• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Lingkungan Keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Lingkungan Keluarga"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERATURAN HUKUM PERLINDUNGAN ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

A. Menurut Ketentuan Di Dalam KUHP

Ketertarikan orang dewasa terhadap seks yang menempatkan anak sebagai

objek perangsang dan pelampiasan libodi di dalam KUHP dikategorikan sebagai

tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman pidana.

Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi:61

“Barang siapa yang bersetubuh dengan peremuan yang bukan istrinya,

sedangkan diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwaa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.”

Berdasarkan pasal tersebut dapat dipahami bahwa hukum pidana berusaha

memberikan perlindungan normatif terhadap anak dari kekerasan seksual dalam

bentuk perkosaan yang berasal dari orang dewasa. Diancam selama 9 tahun

apabila memperkosa anak yang belum cukup dewasa belum cukup umur (di

bawah 15 tahun) atau diperkirakan masih belum cukup umur itu artinya KUHP

menilai persetubuhan antara orang dewasa dengan anak akan berdampak merusak

secara fisik dan psikologi anak. Karena dampaknya yang merusak inilah KUHP

kemudian memberikan penilaian bahwa tindakan ini adalah tindakan jahat dan

harus dihukum.

Secara biologis orang yang belum dewasa atau orang yang masih anak-anak

adalah orang yang belum memiliki kematangan dan kesiapan seksual. Itu artinya

anak belum memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Oleh karena itu hubungan

61

(2)

seksual orang dewasa terhadap anak, berdasarkan temuan yang ditunjukan oleh

Jeral Diamond tersebut, adalah hubungan seksual yang hanya mencari

kenikmatan semata, pencarian kenikmatan seksual yang telah melanggar norma

sosial dalam kehidupan bermasyarakat.62

Pasal 287 tersebut merupakan delik aduan, bahwa walaupan dilarang

tindakan itu baru dijatuhi hukuman pidana jika adanya laporan kepada pihak

berwajib seperti yang disebutkan dalam pasal 287 ayat (2) yang berbunyi:

“penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan kecuali jika umurnya perempuan itu

belum 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan pasal

294”.

Menurut pasal 291 KUHP63, ancaman hukuman diperberat menjadi 12 tahun

jika mengakibatkan luka parah dan 15 tahun, jika mengakibatkan mati. Sedangkan

bunyi pasal 294 adalah sebagai berikut:

“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan seseorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau sebawahannya yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.”

Dalam rumusan Pasal 294 ayat (1) ini terdapat beberapa unsur, yaitu:

1. Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku.64 Unsur

subjektif dalam pasal 294 ayat (1) ini adalah unsur “barang siapa”. Barang siapa

62

Ismantoro Dwi Yuwono,. Op.cit,. Hal 17

63

R. Soesilo, Op. Cit, Pasal 291 ayat (1) kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 289 dan 290 itu menyebabkan luka berat pada tubuh, dijatuhkan hukuman pejara selama-salanya dua belas tahun. Dan Pasal 291 ayat (2) kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 279 dan 290 itu menyebabkan orang mati, dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.

64

(3)

dalam hal ini dapat diartikan sebagai orang perorangan tanpa terkecuali dan dalam

hal ini adalah orang terdekat atau orang yang memiliki hubungan dekat.

2. Unsur Objektif

Unsur objektif adalah unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:65

a. Perbuatan manusia, berupa:

1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;

2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu perbuatan

yang mendiamkan atau membiarkan.

b. Akibat (Result) perbuatan manusia

Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan

kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa,

badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.

c. Keadaan-keadaan (circumstances)

Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain:

1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan

2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan

d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan

si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila

perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan

larangan atau perintah.

65

(4)

Berdasarkan pasal 291 dan pasal 294 tersebut, dapatlah dipahami, bahwa

delik aduan dapat berubah menjadi delik murni apabila:66

a) Anak berada dibawah usia 12 tahun

b) Berada diatas usia 12 tahun atau diatas usia 15 tahun dengan syarat jika

hubungan seksual itu menyebabkan kematian

c) Jika hubungan seksual tersebut dilakukan orang tua kepada anak kandungnya

sendiri, anak tirinya, anak angkatnya, anak asuhnya, atau anak yang

dipercayakannya untuk dididik dan dirawat.

Secara umum larangan perkosaan terhadap kaum perempuan (baik itu

dewasa maupun anak-anak) diatur di dalam pasal 285 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan

yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa,

dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.”

Karena usia korban perkosaan dalam pasal 285 KUHP itu tidak disebutkan,

maka itu artinya ketika orang dewasa melakukan tindak pemerkosaan terhadap

anak, maka tindakan itu akan masuk dalam kategori delik aduan sebagaimana

dirumuskan di dalam pasal 287 ayat (2) KUHP.

Menurut pasal 289 yang berbunyi: “Barang siapa dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan

pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan

hukuman penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun”.

