BAB III
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DALAM LINGKUNGAN KELUARGA A.Faktor Internal Terjadinya Kekerasan Seksual Pada Anak
Ketika kita mendekati abad 21, masih banyak anak dan keluarga yang
harus berhadapan dengan masalah kemiskinan, narkoba, kekerasan atau
penyiksaan, perkosaan, perceraian orang tua,orang tua yang peminum, kematian
orang tua, tidak mempunyai rumah yang layak, dilahirkan dengan mengidap
penyakit dan menderita AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang
mempunyai dampak pada kehidupan anak.78
Terjadinya kejahatan terhadap anak disebabkan beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhinya demikian kompleks,
seperti yang dijelaskan ada beberapa faktor internal terjadinya kejahatan menurut
beberapa pakar sebagai berikut:
1. Menurut Suharto79
Bahwa kekerasan terhadap anak umumnya disebabkkan oleh faktor internal
yang berasal dari anak sendiri yaitu anak mengalami cacat tubuh, retardasi
mental, gangguan tingkah laku autisme, anak terlalu lugu, memiliki
temperamen lemah, ketidaktahuan anak mengenai hak-haknya, anak terlalu
bergantung pada orang dewasa.
2. Menurut Rusmil
Bahwa penyebab terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak
terjadi karena faktor anak sendiri yaitu anak menderita gangguan
78
Sri Esti Wuryani Djiwandono, op. Cit hal 77. 79
perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak
kepada lingkunganya dan karena pelaku menimpang anak.
3. Menurut Moore dan Parton80
Sebagaimana dikutip Fentini Nugroho megungkapkan bahwa faktor
individualis mengatakan bahwa orang tua yang berbakat menganiaya anak
mempunyai karakteristik tertentu, seperti: mempunyai latar belakang (masa
kecil) yang juga penuh kekerasan, ia juga sudah terbiasa menerima pukulan.
Adapula yang menganggap anak sebagai individu yang seharusnya
memberikan dukungan dan perhatian kepada orang tua (role reversal)
sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orang tua
merasa bahwa anak harus dihukum. Karakter lainnya adalah ketidaktahuan
kebutuhan perkembanga anak, misalnya usia anak belum memungkinkan
untuk melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya pengtahuan orang tua, si
anak dipaksa untuk melakukannya dan ketika ternyat anak belum mampu,
orang tua marah.
4. Menurut Richard J. Gelles
Mengungkapkan bahwa faktor personal merupakan pewarisan kekerasan
antar generasi (intergenerational transmission of violence) menyatakan
bahwa anak belajar perilaku kekerasan dari orang tuanya dan ketika tumbuh
dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan pada anaknya.81
Pada umumnya tindak pidana tidak dapat terjadi tanpa ada korbannya.
Pelaku tindak pidana memerlukan orang lain untuk dijadikan korban
perbuatannya. Disini dapat dikatakan korban mempunyai peran fungsional dalam
80
Ibid., hal 51-52 81
terjadinya tindak pidana. Tindak pidana (kejahatan) dapat terjadi karena ada pihak
yang berperan, sadar atau tidak sadar, dikehendaki atau tidak, sebagai korban.
Meski ada beberapa tindak pidana (kejahatan) dimana korban dan pelaku adalah
pihak yang sama, kejahatan dan korban adalah dua hal yang saling melekat.
Bahkan pada tataran yuridis, suatu perbuatan (pada umumnya) dirumuskan
sebagai kejahatan kerena menimbulkan korban. Jadi hukum pidana dalam melihat
tindak pidana (kejahatan) biasanya dalam konteks pelaku dan korban.
Tidak ada orang yang dalam keadaan normal menghendaki dirinya dijadikan
sasaran kejahatan. Tetapi karena keadaan yang ada pada korban atau karena sikap
dan perilakunyalah ia dapat mendorong pelaksanaan niat jahat pelaku. Mereka
yang dipandang lemah, baik dari sisi fisik, mental, sosial, atau hukum relatif lebih
mudah dijadikan objek kejahatan. Begitu pula meraka yang lalai atau yang sikap
dan tindakannya menimbulkan amarah serta kebencian pada orang lain pada
akhirnya lalu ia menjadi korban dari orang yang mencoba mengambil kesempatan
atau menjadi korban dari orang yang terbakar amarahnya itu.82
Pihak korban yang diketahui termasuk golongan lemah mental, fisik, dan
sosial (ekonomi, politik, yuridis) yang tidak dapat atau tidak berani melakukan
perlawanan sebagai pembalasan yang memadai, sering dimanfaatakan sesukanya
oleh pihak pelaku yang merasa dirinya lebih kuat, dan lebih berkuasa dari pihak
korban. Misalnya, dalam suatu keluarga, anak istri sering kali menjadi korban
tindakan jahat dari ayah atau suami. Akibatnya mereka menerima saja kejahatan
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan perkosaan, diantara
beberapa faktor yang ada, ada dua faktor yang lebih mengarah kepada pelaku
yang menimbulkan terjadinya perkosaan, yaitu:84
a) Ketidak mampuan pelaku untuk mengndalikan emosi dan nafsu seksualnya.
Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan
kompensasi pemuasnya;
b) Keinginan pelaku untuk melaukan (melampiaskan) balas dendam terhadap
sikap, ucapan (keputusan) dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan
merugikan.
Faktor intern merupakan faktor yang dilihat dari individu – individu
Pelaku pemerkosaan. Pada faktor intern ini melihat suatu kejahatan dari dalam
diri si pelaku, yang dijelaskan dalam teori-teori kriminologi dari perspektif
biologis dan perspektif psikologis.
a. PERSPEKTIF BIOLOGIS
Bahwa kecenderungan untuk melakukan tindak kekerasan atau agresifitas pada
situasi tertentu kemungkinan dapat diwariskan karena pengaruh hormon,
ketidaknormalan kromosom, kerusakan otak dan sebagainya terhadap tingkah
laku kriminal.
a) Menurut Cesare Lambroso (1835-1909)85
Lambroso menggabungkan Positivisme Comte, evolusi dari Darwin,
serta banyak lagi pioneer dalam studi tentang hubungan kejahatan dan tubuh
manusia. Pada tahun 1876, dengan terbitnya buku L‟buomo delinquente (the
criminal man), kriminologi beralih secara permanen dari filosofi abstrak
84
Ibid., hal 21 85
tentang penanggulangan kejahatan melalui legilasi menuju suatu studi
modern penyelidikan menganai sebab-sebab kejahatan. Lambroso
menggeser konsep free will dengan determinisme. Bersama-sama
pengikutnya Enrico Ferri dan Raffaele Garofalo, Lambroso membangun
suatu orientasi baru, mazhab Italia atau mazhab Positif, yang mencari
penjelasan atas tingkah laku kriminal melalui eksperimen dan penelitian
ilmiah.
Ajaran inti dalam penjelasan awal Lambroso tentang kejahatan adalah
bahwa penjahat mewakili suatu tipe keanehan/keganjilan fisik, yang berbeda
dengan non-kriminal. Lambroso mengklaim bahwa para penjahat mewakili
suatu bentuk kemerosotan yang termanifestasi dalam karakter fisik yang
mereflesikan suatu bentuk awal dari evolusi.
Teori Lambroso tentang Born Criminal (penjahat yang dilahiran)
menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah
dalam kehidupan, lebih mendekati nenek monyang mereka yang mirip kera
dalam hal sifat bawaan dan watak dibandingkan mereka yang bukan
penjahat. Mereka dapat dibedakan dari non-kriminal melalui beberapa
Atavistik stigmata ciri-ciri fisik pada mahluk pada awal perkembangannya,
sebelum mereka benar-benar menjadi manusia. Lambroso beralasan bahwa
seringkali para penjahat memiliki rahang yang besar dan gigi taring yang
kuat, suatu sifat yang pada umumnya dimiliki mahluk karnivora yang
merobek dan melahap daging mentah. Jangkauan/rentang lengan bawah dari
dimiliki kera yang menggunakan tangan mereka utuk menggerakkan tubuh
mareka diatas tanah.
