• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Lingkungan Keluarga Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Lingkungan Keluarga Chapter III V"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DALAM LINGKUNGAN KELUARGA A.Faktor Internal Terjadinya Kekerasan Seksual Pada Anak

Ketika kita mendekati abad 21, masih banyak anak dan keluarga yang

harus berhadapan dengan masalah kemiskinan, narkoba, kekerasan atau

penyiksaan, perkosaan, perceraian orang tua,orang tua yang peminum, kematian

orang tua, tidak mempunyai rumah yang layak, dilahirkan dengan mengidap

penyakit dan menderita AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang

mempunyai dampak pada kehidupan anak.78

Terjadinya kejahatan terhadap anak disebabkan beberapa faktor yang

mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhinya demikian kompleks,

seperti yang dijelaskan ada beberapa faktor internal terjadinya kejahatan menurut

beberapa pakar sebagai berikut:

1. Menurut Suharto79

Bahwa kekerasan terhadap anak umumnya disebabkkan oleh faktor internal

yang berasal dari anak sendiri yaitu anak mengalami cacat tubuh, retardasi

mental, gangguan tingkah laku autisme, anak terlalu lugu, memiliki

temperamen lemah, ketidaktahuan anak mengenai hak-haknya, anak terlalu

bergantung pada orang dewasa.

2. Menurut Rusmil

Bahwa penyebab terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak

terjadi karena faktor anak sendiri yaitu anak menderita gangguan

78

Sri Esti Wuryani Djiwandono, op. Cit hal 77. 79

(2)

perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak

kepada lingkunganya dan karena pelaku menimpang anak.

3. Menurut Moore dan Parton80

Sebagaimana dikutip Fentini Nugroho megungkapkan bahwa faktor

individualis mengatakan bahwa orang tua yang berbakat menganiaya anak

mempunyai karakteristik tertentu, seperti: mempunyai latar belakang (masa

kecil) yang juga penuh kekerasan, ia juga sudah terbiasa menerima pukulan.

Adapula yang menganggap anak sebagai individu yang seharusnya

memberikan dukungan dan perhatian kepada orang tua (role reversal)

sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orang tua

merasa bahwa anak harus dihukum. Karakter lainnya adalah ketidaktahuan

kebutuhan perkembanga anak, misalnya usia anak belum memungkinkan

untuk melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya pengtahuan orang tua, si

anak dipaksa untuk melakukannya dan ketika ternyat anak belum mampu,

orang tua marah.

4. Menurut Richard J. Gelles

Mengungkapkan bahwa faktor personal merupakan pewarisan kekerasan

antar generasi (intergenerational transmission of violence) menyatakan

bahwa anak belajar perilaku kekerasan dari orang tuanya dan ketika tumbuh

dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan pada anaknya.81

Pada umumnya tindak pidana tidak dapat terjadi tanpa ada korbannya.

Pelaku tindak pidana memerlukan orang lain untuk dijadikan korban

perbuatannya. Disini dapat dikatakan korban mempunyai peran fungsional dalam

80

Ibid., hal 51-52 81

(3)

terjadinya tindak pidana. Tindak pidana (kejahatan) dapat terjadi karena ada pihak

yang berperan, sadar atau tidak sadar, dikehendaki atau tidak, sebagai korban.

Meski ada beberapa tindak pidana (kejahatan) dimana korban dan pelaku adalah

pihak yang sama, kejahatan dan korban adalah dua hal yang saling melekat.

Bahkan pada tataran yuridis, suatu perbuatan (pada umumnya) dirumuskan

sebagai kejahatan kerena menimbulkan korban. Jadi hukum pidana dalam melihat

tindak pidana (kejahatan) biasanya dalam konteks pelaku dan korban.

Tidak ada orang yang dalam keadaan normal menghendaki dirinya dijadikan

sasaran kejahatan. Tetapi karena keadaan yang ada pada korban atau karena sikap

dan perilakunyalah ia dapat mendorong pelaksanaan niat jahat pelaku. Mereka

yang dipandang lemah, baik dari sisi fisik, mental, sosial, atau hukum relatif lebih

mudah dijadikan objek kejahatan. Begitu pula meraka yang lalai atau yang sikap

dan tindakannya menimbulkan amarah serta kebencian pada orang lain pada

akhirnya lalu ia menjadi korban dari orang yang mencoba mengambil kesempatan

atau menjadi korban dari orang yang terbakar amarahnya itu.82

Pihak korban yang diketahui termasuk golongan lemah mental, fisik, dan

sosial (ekonomi, politik, yuridis) yang tidak dapat atau tidak berani melakukan

perlawanan sebagai pembalasan yang memadai, sering dimanfaatakan sesukanya

oleh pihak pelaku yang merasa dirinya lebih kuat, dan lebih berkuasa dari pihak

korban. Misalnya, dalam suatu keluarga, anak istri sering kali menjadi korban

tindakan jahat dari ayah atau suami. Akibatnya mereka menerima saja kejahatan

(4)

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan perkosaan, diantara

beberapa faktor yang ada, ada dua faktor yang lebih mengarah kepada pelaku

yang menimbulkan terjadinya perkosaan, yaitu:84

a) Ketidak mampuan pelaku untuk mengndalikan emosi dan nafsu seksualnya.

Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan

kompensasi pemuasnya;

b) Keinginan pelaku untuk melaukan (melampiaskan) balas dendam terhadap

sikap, ucapan (keputusan) dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan

merugikan.

Faktor intern merupakan faktor yang dilihat dari individu – individu

Pelaku pemerkosaan. Pada faktor intern ini melihat suatu kejahatan dari dalam

diri si pelaku, yang dijelaskan dalam teori-teori kriminologi dari perspektif

biologis dan perspektif psikologis.

a. PERSPEKTIF BIOLOGIS

Bahwa kecenderungan untuk melakukan tindak kekerasan atau agresifitas pada

situasi tertentu kemungkinan dapat diwariskan karena pengaruh hormon,

ketidaknormalan kromosom, kerusakan otak dan sebagainya terhadap tingkah

laku kriminal.

a) Menurut Cesare Lambroso (1835-1909)85

Lambroso menggabungkan Positivisme Comte, evolusi dari Darwin,

serta banyak lagi pioneer dalam studi tentang hubungan kejahatan dan tubuh

manusia. Pada tahun 1876, dengan terbitnya buku L‟buomo delinquente (the

criminal man), kriminologi beralih secara permanen dari filosofi abstrak

84

Ibid., hal 21 85

(5)

tentang penanggulangan kejahatan melalui legilasi menuju suatu studi

modern penyelidikan menganai sebab-sebab kejahatan. Lambroso

menggeser konsep free will dengan determinisme. Bersama-sama

pengikutnya Enrico Ferri dan Raffaele Garofalo, Lambroso membangun

suatu orientasi baru, mazhab Italia atau mazhab Positif, yang mencari

penjelasan atas tingkah laku kriminal melalui eksperimen dan penelitian

ilmiah.

Ajaran inti dalam penjelasan awal Lambroso tentang kejahatan adalah

bahwa penjahat mewakili suatu tipe keanehan/keganjilan fisik, yang berbeda

dengan non-kriminal. Lambroso mengklaim bahwa para penjahat mewakili

suatu bentuk kemerosotan yang termanifestasi dalam karakter fisik yang

mereflesikan suatu bentuk awal dari evolusi.

Teori Lambroso tentang Born Criminal (penjahat yang dilahiran)

menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah

dalam kehidupan, lebih mendekati nenek monyang mereka yang mirip kera

dalam hal sifat bawaan dan watak dibandingkan mereka yang bukan

penjahat. Mereka dapat dibedakan dari non-kriminal melalui beberapa

Atavistik stigmata ciri-ciri fisik pada mahluk pada awal perkembangannya,

sebelum mereka benar-benar menjadi manusia. Lambroso beralasan bahwa

seringkali para penjahat memiliki rahang yang besar dan gigi taring yang

kuat, suatu sifat yang pada umumnya dimiliki mahluk karnivora yang

merobek dan melahap daging mentah. Jangkauan/rentang lengan bawah dari

(6)

dimiliki kera yang menggunakan tangan mereka utuk menggerakkan tubuh

mareka diatas tanah.

Menurut Lambroso, seorang individu yang lahir dengn salah satu dari

lima stigmata adalah seorang born criminal (penjahat yang dilahirkan).