66

(5)

Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan

(kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu termasuk dalam lingkungan

nafsu birahi kelamin, misalnya meraba-raba anggota badan atau kemaluan, yang

dilarang dalam Pasal ini bukan saja sengaja memaksa orang untuk melakukan

perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada

dirinya perbuatan cabul.67

B.Menurut Ketentuan Di Luar KUHP

j. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang

Anak adalah mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sejak dalam

kandungan anak sudah mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat

perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Anak

adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa maka anak harus

mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang

secara optimal baik fisik, mental maupun sosial.

Pasal 9 yang berbunyi:68

1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.

2) Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahaatan seksual dan kekerasan yang dilakukan pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

3) Selain mendapatkan hak anak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan (2), anak penyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan anak yang memiliki keunggulan berhak memdapatkan pendidikan khusus.

67

Supra catatan kaki nomor 37

68

(6)

Pasal 15, disebutkan hak perlindungan untuk anak yang berbunyi:69

setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungn dari: a. Penyalahgunaan dari kegiatan politik;

b. Perlibatan dalam sengketa bersenjata; c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; e. Pelibatan dalam peperangan; dan

f. Kejahatan seksual.

Di dalam pasal 1 butir 2 di jelasksan bahwa perlindungan anak adalah

segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan

dan diskriminasi.

Mengenai siapa yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap

penyelenggaraan perlindungan anak, jawaban siingkatnya adalah oranga tua,

pemerintah dan negara70. Yang dijelaskan lebih rinci dalam pasal 20, yang

berbunyi: “ Negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan

orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap

penyelenggaraan perlindugan anak.”

Dalam undang-undang Perlindungan Anak diatur tentang perlindungan

khusus yang diatur dalam pasal 59 yang berbunyi:

1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak. 2) Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan keapada:

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berhadapan dengan hukum; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat akdiktif lainnya;

69

Ibid., 70

(7)

f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS;

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban jaringan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas;

m.Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n. Anak dengan perilaku sosial menyipang; dan

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabenan terkait dengan kondisi orang tuanya.”

Perlindungan khusus yang diatur dalam pasal 59, perlindungan khusus bagi

anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dilaksanakan melalui

pasal 66, yang berbunyi:

“Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf d dilakukan melalui:

a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. Pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.”

Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban kejahatan seksual

dilakukan melalui upaya, dilaksanakan melalui pasal 69 A yang berbunyi:

a. Edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme;

b. Konseling tentang bahaya terorisme;

c. Rehabilitasi sosial; dan

(8)

Pasal 76 D mengatur tentang larangan, yang berbunyi: “ Setiap orang

dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksakan anak

melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 76 E yang berbunyi: “ Setiap orang dilarang melakukan kekerasan

atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”

Pasal 8171 mengatur tentang sanksi pidana dan denda dan terdapat pula

sanksi tambahan, yang berbunyi:

1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singakat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);

2) Ketentuan pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain; 3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan kelurga, pengasuh anak pendidik, tenaga pendidik, aparar yang menangani perliinidungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

4) Selain terhadap pelaku sebagaiman yang dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana karena juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D;

5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, palaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun;

6) Selain dikenal pidan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku;

71

(9)

7) Terhadap pelaku sebagaiman dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kemia dan pemasangan alat pendeteksi elekttronik;

8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan; 9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak.

Sebagaimana yang dimaksud pada pasal 81 diatas terdapat pidana tambahan

yaitu berupa pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia dan pemasangan alat

pendeteksi kimia yang baru diatur dengan Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Menjadi Undang-Undang.

Pasal 82 mengatur sebagai berikut:72

1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagamana yang dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan palinga lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);

2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara barsama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

3) Selain terhadap pelaku sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2), pemambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E;

4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1(satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, dipidana ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1); 5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pelaku dapat

dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku;

6) Terhadap pelaku sebaagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayata (4) dapat dikenai tindakan rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik;

72

(10)

7) Tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan barsama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan;

8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku anak.

Dalam hal pidana tamabahan pengumuman identitas pelaku dan

pemasangan alat pelacak elektronik juga diatur mengenai rehabilitasi yang diatur

didalam pasal 82 ayat (6), yang berbeda dengan pasal 81 yang mengatur tentang

kebiri kimia yang merupakan pidana tambahan yang baru diatur didalam

undang-undang perlindungan anak.

