BAB II
PERATURAN HUKUM PERLINDUNGAN ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL
A. Menurut Ketentuan Di Dalam KUHP
Ketertarikan orang dewasa terhadap seks yang menempatkan anak sebagai
objek perangsang dan pelampiasan libodi di dalam KUHP dikategorikan sebagai
tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman pidana.
Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi:61
“Barang siapa yang bersetubuh dengan peremuan yang bukan istrinya,
sedangkan diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwaa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.”
Berdasarkan pasal tersebut dapat dipahami bahwa hukum pidana berusaha
memberikan perlindungan normatif terhadap anak dari kekerasan seksual dalam
bentuk perkosaan yang berasal dari orang dewasa. Diancam selama 9 tahun
apabila memperkosa anak yang belum cukup dewasa belum cukup umur (di
bawah 15 tahun) atau diperkirakan masih belum cukup umur itu artinya KUHP
menilai persetubuhan antara orang dewasa dengan anak akan berdampak merusak
secara fisik dan psikologi anak. Karena dampaknya yang merusak inilah KUHP
kemudian memberikan penilaian bahwa tindakan ini adalah tindakan jahat dan
harus dihukum.
Secara biologis orang yang belum dewasa atau orang yang masih anak-anak
adalah orang yang belum memiliki kematangan dan kesiapan seksual. Itu artinya
anak belum memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Oleh karena itu hubungan
61
seksual orang dewasa terhadap anak, berdasarkan temuan yang ditunjukan oleh
Jeral Diamond tersebut, adalah hubungan seksual yang hanya mencari
kenikmatan semata, pencarian kenikmatan seksual yang telah melanggar norma
sosial dalam kehidupan bermasyarakat.62
Pasal 287 tersebut merupakan delik aduan, bahwa walaupan dilarang
tindakan itu baru dijatuhi hukuman pidana jika adanya laporan kepada pihak
berwajib seperti yang disebutkan dalam pasal 287 ayat (2) yang berbunyi:
“penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan kecuali jika umurnya perempuan itu
belum 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan pasal
294”.
Menurut pasal 291 KUHP63, ancaman hukuman diperberat menjadi 12 tahun
jika mengakibatkan luka parah dan 15 tahun, jika mengakibatkan mati. Sedangkan
bunyi pasal 294 adalah sebagai berikut:
“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan seseorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau sebawahannya yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.”
Dalam rumusan Pasal 294 ayat (1) ini terdapat beberapa unsur, yaitu:
1. Unsur Subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku.64 Unsur
subjektif dalam pasal 294 ayat (1) ini adalah unsur “barang siapa”. Barang siapa
62
Ismantoro Dwi Yuwono,. Op.cit,. Hal 17
63
R. Soesilo, Op. Cit, Pasal 291 ayat (1) kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 289 dan 290 itu menyebabkan luka berat pada tubuh, dijatuhkan hukuman pejara selama-salanya dua belas tahun. Dan Pasal 291 ayat (2) kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 279 dan 290 itu menyebabkan orang mati, dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
64
dalam hal ini dapat diartikan sebagai orang perorangan tanpa terkecuali dan dalam
hal ini adalah orang terdekat atau orang yang memiliki hubungan dekat.
2. Unsur Objektif
Unsur objektif adalah unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:65
a. Perbuatan manusia, berupa:
1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;
2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu perbuatan
yang mendiamkan atau membiarkan.
b. Akibat (Result) perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa,
badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.
c. Keadaan-keadaan (circumstances)
Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain:
1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan
2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan
d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan
si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila
perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan
larangan atau perintah.
65
Berdasarkan pasal 291 dan pasal 294 tersebut, dapatlah dipahami, bahwa
delik aduan dapat berubah menjadi delik murni apabila:66
a) Anak berada dibawah usia 12 tahun
b) Berada diatas usia 12 tahun atau diatas usia 15 tahun dengan syarat jika
hubungan seksual itu menyebabkan kematian
c) Jika hubungan seksual tersebut dilakukan orang tua kepada anak kandungnya
sendiri, anak tirinya, anak angkatnya, anak asuhnya, atau anak yang
dipercayakannya untuk dididik dan dirawat.