Kategori ini menckup kurang lebih sepertiga dari seluruh pelaku kejahatan.

Sementara iti, penjahat perempuan, menurutnya berbeda dengan penjahat

laki-laki. Ia adalah pelacur yang mewakili born kriminal. Penjaha

perempuan memiliki banyak kesamaan sifat dengan anak-anak; moral sense

mereka berbeda, penuh dendam, cemburu. Sebagai konsekuensi penjahat

merupakan suatu monster.

Disamping kategori diatas, Lambroso menambahkan dua kategori lagi

yaitu, insane criminals dan criminoloids.

Insane criminal bukanlah penjahat sejak lahhir, mereka menjadi

penjahat sebagai hasildari beberapa perubahanotak mereka yang

mengganggu kemampuan mereka untuk membedakan antara benar dan

salah.

Criminoloids mencakup suatu kelompok ambiguous termasuk

penjahat kambuhan (habitual criminals), pelaku kejahatan kerana nafsu dan

berbagai tipe lainnya.

Mesipun teori Lambroso dianggap sederhana dan naif untuk saat ini,

Lambroso memberikan kontribusi yang penting (signifikan) bagi penelitian

mengenai kejahatan. Fakta bahwa Lambroso memulai melakukan penelitian

empiris, mengukur ribuan narapidana yang hidup dan mati, dalam upaya

(7)

menjelaskan kejahatan. Lambroso juga berjasa dalam mengalihkan studi

tentang kejahatan dari penjelasan abstrak, metafisik, legal, dan juristik

sebagai basis penghukuman menuju suatu studi ilmiah tentang penjahat

serta kondisi-kondisi pada saat dia melaksanakan. Hal-hal tersebut sangat

mempengaruhi para tokoh kriminologi selanjutnya.

1. Menurut Enrico Ferri (1856-1929)86

Ferri berpendapat bahwa kejahatan dapat dijelaskan melalui studi

pengaruh-pengaruh interaktif diantara faktor-faktor fisik (seperti ras,

geografis, serta temperatur), dan faktor-faktor sosial (seperti umur, jenis

kelammin, variabel-variabel psikologis). Dia juga berpendapat bahwa

kejahatan dapat dikontrol atau diatasi dengan perubahan-perubahan sosial,

misalnya subsidi perumahan, kontrol kelahiran, kebebasan menikah dan

bercerai, fasilitas rekresi dan sebagainya.

2. Menurut Raffaele Garofalo (1852-1934)87

Garofalo menelusuri akar tingkah laku kejahatan bukan kepada

bentuk-bentuk fisik, tetapi kepada kesamaan-kesamaan psikologis yang dia

sebut sebagai moral anomalies (keganjalan-keganjalan moral).

Menurut teori ini, kejahatan-kejahatan alamiah (natural crimes)

ditemukan didalam seluruh masyarakat manusia, tidak peduli pandangan

pembuat hukum, dan tidak ad amasyarakat yang beradab dapat

mengabakannya. Kejahatan demikian, menurut Garofalo, mengganggu

sentimen-sentimen moral dasar dan probity/kejujuran (menghargai hak

(8)

milik orang lain) dan piety (sentimen of revulsion against the voluntary

infliction of surffering on others). Seorang individu yang memiliki

kelemahan organik dalam sentimen-sentimen moral ini tidal memiliki

halangan-halangan moral untuk melakukan kejahatan.

Seorang penjahat sungguhan, dengan kata lain memiliki anomaly fisik

atau moral yang dapat ditransmisikan melalui keturunan. Dengan

kesimpulan ini Garofalo mengidentifikasi empat klas penjahat,

masing-masing berbada dengan yang lain karena kekuranga dalam

sentimen-sentimen dasar tentang pity dan probity.

Para pembunuh secara total kurang baik pity maupun probity dan

akan membunuh atau mencuri jika diberi kesempatan. Penjahat-penjahat

yang lebih ringan. Garofalo mengakui, lebih sulit diidentifikasi. Dia

membagi berdasarkan apakah mereka kekurangan dalam sentimen pity atau

propity. Penjahat dalam kejahatan kekerasan kekurangan pity, yang

mengkin saja dipengaruhi banyak faktor-faktor lingkungan. Pencuri, pada

sisi lain menderita kekurangan probity. Kategori terakhir adalah penjahat

seksual, beberapa dapat dikategorikan violent criminals karena mereka juga

kekurangan pity.

3. Menurut Charles Buchman Goring (1870-1919)88

Tantangan terbesar terhadap teori Lambroso dilakukan oleh Charles

antara tahun 1901 hingga 1913, Goring mengumpulkan data tentang 96 sifat

bawaan lebih dari 3000 terpidana dan suatu control group yang berasal dari

Universitas Oxford dan Cambridge, pasien rumah sakit dan tentara. Setelah

88

(9)

menyelesaikan penelitilannya itu Goring memiliki cukup bekal untuk

menolak teori Lambroso tentang tipe antopologis penjahat.

Goring menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan-perbedaan

signifikan antara para penjahat dengan non-penjahat kecuali dalam hal

tinggi dan berat tubuh. Para penjahat didapati lebih kecil dan ramping.

Goring menafsirkan ini sebagai penegasan dari hipotesanya bahwa penjahat

secara biologis lebih inferior, tetapi dia tidak menemukan satupun tipe fisik

penjahat.

Meski ia menolak klaim bahwa stigmata tertentu mengidentifikasi

penjahat, ia yakin bahwa kondisi fisik yang kurang ditambah keadaan

mental yang cacat (tidak sempurna) merupakan faktor-faktor penentu dalam

kepribadian kriminal.

Melihat penjelasan dari perspektif biologis atas kejahatan oleh para ahli

diatas, dapat dilihat bahwa para ahli yang memfokuskan terhadap faktor-faktor

fisik dari seorang penjahat saja. Ada beberapa teori mengenai fisik yang disebut

Body types theories (teori-teori tipe fisik) yang dikemukakan oleh beberapa ahli,

yaitu:

a) Menurut Ernst Kretchmer (1888-1964)

Kretchmer melakukan studi terhadap 260 orang gila di Swedia, sebuah

kota di baratdaya Jerman. Ia mendapati fakta bahwa subjek studinya memiliki

tipe-tipe tubuh tertentu yang berkaitan, menurutnya dengan tipe tertentu dari

kecenderungan fisik.

Kretchmer mengidenfikasi empat tipe fisik, yaitu: asthenic (kurus,

(10)

bertulang besar); pyknic (tinggi sedang, figur yang tegap, leher besar, dan

wajah luas); dan beberpa tipe campuran, tidak terklasifikasi. Kretchmer

selanjutnya menghubungkan tipe-tipe fisik tersebut dengan variasi-variasi

ketidakteraturan fisik: pyknick berhubungan dengan depresi, asthenics dan

athletics dengan schizophrenia, dan sebagainya.89

b) Menurut Ernesta A. Hooten (1887-1954)90

Setelah tantangan Goring, teori Lambroso kehilangan popularitas

akademik sampai sekitar seperempat abad. Hingga pada tahun 1939 Ernesta

seorang Antropolog fisik, membangunkan kembali perhatian terhadap

kriminalitas yang secara biologis ditentukan dengan publikasinya tentang suatu

studi besar yang membandingkan penghuni-penghuni penjara di Amerika

dengan suatu control group dari non-kriminal.

Hooten memulai dengan kritik tajam terhadap penelitian Goring dari

seggi metode, dan dia meneliti dengan analisa mendetail data-data lebih dari

17.000 kriminal dan non-kriminal. Dia menyatakan bahwa para penjahat

berbeda secara inferior dibanding anggota masyarakat lainnya dalam hampir

semua ukuran tubuh/fisik mereka. Selanjutnya Hooten menyimpulkan bahwa:

in every population there are hereditary inferios in mind and in body as

well as physical and mental deficients .... our information definitely

proves that it is from the physically inferior element of the population

that native born criminals from native parentage are mainly derived”

Sebagaimana pendahulunya, Hooten menyerukan pemisahan

(11)

keturunan kriminal, dan dia merekomendasikan untuk mensterilkan atau

membersihkan mereka.

c) Menurut William H. Sheldon (1898-1977)

Selain membawa pandapat Kretschmer ke Amerika Serikat, William

memformulasikan sendiri kelompok mesomorph: the endomorph (memiliki

tubuh gemuk); the mesomorp (berotot dan bertubuh atletis); the ectomorph

(tinggi, kurus, fisik yang rapuh). Setiap tipe tadi mempunyai temperamen yang

berbeda. Menurut Sheldon: “solid flesh and bone of the individual” (daging

padat dan tulang seorang individu) merupakan basis for the study (dasar untuk

melakukan kajian) yang memberikan suatu frame of reference. Menurutnya

pula, ada high correlarelationship.