Menurut Lambroso, seorang individu yang lahir dengn salah satu dari
lima stigmata adalah seorang born criminal (penjahat yang dilahirkan).
Kategori ini menckup kurang lebih sepertiga dari seluruh pelaku kejahatan.
Sementara iti, penjahat perempuan, menurutnya berbeda dengan penjahat
laki-laki. Ia adalah pelacur yang mewakili born kriminal. Penjaha
perempuan memiliki banyak kesamaan sifat dengan anak-anak; moral sense
mereka berbeda, penuh dendam, cemburu. Sebagai konsekuensi penjahat
merupakan suatu monster.
Disamping kategori diatas, Lambroso menambahkan dua kategori lagi
yaitu, insane criminals dan criminoloids.
Insane criminal bukanlah penjahat sejak lahhir, mereka menjadi
penjahat sebagai hasildari beberapa perubahanotak mereka yang
mengganggu kemampuan mereka untuk membedakan antara benar dan
salah.
Criminoloids mencakup suatu kelompok ambiguous termasuk
penjahat kambuhan (habitual criminals), pelaku kejahatan kerana nafsu dan
berbagai tipe lainnya.
Mesipun teori Lambroso dianggap sederhana dan naif untuk saat ini,
Lambroso memberikan kontribusi yang penting (signifikan) bagi penelitian
mengenai kejahatan. Fakta bahwa Lambroso memulai melakukan penelitian
empiris, mengukur ribuan narapidana yang hidup dan mati, dalam upaya
menjelaskan kejahatan. Lambroso juga berjasa dalam mengalihkan studi
tentang kejahatan dari penjelasan abstrak, metafisik, legal, dan juristik
sebagai basis penghukuman menuju suatu studi ilmiah tentang penjahat
serta kondisi-kondisi pada saat dia melaksanakan. Hal-hal tersebut sangat
mempengaruhi para tokoh kriminologi selanjutnya.
1. Menurut Enrico Ferri (1856-1929)86
Ferri berpendapat bahwa kejahatan dapat dijelaskan melalui studi
pengaruh-pengaruh interaktif diantara faktor-faktor fisik (seperti ras,
geografis, serta temperatur), dan faktor-faktor sosial (seperti umur, jenis
kelammin, variabel-variabel psikologis). Dia juga berpendapat bahwa
kejahatan dapat dikontrol atau diatasi dengan perubahan-perubahan sosial,
misalnya subsidi perumahan, kontrol kelahiran, kebebasan menikah dan
bercerai, fasilitas rekresi dan sebagainya.
2. Menurut Raffaele Garofalo (1852-1934)87
Garofalo menelusuri akar tingkah laku kejahatan bukan kepada
bentuk-bentuk fisik, tetapi kepada kesamaan-kesamaan psikologis yang dia
sebut sebagai moral anomalies (keganjalan-keganjalan moral).
Menurut teori ini, kejahatan-kejahatan alamiah (natural crimes)
ditemukan didalam seluruh masyarakat manusia, tidak peduli pandangan
pembuat hukum, dan tidak ad amasyarakat yang beradab dapat
mengabakannya. Kejahatan demikian, menurut Garofalo, mengganggu
sentimen-sentimen moral dasar dan probity/kejujuran (menghargai hak
milik orang lain) dan piety (sentimen of revulsion against the voluntary
infliction of surffering on others). Seorang individu yang memiliki
kelemahan organik dalam sentimen-sentimen moral ini tidal memiliki
halangan-halangan moral untuk melakukan kejahatan.
Seorang penjahat sungguhan, dengan kata lain memiliki anomaly fisik
atau moral yang dapat ditransmisikan melalui keturunan. Dengan
kesimpulan ini Garofalo mengidentifikasi empat klas penjahat,
masing-masing berbada dengan yang lain karena kekuranga dalam
sentimen-sentimen dasar tentang pity dan probity.
Para pembunuh secara total kurang baik pity maupun probity dan
akan membunuh atau mencuri jika diberi kesempatan. Penjahat-penjahat
yang lebih ringan. Garofalo mengakui, lebih sulit diidentifikasi. Dia
membagi berdasarkan apakah mereka kekurangan dalam sentimen pity atau
propity. Penjahat dalam kejahatan kekerasan kekurangan pity, yang
mengkin saja dipengaruhi banyak faktor-faktor lingkungan. Pencuri, pada
sisi lain menderita kekurangan probity. Kategori terakhir adalah penjahat
seksual, beberapa dapat dikategorikan violent criminals karena mereka juga
kekurangan pity.
3. Menurut Charles Buchman Goring (1870-1919)88
Tantangan terbesar terhadap teori Lambroso dilakukan oleh Charles
antara tahun 1901 hingga 1913, Goring mengumpulkan data tentang 96 sifat
bawaan lebih dari 3000 terpidana dan suatu control group yang berasal dari
Universitas Oxford dan Cambridge, pasien rumah sakit dan tentara. Setelah
88
menyelesaikan penelitilannya itu Goring memiliki cukup bekal untuk
menolak teori Lambroso tentang tipe antopologis penjahat.
Goring menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan-perbedaan
signifikan antara para penjahat dengan non-penjahat kecuali dalam hal
tinggi dan berat tubuh. Para penjahat didapati lebih kecil dan ramping.
Goring menafsirkan ini sebagai penegasan dari hipotesanya bahwa penjahat
secara biologis lebih inferior, tetapi dia tidak menemukan satupun tipe fisik
penjahat.
Meski ia menolak klaim bahwa stigmata tertentu mengidentifikasi
penjahat, ia yakin bahwa kondisi fisik yang kurang ditambah keadaan
mental yang cacat (tidak sempurna) merupakan faktor-faktor penentu dalam
kepribadian kriminal.
Melihat penjelasan dari perspektif biologis atas kejahatan oleh para ahli
diatas, dapat dilihat bahwa para ahli yang memfokuskan terhadap faktor-faktor
fisik dari seorang penjahat saja. Ada beberapa teori mengenai fisik yang disebut
Body types theories (teori-teori tipe fisik) yang dikemukakan oleh beberapa ahli,
yaitu:
a) Menurut Ernst Kretchmer (1888-1964)
Kretchmer melakukan studi terhadap 260 orang gila di Swedia, sebuah
kota di baratdaya Jerman. Ia mendapati fakta bahwa subjek studinya memiliki
tipe-tipe tubuh tertentu yang berkaitan, menurutnya dengan tipe tertentu dari
kecenderungan fisik.
Kretchmer mengidenfikasi empat tipe fisik, yaitu: asthenic (kurus,
bertulang besar); pyknic (tinggi sedang, figur yang tegap, leher besar, dan
wajah luas); dan beberpa tipe campuran, tidak terklasifikasi. Kretchmer
selanjutnya menghubungkan tipe-tipe fisik tersebut dengan variasi-variasi
ketidakteraturan fisik: pyknick berhubungan dengan depresi, asthenics dan
athletics dengan schizophrenia, dan sebagainya.89
b) Menurut Ernesta A. Hooten (1887-1954)90
Setelah tantangan Goring, teori Lambroso kehilangan popularitas
akademik sampai sekitar seperempat abad. Hingga pada tahun 1939 Ernesta
seorang Antropolog fisik, membangunkan kembali perhatian terhadap
kriminalitas yang secara biologis ditentukan dengan publikasinya tentang suatu
studi besar yang membandingkan penghuni-penghuni penjara di Amerika
dengan suatu control group dari non-kriminal.
