• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Lingkungan Keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Lingkungan Keluarga"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Anak adalah mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sejak dalam kandungan anak sudah mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.1 Anak adalah generasi penerus bangsa Indonesia, mempunyai hak dan kewajiban serta mampu membangun negara dan bangsa Indonesia. Anak adalah modal pembangunan yang akan memelihara dan mempertahankan pengembangan bangsa.2 Oleh sebab itu, anak harus dijaga dan diperlakukan dengan baik supaya masa depan anak yang gemilang dan mampu meraih cita-citaya. Mengigat pentingnya peran anak, hak anak secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang Dasar yang menyatakan bahwa negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat dengan demikian maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.3 Namun, dalam kenyataannya sering tidak sesuai, anak sebagai pihak yang lemah sering mendapatkan perlakuan kekerasan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mendapatkan keuntungan yang sampai melanggar hak anak yang harus terima sebagai manusia.

1

Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak (Jakarta:Restu Agung, 2007), hal.1.

2

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Jakarta:Akademi Pressindo, 1985) hal. 123.

3

(2)

Kekerasan terhadap anak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab merupakan masalah setiap negara. Di Indonesia kasus kekerasan seksual setiap tahunnya mengalami peningkatan. Korban bukan hanya dari kalangan dewasa saja namun sekarang sudah merambah ke remaja, anak-anak bahkan balita.

Anak perempuan banyak menjadi korban karena pelaku merasa lebih aman untuk melakukan perbuatannya karena cenderung dilandasi kondisi sosial kultural masyarakat yang masih menganggap rendah keberadaan perempuan dan anak.4

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2011 saja telah terjadi 2.275 kasus kekerasan terhadap anak, 887 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual anak. Pada tahun 2012 kekerasan terhadap anak telah terjadi 3.871 kasus, 1.028 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual terhadap anak. Tahun 2013, dari 2.637 kekerasan terhadap anak, 48 persennya atau sekitar 1.266 merupakan kekerasan seksual pada anak.5 Berdasarkan data Komnas Perempuan, memaparkan bahwa tahun 2015 lalu ada sekitar 6.499 kasus kekerasan seksual, termasuk kepada anak-anak. Dan untuk tahun 2016 KPAI mengklaim adanya kenaikan tingkat kekerasan pada anak.6 Jadi, dengan melihat melihat data diatas tidaklah berlebihan apabila Komnas Perlindungan Anak telah mencanagkan Indonesia darurat kekerasan seksual pada anak.

Padahal anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dimana dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak juga memiliki hak asasi manusia yang diakui oleh masyarakat

4

Sri Esti Wuryani Djiwandono, Konseling Dan Terapi Dengan Anak Dan Orang Tua, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005) hal 87.

5

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) (On-Line), tersedia dihttp://bakohumas.kominfo.go.id, diakses pada 7 Mei 2014

6

Kasus kekerasan terhadap anala (on-line) tersedia di

(3)

bangsa di dunia. Diakui dalam masa pertumbuhan secara fisik dan mental, anak membutuhkan perawatan, perlindungan yang khusus, serta perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah lahir.

Patut diakui bahwa keluarga merupakan lingkungan alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan anak. Perkembangan kepribadian anak secara utuh dan serasi membutuhkan lingkungan keluarga yang bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian.7 Namun ironisnya, menurut hasil monitoring dan evaluasi KPAI di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6 persen di lingkungan sekolah dan 17.9 persen di lingkungan masyarakat.8 Termasuk di dalamnya kekerasan seksual pada anak. Jadi anggapan yang menyatakan bahawa kekerasan seksual pada anak itu sering terjadi saat anak di luar pengawasan keluarga dan lingkungan pendidikan itu salah. Karena pada faktanya anak rentan menjadi korban kekerasan seksual justru di lingkungan rumah dan sekolah. Lingkungan yang mengenal anak-anak tersebut cukup dekat. Yang artinya, pelaku kekerasan pada anak justru lebih banyak berasal dari kalangan yang dekat dengan anak. Pelecehan seksual terhadap anak kebanyakan terjadi di rumah sendiri dengan pelaku keluarga dekat dan kenalan-kenalan keluarga.9

Dalam kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak diatas, mereka merupakan pihak yang lemah baik secara kejiwaan, fisik dan mental. Yang

7

Keluarga (on-line) tersedia di

http://www.depkes.go.id/article/view/16040400003/menkes-mari-bersama-sukseskan-germas-dan-keluarga-sehat.htm

8

Kekerasan terhadap anak meningkat (on-line) tersedia di

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat

9

(4)

seharusnya anak mendapatkan perlindungan, pengawasan dan kasih sayang dari orang tua, keluarga dan orang-orang disekelilingnya.