Menurut Sheldon, orang yang didominasikan sifat bawaan mesomorp

(secara fisik kuat, agresif, dan atletis) cenderung lebih dari orang lainnya untuk

terlibat dalam perilaku ilegal.

Dalam studinya, William Sheldo meneliti 200 pria berusia antara 15 dan

21 dalam usaha menghubungkan fisik dengan temperamen, kecerdasan, dan

delinquency. Dengan mengandalkan pada pengujian fisik dan psikologis,

Sheldon menghasilkan suatu Index to Delinquency yang dapat digunakan untuk

memberi profil dari tiap problem pria secara mudah dan cepat.91

d) Menurut Sheldon Glueck (1896-1980) dan Eleanor Glueck (1898-1972)

Temuan William Sheldon mendapat dukungan dari Sheldon Glueck dan

Eleanor Glueck (1950) yang melakukan studi komperatif antara pria delinquent

dan non-delinquent. Sebagai suatu kelompok, pria delinquent didapati memiliki

91

(12)

wajah yang lebih sempit (kecil), dada yang lebih lebar, pinggang yang lebih

besar dan luas, lengan bawah dan lengan atas yang lebih besar dibandingkan

non-dilinquent. Penyelidikan mereka juga mendapati bahwa kurang lebih 60%

delinquent dan 31% non-delinquent didominasi merea yang mesomorphic.92

e) Disfungsi Otak dan Learning Disabilities93

Ada bukti yang semakin berkembang bahwa disfungsi otak dan cacat

neurologis secara umum ditemukan pada mereka yang menggunakan

kekerasan secara berlebihan dibanding orang pada umumnya. Banyak pelaku

kejahatan kekerasan secara berlebihan dibanding orang pada umumnya.

Banyak pelaku kejahatan kekerasan kelihatannya memiliki cacat didalam

otaknya yang berhubungan dengan terganggunya self-control. Delinquent

cenderung memiliki problem neurologis dibandingkan non-delinuent. Juga

ada beberapa bukti bahwa orang tua dari anak-anak denlinquent memiliki

problem neurologis dibanding orang tua anak-anak non-delinquent, sehingga

ada kemungkinan faktor genetik berhubungan dengan kekerasan dari orang

dewasa.

Terdapat bukti yang bagus bahwa delinquency berhubungan dengan

Learning Disabilities, yaitu kerusakan pada fungsi sensorik dan motorik yang

membawa penampilan menyimpang diruang kelas dan merupakan hasil dari

beberapa kondisi fisik abnormal. Sebab-sebab dari Learning Disabilities tidak

begitu dipahami secara mendalam, tetapi terlihat bahwa paling tidak sebagian

(13)

Macam learning disabilitis antara lain: dyslexia (gagal menguasai skill

berbahasa setaraf dengan kemampuan intelektual); aphasia (suatu problem

komunikasi verbal atau masalah dalam memahami perbincangan orang lain);

hyperactive, suatu studi menemukan bahwa anak-anak hyperactive enam kali

kemungkinan ditangkap ketika mereka dewasa dibandingkan mereka yang

tidak mengalami kelainan itu.

f) Kriminalitas dan Faktor Genetika94

Ada beberapa hasil kajian yang menghubungkan faktor-faktor genetika

dengan kriminalitas, antara lain studi tentang orang kembar (twins studies)

adopsi (adoption studies), dan cromosom (the xyy syndrome).

1) Twins Studies

Untuk mengungkapkan apakah benar kejahatan ditentukan secara

genetikal, para peneliti telah membandingkan antara identical twins dan

fraternal twins. Identical atau monozygotic twins dihasilkan dari satu telur

yang dibuahi yang membelah menjadi dua embrio. Kembar seperti ini

membagi sama gen-gen mereka. Sementara fraternal atau dizygotic twins

dihasilkan dari dua telur terpisah, keduanya dibuahi pada saat bersamaan.

Mereka membagi sekitar setengah gen-gen mereka.

Karl Cristianse dan Sarnoff A. Mednick melakukan sebuah studi

terhadap 3.586 pasangan kembar di satu kawasan Denmark antara tahun

1881 dan 1910 dikaitakan dengan kejahatan serius. Mereka menemukan

bahwa pada identical twins jika pasangannya melakukan kejahatan maka

50% pasangannya juga melakukan. Sedangkan pada fraternal twins angka

94

(14)

tersebut hanya 20%. Temuan ini mendukung hipotesa bahwa beberapa

pengaruh genetika meningkatkan resiko kriminalitas.

2) Adoption Studies

Satu jalan untuk memisahkan pengaruh dari sifat-sifat yang

diwariskan dengan pengaruh dari kondisi lingkungan adalah dengan

melakukan studi terhadap anak-anak yang sejak lahirnya dipisahkan dari

oeang tau aslinya dan dtempatkan pada keluarga angkat.

Studi tentang adopsi ini pernah dilakukan terhadap 14.427 anak yang

diadopsi di Denmark antara tahun 1924 dan 1947. Penelitian ini menemukan

data:

a) Dari anak-anak yang orang tua angkatnya dan orang tau aslinya tidak

tersangkut kejahatan, 13,5% terbukti melakukan kejahatan;

b) Dari anak-anak yang memiliki orang tua aslinya tidak tersangkut

kejahatan, 14,7% terbukti melakukan kejahatan;

c) Dari anak-anak yang orang tua angkatanya tidak kriminal tapi memiliki

orang tua asli kriminal, 20% terbukti melakukan kejahatan; dan

d) Dari anak-anak yang orang tau angkat dan orang tau aslinya kriminal,

24,5% terbukti melakukan kejahatan.

Temuan diatas mendukung klaim bahwa kriminalitas dari orang tua

asli (orang tua biologis) memiliki pengaruh lebih besar terhadap anak

dibandingkan kriminalitas dari orang tua angkat.

3) The XYY Syndrome

Kromosom merupakan struktur dasar yang mengandung gen

(15)

manusia memiliki 23 pasang kromosom yang diwariskan. Satu pasang

kromosom yang diwariskan. Satu pasang kromosom menentukan gender

(jenis kelamin). Seorang perempuan mendapat satu X kromosom dari ayah

dan ibunya, seorang laki-laki mendapat satu kromosom dari ibunya dan satu

Y kromosom dari ayahnya.

Kadang-kadang kesalahan dalam memproduksi sperma atau sel telur

menghasilkan abnormalitas genetika. Satu tipe abnormalitas tersebut adalah

the XYY chromosome male atau laki-laki dengan XYY kromosom. Orang

tersebut menerima dua Y kromosom (dan bukan satu) dari ayahnya. Kurang

lebih satu dari tiap-tiap 1000 kelahiran laki-laki dari keseluruhan populasi

memiliki kromosom genetika semacam ini. Mereka yang memiliki

kromosom XYY cenderung bertubuh tinggi, secara fisik agresif, sering

melakukan kekerasan.

Teori yang mencari sebab kejahatan dari aspek fisik (Biologi Kriminal)

yang dipelopori oleh ahli-ahli frenologi, seperli Gall (1758-1828), Spurzheim

(1776-1832), yang mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis yang

mencoba mencari hubungan antara bentuk tengkorak kepala dengan tingkah laku,

mereka mendasari pada pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa otak

merupaan organ dari akal. Ajaran ahli-ahli frenologi ini mendsarkan pada

preposisi dasar:95

a. Bentuk luar tengkorak kepala sesuai dengan apa yang ada di dalamnya dan

bentuk dari otak;

b. Akal terdiri dari kemampuan atau kecakapan, dan

95

(16)

c. Kemampuan atau kecakapan ini berhubungan denggan bentuk otak an

tengkorak kepala.