Hooten memulai dengan kritik tajam terhadap penelitian Goring dari
seggi metode, dan dia meneliti dengan analisa mendetail data-data lebih dari
17.000 kriminal dan non-kriminal. Dia menyatakan bahwa para penjahat
berbeda secara inferior dibanding anggota masyarakat lainnya dalam hampir
semua ukuran tubuh/fisik mereka. Selanjutnya Hooten menyimpulkan bahwa:
“in every population there are hereditary inferios in mind and in body as
well as physical and mental deficients .... our information definitely
proves that it is from the physically inferior element of the population
that native born criminals from native parentage are mainly derived”
Sebagaimana pendahulunya, Hooten menyerukan pemisahan
keturunan kriminal, dan dia merekomendasikan untuk mensterilkan atau
membersihkan mereka.
c) Menurut William H. Sheldon (1898-1977)
Selain membawa pandapat Kretschmer ke Amerika Serikat, William
memformulasikan sendiri kelompok mesomorph: the endomorph (memiliki
tubuh gemuk); the mesomorp (berotot dan bertubuh atletis); the ectomorph
(tinggi, kurus, fisik yang rapuh). Setiap tipe tadi mempunyai temperamen yang
berbeda. Menurut Sheldon: “solid flesh and bone of the individual” (daging
padat dan tulang seorang individu) merupakan basis for the study (dasar untuk
melakukan kajian) yang memberikan suatu frame of reference. Menurutnya
pula, ada high correlarelationship.
Menurut Sheldon, orang yang didominasikan sifat bawaan mesomorp
(secara fisik kuat, agresif, dan atletis) cenderung lebih dari orang lainnya untuk
terlibat dalam perilaku ilegal.
Dalam studinya, William Sheldo meneliti 200 pria berusia antara 15 dan
21 dalam usaha menghubungkan fisik dengan temperamen, kecerdasan, dan
delinquency. Dengan mengandalkan pada pengujian fisik dan psikologis,
Sheldon menghasilkan suatu Index to Delinquency yang dapat digunakan untuk
memberi profil dari tiap problem pria secara mudah dan cepat.91
d) Menurut Sheldon Glueck (1896-1980) dan Eleanor Glueck (1898-1972)
Temuan William Sheldon mendapat dukungan dari Sheldon Glueck dan
Eleanor Glueck (1950) yang melakukan studi komperatif antara pria delinquent
dan non-delinquent. Sebagai suatu kelompok, pria delinquent didapati memiliki
91
wajah yang lebih sempit (kecil), dada yang lebih lebar, pinggang yang lebih
besar dan luas, lengan bawah dan lengan atas yang lebih besar dibandingkan
non-dilinquent. Penyelidikan mereka juga mendapati bahwa kurang lebih 60%
delinquent dan 31% non-delinquent didominasi merea yang mesomorphic.92
e) Disfungsi Otak dan Learning Disabilities93
Ada bukti yang semakin berkembang bahwa disfungsi otak dan cacat
neurologis secara umum ditemukan pada mereka yang menggunakan
kekerasan secara berlebihan dibanding orang pada umumnya. Banyak pelaku
kejahatan kekerasan secara berlebihan dibanding orang pada umumnya.
Banyak pelaku kejahatan kekerasan kelihatannya memiliki cacat didalam
otaknya yang berhubungan dengan terganggunya self-control. Delinquent
cenderung memiliki problem neurologis dibandingkan non-delinuent. Juga
ada beberapa bukti bahwa orang tua dari anak-anak denlinquent memiliki
problem neurologis dibanding orang tua anak-anak non-delinquent, sehingga
ada kemungkinan faktor genetik berhubungan dengan kekerasan dari orang
dewasa.
Terdapat bukti yang bagus bahwa delinquency berhubungan dengan
Learning Disabilities, yaitu kerusakan pada fungsi sensorik dan motorik yang
membawa penampilan menyimpang diruang kelas dan merupakan hasil dari
beberapa kondisi fisik abnormal. Sebab-sebab dari Learning Disabilities tidak
begitu dipahami secara mendalam, tetapi terlihat bahwa paling tidak sebagian
Macam learning disabilitis antara lain: dyslexia (gagal menguasai skill
berbahasa setaraf dengan kemampuan intelektual); aphasia (suatu problem
komunikasi verbal atau masalah dalam memahami perbincangan orang lain);
hyperactive, suatu studi menemukan bahwa anak-anak hyperactive enam kali
kemungkinan ditangkap ketika mereka dewasa dibandingkan mereka yang
tidak mengalami kelainan itu.
f) Kriminalitas dan Faktor Genetika94
Ada beberapa hasil kajian yang menghubungkan faktor-faktor genetika
dengan kriminalitas, antara lain studi tentang orang kembar (twins studies)
adopsi (adoption studies), dan cromosom (the xyy syndrome).
1) Twins Studies
Untuk mengungkapkan apakah benar kejahatan ditentukan secara
genetikal, para peneliti telah membandingkan antara identical twins dan
fraternal twins. Identical atau monozygotic twins dihasilkan dari satu telur
yang dibuahi yang membelah menjadi dua embrio. Kembar seperti ini
membagi sama gen-gen mereka. Sementara fraternal atau dizygotic twins
dihasilkan dari dua telur terpisah, keduanya dibuahi pada saat bersamaan.
Mereka membagi sekitar setengah gen-gen mereka.
Karl Cristianse dan Sarnoff A. Mednick melakukan sebuah studi
terhadap 3.586 pasangan kembar di satu kawasan Denmark antara tahun
1881 dan 1910 dikaitakan dengan kejahatan serius. Mereka menemukan
bahwa pada identical twins jika pasangannya melakukan kejahatan maka
50% pasangannya juga melakukan. Sedangkan pada fraternal twins angka
94
tersebut hanya 20%. Temuan ini mendukung hipotesa bahwa beberapa
pengaruh genetika meningkatkan resiko kriminalitas.
2) Adoption Studies
Satu jalan untuk memisahkan pengaruh dari sifat-sifat yang
diwariskan dengan pengaruh dari kondisi lingkungan adalah dengan
melakukan studi terhadap anak-anak yang sejak lahirnya dipisahkan dari
oeang tau aslinya dan dtempatkan pada keluarga angkat.
Studi tentang adopsi ini pernah dilakukan terhadap 14.427 anak yang
diadopsi di Denmark antara tahun 1924 dan 1947. Penelitian ini menemukan
data:
a) Dari anak-anak yang orang tua angkatnya dan orang tau aslinya tidak
tersangkut kejahatan, 13,5% terbukti melakukan kejahatan;
b) Dari anak-anak yang memiliki orang tua aslinya tidak tersangkut
kejahatan, 14,7% terbukti melakukan kejahatan;
c) Dari anak-anak yang orang tua angkatanya tidak kriminal tapi memiliki
orang tua asli kriminal, 20% terbukti melakukan kejahatan; dan
d) Dari anak-anak yang orang tau angkat dan orang tau aslinya kriminal,
24,5% terbukti melakukan kejahatan.
Temuan diatas mendukung klaim bahwa kriminalitas dari orang tua
asli (orang tua biologis) memiliki pengaruh lebih besar terhadap anak
dibandingkan kriminalitas dari orang tua angkat.
3) The XYY Syndrome
Kromosom merupakan struktur dasar yang mengandung gen
manusia memiliki 23 pasang kromosom yang diwariskan. Satu pasang
kromosom yang diwariskan. Satu pasang kromosom menentukan gender
(jenis kelamin). Seorang perempuan mendapat satu X kromosom dari ayah
dan ibunya, seorang laki-laki mendapat satu kromosom dari ibunya dan satu
Y kromosom dari ayahnya.
Kadang-kadang kesalahan dalam memproduksi sperma atau sel telur
menghasilkan abnormalitas genetika. Satu tipe abnormalitas tersebut adalah
the XYY chromosome male atau laki-laki dengan XYY kromosom. Orang
tersebut menerima dua Y kromosom (dan bukan satu) dari ayahnya. Kurang
lebih satu dari tiap-tiap 1000 kelahiran laki-laki dari keseluruhan populasi
memiliki kromosom genetika semacam ini. Mereka yang memiliki
kromosom XYY cenderung bertubuh tinggi, secara fisik agresif, sering
melakukan kekerasan.
Teori yang mencari sebab kejahatan dari aspek fisik (Biologi Kriminal)
yang dipelopori oleh ahli-ahli frenologi, seperli Gall (1758-1828), Spurzheim
(1776-1832), yang mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis yang
mencoba mencari hubungan antara bentuk tengkorak kepala dengan tingkah laku,
mereka mendasari pada pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa otak
merupaan organ dari akal. Ajaran ahli-ahli frenologi ini mendsarkan pada
preposisi dasar:95
a. Bentuk luar tengkorak kepala sesuai dengan apa yang ada di dalamnya dan
bentuk dari otak;
b. Akal terdiri dari kemampuan atau kecakapan, dan
95
c. Kemampuan atau kecakapan ini berhubungan denggan bentuk otak an
tengkorak kepala.