Masalah kekerasan seksual di Indonesia, khususnya terhadap anak perlu mendapatkan perhatian lebih intensif dan serius lagi. Hal ini mengingat, terdapat kecenderungan bahwa korban anak sering terabaikan oleh lembaga-lembaga kompeten dalam sistem peradilan pidana yang seharusnya memberikan perhatian dan perlindungan yang cukup berdasarkan hukum. Hal tersebut tidak seharusnya terjadi mengigat korban tetap mempunyai hak untuk diperlakukan adil dan dilindungi hak-haknya.10

Pada 25 Mei 2016 presiden Joko Widodo menandatangani Perpu Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 23 Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Untuk kepentingan perlindungan terjadinya kekerasan terhadap anak yang semakin meningkat secara signifikan.

Menurut presiden, kejahatan seksual terhadap anak merupakan ancaman yang membahayakan jiwa anak sekaligus telah mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat. Untuk mencapai perlindungan anak korban kekerasan seksual dalam lingkungan keluarga sebagaiman yang dimaksud dalam Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tenang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban diperlukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat secara melembaga.

10

(5)

Siapapun orangnya menjadi korban kejahatan seksual tiddak pernah diinginkannya apalagi jika pelaku kekerasan seksual adalah orang dalam lingkunga keluarga sendiri. KUHP melarang dan memberi ancaman bagi orang dewasa (orang tua) melakukan perbuatan cabul kepada anak di bawah asuhannya. KUHP menggolongkan anak dibawah asuhan orang tua,11 yaitu:

a. Anak kandung; b. Anak tiri; c. Anak punggut; d. Anak peliharaan;

e. Anak yang dipercayakan kepada orang tua untuk ditnggung, dididik dan dijaga;

f. Bujangan/perawan yang berada di bawah asuhannya yang belum dewasa. Keenam golongan anak asuh tersebut oleh KUHP dilarang dicabuli oleh orang dewasa atau orang tua yang mengasuhnya. Kekerasan anak secara seksual dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih dewasa maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang yang lebih dewasa.12

Menurut Rita Serena Kalibonso, jika pelaku memiliki hubungan keluarga dengan korban, apalagi ia adalah ayah korban sendiri, makin sulit untuk menjangkau korban apalagi memprosesnya secara hukum. Orang tau cenderung menjaga korban untuk tidak menjalani proses hukum, ibu korban tidak dapat diharapkan untuk membantu karena takut kepada suami dan keluarga. Padahal

11

Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2015) h.34-35.

12

(6)

dalam proses hukum seorang anak yang berusia kurang dari 12 tahun harus didampingi orang tua atau wali.13 Dalam kasus hubungan sedarah (incest) yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anak perempuannya, pelaku mengancam tidak menafkahi keluarganya atau bahkan akan menceraikan ibu korban.14

Kendala dalam penghapusan kekerasan seksual dalam lingkungan keluarga salah satunya adalah masih adanya anggapan dalam masyarakat yang menganggap kekerasan dalam lingkungan keluarga adalah aib yang harus ditutupi.15

Yang dimaksud dengan perlindungan disini adalah perlindungan terhadap macam-macam victimisasi yang dapat menyebabkan adanya penderitaan mental, fisik dan sosial pada seseorang. Selain itu perlindungan pada korban untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan manusiawi.16 Semakin banyaknya anak korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarganya sendiri semakin memperhatinkan dan tidak adanya tindak lanjut dari masalah tersebut membuat anak yang menjadi korban kian bertambah, serta kurangnya peran kelurga untuk melindungi anaknya membuat anak dalam situasi yang sulit karena tidak memiliki tempat berlindung.

Dalam rangka melaksanakan pembaharuan tarhadap pemenuhan hak asasi dan perlindungan hukum bagi para korban kejahatan kekerasan termasuk korban kekerasan seksual maka dibentuklah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau di singkat LPSK adalah lembaga independen indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tenang Perubahan Atas

13

Mein Rukmini, Op.cit., hal 2.

14

Sri Esti Wuryani Djiwandono, loc. cit

15

Rena Yulia, VICTIMOLOGI: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010) Hal 3.

16

(7)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan perlindungan saksi dan korban.

Latar belakang berdirinya Lembag Perlindungan Saksi dan Korban adalah karena keberadaan saksi dan korban kurang mendapatkan perhatian, belum adanya yang mengatur dan menjamin hak-hak saksi dan korban dan dorongan untuk melindungi saksi dan korban terhadap pelanggaran ham yang semakin tinggi.

