,
Sinar Grafika, 2011
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collabolator Dalam
Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta, 2012
Muhadar, Edi Abdulah, Husni Thamrin, Perlindungan Saksi & Korban
Dalam Sistem Peradilan Pidana, Surabaya, CV. Putra Media
Nusantara, 2009
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan
Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
Otje Salman S. Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah).
♦ ♣8 qrst t✉✈✇✉ ① t ②s✇✉ ③④ ①④ ①⑤✉rt⑥ ⑦ ①⑧⑨ ②① ⑩❶ t ❷ ❸✉ ①⑧② ⑥ Teori Hukum,
Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali❶ ❹❺❶ ❻s ❼✈④❽✉
⑦ ③④✉✇ ✉ ⑥t ❾✉ ①③❷ ①⑤ ⑥❿ ➀➁ ➀
➂④r ② ①②r ❹②③r ②③④❽ ②➃② ⑥r ❺④ ① ③✉❽ ➄❺④ ①③✉❽ ❹④ ③✉ ①✉ ❺srts ① ⑧u➅④ ➆① ③② ①s ❸④✉ ⑥ ❹❺ ❶ ❻s ❼✈④❽✉⑦ ③④t✇✉ ⑥❾✉ ① ③❷①⑤ ⑥❿➀➀➇ ❶
➈ ➉ ➊➋➌➍➋ ➎➏➊➋➌➍➋ ➎
➐ ①③✉ ①⑤➄➐ ① ③✉①⑤➅✉ ❸✉r ➁➑ ➒➓
➔④✉ →t ➐ ①③✉ ①⑤➄➐ ①③✉ ①⑤➣❷❽ ❷✇❹④ ③✉ ①✉
➐ ①③✉ ①⑤➄➐ ①③✉ ①⑤ ↔②✇ ②➃ ➇ ❺✉ ⑨❷① ➁➑➇➁ ❺s ①⑧✉ ①⑤ ➔④✉ →t ➐ ①③✉ ①⑤ ➄➐ ①③✉ ①⑤ ➣❷❽ ❷✇⑦↕✉r✉❹④ ③✉ ①✉
➐ ①③✉ ①⑤➄➐ ③✉ ①⑤↔②✇②➃➙➑❺✉ ⑨❷①➁➑➑ ➑❺s ①⑧✉ ①⑤ ➣✉❽⑦ ❸✉ ❸④➛✉ ①❷ ❸④✉
➐ ①③✉ ①⑤➄➐ ①③✉ ①⑤ ↔②✇②➃ ➁➙ ❺✉ ⑨❷①❿ ➀ ➀➜ ❺s ① ⑧✉ ①⑤ ❹s✈④ ①③❷ ①⑤✉ ①r t✉❽❸④ ③✉ ① ➔ ②➃→✉ ①
➝➉ ➍➞➟ ➠ ➡➢ ➤
⑨⑧t➥➦//www.hukumonline.com/ Terlalu Berkutat Pada KUHAP oleh Yanti
Ganarsih
109
➧ ➨t➩➫//www.pikiran -rakyat.com/Orang Nazar Ancam Mindo Rosalina
Manulang,
http://www.elsam.or.id/analisis terhadap ruu perlindungan saksi dan
korban.
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum09/205712013/.pdf.
http://www.antikorupsi.org/beberapa catatan uu perlindungan saksi.
http://www.lpsk.go.id/memahami wistle blower
➭➯ ➲ ➳➵ ➸➺➲➳➵ ➸
Pedoman Untuk Penyidikan dan Penunututan Tindak Pidana Trafiking dan
Perlindungan Terhadap Korban Selama Proses Penegakan Hukum,
(International Organization for Migratiin (IOM) 2005).
Romli Atmasasmita, Justice Colabolator, Mungkinkah ?, Koran sindo,
Eddy O.S. Hiariej, Legal Opinion, Permohonan Pengujian Pasal 10 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, Newslette Komisi Hukum Nasional, Vol. 10 No.
6 Tahun 2010
Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/Whistle Blower dan
Penyadapan (Wiretapping, Elwktronic Interception) dalam
Menanggulangi Kejahatan di Indonesia, Wacana
➻➼➽➾ ➼➚➚➪ ➶➼➹➼➾➘ ➪➻➴➷
➬➮➱ ➮ ✃❐❒❮❰ÏÐÑÒÓ ➮Ó Ô❮ ➮
T❒➱Õ ➮Ô T➮Ð ÖÖ ➮×Ø ➮ÙÏ ❮ ✃Ú ❒×ÏÐ Û ÒÜÝÞÕ ❮Ï ×ß àÝÝ
á❒Ð ÏÓâ❒×➮➱ÏÐ ✃Ø➮ãÏ-Ø ➮ãÏ
ÞÖ➮➱➮ ✃äÓ ×➮➱
Þ ×➮➱ ➮Ô ✃á×Ð åÑ❒ã❒×æ ➮Ñ❒×➮Ô➮ÐÜçèåéé ê Üçë. éß êå
è❒×❒Õ æÐ ✃é Ýêìì ì íÝîééì
ï❒ÐðÏðÏã➮Ðñæ ❮➱ ➮× ✃
- Ñò ➬ ❒Ö ❒❮Ï óî (Ó ❒ã➮❮➮Ð Ö Ñò ➬❒Ö❒❮Ï óì) çÏðÏÐÖ
ï➮Ðô➮ÐÖÚ❒×ÏÐ Û Ò ÜÚ➮Ð Öã➮.
-Ñõï➬❒Ö❒❮ÏìÚ ❒×ÏÐÛ Ò ÜÚ➮Ð Öã➮.
-ÑõÞÚ ➮ãÔÏ ÑÒÐ Ö ➮×Ï ➮Ô, Ú➮Ð Öã➮.