Secara umum larangan perkosaan terhadap kaum perempuan (baik itu
dewasa maupun anak-anak) diatur di dalam pasal 285 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan
yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa,
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Karena usia korban perkosaan dalam pasal 285 KUHP itu tidak disebutkan,
maka itu artinya ketika orang dewasa melakukan tindak pemerkosaan terhadap
anak, maka tindakan itu akan masuk dalam kategori delik aduan sebagaimana
dirumuskan di dalam pasal 287 ayat (2) KUHP.
Menurut pasal 289 yang berbunyi: “Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan
pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan
hukuman penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun”.
66
Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan
(kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu termasuk dalam lingkungan
nafsu birahi kelamin, misalnya meraba-raba anggota badan atau kemaluan, yang
dilarang dalam Pasal ini bukan saja sengaja memaksa orang untuk melakukan
perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada
dirinya perbuatan cabul.67
B.Menurut Ketentuan Di Luar KUHP
j. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang
Anak adalah mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sejak dalam
kandungan anak sudah mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat
perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Anak
adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa maka anak harus
mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal baik fisik, mental maupun sosial.
Pasal 9 yang berbunyi:68
1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
2) Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahaatan seksual dan kekerasan yang dilakukan pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
3) Selain mendapatkan hak anak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan (2), anak penyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan anak yang memiliki keunggulan berhak memdapatkan pendidikan khusus.
67
Supra catatan kaki nomor 37
68
Pasal 15, disebutkan hak perlindungan untuk anak yang berbunyi:69
setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungn dari: a. Penyalahgunaan dari kegiatan politik;
b. Perlibatan dalam sengketa bersenjata; c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; e. Pelibatan dalam peperangan; dan
f. Kejahatan seksual.
Di dalam pasal 1 butir 2 di jelasksan bahwa perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.
Mengenai siapa yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak, jawaban siingkatnya adalah oranga tua,
pemerintah dan negara70. Yang dijelaskan lebih rinci dalam pasal 20, yang
berbunyi: “ Negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan
orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindugan anak.”
Dalam undang-undang Perlindungan Anak diatur tentang perlindungan
khusus yang diatur dalam pasal 59 yang berbunyi:
1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak. 2) Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan keapada:
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat akdiktif lainnya;
69
Ibid., 70
f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban jaringan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas;
m.Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n. Anak dengan perilaku sosial menyipang; dan
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabenan terkait dengan kondisi orang tuanya.”
Perlindungan khusus yang diatur dalam pasal 59, perlindungan khusus bagi
anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dilaksanakan melalui
pasal 66, yang berbunyi:
“Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf d dilakukan melalui:
a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c. Pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.”
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban kejahatan seksual
dilakukan melalui upaya, dilaksanakan melalui pasal 69 A yang berbunyi:
a. Edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme;
b. Konseling tentang bahaya terorisme;
c. Rehabilitasi sosial; dan
Pasal 76 D mengatur tentang larangan, yang berbunyi: “ Setiap orang
dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksakan anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 76 E yang berbunyi: “ Setiap orang dilarang melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”
Pasal 8171 mengatur tentang sanksi pidana dan denda dan terdapat pula
sanksi tambahan, yang berbunyi:
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singakat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
2) Ketentuan pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain; 3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan kelurga, pengasuh anak pendidik, tenaga pendidik, aparar yang menangani perliinidungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
4) Selain terhadap pelaku sebagaiman yang dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana karena juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D;
5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, palaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun;
6) Selain dikenal pidan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku;
71
7) Terhadap pelaku sebagaiman dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kemia dan pemasangan alat pendeteksi elekttronik;
8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan; 9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak.
Sebagaimana yang dimaksud pada pasal 81 diatas terdapat pidana tambahan
yaitu berupa pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia dan pemasangan alat
pendeteksi kimia yang baru diatur dengan Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Menjadi Undang-Undang.