Frenologi Theory berdasarkan pada otak yang merupakan alat ataupun
organ akal. Teori ini mendalilkan, bentuknya tengkorak sesuai isinya, akal terdiri
dari kecakapan-kecakapan dan fungsinya, dan kecakapan-kecakapan tersebut
bersangkutan dengan bentuk otak dan tengkorak. Beberapa kecakapan yang
dimiliki seseorang, yaitu: cinta birahi, cinta keturunan, keramahan, sifat perusak
dan sebagainya. Sedangkan kecakapan dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
naluri-naluri aktif atau rendah, sentimen-sentimel moral, kecakapan-kecakapan
intelektual.96
Menurut teori frenologi ini, kejahatan disebabkan oleh naluri-naluri rendah,
seperti:
Para tokoh psikilogis mempertimbagkan suatu variasi dari kemungkinan
cacat dalam kesadaran, ketidakmatagan emosi, sosialisasi yang tidak memadai di
masa kecil, kehilangan hubungan dengan ibu, perkembangan moral yang lemah.
Mereka mengkaji bagaimana agresi dipelajari, situasi apa yang mendorong
kekerasan atau reaksi delinkuen, bagaimana kejahatan berhubungan dengan
96
faktor-faktor kepribadia, serta asosiasi antara beberapa kerusakan mental dan
kejahatan. Beberapa penjelaskan mengenai perspektif psikologis atas kejahatan,
antara lain:97
a) Sifat-Sifat Kepribadian (Personality characteristics)
Empat alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji hubungan
antara kepribadian dengan kejahatan. Pertama, melihat pada perbedaan-perbedaan
antara struktur kepribadian dari penjahat dan bukan penjahat; kedua, memprediksi
tingkah laku; ketiga, menguji tingkatan dimana dinamika-dinamika kepribadian
normal beroperasi dalam diri penjahat; keempat, mencoba menghitung
perbedaan-perbedaan individual atara tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan.
b) Samuel Yochelson dan Stanton Samenow
Dalam bukunya The Criminal Personality (kepribadian kriminal),
Yochelson (seorang psikiater) dan Samenow (seorang psikolog) menolak klaim
para Psikonalis bahwa kejahatan disebabkan oleh konflik internal. Tetapi yang
sebenarnya para penjahat itu sama-sama memiliki pola berpikir yang abnormal
yang membawa mereka memutuskan untuk melakukan kejahatan.
Yochelson dan Somenow mengidentifikasi sebanyak 52 pola berpikir yang
umumnya ada pada penjahat yang mereka teliti. Keduanya berpendapat bahwa
penjahat adalah orang yang marah, yangg merasa suatu sense superioritas,
menyangka tidak bertanggungjawab atas tindakan yang mereka ambil, dan
mempunya harga diri yang sangat melambung. Tiap dia merasa ada satu serangan
terhadap harga dirinya, ia akan memberi reaksi yang sangat kuat, sering berupa
kekerasan.
97
c) Mental Disorder
Meskipun perkiraannya berbeda-beda, namun berkisar antara 20 hingga
60% penghuni lembaga permasyarakatan mengalami satu tipe mental disorder
(kekacauan mental). Keadaan seperti itu digambarkan oleh seorang dokter
Perancis bernama Philippe Pinel sebagai manie sans delire (madness without
confusion), atau oleh dokter Inggris bernama James C. Prichard sebagai moral
insaity dan oleh Gina Lambroso-Ferreroo sebagai irresistible atavistic impulses.
Pada dewasa ini penyakit mental ttadi disebut sebagai psychopathy atau antisocial
personality yaitu suatu kepribadian yang ditandai oleh suatu ketidakmampuan
belajar dari pengalaman, kurang kehangatan/keramahan, dan tidak merasa
bersalah.
Psikiater Hervey Cleckey memandang psychopathy sebagai suatu penyakit
serius meski si penderita tidak kelihatan sakit. Menurutnya para psychopath
terlihat mempunyai kesehatan mental yang sangat begus, tetepi apa yang kita
saksikan itu sebenarnya hanyalah suatu mask of sanity atau topeng kewarasan.
Para psychopath tidak menghargai kebanaran, tidak tulus, tidak merasa malu,
bersalah atau terhina. Mereka berbohong dan melakukan kecurangan tanpa ada
keraguan dan melakukan pelanggaran verbal maupun fisik tanpa perencanaan.
d) Teori Psikonalisa, Sigmund Freud (1856-1939)
Teori psikonalisa tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan
perilaku kriminal dengan suatu conscience (hati nurani) yang baik dia begitu
menguasai sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah
sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan si individu, dan bagi suatu
Sigmund Freud, penemu dari psychoanalysis berpendapet bahwa
kriminalitas mungkin berasal dari an overactive conscience yang menghasilkan
perasaan bersalah yang tak tertahankan akan melakukan kejahatan dengan tujuan
agar ditangkap dan dihukum. Begitu mereka dihukum maka persaan bersalah
mereka akan mereda.
Seseorang melakukan perilaku yang terlarang karena hati nurani, atau
superego-nya begitu lemah atau tidak sempurna sehingga egonys (yang berperan
sebagai suatu penengah antara superego dan id) tidak mampu mengontrol
dorongan-dorongan dari id (bagian dari kepribadian yang mengandung keinginan
dan dorongan yang kuat untuk dipuaskan dan dipenuhi). Karena superego intinya
merupakan suatu citra orang tua yang begitu mendalam, terbangun ketika si anak
menerima sikap-sikap dan nilai-nilai moral orang tuanya, maka selalnjutnya
apabila ada ketiadaan citra seperti itu mungkin akan melahirkan id yang tak
terkendali dan berikutnya delinquency.
Penjelasan pschoanalytic masih tetap menonjol dalam menjelaskan baik
fungsi normal maupun asosial. Meski dikritik, tiga prinsip yaitu: pertama,
tindakan dan tingakah laku orang dewasa dapat dipahami dengan melihat pada
perkembangan masa kanak-kanak mereka; kedua, tingakah laku dan motif-motif
bawah sadar adalah jalin-menjalin dan interaksi itu mesti diuraikan bila kita
ingin mengerti kejahatan; ketiga, kejahatan pada dasarnya merupakan
respresentasi dari konflik psikologis.
e) Personality Traits/Inherited Criminality (Dugdale dan Goddard)
Pencarian/penelitian personality traits (sifat kepribadian) telah dimulai
Feeblemindedness (lemah pikiran), insanity (penyakit jiwa), stupidity
(kebodohan), dan dull-wittedness (bodoh) dianggap diwariskan. Pandangan ini
merupakan bagian dari usaha untuk menjelaskan kejahatan yang bersifat dasar di
akhir abad ke-19. Ia menjadi penjelasan yang begitu populer di Amerika Serikat
setelah The Jukes diterbitkan oleh Dugdale pada tahun 1877. Buku ini
menggambarkan sebuah keluarga telah terlibat dalam kejahatan karena mereka
menderita degenneracy and innate depravity (kemerosota dan kebirukan bawaan).
Menurut Dugdale, kriminalitas merupakan sifat bawaan yang diwariskan
melalui gen-gen. Dalam bukunya menelusuri riwayat/sejarah keluarga melalui
beberapa generasi. Ia sendiri mempelajari kehidupan lebih dari seribu anggota
satu keluarga yang disebutnya jukes. Ketertarikannya pada keluarga itu dimulai
saat dia menemukan enam orang yang saling berhubungan atau berkaitan di satu
penjara di New York. Mengikuti satu cabang keluarga itu, keturunan dari Ada
Jukes, yang dia sebut sebagai mother of criminals, Dugdale mendapati diantara
seribuan anggota itu 280 orang fakir/miskin, 60 orang pencuri, 7 orang pembunuh,
40 orang penjahat lain, 40 orang penderita penyait kelamin, dan 50 orang pelacur.