Frenologi Theory berdasarkan pada otak yang merupakan alat ataupun

organ akal. Teori ini mendalilkan, bentuknya tengkorak sesuai isinya, akal terdiri

dari kecakapan-kecakapan dan fungsinya, dan kecakapan-kecakapan tersebut

bersangkutan dengan bentuk otak dan tengkorak. Beberapa kecakapan yang

dimiliki seseorang, yaitu: cinta birahi, cinta keturunan, keramahan, sifat perusak

dan sebagainya. Sedangkan kecakapan dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:

naluri-naluri aktif atau rendah, sentimen-sentimel moral, kecakapan-kecakapan

intelektual.96

Menurut teori frenologi ini, kejahatan disebabkan oleh naluri-naluri rendah,

seperti:

Para tokoh psikilogis mempertimbagkan suatu variasi dari kemungkinan

cacat dalam kesadaran, ketidakmatagan emosi, sosialisasi yang tidak memadai di

masa kecil, kehilangan hubungan dengan ibu, perkembangan moral yang lemah.

Mereka mengkaji bagaimana agresi dipelajari, situasi apa yang mendorong

kekerasan atau reaksi delinkuen, bagaimana kejahatan berhubungan dengan

96

(17)

faktor-faktor kepribadia, serta asosiasi antara beberapa kerusakan mental dan

kejahatan. Beberapa penjelaskan mengenai perspektif psikologis atas kejahatan,

antara lain:97

a) Sifat-Sifat Kepribadian (Personality characteristics)

Empat alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji hubungan

antara kepribadian dengan kejahatan. Pertama, melihat pada perbedaan-perbedaan

antara struktur kepribadian dari penjahat dan bukan penjahat; kedua, memprediksi

tingkah laku; ketiga, menguji tingkatan dimana dinamika-dinamika kepribadian

normal beroperasi dalam diri penjahat; keempat, mencoba menghitung

perbedaan-perbedaan individual atara tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan.

b) Samuel Yochelson dan Stanton Samenow

Dalam bukunya The Criminal Personality (kepribadian kriminal),

Yochelson (seorang psikiater) dan Samenow (seorang psikolog) menolak klaim

para Psikonalis bahwa kejahatan disebabkan oleh konflik internal. Tetapi yang

sebenarnya para penjahat itu sama-sama memiliki pola berpikir yang abnormal

yang membawa mereka memutuskan untuk melakukan kejahatan.

Yochelson dan Somenow mengidentifikasi sebanyak 52 pola berpikir yang

umumnya ada pada penjahat yang mereka teliti. Keduanya berpendapat bahwa

penjahat adalah orang yang marah, yangg merasa suatu sense superioritas,

menyangka tidak bertanggungjawab atas tindakan yang mereka ambil, dan

mempunya harga diri yang sangat melambung. Tiap dia merasa ada satu serangan

terhadap harga dirinya, ia akan memberi reaksi yang sangat kuat, sering berupa

kekerasan.

97

(18)

c) Mental Disorder

Meskipun perkiraannya berbeda-beda, namun berkisar antara 20 hingga

60% penghuni lembaga permasyarakatan mengalami satu tipe mental disorder

(kekacauan mental). Keadaan seperti itu digambarkan oleh seorang dokter

Perancis bernama Philippe Pinel sebagai manie sans delire (madness without

confusion), atau oleh dokter Inggris bernama James C. Prichard sebagai moral

insaity dan oleh Gina Lambroso-Ferreroo sebagai irresistible atavistic impulses.

Pada dewasa ini penyakit mental ttadi disebut sebagai psychopathy atau antisocial

personality yaitu suatu kepribadian yang ditandai oleh suatu ketidakmampuan

belajar dari pengalaman, kurang kehangatan/keramahan, dan tidak merasa

bersalah.

Psikiater Hervey Cleckey memandang psychopathy sebagai suatu penyakit

serius meski si penderita tidak kelihatan sakit. Menurutnya para psychopath

terlihat mempunyai kesehatan mental yang sangat begus, tetepi apa yang kita

saksikan itu sebenarnya hanyalah suatu mask of sanity atau topeng kewarasan.

Para psychopath tidak menghargai kebanaran, tidak tulus, tidak merasa malu,

bersalah atau terhina. Mereka berbohong dan melakukan kecurangan tanpa ada

keraguan dan melakukan pelanggaran verbal maupun fisik tanpa perencanaan.

d) Teori Psikonalisa, Sigmund Freud (1856-1939)

Teori psikonalisa tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan

perilaku kriminal dengan suatu conscience (hati nurani) yang baik dia begitu

menguasai sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah

sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan si individu, dan bagi suatu

(19)

Sigmund Freud, penemu dari psychoanalysis berpendapet bahwa

kriminalitas mungkin berasal dari an overactive conscience yang menghasilkan

perasaan bersalah yang tak tertahankan akan melakukan kejahatan dengan tujuan

agar ditangkap dan dihukum. Begitu mereka dihukum maka persaan bersalah

mereka akan mereda.

Seseorang melakukan perilaku yang terlarang karena hati nurani, atau

superego-nya begitu lemah atau tidak sempurna sehingga egonys (yang berperan

sebagai suatu penengah antara superego dan id) tidak mampu mengontrol

dorongan-dorongan dari id (bagian dari kepribadian yang mengandung keinginan

dan dorongan yang kuat untuk dipuaskan dan dipenuhi). Karena superego intinya

merupakan suatu citra orang tua yang begitu mendalam, terbangun ketika si anak

menerima sikap-sikap dan nilai-nilai moral orang tuanya, maka selalnjutnya

apabila ada ketiadaan citra seperti itu mungkin akan melahirkan id yang tak

terkendali dan berikutnya delinquency.

Penjelasan pschoanalytic masih tetap menonjol dalam menjelaskan baik

fungsi normal maupun asosial. Meski dikritik, tiga prinsip yaitu: pertama,

tindakan dan tingakah laku orang dewasa dapat dipahami dengan melihat pada

perkembangan masa kanak-kanak mereka; kedua, tingakah laku dan motif-motif

bawah sadar adalah jalin-menjalin dan interaksi itu mesti diuraikan bila kita

ingin mengerti kejahatan; ketiga, kejahatan pada dasarnya merupakan

respresentasi dari konflik psikologis.

e) Personality Traits/Inherited Criminality (Dugdale dan Goddard)

Pencarian/penelitian personality traits (sifat kepribadian) telah dimulai

(20)

Feeblemindedness (lemah pikiran), insanity (penyakit jiwa), stupidity

(kebodohan), dan dull-wittedness (bodoh) dianggap diwariskan. Pandangan ini

merupakan bagian dari usaha untuk menjelaskan kejahatan yang bersifat dasar di

akhir abad ke-19. Ia menjadi penjelasan yang begitu populer di Amerika Serikat

setelah The Jukes diterbitkan oleh Dugdale pada tahun 1877. Buku ini

menggambarkan sebuah keluarga telah terlibat dalam kejahatan karena mereka

menderita degenneracy and innate depravity (kemerosota dan kebirukan bawaan).

Menurut Dugdale, kriminalitas merupakan sifat bawaan yang diwariskan

melalui gen-gen. Dalam bukunya menelusuri riwayat/sejarah keluarga melalui

beberapa generasi. Ia sendiri mempelajari kehidupan lebih dari seribu anggota

satu keluarga yang disebutnya jukes. Ketertarikannya pada keluarga itu dimulai

saat dia menemukan enam orang yang saling berhubungan atau berkaitan di satu

penjara di New York. Mengikuti satu cabang keluarga itu, keturunan dari Ada

Jukes, yang dia sebut sebagai mother of criminals, Dugdale mendapati diantara

seribuan anggota itu 280 orang fakir/miskin, 60 orang pencuri, 7 orang pembunuh,

40 orang penjahat lain, 40 orang penderita penyait kelamin, dan 50 orang pelacur.

Temuan Dugdale diatas mengindikasikan bahwa karena beberapa keluarga

menghasilkan generasi-generasi kriminal, mereka pastilah telah mentransmisikn

suatu sifat bawaan yang merosot/atau rendah sepanjang alur keturunan itu.

f) Moral Development theory

Psikolog Lawrence Kohlberg, Pioneer dari teori perkembangan moral,

menemukan bahwa pemikiran moral tumbuh dalam tiga tahap: pertama,

preconventional stage atau tahap pra-konvensional. Disini aturan moral dan

(21)

hukuman. Menurut teori ini, anak-anak dibawah umur 9 hingga 11 tahun biasanya

berpikir pada tingkat pra-konvensional in.