Pasal 82 mengatur sebagai berikut:72
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagamana yang dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan palinga lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara barsama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
3) Selain terhadap pelaku sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2), pemambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E;
4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1(satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, dipidana ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1); 5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pelaku dapat
dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku;
6) Terhadap pelaku sebaagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayata (4) dapat dikenai tindakan rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik;
72
7) Tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan barsama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan;
8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku anak.
Dalam hal pidana tamabahan pengumuman identitas pelaku dan
pemasangan alat pelacak elektronik juga diatur mengenai rehabilitasi yang diatur
didalam pasal 82 ayat (6), yang berbeda dengan pasal 81 yang mengatur tentang
kebiri kimia yang merupakan pidana tambahan yang baru diatur didalam
undang-undang perlindungan anak.
Tabel Perbandingan Undang-Undang perlindungan anak
No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014
Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2016
1. Pasal 1 angka 15
perlindungan khusus adalah
perlindungan yang
diberikan pada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan negan hukum,
anak dari kelompok
minoritas dn terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisikdan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran
Pasal 1 angka 16, Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau
penelantaran,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hhukum. dimaksud dalam
pasal 76D
dipidana dengan pidana penjara paling singakat 5
2) Ketentuan pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau orang lain;
3) Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan kelurga, pengasuh anak pendidik, tenaga pendidik, aparar yang menangani perliinidungan
anak, atau
dilakukan oleh lebih dari satu
orang secara
bersama-sama, pidananya
ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
4) Selain terhadap pelaku
sebagaiman yang dimaksud pada
ayat (3),
penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
karena juga
dikenakan kepada
pelaku yang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D;
5) Dalam hal tindak pidana
sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 76D
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan
luka berat,
gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,
dan/atau korban meninggal dunia, palaku dipidana
mati, seumur
hidup, atau pidana penjara paling
singkat 10
(sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun;
6) Selain dikenal pidan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku; 7) Terhadap pelaku
pendeteksi elekttronik; 8) Tindakan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (7)
diputuskan bersama-sama dengan pidana
pokok dengan
memuat jangka waktu
pelaksanaan tindakan;
9) Pidana tambahan
dan tindakan
dikecualikan bagi pelaku anak
2. Pasal 59 pemerintah dan lembaga negara lainnya
berkewajiban dan
bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak korban kekerasan baik ffisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, anak korban perlakuan salah dan penelantaran
Pasal 15, setiap anak
barhak untuk
memperoleh perlindungan dari: a. Penyalahgunaan
dalam kegiatan politik;
b.Pelibatan dalam sengketa
bersenjata;
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial; d.Pelibatan dalam
peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; e. Pelibatan dalam
peperanga;dan f. Kejahatan seksual.
Pasal 81 A 1) Tindakan
sebagaimana dimaksud dala pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk
jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok;
2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum,
sosial, dan
kesehatan;
rehabilitasi;
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara
pelaksanaan
tindakan dan
rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
3. Pasal 66,
1) perlindungan khusus
bagi anak yang
dieksploitasi secara
ekonomi dan/atau
seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal
59 merupakan
kewajiban dan
tanggungjawab
pemerintah dan
masyarakat.
2) Perlindungan khusus
bagi anak yang
dieksploitasi
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
dilakukan melalui: a. Penyebarluasan
dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. Pemantauan,
pelaporan, dan pemberian
sanksi;dan
c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat dalam penghapusan dan eksploitasi
Pasal 54
1) Anak didalam dan dilingkungan satuan pendidikan wajib
mendapatakan perllindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, aparat peerintah, dan/atau
sebagamana yang dimaksud dalam
pasal 76E
dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan
keluarga,
pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan,
aparat yang
menangani perlindungan
anak, atau
terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. 3) Setiap orang dilarang
menempatkan, membiarkan,
melakukan, menyuruh melakukan, atau turut
serta melakukan
eksploitasi terhadap
anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
3) Selain terhadap pelaku
sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (2),
pemambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku
yang pernah
dipidana karena melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E;
4) Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam
pasal 76E
gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,
dan/atau korban meninggal dunia, dipidana
5) Selain dikenai pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa
pengumuman identitas pelaku; 6) Terhadap pelaku
sebaagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayata (4) dapat dikenai tindakan
rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi
elektronik; 7) Tindak
sebagaimana dimaksud pada
ayat (6)
diputuskan barsama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu
pelaksanaan tindakan;
8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku anak.