Temuan Dugdale diatas mengindikasikan bahwa karena beberapa keluarga
menghasilkan generasi-generasi kriminal, mereka pastilah telah mentransmisikn
suatu sifat bawaan yang merosot/atau rendah sepanjang alur keturunan itu.
f) Moral Development theory
Psikolog Lawrence Kohlberg, Pioneer dari teori perkembangan moral,
menemukan bahwa pemikiran moral tumbuh dalam tiga tahap: pertama,
preconventional stage atau tahap pra-konvensional. Disini aturan moral dan
hukuman. Menurut teori ini, anak-anak dibawah umur 9 hingga 11 tahun biasanya
berpikir pada tingkat pra-konvensional in.
Remaja biasanya berpikir pada conventional level (tingkatan konvensional).
Pada tingkatan ini, seorang individu menyakini dan mengadopsi nilai-nilai dan
aturan masyarakat. Lebih jauh lagi, mereka berusaha menegakkan aturan-aturan
itu. Mereka misalnya berpikir mencuri itu tidak sah, sehingga saya tidak
seharusnya mencuri dalam kondisi apa pun.
Akhirnya pada postconventional level (tingkatan poskonvensional)
individu-individu secara kritis menguji kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan sosial sesuai
dengan perasaan mereka tentang hak-hak asasi universal, prinsip-prinsip moral,
dan kewajiban-kewajiban. Mereka berpikir orang semestinya mengikuti aturan
hukum, namun prinsip-prinsip etika universal, seperti penghargaan pada hak-hak
asasi manusia dan untuk martabat hidup manusia, menggantikan hukum tertulis
jika keduanya beradu. Tingkat pemukiran moral seperti ini umumnya dapat dilihat
setelah usia 20 tahun.
Menurut Kohberg dan kawan-kawannya, kebanyakan delinquent dan
penjahat berpikir pada tingkatan pra-konvensional. Akan tetapi, perkembangan
moral yang rendah atau tingkatan pra-konvensional saja tidak menyebabkan
kejahatan. Faktor-faktor lainnya, seperti situasi atau tiadanya ikatan sosial yang
penting, mungkin ambil bagian.
Psikolog John Bowlby mempelajari kebutuhan akan kehangatan dan afeksi
(kasih sayang) sejak lahir dan konsekuensi jika tidak mendapat hal itu. Dia
mengajukan theory of attachment (teori kasih sayang) yang terdiri atas tujuh hal
duration (kasih sayang berlangsung lama dan bertahan); ketiga, enggagement of
emotion (melibatkan emosi); keempat, ontogeny (rangkaian perkembangan, anak
membentuk kasih sayang pada figur utama); kelima, learning (kasih sayang hasil
dari interaksi sosial yang mendasar); keenam, organization (kasih sayang
mengikuti suatu organisasi perkembangan); ketujuh, biologikal function (perilaku
kasih sayang memiliki fungsi biologis, yaitu survival). Menurut Bowlby, orang
yang sudah biasa menjadi penjahat umumnya memiliki ketidakmampuan
membentuk ikatan-ikatan kasih sayang.
Para kriminolog juga menguji pengaruh ketidakhadiran seorang ibu, baik
karena kematian, percerian atau karena ditinggalkan. Apakah ketidakhadirn itu
menyebabkan delinquency? Penelitain empiris msih samar/tidak jelas dalam soal
ini. Namun satu studi terhadap 201 orang yang dilakukan oleh Joan McCord
menyimpulkan bahwa variabel: kasih sayang serta pengawasan ibu yang kurang
cukup, konflik orang tua, kurangnya percaya diri sang ibu, kekerasan ayah secara
signifikan mempunyai hubungan dengan dilakukannya kejahtan terhadap orang
an/atau harta kekayaan. Ketidakhadiran sang ayah tidak dengan sendirinya
berkorelasi dengan tingakah laku kriminal.
g) Social Learning Theory
Teori pembelajaran sosial ini berpendirian bahwa perilaku delinquent
dipelajari melalui proses psikologis yang sama sebagaiman semua prilaku
non-delinquent. Tingkah laku dipelajari jika ia diperkuat atau diberi ganjaran, dan
tidak dipelajari jika ia tidak diperkuat. Ada beberapa jalan kita mempelajari
tingkah laku: melalui observasi (observation), pengalaman langsung (direct
Menurut Albert Bandura dalam observation learning berpendapat bahwa
individu-individu mempelajari kekerasan dan agresi melalui behavioral modeling:
anak belajar bagaimana bertingkah laku melalui peniruan tingakah laku orang
lain. Jadi tingkah laku secara sosial ditransmisikan melalui contoh-contoh, yang
terutama datang dari keluarga, sub-budaya, dan media massa.
Para psikolog telah mempelajari dampak dari kekerasan keluarga terhadap
anak-anak. Mereka mendapati bahwa orang tua yang mencoba memecahkan
kontroversi-kontroversi keluarganya dengan kekerasan telah mengajari anak-anak
mereka untuk menggunakan taktik serupa (yaitu kekerasan). Jadi melalui
observational learning (belajar melalui pengamatan) satu lingkaran kekerasan
mungkin telah dialirkan terus menerus melalui generasi ke generasi. Tentu saja
menurut teori ini bukan hanya kekerasan dan agresi saja yang dapat dipelajari
dalam situasi keluarga. Diluar keluarga dapat dipelajari dari gang-gang.
Observational learning juga dapat terjadi di depan televisi dan di bioskop.
Anak-anak yang melihat seseorang diberi ganjaran atau dihargai karena melakukan
kekerasan percaya bahwa kekerasan dan agresi merupaka tingkah laku yang
diterima.
Menurut Gerard Patterson dalam direct experience, mereka melihat bahwa
anak-anak yang bermain secara pasif sering menjadi korban anak-anak lainnya
tetapi kadang-kadang berhasil mengatasi sserangan itu dengan agresi balasan.
Dengan berlalunya waktu anak-anak ini belajar membela diri, dn pada akhirnya
mereka memulai perkelahian. Jadi, anak-anak sebagaimana orang dewasa dapat
Menurut Ernest Burgess dan Ronald Akers, menggambungkan learning
theory dari Bandura yang berdasarkan psikologis dengan teori differential
associantion dari Edwin Sutherland yang berdasarkan sosiologi dan kemudian
menghasilkan teori differebtial association-reinforcement. Menurut teori ini
berlangsung terusnya tingkah laku kriminal tergantung pada apakah ia diberi
penghargaan atau diberi hukuman. Penghargaan dan penghukuman yang paling
berarti adalah yang diberikan oleh kelompok yang sangat penting dalam
kehidupan si individu-kelompok bermain (peer group), keluarga, guru di sekolah,
dan seterusnya. Jika tingkah laku kriminal mendatangkan hasil positif atau
penghargaan maka ia akan terus bertahan.
Seperti yang dijelasan dalam perspektif biologis dan perspetif psikologi
dalam kejahatan bahwa kejiwaan dan moral dan biologis (fisik) merupakan faktor
dari diri pelaku (faktor internal) dalam terjadinya kekerasan seksual pada anak.
Teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari faktor Psikologis dan
Psikiatris (Psikologis Kriminal),98 yang mempelajari ciri-ciri psikis dari para
pelaku kejahatan yang sehat dalam pengertian psikologis. Gangguan mental terdiri
dari psikoses dan neuroses.