Remaja biasanya berpikir pada conventional level (tingkatan konvensional).

Pada tingkatan ini, seorang individu menyakini dan mengadopsi nilai-nilai dan

aturan masyarakat. Lebih jauh lagi, mereka berusaha menegakkan aturan-aturan

itu. Mereka misalnya berpikir mencuri itu tidak sah, sehingga saya tidak

seharusnya mencuri dalam kondisi apa pun.

Akhirnya pada postconventional level (tingkatan poskonvensional)

individu-individu secara kritis menguji kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan sosial sesuai

dengan perasaan mereka tentang hak-hak asasi universal, prinsip-prinsip moral,

dan kewajiban-kewajiban. Mereka berpikir orang semestinya mengikuti aturan

hukum, namun prinsip-prinsip etika universal, seperti penghargaan pada hak-hak

asasi manusia dan untuk martabat hidup manusia, menggantikan hukum tertulis

jika keduanya beradu. Tingkat pemukiran moral seperti ini umumnya dapat dilihat

setelah usia 20 tahun.

Menurut Kohberg dan kawan-kawannya, kebanyakan delinquent dan

penjahat berpikir pada tingkatan pra-konvensional. Akan tetapi, perkembangan

moral yang rendah atau tingkatan pra-konvensional saja tidak menyebabkan

kejahatan. Faktor-faktor lainnya, seperti situasi atau tiadanya ikatan sosial yang

penting, mungkin ambil bagian.

Psikolog John Bowlby mempelajari kebutuhan akan kehangatan dan afeksi

(kasih sayang) sejak lahir dan konsekuensi jika tidak mendapat hal itu. Dia

mengajukan theory of attachment (teori kasih sayang) yang terdiri atas tujuh hal

(22)

duration (kasih sayang berlangsung lama dan bertahan); ketiga, enggagement of

emotion (melibatkan emosi); keempat, ontogeny (rangkaian perkembangan, anak

membentuk kasih sayang pada figur utama); kelima, learning (kasih sayang hasil

dari interaksi sosial yang mendasar); keenam, organization (kasih sayang

mengikuti suatu organisasi perkembangan); ketujuh, biologikal function (perilaku

kasih sayang memiliki fungsi biologis, yaitu survival). Menurut Bowlby, orang

yang sudah biasa menjadi penjahat umumnya memiliki ketidakmampuan

membentuk ikatan-ikatan kasih sayang.

Para kriminolog juga menguji pengaruh ketidakhadiran seorang ibu, baik

karena kematian, percerian atau karena ditinggalkan. Apakah ketidakhadirn itu

menyebabkan delinquency? Penelitain empiris msih samar/tidak jelas dalam soal

ini. Namun satu studi terhadap 201 orang yang dilakukan oleh Joan McCord

menyimpulkan bahwa variabel: kasih sayang serta pengawasan ibu yang kurang

cukup, konflik orang tua, kurangnya percaya diri sang ibu, kekerasan ayah secara

signifikan mempunyai hubungan dengan dilakukannya kejahtan terhadap orang

an/atau harta kekayaan. Ketidakhadiran sang ayah tidak dengan sendirinya

berkorelasi dengan tingakah laku kriminal.

g) Social Learning Theory

Teori pembelajaran sosial ini berpendirian bahwa perilaku delinquent

dipelajari melalui proses psikologis yang sama sebagaiman semua prilaku

non-delinquent. Tingkah laku dipelajari jika ia diperkuat atau diberi ganjaran, dan

tidak dipelajari jika ia tidak diperkuat. Ada beberapa jalan kita mempelajari

tingkah laku: melalui observasi (observation), pengalaman langsung (direct

(23)

Menurut Albert Bandura dalam observation learning berpendapat bahwa

individu-individu mempelajari kekerasan dan agresi melalui behavioral modeling:

anak belajar bagaimana bertingkah laku melalui peniruan tingakah laku orang

lain. Jadi tingkah laku secara sosial ditransmisikan melalui contoh-contoh, yang

terutama datang dari keluarga, sub-budaya, dan media massa.

Para psikolog telah mempelajari dampak dari kekerasan keluarga terhadap

anak-anak. Mereka mendapati bahwa orang tua yang mencoba memecahkan

kontroversi-kontroversi keluarganya dengan kekerasan telah mengajari anak-anak

mereka untuk menggunakan taktik serupa (yaitu kekerasan). Jadi melalui

observational learning (belajar melalui pengamatan) satu lingkaran kekerasan

mungkin telah dialirkan terus menerus melalui generasi ke generasi. Tentu saja

menurut teori ini bukan hanya kekerasan dan agresi saja yang dapat dipelajari

dalam situasi keluarga. Diluar keluarga dapat dipelajari dari gang-gang.

Observational learning juga dapat terjadi di depan televisi dan di bioskop.

Anak-anak yang melihat seseorang diberi ganjaran atau dihargai karena melakukan

kekerasan percaya bahwa kekerasan dan agresi merupaka tingkah laku yang

diterima.

Menurut Gerard Patterson dalam direct experience, mereka melihat bahwa

anak-anak yang bermain secara pasif sering menjadi korban anak-anak lainnya

tetapi kadang-kadang berhasil mengatasi sserangan itu dengan agresi balasan.

Dengan berlalunya waktu anak-anak ini belajar membela diri, dn pada akhirnya

mereka memulai perkelahian. Jadi, anak-anak sebagaimana orang dewasa dapat

(24)

Menurut Ernest Burgess dan Ronald Akers, menggambungkan learning

theory dari Bandura yang berdasarkan psikologis dengan teori differential

associantion dari Edwin Sutherland yang berdasarkan sosiologi dan kemudian

menghasilkan teori differebtial association-reinforcement. Menurut teori ini

berlangsung terusnya tingkah laku kriminal tergantung pada apakah ia diberi

penghargaan atau diberi hukuman. Penghargaan dan penghukuman yang paling

berarti adalah yang diberikan oleh kelompok yang sangat penting dalam

kehidupan si individu-kelompok bermain (peer group), keluarga, guru di sekolah,

dan seterusnya. Jika tingkah laku kriminal mendatangkan hasil positif atau

penghargaan maka ia akan terus bertahan.

Seperti yang dijelasan dalam perspektif biologis dan perspetif psikologi

dalam kejahatan bahwa kejiwaan dan moral dan biologis (fisik) merupakan faktor

dari diri pelaku (faktor internal) dalam terjadinya kekerasan seksual pada anak.

Teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari faktor Psikologis dan

Psikiatris (Psikologis Kriminal),98 yang mempelajari ciri-ciri psikis dari para

pelaku kejahatan yang sehat dalam pengertian psikologis. Gangguan mental terdiri

dari psikoses dan neuroses.

Kekesaran seksual yang semakin banyak dilakukan oleh orang dewasa

terhadap anak-anak terjadi karena adanya faktor gangguan mental psikoses

organis yaitu Senile demantia yaitu penderitanya pada umumnya pria yang sudah

lanjut usia dengan kemunduran pada kemampuan fisik dan mental, gangguan

emosional dan kehilangan kontrol terhadap orang lain, menimbulkan tindak

(25)

Gangguan mental Neuroses yang terjadi pada penyebab kekerasan sesual

adalah Obsesional dan Complusive Neuroses yaitu penderitanya memiliki

keinginan atau ide-ide yang tidak rasional dan tidak dapat ditahan. Sering

dikatakan, hal tersebut disebabkan karena adanya keinginan-keinginan (seksual)

yang ditekan disebabkan adanya ketakutan untuk melakkukan keinginan tersebut

(karena adanya norma-norma atau akibat-akibat tertentu).100

Mazhab Mr.Paul Moedikno Moeliono yang menjelaskan bahwa masih ada

penggolongan yang terdiri dari Golongan Salahmu Sendiri dan Golongan Tiada

yang Salah, yaitu:101

a. Golongan Salahmu Sendiri (s.s)

Aliran ini berpendapat bahwa kejahatan timbul disebabkan kemauan

bebas individu (free of the will). Kejahatan timbul sebagai ekspresi tanpa

pessi sesuatu. Karena kejahatan disebabkan oleh kemauan maka perlu

hukuman untuk jangan lagi berbuat jahat.

b. Golongan Tiada Yang Salah (t.o.s)

Aliran ini mengemukakan bahwa sebab-sebabnya kejahatan ialah faktor

herediter biologis (Bonger: aliran antro-pologi), kulturel lingkungan

(Bonger: convergensi bio-sosiologi), perasaan keagamaan (Bonger:

aliran spiritualis). Jadi kejahatan dari ekspresi dari pressi faktor biologis,

kultural bio-sosiologis, spritualis.