4. Pasal 69
1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerassan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya:
a. Menyebarluaskan dan sosialisasi ketentuan peraturan
Pasal 59 1) Pemerintah,
pemerintah daerah,dan
lembaga negara lainnya
berkewajiban dan bertanggungjawab untuk
memberikan perlindungan khusus kepada
Pasal 82 A selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok;
perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan b. Pemantauan,
pelaporan, dan
pemberian sanksi. 2) Setiap orang dilarang
menempatkan, membiarkan,
melakukan, menyuruh melakuan, atau turut
serta melakukan
kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat dimaksud pada ayat (1) diberikan minoritas dan terisolasi; fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban
tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang
menyelenggaraka
n urusan
pemerintah di bidang hukum,
sosial, dan
kesehatan;
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara
kejahatan
perilaku sosial menyimpang; dari pelabenan terkait dengan kondisi orang tuanya.
5. Pasal 81
1) Setiap orang dengan sajanga melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
anak melakukan
persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp.
3000.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan
paling sedikit
Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
Pasal 59A,
Perlindungan khusus
bagi anak
sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya:
a. Penangan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau
rehabilitasi secara fisik, psikis, dan
psikologis pada saat pengobatan sampai
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tipu
muslihat, serangkaian
kebohongan, atau
membujuk anak
melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain.
c. Pemberian
bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan d. Pemberian
perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
6. Pasal 82, setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas0 tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 66,
Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaiman dimaksudkan dalam Pasal 59 ayat (2)
undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. Pemantauan,
pelaporan, dan pemmberian sanksi; dan
c. Pelibatan berbagai perusahaan, serikat apekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi
8. Pasal 88, setiap orang yang mengeploitasi ekonomi dan/atau seksual anak dengan maksud untuk menuntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 69 A
Perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan seksual sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya: a. Edukasi tentang
pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme; b. Konseling tentang
bahaya terorisme; dilarang melakukan
kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksakan anak melakukan
persetubuhan
dengannya atau
dengan orang lain.
Pasal 76 E
Setiap orang dilarang melakukan
kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu
muslihat, melakukan serangkaian
kebohongan, atau
membujuk anak
10. Pasal 81
1) Setiap orang yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 76D
dipidana dengan pidana penjara paling singakat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
2) Ketentuan pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang
dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau orang lain;
3) Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan
kelurga, pengasuh anak pendidik, tenaga pendidik,
aparar yang
perliinidungan
anak, atau
dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
11. Pasal 82
1) Setiap orang yang melanggar
ketentuan
sebagamana yang dimaksud dalam
pasal 76E
dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan palinga lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000, 00 (lima milyar rupiah);
2) Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga,
pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan,
aparat yang
k. Menurut Undang-Undang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Undang-undang ini dibuat sebagai upaya mencegah, menanggulangi dan
mengurangi tindak kekerasan ataupun kejahatan yang semakin marak di
lingkungan keluarga. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan membentuk rumah
tangga/keluarga adalah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia. Apabila
rumah tangga bahagia, maka lingkugan masyarakat dan bangasa tentu bahagia
serta negara menjadi aman dan damai.73
Pasal 4 menyatakan tujuan penghapusan kekerasan yaitu:74
a) Mencengah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b) Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c) Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
Larangan untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam
pasal 5 yang menyatakan bahwa:
73
Bambang Waluyo, Op. Cit,Hal 86-87.
74
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
perlindungan
anak, atau
dilakukan oleh lebih dari satu orang secara barsama-sama, pidananya
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan fsikis; c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga.
Pasal 8 menyatakan bahwa: “ Kekerasan seksual sebagaimana yang
dimaksud pada pasal 5 huruf c meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam linigkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah satu seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.
Secara khusus, korban kekerasan dalam rumah tangga mempunyai hak-hak
yang diimplementasikan dalam pasal 10, yaitu:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani.