Kekesaran seksual yang semakin banyak dilakukan oleh orang dewasa
terhadap anak-anak terjadi karena adanya faktor gangguan mental psikoses
organis yaitu Senile demantia yaitu penderitanya pada umumnya pria yang sudah
lanjut usia dengan kemunduran pada kemampuan fisik dan mental, gangguan
emosional dan kehilangan kontrol terhadap orang lain, menimbulkan tindak
Gangguan mental Neuroses yang terjadi pada penyebab kekerasan sesual
adalah Obsesional dan Complusive Neuroses yaitu penderitanya memiliki
keinginan atau ide-ide yang tidak rasional dan tidak dapat ditahan. Sering
dikatakan, hal tersebut disebabkan karena adanya keinginan-keinginan (seksual)
yang ditekan disebabkan adanya ketakutan untuk melakkukan keinginan tersebut
(karena adanya norma-norma atau akibat-akibat tertentu).100
Mazhab Mr.Paul Moedikno Moeliono yang menjelaskan bahwa masih ada
penggolongan yang terdiri dari Golongan Salahmu Sendiri dan Golongan Tiada
yang Salah, yaitu:101
a. Golongan Salahmu Sendiri (s.s)
Aliran ini berpendapat bahwa kejahatan timbul disebabkan kemauan
bebas individu (free of the will). Kejahatan timbul sebagai ekspresi tanpa
pessi sesuatu. Karena kejahatan disebabkan oleh kemauan maka perlu
hukuman untuk jangan lagi berbuat jahat.
b. Golongan Tiada Yang Salah (t.o.s)
Aliran ini mengemukakan bahwa sebab-sebabnya kejahatan ialah faktor
herediter biologis (Bonger: aliran antro-pologi), kulturel lingkungan
(Bonger: convergensi bio-sosiologi), perasaan keagamaan (Bonger:
aliran spiritualis). Jadi kejahatan dari ekspresi dari pressi faktor biologis,
kultural bio-sosiologis, spritualis.
100
Ibid., hal 62 101
1. FAKTOR EKSTERNAL TERJADINYA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK
Faktor eksternal terjadinya kekerasan seksual pada anak yaitu faktor yang
diluar dari diri si anak, dapat berupa lingkungan individu seperti keluarga,
masyarakat, pendidikan, ekonomi, politik dan lain sebagainya.
Menurut Suharto, bahwa kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan
faktor internal dan faktor eksternal, faktor eksternal yang berasal keluarga dan
lingkungan masyarakat seperti:102
1. Kemiskin keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup dan
banyak anak;
2. Keluarga tunggal atau keluarga (broken home), misalnya peceraian, ketiadaan
ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu
memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi;
3. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak,
harapan orang tua yang tidak reallistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted
child), anak yang lahir diluar nikah;
4. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua,
misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan
emosional dan defresi;
5. Sejarah penelantaran anak, orang tua yang merasa kecilnya mengalami
perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya;
6. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya
tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi,
102
pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham
ekonomi upah, lemahnya perangakat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol
sosial yang stabil.
Sementara itu, Rusmil menjelaskan bahwa penyebab atau resiko terjadinya
kekerasan dan penelantaran terhadap anak yang terdiri fari faktor orang
tua/keluarga dan faktor lingkungan sosial/komunikasi, yaitu:103
1. Faktor orang tua/kelurga
Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan
penelantaran pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua/keluarga
melakukan kekerasan pada anak antara lain:
a) Praktek-praktek budaya yang merugikan anak, seperti kepatuhan anak kepada
orang tua dan hubungan asimetris;
b) Dibesarka dengan penganiayaan;
c) Gangguan mental;
d) Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka
yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun;
e) Pecandu minuman keras atau obat.
2. Faktor lingkungan sosial/komonitas
Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan
pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan dan
penelantaran pada anak diantaranya:
a) Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis;
103
b) Kondisi sosial ekonomi yang rendah;
c) Adanya nilai dalam masyarat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri;
d) Status wanita yang dipandang rendah;
e) Sistem keluarga patriarkal;
f) Nilai masyarakat yang terlalu individualistis.
Kemudian Moore dan Parton menjelaskan bahwa mereka yang berpendapat
bahwa perspektif sosial lebih penting mempunyai argumentasi bahwa seorang
individu tidak mungkin dapat dipahami tanpa memahami konteks sosialnya.
Dalam kasus kekerasan, mungkin saja terjadi karena seseorang tidak mempunyai
jaringan sosial yang memuaskan, yang tidak cukup mendukung dalam
menghadapi masalah, atau juga mungkin ketidakpuasannya melihat struktur sosial
dimana ia berada pada strata yang kurang beruntung. Hubungan perkawinan
suami-istri tindakan kekeraasan terhadap anak. Semua faktor sosial ini
mempengaruhi perilaku individu.104
Sedangkan menurut Richard J. Gelles bahwa kekerasan terhadap
anakmerupakan kombinasi dari berbagai faktor: personal (internal), sosial dan
kultur yaitu:105
1) Stres sosial
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatan resiko
kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup:
pengangguran (un-employment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk
(poor housing conditions), ukuran kelahiran besar dari rata-rata (the presence of a
104
Ibid.,hal 52 105
new baby), orang cacat (disable person) dirumah, dan kematian (the death)
seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan
kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan
(poverty). Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas
menengah dan kaya, tetepi tindakan yang dilaporkan lebih banyak diantara
keluarga miskin karena beberapa alasan. Keluarga-keluarga yang lebih kaya
memiliki waktu yang lebih mudah menyembunyikan tindakan tindakan kekerasan
karena memiliki hubungan yang kurang dengan lembaga-lembaga sosial
dibandingkan keluarga miskin. Selain itu, pekerja sosial, dokter, dan sebagainya
yang melaporkan tindakan kekerasan secara subjektif sering memberikan label
kepada anak keluarga miskin sebagai korban tindakan kekerasan dibandingkan
dengan anak dari keluarga kaya.
Penggunaan alkohol dan narkoba diantara orang tua yang melakukan
tindakan kekerasan mungkin memperbesar stres dan merangsang perilaku
kekerasan. Karakteristik tertentu dari anak-anak, seperti: kelemahan mental, atau
kecacatan perkembangan atau fisik juga meningkatkan stres dari orang tua dan
meningkatkan resiko tindakan kekerasan.
2) Isolasi sosial dan keterlibatan masyarakat bawah
Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan kekerasan
terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang
bertindak keras ikut serta dalam hubungan yang sedikit dengan teman atau
kerabat. Kekurangan keterlibatan sosial ini menghilangkan sistem dukungan dari
orang tua yang bertindak keras, yang akan membatu mereka mengatasi stres
masyarkat menjadikan para orang tua ini kurang memungkinkan mengubah
perilaku mereka sesuai dengan nilai-nilai dan standar-standar masyarakat.
Faktor kultural sering menentukan jumlah dukungan masyarakat yang akan
diterima suatu keluarga. Pada budaya dengan tingkat kekerasan terhadap anak
yang rendah, perawatan anak biasanya dianggap sebagai tanggungjawab
masyarakat, yaitu: tetangga, kerabat, dan teman-teman membantu perawatan anak
apabila orang tua tidak bersedia atau tidak sanggup.
3) Struktur keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki resiko yang meningkat untuk
melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya. Orang tua
tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak
dibandingakan dengan orang tua utuh. Karena keluarga dengan orang tau tunggal
biasanya berpendapat lebih kecil dibandingkan keluarga lain, sehingga hal
tersebut dapat dikatakan sebagai penyebab meningkatnya tindakan kekerasan
terhadap anak. Keluarga-keluarga yang sering bertengkar secara kronis atau istri
yang diperlakukan salah mempunyai tingkat tindakan kekerasan terhadap yang
lebih tinggi dengan keluarga yang tanpa masalah. Selain itu,
keluarga-keluarga yang dimana baik suami atau istri mndominasi didalam membuat
keputusan penting, seperti: dimana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau
diambil, bilamana mempunyai anak, dan berapa banyak uang yang dibelanjakan
untuk makan dan perumahan mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang
lebih tinggi dibandingakan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama
bertanggungjawab atas keputusan-keputusan tersebut.106
106
Kemiskinan yang seringkali bergandengan dengan rendahnya tingkat
pendidikan, pengangguran dan tekanan mental umumnya dapat dipandang sebagai
faktor dominan terjadinya kasus kekerasan terhadap anak. Lemahnya penegakan
hukum dan praktek budaya bisa pula berdampak pada fenomena kekerasan
terhadap anak.