Keberadaan LPSK sebagai lembaga yang menangani perlindungan terhadap saksi dan korban, setidaknya memberikan angin segar bagi masyarakat yang menjadi korban pelanggaran hak asasi atau tindak kejahatan, termasuk kejahatan kekerasan seksual untuk lebih berani dan berperan dengan mengungkapkan kronologi peristiwa yang dialaminya dan tindak pidana yang kerap kali terjadi bahkan di lingkungan yang tidak diduga akan terjadi usaha untuk merendahkan nilai-nilai dan martabat kemanusiaan dengan kekerasan sseksual seperti dalam lingkungan keluarga sendiri.

(8)

Dengan adanya peraturan perundang-undangan dan lembaga perlindungan hukum terhadap anak yang telah ada, maka pemerintah dalam memberikan kepastian hukum dan tertib hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan menjatuhkan hukuman yang berat terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, supaya pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak jera terhadap hukuman yang berlaku.

Indonesia merupakan negara hukum yang menganut paham rule of law, untuk itu Indonesia perlu melakukan pelaksanaan konsep-konsep negara hukum khususnya perlindungan hukum terhadap anak. Salah satu bentuknya dengan dicantumkannya perlindungan hukum terhadap anak pasal 28 B butir 217 yang

berbunyi “setiap anak berhak atas tumbuh dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Menyadari bahwa anak merupakan bagian yang sangat penting bagi kelangsungan dan kualitas hidup serta masa depan bangsa, sudah seharusnya kejahatan terhadap kekerasn seksual terhadap anak dalam lingkungan keluarga segera ditanggulangi secara memadai karena korban sangat membutuhkan perlindungan demi pemenuhan hak asasi manusia yang dimilikinya sejak lahir,

maka penulis mengangkat judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Lembaga

Perlindangan Sksi Dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Anak Korban

Kekerasan Seksual Dalam Lingkungan Keluarga”.

17

(9)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana peraturan hukum tentang perlindungan anak korban kekerasan seksual dalam lingkungan keluarga?

2. Apa-apa saja Faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak dalam lingkungan keluarga?

3. Bagaimana peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam melindungi anak korban kekerasan seksual dalam lingkungan keluarga? C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang diatas, adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah, antara lain:

1. Untuk mengetahui begaimana ketentuan pengaturan hukum terhadap kekerasan seksual terhadap anak dalam lingkungan keluarga.

2. Untuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak dalam lingkungan keluarga.

3. Untuk menganalisis peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam perlindungan anak korban kekerasan seksual dalam lingkungan keluarga.

D. Manfaat Penulisan 1. Secara Teoritis

(10)

korban kekerasan seksual dalam lingkungan keluarga, juga diharapkan memberikan sumbangsih terhadap kalangan akademika, serta para ilmuwan lainnya.

2. Secara Praktis

Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk aparat penegak hukum dan pemeritah sehingga dapat memperhatikan hak-hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual dalam lingkungan keluarganya dan juga masalah bantuan hukum kepada korban yang tidak mampu dan buta hukum. Penulisan ini juga diharapkan bermanfaat untuk masyarakat agar dapat memahami tentang kejahatan kekerasan seksual pada anak sehingga nantinya dapat melakukan tindakan pencegahan timbulnya tindal pidana kekerasan seksual pada anak dalam lingkungan keluarga agar terwujudnya perlindungan yang optimal terhadap anak.

E. Keaslian Penulisan

Judul skripsi “Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Lembaga Perlindangan Sksi

(11)

internet, dan sepanjang itu tidak pernah penulis temukan kemiripan yang sangat mendasar dengan penulis lain. Judul penulisan skripsi sekalipun ada yang hampir sama, hal itu berada diluar pengetahuan penulis dan substansinya jelas berbeda dengan substansi dari skripsi ini. Pengangkatan permasalah dalam skripsi ini juga merni merupakan hasil pemikiran penulis berdasarkan problematika yang sering terjadi di kehidupan sekarang, maupun dari media-media yang pernah penulis baca. oleh karena itu, tidak ada yang dapat dijadikan dasar bahwa skripsi ini merupakan hasil plagiat dari karya ilmiah lain, sehigga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F.Tinjauan Kepustakaan

Adapun tujuan kepustakaan tentang skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Pengertian Batas Usia Anak menurut Hukum Positif

Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai anak dibawah umur. Yang dimaksud dengan batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum. Di Indonesia pengertian mengenai usia anak berbeda jika dilihat menurut Hukum Adat, Hukum Perdata, Hukum Pidana dan menurut peraturan perundang-undangan lainnya.

a. Menurut Hukum Adat

(12)

biasa dilakukan oleh orang yang sudah dewasa. Oleh karena itu didalam hukum adat tidak ada mengatur batas umur seseorang dikatakan sudah dewasa atau belum.18

Pendapat sarjana tentang syarat-syarat dibawah umur menurut hukum adat, yaitu:19

1) Ter Haar

Menurutnya seseorang sudah dewasa menurut hukum adat didalam persekutuan hukum yang kecil adalah pada saat seseorang baik perempuan maupun laki-laki apabila dia sudah kawin dan di samping itu telah meninggalkan rumah orang tuanya maupun rumah mertuanya dan pergi pindah mendirikan kehidupan rumah keluarganya sendiri.