100

Ibid., hal 62 101

(26)

1. FAKTOR EKSTERNAL TERJADINYA KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

Faktor eksternal terjadinya kekerasan seksual pada anak yaitu faktor yang

diluar dari diri si anak, dapat berupa lingkungan individu seperti keluarga,

masyarakat, pendidikan, ekonomi, politik dan lain sebagainya.

Menurut Suharto, bahwa kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan

faktor internal dan faktor eksternal, faktor eksternal yang berasal keluarga dan

lingkungan masyarakat seperti:102

1. Kemiskin keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup dan

banyak anak;

2. Keluarga tunggal atau keluarga (broken home), misalnya peceraian, ketiadaan

ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu

memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi;

3. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak,

harapan orang tua yang tidak reallistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted

child), anak yang lahir diluar nikah;

4. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua,

misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan

emosional dan defresi;

5. Sejarah penelantaran anak, orang tua yang merasa kecilnya mengalami

perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya;

6. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya

tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi,

102

(27)

pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham

ekonomi upah, lemahnya perangakat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol

sosial yang stabil.

Sementara itu, Rusmil menjelaskan bahwa penyebab atau resiko terjadinya

kekerasan dan penelantaran terhadap anak yang terdiri fari faktor orang

tua/keluarga dan faktor lingkungan sosial/komunikasi, yaitu:103

1. Faktor orang tua/kelurga

Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan

penelantaran pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua/keluarga

melakukan kekerasan pada anak antara lain:

a) Praktek-praktek budaya yang merugikan anak, seperti kepatuhan anak kepada

orang tua dan hubungan asimetris;

b) Dibesarka dengan penganiayaan;

c) Gangguan mental;

d) Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka

yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun;

e) Pecandu minuman keras atau obat.

2. Faktor lingkungan sosial/komonitas

Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan

pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan dan

penelantaran pada anak diantaranya:

a) Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis;

103

(28)

b) Kondisi sosial ekonomi yang rendah;

c) Adanya nilai dalam masyarat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri;

d) Status wanita yang dipandang rendah;

e) Sistem keluarga patriarkal;

f) Nilai masyarakat yang terlalu individualistis.

Kemudian Moore dan Parton menjelaskan bahwa mereka yang berpendapat

bahwa perspektif sosial lebih penting mempunyai argumentasi bahwa seorang

individu tidak mungkin dapat dipahami tanpa memahami konteks sosialnya.

Dalam kasus kekerasan, mungkin saja terjadi karena seseorang tidak mempunyai

jaringan sosial yang memuaskan, yang tidak cukup mendukung dalam

menghadapi masalah, atau juga mungkin ketidakpuasannya melihat struktur sosial

dimana ia berada pada strata yang kurang beruntung. Hubungan perkawinan

suami-istri tindakan kekeraasan terhadap anak. Semua faktor sosial ini

mempengaruhi perilaku individu.104

Sedangkan menurut Richard J. Gelles bahwa kekerasan terhadap

anakmerupakan kombinasi dari berbagai faktor: personal (internal), sosial dan

kultur yaitu:105

1) Stres sosial

Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatan resiko

kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup:

pengangguran (un-employment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk

(poor housing conditions), ukuran kelahiran besar dari rata-rata (the presence of a

104

Ibid.,hal 52 105

(29)

new baby), orang cacat (disable person) dirumah, dan kematian (the death)

seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan

kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan

(poverty). Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas

menengah dan kaya, tetepi tindakan yang dilaporkan lebih banyak diantara

keluarga miskin karena beberapa alasan. Keluarga-keluarga yang lebih kaya

memiliki waktu yang lebih mudah menyembunyikan tindakan tindakan kekerasan

karena memiliki hubungan yang kurang dengan lembaga-lembaga sosial

dibandingkan keluarga miskin. Selain itu, pekerja sosial, dokter, dan sebagainya

yang melaporkan tindakan kekerasan secara subjektif sering memberikan label

kepada anak keluarga miskin sebagai korban tindakan kekerasan dibandingkan

dengan anak dari keluarga kaya.

Penggunaan alkohol dan narkoba diantara orang tua yang melakukan

tindakan kekerasan mungkin memperbesar stres dan merangsang perilaku

kekerasan. Karakteristik tertentu dari anak-anak, seperti: kelemahan mental, atau

kecacatan perkembangan atau fisik juga meningkatkan stres dari orang tua dan

meningkatkan resiko tindakan kekerasan.

2) Isolasi sosial dan keterlibatan masyarakat bawah

Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan kekerasan

terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang

bertindak keras ikut serta dalam hubungan yang sedikit dengan teman atau

kerabat. Kekurangan keterlibatan sosial ini menghilangkan sistem dukungan dari

orang tua yang bertindak keras, yang akan membatu mereka mengatasi stres

(30)

masyarkat menjadikan para orang tua ini kurang memungkinkan mengubah

perilaku mereka sesuai dengan nilai-nilai dan standar-standar masyarakat.

Faktor kultural sering menentukan jumlah dukungan masyarakat yang akan

diterima suatu keluarga. Pada budaya dengan tingkat kekerasan terhadap anak

yang rendah, perawatan anak biasanya dianggap sebagai tanggungjawab

masyarakat, yaitu: tetangga, kerabat, dan teman-teman membantu perawatan anak

apabila orang tua tidak bersedia atau tidak sanggup.

3) Struktur keluarga

Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki resiko yang meningkat untuk

melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya. Orang tua

tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak

dibandingakan dengan orang tua utuh. Karena keluarga dengan orang tau tunggal

biasanya berpendapat lebih kecil dibandingkan keluarga lain, sehingga hal

tersebut dapat dikatakan sebagai penyebab meningkatnya tindakan kekerasan

terhadap anak. Keluarga-keluarga yang sering bertengkar secara kronis atau istri

yang diperlakukan salah mempunyai tingkat tindakan kekerasan terhadap yang

lebih tinggi dengan keluarga yang tanpa masalah. Selain itu,

keluarga-keluarga yang dimana baik suami atau istri mndominasi didalam membuat

keputusan penting, seperti: dimana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau

diambil, bilamana mempunyai anak, dan berapa banyak uang yang dibelanjakan

untuk makan dan perumahan mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang

lebih tinggi dibandingakan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama

bertanggungjawab atas keputusan-keputusan tersebut.106

106

(31)

Kemiskinan yang seringkali bergandengan dengan rendahnya tingkat

pendidikan, pengangguran dan tekanan mental umumnya dapat dipandang sebagai

faktor dominan terjadinya kasus kekerasan terhadap anak. Lemahnya penegakan

hukum dan praktek budaya bisa pula berdampak pada fenomena kekerasan

terhadap anak.

Penyebab terjadinya kejahatan perkosaan sendiri diakibatkan oleh beberapa

faktor, diantaranya sebagai berikut:107

1. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika

berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk

berbuat tidak senonoh dan jahat;

2. Gaya hidup atau mode pergaulan diantara laki-lai dengan perempuan yang

semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang

seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan

kaedah akhlak mengenai hubungan lai-laki dengan perempuan;

3. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan

yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagaman yang semakin terkikis

di masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin meniadakan

peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat

dan merugikan orang lain;

4. Tingkat kontol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai

perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma

keagamaan kurang mendapatkan responsi dan pengawasan dari unsur-unsur

masyarakat;

107

(32)

5. Putusan hakim yang merasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang

dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong

anggota-anggotanya masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka

yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang

akan diterimanya.

Faktor eksternal merupakan faktor yang dilihat dari luar Pelaku

pemerkosaan. Pada faktor eksternal ini melihat suatu kejahatan dari luar diri si

pelaku, yang dijelaskan dalam teori-teori kriminologi dari perspektif sosiologis.

Teori-teori dari perspektif biologis dan psikologis diatas sama-sama

memiliki asumsi bahwa tingkah laku kriminal disebabkan oleh beberapa kondisi

fisik dan mental yang mendasari memisahkan penjahat dan bukan bukan penjahat.