Kepada masyarakat, undang-undang tersebut menegaskan suatu kewajiban
masyarat yang terdapat pada pasal 15, yaitu:
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam ruamah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. Mencengah berlangsungnya tindak pidana; b. Memberikan perlindungan pada korban; c. Memberikan pertolongan darurat;
Hal penting lainnya yang perlu dijabarkan berkaitan hak korban, yakni
adanya perlindungan sementara, pelayanan kesehatan, pekerja sosial, bimbingan
rohani dan sebagainya.
1. Perlindungan sementara adalah perlindungan langsung yang diberikan oleh
kepolisian dan/atau lembaga sosial, atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan ini wajib
diberikan kepolisian kepada korban yang diatur dalam Pasal 16, yaitu:
1) Dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban; 2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
palinga lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani;
3) Dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
2. Pelayanan kesehatan, dalam Pasal 21 mengatur ketika korban memperoleh
perlindungan dalam bentuk pelayanan kesehatan, maka tenaga kesehatan
diharuskan untuk:
a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et
repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis
yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.75
3. Pelayanan pekerja sosial, seperti yang dimaksud pada Pasal 22 dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus:
a. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
75
b. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
c. Mengantarkan korban kerumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan d. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada
korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
4. Pelayanan bimbingan rohani,
melalui Pasal 24, dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus
memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan
iman dan taqwa kepada korban.
Pasal 27, menyatakan: “ Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan
dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
Pasal 29 menjelaskan tentang permohonan untuk memperoleh perlindungan
dapat diajukan oleh:
a. Korban atau keluarga korban; b. Teman korban;
c. Kepolisian;
d. Relawan pendampinga; atau e. Pembimbing rohani.
Ketentuan pidana mengenai kekerasan seksual dalam lingkup rumah
tanggan diatur dalam beberapa pasal yaitu:
Pasal 46 yang menyatakan bahwa:
“ Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga
puluh eman juta rupiah).”
Pasal 47, yang berbunyi:
“ Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakkukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima balas) tahun atau denda paling sedikit Rp.12.000. 000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
Pasal 48, menyatakan bahwa:
“ Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan pasal 47
mengakibatkan koraban dapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, megalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singakat 5 (lima) tahun dan pidana paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Seperti yang diketehui bahwa korban berasal dari golongan dan strata yang
heterogen pendidikannya, status sosial, suku, agama.76 pelakunya berasal dari
lingkup keluarga/rumah tangga sendiri dimana seharusnya anak menperoleh rasa
aman, tempat anak mendapat perlindungan, pendidikan.
l. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
Didalam bagian menimbang undang-undang perlindungan saksi dan korban
menyatakan bahwa jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki
perana yang penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan keterangan
76
saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat
mengungkap suatu tindak pidana.
Dalam kasus kekerasan seksual sering kali pelakunya adalah orang yang
dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pelakunya telah dikenal
sebelumnya oleh korban, bahkan mungkin sangat dekat sekali atau bisa jadi
pelaku adalah salah satu dari anggota keluarganya juga. Menurut Rita Serena
Kalibonso, jika pelaku memiliki hubungan keluarga dengan korban, apalagi ia
adalah ayah korban sendiri, maka makin sulit untuk menjangkau korban apalagi
memprosesnya secara hukum. Orang tua canderung menjaga korban untuk tidak
menjalani proses hukum, ibu korban juga sulit diharapkan untuk membantu
karena takut kepada suami dan keluarganya. Padahal dalam proses hukum
seseorang anak yang berusia kurang dari 12 (dua belas) tahun harus didampingi
orang tua atau wali.77
Situasi diperparah dengan ideologi jaga praja, atau menjaga ketat kerahasian
keluarga khususnya dalam budaya jawa “ membuka aib dalam keluarga berarti
membuka aib diri sendiri”, sehingga membuat situasi anak korban kekerasan
semakin memperihatiankan karena tidak mendapatakan perlindungan atas haknya.