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, unsur-unsur dibawah umur atau tidak adalah:

a) Belum kawin

b) Belum pindah dari rumah orang tua c) Belum mendirikan rumah keluarga sendiri 2) Suepomo

a) Belum kuat gawe (belum mampu bekerja secara mandiri tanpa bantuan orang lain)

b) Belum cakap mengurus harta benda dan keperluan sendiri

c) Belum cakap melakukan segala tata cara pergaulan hidup dalam masyarakat termasuk mempertanggungjawabkannya.

b. Menurut Hukum Perdata

18

Malam Ginting, Diktat Hukum Adat. Medan: hal 12.

19

(13)

Mengenai pengertian anak dibawah umur (belum dewasa) tercantum dalam berada didalam kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian tiga, empat, ke-lima dan ke-enam bab ini.”20

Dari penjelasan diatas maka yang dikatakan di bawah umur (belum dewasa) ialah belum berumur genap 21 tahun dan belum kawin.

c. Menurut Hukum pidana

Mengenai anak di bawah umur (belum dewasa) menurut hukum pidana adalah mereka yang berusia dibawah 16 tahun. Seorang anak yang berstatus sebagai subjek hukum yang seharusnya bertanggungjawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata kedudukan sebagai seorang anak berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seorang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu mendapat perlindungan khusus menurut hukum yang berlaku.

Dalam pasal 45 KUHP berbunyi:

“jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang

dikerjakannya ketika umurnya 16 tahun hakim boleh memerintahkan supaya sitersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharaannya dengan tidak dikenakan suatu hukuman yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau suatu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 417, wetboek), (Bandung: Balai Pustaka, 1992) Hal 90.

21

(14)

Dengan demikian hukum pidana memandang anak belum dewasa dari segi pidananya. Mereka yang berusia dibawah 16 tahun dalam melakukan tindak pidana mendapatkan perlakuan yang istimewa dari pengadilan.

Akan tetapi pasal 45 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

d. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Didalam undang-undang ini yang dimaksud dengan batas usia anak dijelaskan dalam beberapa, yaitu:22

Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa,

“anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak yang

telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan

belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Didalam pasal ini dijelaskan bahwa yang disebut anak adalah yang sudah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa,

“anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak

korban adalah anak yang belim berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

disebabkan oleh tindak pidana.”

22

(15)

Pasal 1 angka 5 berbunyi,

“anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak

saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang

didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.”

Didalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 1 angka 5, yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang berumur belum genap 18 (delapan belas) tahun.

e. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang

Yang dimaksud dengan anak dalam Undang-Undang ini tidak hanya anak yang belum mencapai umur 18 tahun akan tetapi juga anak yang masih berada dalam kandungan. Dimana orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara mempunyai kewajiban untuk menjamin hak-hak yang melakat pada diri anak.

Pasal 1 angka 1 yang berbunyi’

“anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan”.23

f. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Yang dimaksud dengan anak dalam Undang-Undang ini bukan hanya anak yang belum mencapai umur 18 tahun tetapi juga anak yang belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan yang sudah mempunyai

23

(16)

hak-hak dan kewajiban yang harus dijamin dan dilindungi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara apabila kepentingannya menghendaki.

Pasal 1 angka 5 berbunyi:

“anak adalah setiap manusia yang berusia 18 tahun dan belum menikah,

termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah

demi kepentingannya.”24

Karena setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarkat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.25

g. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Didalam syarat perkawinan dijelaskan bahwa salah satu syarat sahnya perkawinan adalah agama dan kepercayaan. Selain itu, Undang-Undang Perkawinan menentukan syarat-syarat lainnya, yaitu seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan izin dari orang tuanya, sedangkan menyimpang dari umur diatas dapat meminta dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak perempuan maupun pihak laki-laki. Dalam Undang-Undang Perkawinan ditentukan untuk pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun dan untuk pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun, ketentuan itu menegaskan bahwa bagi mereka yang berumur 21 tahun keatas tidak memerlukan izin dari orang tuanya.26

24

Edy Murya, Buku Ajar Hukum Dan Hak Asasi Manusia, (Medan: 2004) Hal 58.

25

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 3 angka 1.

26

(17)

Ciri anak yang dibawah umur (belum dewasa) berdasarkan syarat perkawinan diatas, yaitu:

a. Belum mencapai umur 21 tahun, dan harus meminta izin orang tua

b. Untuk laki-laki belum mencapai usia 19 tahun, dan untuk perempuan belum mencapai usia 16 tahun sebagai batas umur kawin.

Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa: untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.27

Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa: perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak peremuan 16 tahun.28

Pasal 47 menyatakan bahwa: anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak mencabut dari kekuasaannya.29

Pasal 50 menyatakan bahwa: anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua, berada dibawah kekuasaan wali.30

h. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan

Didalam undang-undang ini mengatur tentang anak yang berusia dibawah umur adalah anak yang belum mencapai usia 18 tahun. Anak yang belum mencapai usia 18 tahun maka kewarganeragaraannya masih mengikuti kewarganegaraan orang tuanya atau salah satu orang tuanya.

27

Ibid,. Hal 73.

28

Ibid,. Hal 74.

29

Ibid,. Hal 84.

30

(18)

Pasal 4 huruf h menyatakan bahwa: anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin.31

Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa: anak warga negara indonesia yang lahir diluar perkawinan yang sah belum berusia 18 tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai warga negara Indonesia.32

i. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagkerjaan

Bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat indonesia yang adil, makmur. Sehingga perlunya mengatur tentang perlindungan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja anak.

Pasal 1 angka 26 menyatakan bahwa: anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun.33

2. pengertian Tindak Piana

Istilah Tidak Pidana adalah berasal dari istilah yag berasal dalam Hukum Pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”, walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para Ahli Hukum berusaha untuk

31

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.

32

Ibid,.

33

(19)

memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai sekarang belum ada keseragaman pendapat.34

Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik yang berasal dari bahasa Latin yakni Delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”. Berdasarkan rumusan yang ada maka delik memuat beberapa unsur, yakni:35

a. Suatu perbuatan manusia

b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang c. Perbuatan itu dilakukan oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah: Tindak Pidana, Peristiwa Pidana, Delik, Pelanggaran Pidana,

Perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan pidana.36

Keragaman pendapat di antara para sarjana hukum mengenai defenisi strafbaar feit telah melahirkan beberapa rumusan atau terjemahan mengenai strafbaar feit itu sendiri, yaitu:37

a) Perbuatan Pidana

Prof. Mulyatno, S.H. menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan

pidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada

34

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, 2002) Hal 67

35

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) Hal 47-48.

36

Adam chazawi, Op. Cit,. Hal 67.

37

(20)

makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan

demikian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena

dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia.

Selain itu, kata “perbuatan” lebih menunjuk pada arti sikap yang

diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif (yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang hukum), tetapi dapat juga bersifat pasif (yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).

b) Peristiwa pidana

Istilah ini pertama kali ditemukan oleh prof. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam perundang-undangan formal indonesia, istilah “peristiwa pidana” pernah digunakan secara resmi dalam UUDS 1950, yaitu dalam pasal 14 ayat (1). Secara

substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih menunjuk kepada suatu

kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, dalam percakapan sehari-hari sering didengar suatu ungkapan bahwa kejadian itu merupakan peristiwa alam.

c) Tindak Pidana

Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit adalah diperkenakan oleh pihak pemerintah cq Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam undang tindak pidana khusus, misalnya: undang-undang Tindak Pidana Korusi.

(21)

Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat, yang didalam undang-undang menentukan pada pasal 164 KUHP,38 ketentuan dalam pasal ini mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila timbul kejahatan, apabila tidak melapor maka akan dikenakan sanksi.

Prof. Sudarto 39berpendapat bahwa pembetukan undang-undang sudah tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Pendapat Prof. Sudarto diikuti oleh Teguh Prasetyo karena pembentuk undang-undang sekarang selalu menggunakan istilah tindak pidana sehingga istilah tersebut sudah mempunyai pengertian yang sudah dipahami masyarakat.

Oleh karena itu dari defenisi diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif juga perbuatan yang bersifat pasif.

3. Pengertian dan Bentuk Kekerasan Seksual a. Pengertian Kekerasan Seksual

Didalam KUHP pengertian dari kekerasan seksual dapat ditemukan

didalam pasal 285 dan pasal 289. Pasal 285 ditentukan bahwa “barang siapa

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya berhubungan seksual dengan dia, dihukum karena memperkosan

38 Menurut Pasal 164: “barang siapa mengetahui ada suatu pemufakatan jahat untuk

melakukan salah satu kejahatan yang dimaksud dalam pasal 104, 106,107, dan 108, 113, 115, 124, 187 dan 187 bis, sedang masih ada tempo untuk mencegah kejahatan itu, dengn sengaja tidak memberitahukan dengan cukup tentang hal itu pada waktunya, baik kepada pegawai justisi atau polisi maupun kepada siterancam, maka jika jadi kejahatan itu dilakukan, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan tau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500-. lihat di R.Soesilo, Op. Cit Hal 61.