Mencari, mencoba mengidentifikasi macam manusia mana yang menjadi penjahat

dan mana yang bukan. Teori-teori tersebut menjelajah kepada kasus-kasus

individu, tetapi tidak menjelaskan mengapa angka kejahatan berbeda antara satu

daerah dengan daerah lain, antara satu kelompok dengan kelompok lain, di dalam

satu wilayah yang luas, atau di dalam kelompok-kelompok individual.

Berbeda dengan teori-teori tersebut diatas, teori-teori sosiologis mencari

alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan didalam lingkungan sosial.

Teori-teori ini dapat dikelompokan menjadi tiga ketegori umum, yaitu: strain,

cultural deviance (penyimpangan budaya), dan social control (kontrol sosial).

Perspektif strain dan penyimpangan budaya, terbentuk antara 1925 dan

1940 dan masih populer hingga hari ini, memberi landasan bagi teori-teori

sub-kultural. Teori-teori strain dan penyimpangan budaya memusnahkan perhatian

(33)

melaporkan melakukan aktivitas kriminal. Sebaliknya, teori kontrol sosial

mempunyai pendekatan berbeda: teori ini berdasarkan satu asumsi bahwa

motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai

konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa

orang tidak melakukan kejahatan. Teori-teori kontrol sosial mengkaji kemampuan

kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturan efektif.

a) Anomie: Emile Durkhem

Satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan melihat pada

bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing-masing

berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain, kita melihat melihat kepada

struktur dari suatu masyarakat guna melihat bagaimana ia berfungsi. Jika

masyarakat stabil, bagian-bagiannya beroperasi secara lancar, susunan-susunan

sosial berfungsi. Masyarakat seperti itu ditandai oleh kepaduan, kerja sama, dan

kesepakatan. Namun, jika bagian-bagian keponennya tertata dalam satu keadaan

yang membahayakan keteraturan/ketertiban sosial, susunan masyarakat itu disebut

dsyfunctional (tidak berfungsi). Sebagai analogi, jika kita melihat sebuah jam

dengan seluruh bagian-bagiannya sangat sinkron. Ia berfungsi dengan tepat. Ia

menunjukan waktu dengan akurat. Namun jika satu pernya yang kecil itu rusak,

keseluruhan mekanisme tidak lagi berfungsi secara baik. Demikianlah perspektif

strucrural functionalist yang dikembangakan oleh Emile Durkheim sebelum lahir

akhir abad ke-19.

Hasil karya Durkheim di atas patut dicatat karena dikemukakan pada masa

dimana di mana dunia ilmu pengetahuan tengah mencari abnormalitas si penjahat,

(34)

manusia) tidak terletak pada diri si individu, tetepi terletak pada kelompok dan

organisasi sosial. Dalam konteks inilah Durkheim memperkenalkan istilah nomie

(hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat dari hilangnya patokan-patokan dan

nilai-nilai).

Durkheim menyakini bahwa jika suatu masyarakat sederhan berkembang

menuju satu masyarakat yang modern dan kota maka kedekatan (intimacy) yang

dibutuhkan untuk melanjutkan satu set norma-norma umum (a common set of

rules) akan merosot. Kelompok-kelompok menjadi terpisah-pisah, dan dalam

ketiadaan satu orang di satu sektor mungkin bertentangan dengan tindakan dan

harapan orang lain. Dengan tidak dapat diperediksinya perilaku, sistem tersebut

secara bertahap akan runtuh, dan masyarakat itu berada dalam kondisi anomie.

b) Strain Theory: Robert K. Merton

Merton mengaitkan masalah kejahatan dengan anomie. Tetapi konsepasi

Merton tentang anomie agak berbeda dengan konsepsi anomie dari Durkheim.

Masalah sesungguhnya tidak diciptakan oleh sudden social change (perubahan

sosial yang cepat) tetapi oleh social structure (struktur sosial) yang menawarkan

tujuan-tujuan yang sama untuk semua anggotanya tanpa memberi sarana yang

merata untuk mencapainya. Kekurangpaduan antara apa yang diminta oleh budaya

(yang mendorong kesuksesan), dapat menyebabkan norma-norma runtuh karena

tidak lagi effetif untuk membimbing tingkah laku. Merton meminjam istilah

anomie dari Durkheim guna menjelaskan keruntuhan dari sistem norma ini.108

108

(35)

3. Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak

Pemerkosaan anak oleh ayah kandung, saudara laki-laki, tetangga, teman

merupakan penderitaan anak yang tidak bisa terhapus dalam kehidupan

selanjutnya. Peristiwa perkosaan maupun bentuk kekerasan seksual lain terhadap

anak yang sering dilakukan oleh orang-orang dekat dinilai sudah memasuki tahap

yang memperhatinkan.109

Masyarakat pada umumya tidak menyadari luasnya pengaruh child abuse

ini, untuk melihat kompleksitas masalah yang dihadapi sebagai akibat dari

pengaruh child abuse ini dapat dilihat dari beberapa pendapat pakar berikut ini.

Menurut Rusmili, mengemukakan bahwa anak-anak yang menderita

kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan penelantaran menghadapi resiko:110

a) Usia yang lebih pendek;

b) Kesehatan fisik da mental yang buruk;

c) Masalah pendidikan (termasuk dropt-out dari sekolah);

d) Kemampuan yang terbatas sebagai orang tua kelak;

e) Menjadi gelandangan.

Sementara itu Suharto menyimpulkan bahwa kekerasan dapat menyebabkan

anak kehilangan hal-hal yang paling kendasar dalam kehidupannya dan pada

gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak di kemudian hari, antara

lain:111

1) Cacat tubuh permanen;

2) Kegagalan belajar;

109

Sri Esti Wuryani Djiwandono, loc. Cit 110

Abu Huraerah, op.cit. hal 56 111

(36)

3) Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan kepribadian;

4) Konsep diri yang buruk dan ketidakmampua untuk mempercayai atau

mencintai orang lain;

5) Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan baru

dengan orang lain;

6) Agrsif dn kadang-kadang melakukan tindakan kriminal;

7) Menjadi penganiaya ketika dewasa;

8) Menggunakan obat-obat atau alkohol;

9) Kematian.

Sedangkan Richard J. Gelles112 menjelaskan bahwa konsekuensi dari

tindakan kekerasan dan penelantaran anak dapat menimbulkan kerusakan dan

akibat yang lebih luas (far-reaching). Luka-luka fisik seperti: memar-memar

(bruises), goresan-goresan (scrapes), dan luka bakar (burns) hingga kerusakan

otak (brain damage), cacat permanen (permanent disabilities), dan kematian

(death). Efek psikologis pada anak korban kekerasan dan penganiayaan bisa

seumur hidup, seperti: rasa harga diri rendah (a lowered sense of self-worth),

ketidakmampuan berhubungan dengan teman sebaya (aninability to relate to

peers), masa perhatian tereduksi (reduced attention span), gangguan belajar

(learning disorders). Dalam beberapa kasus, kekerasan dapat mengakibatkan

gangguan-gangguan kejiwaan (psychiatric disorders), seperti: depresi

(depressian), kecemasan berlebihan (excessive anxiety) atau gangguan identitas

disosiatif (dissociative identity disorder), dan juga bertambahnya resiko bunuh

diri (suicide).