Penyebab terjadinya kejahatan perkosaan sendiri diakibatkan oleh beberapa
faktor, diantaranya sebagai berikut:107
1. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika
berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk
berbuat tidak senonoh dan jahat;
2. Gaya hidup atau mode pergaulan diantara laki-lai dengan perempuan yang
semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang
seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan
kaedah akhlak mengenai hubungan lai-laki dengan perempuan;
3. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan
yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagaman yang semakin terkikis
di masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin meniadakan
peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat
dan merugikan orang lain;
4. Tingkat kontol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai
perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma
keagamaan kurang mendapatkan responsi dan pengawasan dari unsur-unsur
masyarakat;
107
5. Putusan hakim yang merasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang
dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong
anggota-anggotanya masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka
yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang
akan diterimanya.
Faktor eksternal merupakan faktor yang dilihat dari luar Pelaku
pemerkosaan. Pada faktor eksternal ini melihat suatu kejahatan dari luar diri si
pelaku, yang dijelaskan dalam teori-teori kriminologi dari perspektif sosiologis.
Teori-teori dari perspektif biologis dan psikologis diatas sama-sama
memiliki asumsi bahwa tingkah laku kriminal disebabkan oleh beberapa kondisi
fisik dan mental yang mendasari memisahkan penjahat dan bukan bukan penjahat.
Mencari, mencoba mengidentifikasi macam manusia mana yang menjadi penjahat
dan mana yang bukan. Teori-teori tersebut menjelajah kepada kasus-kasus
individu, tetapi tidak menjelaskan mengapa angka kejahatan berbeda antara satu
daerah dengan daerah lain, antara satu kelompok dengan kelompok lain, di dalam
satu wilayah yang luas, atau di dalam kelompok-kelompok individual.
Berbeda dengan teori-teori tersebut diatas, teori-teori sosiologis mencari
alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan didalam lingkungan sosial.
Teori-teori ini dapat dikelompokan menjadi tiga ketegori umum, yaitu: strain,
cultural deviance (penyimpangan budaya), dan social control (kontrol sosial).
Perspektif strain dan penyimpangan budaya, terbentuk antara 1925 dan
1940 dan masih populer hingga hari ini, memberi landasan bagi teori-teori
sub-kultural. Teori-teori strain dan penyimpangan budaya memusnahkan perhatian
melaporkan melakukan aktivitas kriminal. Sebaliknya, teori kontrol sosial
mempunyai pendekatan berbeda: teori ini berdasarkan satu asumsi bahwa
motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai
konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa
orang tidak melakukan kejahatan. Teori-teori kontrol sosial mengkaji kemampuan
kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturan efektif.
a) Anomie: Emile Durkhem
Satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan melihat pada
bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing-masing
berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain, kita melihat melihat kepada
struktur dari suatu masyarakat guna melihat bagaimana ia berfungsi. Jika
masyarakat stabil, bagian-bagiannya beroperasi secara lancar, susunan-susunan
sosial berfungsi. Masyarakat seperti itu ditandai oleh kepaduan, kerja sama, dan
kesepakatan. Namun, jika bagian-bagian keponennya tertata dalam satu keadaan
yang membahayakan keteraturan/ketertiban sosial, susunan masyarakat itu disebut
dsyfunctional (tidak berfungsi). Sebagai analogi, jika kita melihat sebuah jam
dengan seluruh bagian-bagiannya sangat sinkron. Ia berfungsi dengan tepat. Ia
menunjukan waktu dengan akurat. Namun jika satu pernya yang kecil itu rusak,
keseluruhan mekanisme tidak lagi berfungsi secara baik. Demikianlah perspektif
strucrural functionalist yang dikembangakan oleh Emile Durkheim sebelum lahir
akhir abad ke-19.
Hasil karya Durkheim di atas patut dicatat karena dikemukakan pada masa
dimana di mana dunia ilmu pengetahuan tengah mencari abnormalitas si penjahat,
manusia) tidak terletak pada diri si individu, tetepi terletak pada kelompok dan
organisasi sosial. Dalam konteks inilah Durkheim memperkenalkan istilah nomie
(hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat dari hilangnya patokan-patokan dan
nilai-nilai).
Durkheim menyakini bahwa jika suatu masyarakat sederhan berkembang
menuju satu masyarakat yang modern dan kota maka kedekatan (intimacy) yang
dibutuhkan untuk melanjutkan satu set norma-norma umum (a common set of
rules) akan merosot. Kelompok-kelompok menjadi terpisah-pisah, dan dalam
ketiadaan satu orang di satu sektor mungkin bertentangan dengan tindakan dan
harapan orang lain. Dengan tidak dapat diperediksinya perilaku, sistem tersebut
secara bertahap akan runtuh, dan masyarakat itu berada dalam kondisi anomie.
b) Strain Theory: Robert K. Merton
Merton mengaitkan masalah kejahatan dengan anomie. Tetapi konsepasi
Merton tentang anomie agak berbeda dengan konsepsi anomie dari Durkheim.
Masalah sesungguhnya tidak diciptakan oleh sudden social change (perubahan
sosial yang cepat) tetapi oleh social structure (struktur sosial) yang menawarkan
tujuan-tujuan yang sama untuk semua anggotanya tanpa memberi sarana yang
merata untuk mencapainya. Kekurangpaduan antara apa yang diminta oleh budaya
(yang mendorong kesuksesan), dapat menyebabkan norma-norma runtuh karena
tidak lagi effetif untuk membimbing tingkah laku. Merton meminjam istilah
anomie dari Durkheim guna menjelaskan keruntuhan dari sistem norma ini.108
108
3. Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak
Pemerkosaan anak oleh ayah kandung, saudara laki-laki, tetangga, teman
merupakan penderitaan anak yang tidak bisa terhapus dalam kehidupan
selanjutnya. Peristiwa perkosaan maupun bentuk kekerasan seksual lain terhadap
anak yang sering dilakukan oleh orang-orang dekat dinilai sudah memasuki tahap
yang memperhatinkan.109
Masyarakat pada umumya tidak menyadari luasnya pengaruh child abuse
ini, untuk melihat kompleksitas masalah yang dihadapi sebagai akibat dari
pengaruh child abuse ini dapat dilihat dari beberapa pendapat pakar berikut ini.
Menurut Rusmili, mengemukakan bahwa anak-anak yang menderita
kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan penelantaran menghadapi resiko:110
a) Usia yang lebih pendek;
b) Kesehatan fisik da mental yang buruk;
c) Masalah pendidikan (termasuk dropt-out dari sekolah);
d) Kemampuan yang terbatas sebagai orang tua kelak;
e) Menjadi gelandangan.
Sementara itu Suharto menyimpulkan bahwa kekerasan dapat menyebabkan
anak kehilangan hal-hal yang paling kendasar dalam kehidupannya dan pada
gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak di kemudian hari, antara
lain:111
1) Cacat tubuh permanen;
2) Kegagalan belajar;
109
Sri Esti Wuryani Djiwandono, loc. Cit 110
Abu Huraerah, op.cit. hal 56 111
3) Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan kepribadian;
4) Konsep diri yang buruk dan ketidakmampua untuk mempercayai atau
mencintai orang lain;
5) Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan baru
dengan orang lain;
6) Agrsif dn kadang-kadang melakukan tindakan kriminal;
7) Menjadi penganiaya ketika dewasa;
8) Menggunakan obat-obat atau alkohol;
9) Kematian.
Sedangkan Richard J. Gelles112 menjelaskan bahwa konsekuensi dari
tindakan kekerasan dan penelantaran anak dapat menimbulkan kerusakan dan
akibat yang lebih luas (far-reaching). Luka-luka fisik seperti: memar-memar
(bruises), goresan-goresan (scrapes), dan luka bakar (burns) hingga kerusakan
otak (brain damage), cacat permanen (permanent disabilities), dan kematian
(death). Efek psikologis pada anak korban kekerasan dan penganiayaan bisa
seumur hidup, seperti: rasa harga diri rendah (a lowered sense of self-worth),
ketidakmampuan berhubungan dengan teman sebaya (aninability to relate to
peers), masa perhatian tereduksi (reduced attention span), gangguan belajar
(learning disorders). Dalam beberapa kasus, kekerasan dapat mengakibatkan
gangguan-gangguan kejiwaan (psychiatric disorders), seperti: depresi
(depressian), kecemasan berlebihan (excessive anxiety) atau gangguan identitas
disosiatif (dissociative identity disorder), dan juga bertambahnya resiko bunuh
diri (suicide).