39

(22)

dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun.40 Sedangkan di dalam Pasal 289 KUHP disebutkan barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan melakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya semilan tahun.

Menutut R. Soesilo yang dimaksud dengan perbuatan cabul, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 289 KUHP adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang semua ada kaitannya dengan nafsuh birahi kelamin, misalnya: cium-cium, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan semua bentuk perbuatan cabul.41

Kekerasan seksual terhadap anak adalah suatu penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan ekspoitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata ataupun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau pengembangannya. Tindakan kekerasan yang diperoleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.42

Kekerasan seksual pada anak adalah hubungan atau interaksi antara seseorang anak dengan orang yang lebih tua atau orang yang lebih dewasa seperti orang asing, saudara kandung, atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan

40

R.Soesilo, Op. Cit Hal 210, lihat komentar pasal yang menyatakan bahwa yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia. ... . Seorang perempuan yang dipaksa demikian rupa, sehingga akhirnya tak dapat melawan lagi dan terpaksa mau melakukan persetubuhan itu, ... .

41

Ismantoro Dwi Yuwono,. Op.cit,. Hal 1-2. Lihat R. Soesilo, Op. Cit hal 212 bagian komentar 1 Pasal 289 yang dimaksud dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji , semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dsb.

42Diesmy Humaira B , et. al “Kekerasan Keksual Pada Anak, Telaah Relasi Pelaku Korba

Dan Kerentanan Pada Anak”. (Jurnal Psikoislamika Volume 12 Nomor 2 Tahun 2015, Universitas

(23)

sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksualnya. Perbutan itu dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan maupun tekanan.

I.S. Susanto berpendapat,43

“Kejahatan Kekerasan terhadap wanita, khususnya perkosaan disatu sisi

dipandang sebagai kejahatan yang sangat merugikan dan mencemaskan, bukan saja wanita akan tetapi juga masyarakat dan kemanusiaan, namun di sisi lain terdapat reliatas sosial-budaya yang justru menyuburka perkosaan seperti mitos-mitos yang berkaitan dengan jenis kelamin, budaya diskriminatif, budaya tukang sulap, budaya hukum yang tidak

adil”

b. Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual

Hubunga seksual antara orang dewasa dan anak walaupun dilakukan dengan cara mengancam atau memaksa secara hukum tindakan tersebut masuk dalam kategori tindak pidana pemerkosaan terhadap anak.

Menurut Irsyad Tamrin dan M.Farid, bahwa mendasarkan kontak seksual bukan hanya hubungan seks semata sebagaimana yang diatur didalam pasal 287 KUHP. Berbagai bentuk kontak seksual juga harus dianggap sebagai tindak pidana.44

Ada 15 jenis kekerasan seksual menurut Komnas Perlindungan Perempuan, yaitu:45

1) Perkosaan

Serangan dalam bentuk paksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tanggan atau

43

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung: Refika Aditama, 2001) hal 74, lihat Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: PKBI, 1997), hal 127.

44

Ismantoro Dwi Yuwono,. Op.cit,. Hal 5-6.

45

15 bentuk kekerasan seksual, (on-line) tersedia di

(24)

benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerassan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologi, penyalahgunaan kekeuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan. Pencabulan adalah istilah lain dari pekosaan yang dikenal dalam sistem hukum indonesia. Istilah ini digunakan ketika perkosaan dilakukan diluar pemaksaan penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan seksual pada orang belum mampu memberikan persetujuan secara utuh, misalnya terhadap anak atau seseorang dibawah umur 18 tahun.

2) Intiminasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan

Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan korban. Intimidasi sekual bisa diampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email dan lain-lain. Ancaman atau percibaan perkosaan jiga bagian dari intimidasi seksual.

3) Pelecehan seksual

Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan dibagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa sakit tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

4) Eksploitasi seksual

(25)

dan lainnya. Praktek eksploitasi seksual yang kerap ditemui adalah menggunakan kemiskinan perempuan sehingga ia masuk dalam prostitusi atau pornografi.

5) Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual

Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan, penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara langsung maupun orang lain yang menguasainya untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya. Perdagangan perempuan dapat terjadi di dalam negara maupun antar negara.

6) Prositusi paksa

Situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan utang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual.

7) Perbudakan seksual

(26)

melayani rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, serta berhubungan seksual dengan penyekapnya.

8) Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung

Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut. Ada beberapa praktik di mana perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri.