112

(37)

Gambaran yang lebih jelas tentang efek tindakan kekerasan pada anak juga

bisa dilihat dari penjelasan Moore dalam Fentini Nugroho yang mengamati

beberapa kasus anak yang menjadi korban penganiayaan fisik. Diungkapkannya

bahwa efek tindakan kekerasan tersebut demikian luas dan secara umum dapat

diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada yang menjadi negatif dan agresif

serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak

mempunyai kepribadian sendiri, apa yang dilakukan sepanjang hidupnya hanyalah

memenuhi keinginan orangtuanya, mereka tidak mampu menghargai dirinya

sendiri; ada pula yang sulit menjalin relasi dengan individu lain; dan yang

tampaknya paling parah adalah timbulnya rasa benci yang luar biasa terhadap

dirinya karena merasa hanya dirinyalah yang selalu bersalah sehingga

menyebabkan penyiksaan terhadap dirinya, dan rasa benci terhadap dirinya sendiri

ini menimbulkan tindakan untuk menyakiti dirinya sendiri seperti bunuh diri dan

sebagainya. Selain akibat psikologis tersebut, Moore juga menemukan adanya

kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh yang kurang normal, juga rusaknya

sistem saraf, dan sebagainya. Dari uraian di atas terlihat bahwa dampak dari

tindakan kekerasan terhadap anak begitu menggenaskan. Mungkin belum banyak

orang menyadari bahwa pemukulan bersifat fisik itu bisa menyebabkan kerusakan

emosional anak.113

Ciri-ciri umum anak yang mengalami kekerasan seksual (sexual abuse)

dalam penjelasan Charles Zastrow dalam Suharto (2003), studi yang dilakukan

Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur bekerja sama dengan UNICEF

(2000), berhasil mengungkapkan bahwa seeringkali pelaku tindak perkosan

113

(38)

adalah orang yang sudah dikenal korban, baik itu tetangga, saudara, kerabat, guru,

atau bahkan kakek atau ayah kandung korban, yakni: 114

1. Tanda-tanda perilaku

a) Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku: dari bahagia ke depresi

atau permusuhan, dari bersahabat ke isolasi, atau dari komunikatif ke

penuh rahasia.

b) Perilaku ekstrim: perilaku yang secara komparatif lebih agresif atau pasif

dari teman yang lama.

c) Gangguan tidur: takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam

waktu yang lama atau mimpi buruk.

d) Perilaku regresif: kembali pada perilaku awal perkembangan anak

tersebut, seperti ngompol, mengisap jempol, dan sebagainya.

e) Perilaku anti-sosial atau nakal: bermain api, mengganggu anak lain atau

binatang, tindakan-tindakan merusak.

f) Perilaku menghindar: takut akan, atau menghindar dari orang tertentu

(orangtua, kakak, saudara lain, tetangga, pengasuh), lari dari rumah,

nakal atau membolos sekolah.

g) Perilaku seksual yang tidak pantas: masturbasi berlebihan, berbahasa atau

bertingkah porno melebihi usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang

lebih muda, menggambar porno.

h) Penyalahgunaan NAPZA: alkohol atau obat terlarang khususnya pada

anak remaja.

114

(39)

i) Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri: merusak diri sendiri,

gangguan makan, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan berisiko tinggi,

percobaan atau melakukan bunuh diri

2. Tanda-tanda kognisi

a) Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan mengkhayal, fokus

perhatian singkat/terpecah;

b) Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap pekerjaan

sekolah dibandingkan dengan sebelumnya;

c) Respon/reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan tiba-tiba dan

oranglain dalam jarak dekat.

3. Tanda-tanda sosial-emosional

a) Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga;

b) Menarik diri: mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam khayalan atau ke

bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan;

c) Depresi tanpa penyebab jelas: perasaan tanpa harapan dan

ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri;

d) Ketakuan berlebihan: kecemasan, hilang kepercayaan terhadap oranglain;

e) Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang seperti

sebelumnya atau sebagaimana dialami oleh teman sebayanya.

4. Tanda-tanda fisik

a) Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut,

tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara

(40)

b) Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kemaluan: pada

vagina, penis, atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri

atau gatal-gatal di seputar alat kelamin; dan

c) Hamil.

Dampak dari perkosaan dapat berupa:115

a) Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi berharga akibat

kehilangan keperawanan (kesucian) dimata masyarakat, calon suami,

atau pihak-pihak lain yang terkait dengannya. Penderitaan psikologis

lainnya dapat berupa kegelisahan, kehilangan rasa percaya diri, tidal lagi

ceria, sering menutup diri atau menjauhi kehidupan ramai, tumbuh rasa

benci (antipati) terhadap lawan jenis dan curiga berebihan terhadap

pihak-pihak lain yang bermaksud baik padanya;

b) Kehamilan yang dimungkinkan dapat terjadi, hal ini dapat berakibat

lebih fatal lagi apabila janin yang ada tumbuh menjadi besar (tidak ada

keinginan untuk diabortuskan). Artinya anak yang dilahirkan tidak

memiliki kejelasan statusnya secara yuridis dan norma keagamaan;

c) Penderitaan fisik, artinya akibat perkosaan itu akan menimbulkan luka

pada diri korban. Luka ini bukan hanya terkait pada alat vital (kelamin

perempuan) yang robek, namun tidak menutup kemungkinan ada organ

tubuh lainnya yang luka bilamana korban lebih dulu melakukan

perlawana dengan keras sekaligus mendorong pelakunya untuk berbuat

lebih kasar dan kejam guna penaklukkan perlawanan dari korban.

115

(41)

d) Tumbuh rasa kurang percayaan pada penanganan aparat praktisi hukum,

bilamana kasus yang ditanganinya lebih banyak menyita perhatiannya,

sedangkan penangan kepada tersangaka terkesan kurang

sungguh-sungguh. Korban merasa diperlakukan secara diskriminasi dan

dikondisikan makin menderita kewijaannya atau lemah mentalnya akibat

ditekan secara terus menerus oleh proses penyelesaian perkara yang

tidak kunjung berakhir.

e) Korban yang dihadapkan pada situasi sulit seperrti tidak lagi merasa

berharga di mata masyarakat, keluarga, calon suami dapat saja

terjerumus daam dunia prostitusi. Artinya, tempat pelacuran dijadikan

sebagai tempat pelampiasan diri untuk membalas dendam pada laki-laki

(42)

BAB IV

PERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DALAM PERLINDUNGAN ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

DALAM LINGKUNGAN KELUARGA

1. Fungsi Lembaga Dan Pranata Hukum Dalam Perlindungan Korban Pada hakikatnya, perlindungan terhadap korba sebagai janji-janji hukum

oleh sistem peradilan pidana berusaha mewujudkan fungsi primer hukum yang

sebagaimana diungapkan oleh I.S. Susanto dalam tiga hal, yaitu:116

1) Perlindungan, hukum berfungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman

bahaya dan tindakan yang merugikan dari sesama dan kelompok masyarakat

termasuk yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan (pemerintah dan

negara) dan yang datang dari luar, yang ditujukan terhadap fisik, jiwa,

kesehatan, nilai-nilai, dan hak asasinya.

2) Keadilan, hukum menjaga, melindungi dari keadilan bagi seluruh rakyat.

Secara negatif dapat dikatakan bahwa hukum yang tidak adil yaitu apabila

hukum yang bersangkutan dipandang melanggar nilai-nilai dan hak-hak

yang dipercayai harus dijaga dan dilindungi bagi semua orang.

3) Pembangunan, hukum dipakai sebagai kendaraan baik dalam menentukan

arah, tujuan, dan pelaksanaan pembangunan secara adil. Artinya, hukum

sekaligus digunakan sebagai alat pembangunan namun juga sebagai alat

kontrol agar prmbangunan dilaksanakan secara adil.

Edmond Canh menganjurkan bahwa dalam rangka memberikan

perlindungan bagi pihak-pihak yang harus dillindungi hukum yang disebut

116

Maya Indah S, Perlindungan Korban (Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi),

(Kencana Prenadamedia Group, Jakarta: 2014), hal 71, lihat I.S.Susanto,Kejahatan Korporasi,

Referensi

Dokumen terkait

Disamping itu dalam undang-undang ini diamanatkan adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang mandiri untuk menetukan pemberian perlindungan dan

Meskipun LPSK sebagai lembaga yang secara nyata sudah mempunyai mandat untuk melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban dan menjalankan peranannya dalam keseluruhan

4) Ketentuan saksi pidana terhadap pelaku tindak kekerasan seksual anak di bawah umur sangat penting dalam mencegah dan mengurangi kasus-kasus yang sering terjadi.

Fungsi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang tersebar dalam Undang- Undang No 13 Tahun 2006, yaitu, Menerima permohonan saksi dan korban untuk perlindungan (Pasal 29),

Bentuk perlindungan yang paling utama diperlukan oleh korban kejahatan dan yang harus diberikan oleh LPSK sebagai bentuk pelayanan terhadap korban adalah sebagaimana yang dirumuskan

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa

Ismantoro Dwi Yuwono,.. Serangan dilakukan dengan kekerassan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologi, penyalahgunaan kekeuasaan atau dengan mengambil kesempatan

Berbagai upaya perlindungan telah dilakukan oleh Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai Lembaga Negara yang memberikan perhatian serius