Di dalam Pasal 5, pasal 6, pasal 7 dan pasal 7A menyatakan tentang hak
saksi dan korban, yaitu:
pasal 5 menyatakan:
1) Saksi dan korban berhak atas:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilh dan menuntut dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
77
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. Mendapatkan informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. Dirahasiakan identitasnya;
j. Mendapat identitas baru;
k. Mendapat tempat kediaman sementara; l. Mendapat tempat kediaman baru;
m.Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. Mendapat nasehat hukum;
o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir, dan/atau
p. Mendapat pendamping
2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK; 3) kepada saksi dan/atau korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu
sebagaimana dimasud pada ayat (2), dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
Pasal 6 menyatakan:
1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, juga berhak mendapatkan:
a. Bantuan medis; dan
b. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan keputusan LPSK.
Pasal 7 menyatakan bahwa:
1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan korban tindak pidana terorisme selain mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan pasal 6, juga berhak atas kompensasi;
2) Kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya kepada pengadilan Hak Asasi Manusia melalui LPSK;
4) Pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme.
Pasal 7A menyakan bahwa:
1) Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa: a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. Ganti kerugaian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetpkan dengan keputusan LPSK;
3) Pengajan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK; 4) Dalam hal permohonan restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekeuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya;
5) Dalam hal permohonan restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetep, LPSK dapat mengajukan penetapan; 6) Dalam hal korban tindak pidana meninggal dunia, restitusi diberikan kepada
keluarga korban yang merupakan ahli waris korban.
Tata cara memperoleh perlindungan diataur dalam Pasal 29 yang
menyatakan bahwa:
1) Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, yaitu sebagai berikut:
a. Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;
b. LPSK segera melakukan pemeriksan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
c. Keputusan LPSK diberikan tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.
2) Dalam hal tertentu LPSK dapat memberikan perlindungan tanpa diajukan permohonan.
Ketentuan pidana mengenai tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam
Pasal 37 dan Pasal 38, yaitu:
1) Setiap orang yang memaksaan kehendaknya dengan menggunakan kekerasan atau cara tertentu, yang menyebabkan saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a, hiruf i, huruf j, huruf k, huruf l sehigga saksi dan/atau korban tidak memberikan kesaksiannya pada setiap tahap pemeriksaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada saksi dan/atau korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya saksi dan/atau korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 38 menyatakan bahwa:
“ Setiap orang yang menghalang-halangi saksi dan/atau korba secara melawan
hukum sehingga saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf i, huruf k, huruf l, huruf p, pasal 6 ayat (1), pasal 7 ayat (1) atau pasal 7A ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
m. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam bagian menimbang didalam peraturan pemerintah ini disebutkan
bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 43 undang-undang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga perlu menetapkan peraturan pemerintah tentang
penyelenggara dan kerja sama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Didalam Bab II peraturan pemerintah ini mengatur tentang penyelenggaraan
pemulihan yang diatur dalam beberapa pasal yaitu:
Pasal 2 menyatakan bahwa:
masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemilihan korban;
2) Fasilitas sebagaiman dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian; b. Tenaga yang ahli dan profesional;
c. Pusat pelayanan dan rumah aman; dan
d. Sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.
3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 3 menyatakn bahwa:
1) Menteri menetapkan pedoman pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga yang sensitif gender;
2) Pedoman pemulihan korban sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4 menyatakan bahwa:
Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi: a. Pelayanan kesehatan;
b. Pendampingan korban; c. Konseling;
d. Bimbingan rohani; dan e. Resosialisasi.
Pasal 5 menyatakan bahwa:
1) Pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga keseshatan di sarana milik pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk swasta dengan cara memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban;
2) Pendampingan korban dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani dengan cara memberikan konseling, terapi, bimbingan rohani dan advokasi guna penguatan dan peulihan diri korban;
3) Pemberi konseling dilakukan oleh pekerja sosial, relawan pendamping, dengan mendengarkan secara empati dan menggali permasalahan untuk penguatan psikologi korban;
4) Bimbingan rohani dilakukan oleh pembimbing rohani dengan cara memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajibannya, serta penguatan iman dan takwa sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;