Pertama, ketika perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar dia menikah, sekalipun bukan dengan orang yang dia inginkan atau bahkan dengan orang yang tidak dia kenali. Situasi ini kerap disebut kawin paksa. Kedua, praktik memaksa korban

perkosaan menikahi pelaku. Pernikahan itu dianggap mengurangi aib akibat perkosaan yang terjadi. Ketiga, praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan dipaksa untuk terus berada dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai. Namun, gugatan cerainya ditolak atau tidak diproses dengan berbagai alasan baik dari pihak suami maupun otoritas lainnya. Keempat, praktik “Kawin Cina Buta”, yaitu memaksakan perempuan untuk menikah dengan orang lain untuk satu malam dengan tujuan rujuk dengan mantan suaminya setelah talak tiga (cerai untuk ketiga kalinya dalam hukum Islam). Praktik ini dilarang oleh ajaran agama, namun masih ditemukan di berbagai daerah.

9) Pemaksaan kehamilan

(27)

lain kecuali melanjutkan kehamilannya. Juga, ketika suami menghalangi istrinya untuk menggunakan kontrasepsi sehingga perempuan itu tidak dapat mengatur jarak kehamilannya. Pemaksaan kehamilan ini berbeda dimensi dengan kehamilan paksa dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Statuta Roma, yaitu situasi pembatasan secara melawan hukum terhadap seorang perempuan untuk hamil secara paksa, dengan maksud untuk membuat komposisi etnis dari suatu populasi atau untuk melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya.

10) Pemaksaan aborsi

Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.

11) Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi

Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak mendapat informasi yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan persetujuan. Pada masa Orde Baru, tindakan ini dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Sekarang, kasus pemaksaan pemaksaan kontrasepsiatau sterilisasi biasa terjadi pada perempuan dengan HIV/AIDS dengan alasan mencegah kelahiran anak dengan HIV/AIDS. Pemaksaan ini juga dialami perempuan penyandang disabilitas, utamanya tuna grahita, yang dianggap tidak mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri, rentan perkosaan, dan karenanya mengurangi beban keluarga untuk mengurus kehamilannya.

(28)

Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat baik jasmani, rohani maupun seksual. Ini dilakukan untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang ketiga, atau untuk menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga. Penyiksaan seksual juga bisa dilakukan untuk mengancam atau memaksanya, atau orang ketiga, berdasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun. Termasuk bentuk ini apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh hasutan, persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik atau aparat penegak hukum.

13) Menghukum tidak manusiawi dan bernuansa seksual

Caramenghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. Ia termasuk hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan atau untuk merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.

14) Praktek tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan

(29)

15) Kontrol seksual, termasuk lewat aturan deskriminatif beralasan moralitas dan agama

Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai simbol moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik” dan perempuan “nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan. Kontrol seksual mencakup berbagai tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, untuk mengancam atau memaksakan perempuan untuk menginternalisasi simbol-simbol tertentu yang dianggap pantas

bagi “perempuan baik-baik’. Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol

seksual yang paling sering ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan yang memuat kewajiban busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu pada jam tertentu, larangan berada di satu tempat bersama lawan jenis tanpa ikatan kerabat atau perkawinan, serta aturan tentang pornografi yang melandaskan diri lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan seksual. Aturan yang diskriminatif ini ada di tingkat nasional maupun daerah dan dikokohkan dengan alasan moralitas dan agama. Pelanggar aturan ini dikenai hukuman dalam bentuk peringatan, denda, penjara maupun hukuman badan lainnya.

Menurut M.Irsyad Thamrin dan M.Farid,46 sangat penting untuk diketahui bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak yang memiliki cakupan yang sangat luas, antara lain:

a) Perkosaan b) Sodomi

46

(30)

c) Oral seks d) Sexual gesture e) Sexual remark f) Pelecehan seksual

g) Sunat klitoris pada anak perempuan

Dengan demikian, penegak hukum sebagai representasi dari negara harus benar-benar memahami bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak yang secara de facto ada di kehidupan masyarakat.

4. Pengertian Perlindungan Saksi dan Korban

Kita semua sudah mengetahui bahwa asas persamaan didepan hukum merupakan salah satu ciri negara hukum. Demikian pula dengan korban dan saksi yang harus dilindungi. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengatur hak hak asasi manusia yang tertuang dalam pasal-pasal, yaitu:47

Pasal 28D ayat (1) menyatakan bahwa: setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan da kepasstian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di depan hukum.

Pasal 28G Ayat (1) berbunyi: “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”48

Dalam undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ini tidak diatur secara nyata perlindungan korban dan saksi, yang ada

47

Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) Hal 34-35.

48

(31)

justru hak-hak yang melindungi tersangka dan terdakwa (Pasal 17-Pasal 19). Perlindungan korban dan saksi hanya tersirat dalam penafsiran pasal-pasal, separti:49

Pasal 5 Ayat (2) berbunyi: setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berphak.