112
Gambaran yang lebih jelas tentang efek tindakan kekerasan pada anak juga
bisa dilihat dari penjelasan Moore dalam Fentini Nugroho yang mengamati
beberapa kasus anak yang menjadi korban penganiayaan fisik. Diungkapkannya
bahwa efek tindakan kekerasan tersebut demikian luas dan secara umum dapat
diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada yang menjadi negatif dan agresif
serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak
mempunyai kepribadian sendiri, apa yang dilakukan sepanjang hidupnya hanyalah
memenuhi keinginan orangtuanya, mereka tidak mampu menghargai dirinya
sendiri; ada pula yang sulit menjalin relasi dengan individu lain; dan yang
tampaknya paling parah adalah timbulnya rasa benci yang luar biasa terhadap
dirinya karena merasa hanya dirinyalah yang selalu bersalah sehingga
menyebabkan penyiksaan terhadap dirinya, dan rasa benci terhadap dirinya sendiri
ini menimbulkan tindakan untuk menyakiti dirinya sendiri seperti bunuh diri dan
sebagainya. Selain akibat psikologis tersebut, Moore juga menemukan adanya
kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh yang kurang normal, juga rusaknya
sistem saraf, dan sebagainya. Dari uraian di atas terlihat bahwa dampak dari
tindakan kekerasan terhadap anak begitu menggenaskan. Mungkin belum banyak
orang menyadari bahwa pemukulan bersifat fisik itu bisa menyebabkan kerusakan
emosional anak.113
Ciri-ciri umum anak yang mengalami kekerasan seksual (sexual abuse)
dalam penjelasan Charles Zastrow dalam Suharto (2003), studi yang dilakukan
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur bekerja sama dengan UNICEF
(2000), berhasil mengungkapkan bahwa seeringkali pelaku tindak perkosan
113
adalah orang yang sudah dikenal korban, baik itu tetangga, saudara, kerabat, guru,
atau bahkan kakek atau ayah kandung korban, yakni: 114
1. Tanda-tanda perilaku
a) Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku: dari bahagia ke depresi
atau permusuhan, dari bersahabat ke isolasi, atau dari komunikatif ke
penuh rahasia.
b) Perilaku ekstrim: perilaku yang secara komparatif lebih agresif atau pasif
dari teman yang lama.
c) Gangguan tidur: takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam
waktu yang lama atau mimpi buruk.
d) Perilaku regresif: kembali pada perilaku awal perkembangan anak
tersebut, seperti ngompol, mengisap jempol, dan sebagainya.
e) Perilaku anti-sosial atau nakal: bermain api, mengganggu anak lain atau
binatang, tindakan-tindakan merusak.
f) Perilaku menghindar: takut akan, atau menghindar dari orang tertentu
(orangtua, kakak, saudara lain, tetangga, pengasuh), lari dari rumah,
nakal atau membolos sekolah.
g) Perilaku seksual yang tidak pantas: masturbasi berlebihan, berbahasa atau
bertingkah porno melebihi usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang
lebih muda, menggambar porno.
h) Penyalahgunaan NAPZA: alkohol atau obat terlarang khususnya pada
anak remaja.
114
i) Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri: merusak diri sendiri,
gangguan makan, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan berisiko tinggi,
percobaan atau melakukan bunuh diri
2. Tanda-tanda kognisi
a) Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan mengkhayal, fokus
perhatian singkat/terpecah;
b) Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap pekerjaan
sekolah dibandingkan dengan sebelumnya;
c) Respon/reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan tiba-tiba dan
oranglain dalam jarak dekat.
3. Tanda-tanda sosial-emosional
a) Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga;
b) Menarik diri: mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam khayalan atau ke
bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan;
c) Depresi tanpa penyebab jelas: perasaan tanpa harapan dan
ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri;
d) Ketakuan berlebihan: kecemasan, hilang kepercayaan terhadap oranglain;
e) Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang seperti
sebelumnya atau sebagaimana dialami oleh teman sebayanya.
4. Tanda-tanda fisik
a) Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut,
tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara
b) Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kemaluan: pada
vagina, penis, atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri
atau gatal-gatal di seputar alat kelamin; dan
c) Hamil.
Dampak dari perkosaan dapat berupa:115
a) Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi berharga akibat
kehilangan keperawanan (kesucian) dimata masyarakat, calon suami,
atau pihak-pihak lain yang terkait dengannya. Penderitaan psikologis
lainnya dapat berupa kegelisahan, kehilangan rasa percaya diri, tidal lagi
ceria, sering menutup diri atau menjauhi kehidupan ramai, tumbuh rasa
benci (antipati) terhadap lawan jenis dan curiga berebihan terhadap
pihak-pihak lain yang bermaksud baik padanya;
b) Kehamilan yang dimungkinkan dapat terjadi, hal ini dapat berakibat
lebih fatal lagi apabila janin yang ada tumbuh menjadi besar (tidak ada
keinginan untuk diabortuskan). Artinya anak yang dilahirkan tidak
memiliki kejelasan statusnya secara yuridis dan norma keagamaan;
c) Penderitaan fisik, artinya akibat perkosaan itu akan menimbulkan luka
pada diri korban. Luka ini bukan hanya terkait pada alat vital (kelamin
perempuan) yang robek, namun tidak menutup kemungkinan ada organ
tubuh lainnya yang luka bilamana korban lebih dulu melakukan
perlawana dengan keras sekaligus mendorong pelakunya untuk berbuat
lebih kasar dan kejam guna penaklukkan perlawanan dari korban.
115
d) Tumbuh rasa kurang percayaan pada penanganan aparat praktisi hukum,
bilamana kasus yang ditanganinya lebih banyak menyita perhatiannya,
sedangkan penangan kepada tersangaka terkesan kurang
sungguh-sungguh. Korban merasa diperlakukan secara diskriminasi dan
dikondisikan makin menderita kewijaannya atau lemah mentalnya akibat
ditekan secara terus menerus oleh proses penyelesaian perkara yang
tidak kunjung berakhir.
e) Korban yang dihadapkan pada situasi sulit seperrti tidak lagi merasa
berharga di mata masyarakat, keluarga, calon suami dapat saja
terjerumus daam dunia prostitusi. Artinya, tempat pelacuran dijadikan
sebagai tempat pelampiasan diri untuk membalas dendam pada laki-laki
BAB IV
PERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DALAM PERLINDUNGAN ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL
DALAM LINGKUNGAN KELUARGA
1. Fungsi Lembaga Dan Pranata Hukum Dalam Perlindungan Korban Pada hakikatnya, perlindungan terhadap korba sebagai janji-janji hukum
oleh sistem peradilan pidana berusaha mewujudkan fungsi primer hukum yang
sebagaimana diungapkan oleh I.S. Susanto dalam tiga hal, yaitu:116
1) Perlindungan, hukum berfungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman
bahaya dan tindakan yang merugikan dari sesama dan kelompok masyarakat
termasuk yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan (pemerintah dan
negara) dan yang datang dari luar, yang ditujukan terhadap fisik, jiwa,
kesehatan, nilai-nilai, dan hak asasinya.
2) Keadilan, hukum menjaga, melindungi dari keadilan bagi seluruh rakyat.
Secara negatif dapat dikatakan bahwa hukum yang tidak adil yaitu apabila
hukum yang bersangkutan dipandang melanggar nilai-nilai dan hak-hak
yang dipercayai harus dijaga dan dilindungi bagi semua orang.
3) Pembangunan, hukum dipakai sebagai kendaraan baik dalam menentukan
arah, tujuan, dan pelaksanaan pembangunan secara adil. Artinya, hukum
sekaligus digunakan sebagai alat pembangunan namun juga sebagai alat
kontrol agar prmbangunan dilaksanakan secara adil.
Edmond Canh menganjurkan bahwa dalam rangka memberikan
perlindungan bagi pihak-pihak yang harus dillindungi hukum yang disebut
116
Maya Indah S, Perlindungan Korban (Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi),
(Kencana Prenadamedia Group, Jakarta: 2014), hal 71, lihat I.S.Susanto,Kejahatan Korporasi,