Pasal 29 Ayat (1) berbunyi: setiap orang berhak atas pengakuan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya.

G. Metode Penelitian

Merupakan cara bertindak menurut sistem aturan tertentu, maksud metode ini ialah supaya kegiatan praktis dapat terlaksanakan secara rasional dan terarah agar mencapai hasil optimal.50

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Metode pendekatan yuridis normatif adalah suatu penelitian yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang.51 Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang bertujuan memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya.52 Dalam skripsi ini, penulis membahas mengenai Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan

49

Bambang Waluyo, Op. Cit hal 63-64.

50

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Reneka Cipta, 2004) hal 15.

51

Abdulkadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 2004) hal 52.

52

(32)

Korban dalam melindungi anak korban kekerasan seksual dalam lingkungan keluarganya sendiri.

2. Data dan Sumber Data

Bahan atau data yang dicari barupa data yang terdiri dari: a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan-bahan yang mengikat san terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi, yurisprudensi dan traktat.53 Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah peraturan, peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan peraturan lainnya yang terkait. Bahan hukum primer yang penulis gunakan ialah:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban,

53

(33)

5) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga . b. Bahan Hukum Sekunder,

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.54 Dalam penelitian ini berupa literatur yang berkaitan dengan Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Literatur yang digunakan antara lain: buku, jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional serta makalah, hasil penelitian, skripsi dan tesis.

c. Bahan hukum tersier,

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan atau petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder.55

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara56 suatu kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara sistematis buku-buku, makalah ilmiah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan meteri yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

54

ibid

55

Infra catatan kaki 54

56

(34)

Penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder dan menyajikan data berikut dengan analisisnya.57 Metode analisis data dilakukan dengan metode kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.

Metode penarikan kesimpulan pada dasarnya ada dua yaitu metode penarikan kesimpulan secara deduktif dan induktif. Metode penarikan kesimpulan secara deduktif adalah proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.58 Metode penarikan kesimpulan secara induktif adalah proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan umum) berupa asas umum.59 Penarikan kesimpulan terhadap data yang telah dikumpulkan dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara dedu60ktif maupun induktif, sehingga akan dapat menerangkan jawaban terhadap permasalahan yang telah disusun.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang merupakan isi dari pembahasan skripsi ini dan untuk mempermudah penguraiannya, maka penulis membagi skripsi ini kedalam 5 (lima) Bab, yaitu:

57

Soejono Soekanto, op. Cit hal 69.

58

Bambang Sunggong, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grfindo Persada, 2007) hal 11.

59

Ibid hal 50.

60

(35)

BAB I. Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II. Berisi tentang kajian mengenai peraturan hukum mengenai perlindungan anak korban kekerasan seksual dalam lingkungan keluarga. Pada bab ini akan menjelaskan perlindungan anak dan penjatuhan sanksi pada pelaku kekerasan seksual pada anak dalam lingkungan keluarga.

BAB III. Berisi tentang kajian mengenai faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual, mengkaji bentuk kekerasan seksual, mengkaji peran korban dalam terjadinya kekerasan seksual serta mengkaji dampak kekerasan seksual pada anak dalam lingkungan keluarga.

BAB IV. Berisi tentang peran LPSK dalam perlindungan anak korban kekerasan seksual dalam lingkungan keluarga dengan melihat fungsi lembaga dan pranata hukum dalam perlindungan korban, mengkaji upay perlindungan hukum yag diberikan oleh LPSK serta mengkaji kendala dan kelemahan dalam pengungkapan dan perlindungan anak korban kekersan seksual dalam lingkungan keluarga.

Referensi

Dokumen terkait

Peranan Lembaga Perlindungan Anak dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak yang Menjadi Korban Kekerasan Seksual (Studi Kasus di KPAID Provinsi Sumatera

Puji syukur yang saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia Nya yang diberikan kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Penulisan Hukum /

23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.b Berdasar hal tersebut perlu adanya perubahan dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga bagi semua pihak yang telah membantu dalam rangka penyelesaian penulisan hukum / skripsi

Tidak dapat dipungkiri, bahwa tidak sedikit korban kekerasan seksual yang selain mengalami penderitaan psikis, dan kalau ia melanjutkan persoalannya ke pengadilan

Pendekatan masalah yang digunakan penulis adalah pendekatan yang bersifat Yuridis Sosiologis (empiris) yaitu penelitian yang dilakukan langsung ke lapangan untuk

Tidak dapat dipungkiri, bahwa tidak sedikit korban kekerasan seksual yang selain mengalami penderitaan psikis, dan kalau ia melanjutkan persoalannya ke pengadilan

Adapun hak-hak korban dicantumkan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan korban dikutip