Tabel Perbandingan Undang-Undang perlindungan anak

No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014

Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2016

1. Pasal 1 angka 15

perlindungan khusus adalah

perlindungan yang

diberikan pada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan negan hukum,

anak dari kelompok

minoritas dn terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisikdan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran

Pasal 1 angka 16, Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau

penelantaran,

termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hhukum. dimaksud dalam

pasal 76D

dipidana dengan pidana penjara paling singakat 5

2) Ketentuan pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap

orang yang

(11)

muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan

persetubuhan dengannya atau orang lain;

3) Dalam hal tindak pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan kelurga, pengasuh anak pendidik, tenaga pendidik, aparar yang menangani perliinidungan

anak, atau

dilakukan oleh lebih dari satu

orang secara

bersama-sama, pidananya

ditambah 1/3

(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

4) Selain terhadap pelaku

sebagaiman yang dimaksud pada

ayat (3),

penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana

karena juga

dikenakan kepada

pelaku yang

(12)

sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D;

5) Dalam hal tindak pidana

sebagaimana yang dimaksud dalam

pasal 76D

menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan

luka berat,

gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,

dan/atau korban meninggal dunia, palaku dipidana

mati, seumur

hidup, atau pidana penjara paling

singkat 10

(sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun;

6) Selain dikenal pidan

sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku; 7) Terhadap pelaku

(13)

pendeteksi elekttronik; 8) Tindakan

sebagaimana dimaksud pada

ayat (7)

diputuskan bersama-sama dengan pidana

pokok dengan

memuat jangka waktu

pelaksanaan tindakan;

9) Pidana tambahan

dan tindakan

dikecualikan bagi pelaku anak

2. Pasal 59 pemerintah dan lembaga negara lainnya

berkewajiban dan

bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,

anak dari kelompok

minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak korban kekerasan baik ffisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, anak korban perlakuan salah dan penelantaran

Pasal 15, setiap anak

barhak untuk

memperoleh perlindungan dari: a. Penyalahgunaan

dalam kegiatan politik;

b.Pelibatan dalam sengketa

bersenjata;

c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial; d.Pelibatan dalam

peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; e. Pelibatan dalam

peperanga;dan f. Kejahatan seksual.

Pasal 81 A 1) Tindakan

sebagaimana dimaksud dala pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk

jangka waktu

paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok;

2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang

menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum,

sosial, dan

kesehatan;

(14)

rehabilitasi;

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai

tata cara

pelaksanaan

tindakan dan

rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

3. Pasal 66,

1) perlindungan khusus

bagi anak yang

dieksploitasi secara

ekonomi dan/atau

seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal

59 merupakan

kewajiban dan

tanggungjawab

pemerintah dan

masyarakat.

2) Perlindungan khusus

bagi anak yang

dieksploitasi

sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1)

dilakukan melalui: a. Penyebarluasan

dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan

perundang-undangan yang

berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. Pemantauan,

pelaporan, dan pemberian

sanksi;dan

c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat dalam penghapusan dan eksploitasi

Pasal 54

1) Anak didalam dan dilingkungan satuan pendidikan wajib

mendapatakan perllindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga

kependidikan, aparat peerintah, dan/atau

sebagamana yang dimaksud dalam

pasal 76E

dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan

keluarga,

pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan,

aparat yang

menangani perlindungan

anak, atau

(15)

terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. 3) Setiap orang dilarang

menempatkan, membiarkan,

melakukan, menyuruh melakukan, atau turut

serta melakukan

eksploitasi terhadap

anak sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1).

pidananya

ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

3) Selain terhadap pelaku

sebagaimana yang dimaksud pada

ayat (2),

pemambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku

yang pernah

dipidana karena melakukan tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E;

4) Dalam hal tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam

pasal 76E

gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,

dan/atau korban meninggal dunia, dipidana

(16)

5) Selain dikenai pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa

pengumuman identitas pelaku; 6) Terhadap pelaku

sebaagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayata (4) dapat dikenai tindakan

rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi

elektronik; 7) Tindak

sebagaimana dimaksud pada

ayat (6)

diputuskan barsama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu

pelaksanaan tindakan;

8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku anak.

4. Pasal 69

1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerassan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya:

a. Menyebarluaskan dan sosialisasi ketentuan peraturan

Pasal 59 1) Pemerintah,

pemerintah daerah,dan

lembaga negara lainnya

berkewajiban dan bertanggungjawab untuk

memberikan perlindungan khusus kepada

Pasal 82 A selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok;

(17)

perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan b. Pemantauan,

pelaporan, dan

pemberian sanksi. 2) Setiap orang dilarang

menempatkan, membiarkan,

melakukan, menyuruh melakuan, atau turut

serta melakukan

kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat dimaksud pada ayat (1) diberikan minoritas dan terisolasi; fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban

tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang

menyelenggaraka

n urusan

pemerintah di bidang hukum,

sosial, dan

kesehatan;

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai

tata cara

(18)

kejahatan

perilaku sosial menyimpang; dari pelabenan terkait dengan kondisi orang tuanya.

5. Pasal 81

1) Setiap orang dengan sajanga melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

anak melakukan

persetubuhan

dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling

banyak Rp.

3000.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan

paling sedikit

Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku

Pasal 59A,

Perlindungan khusus

bagi anak

sebagaimana

dimaksud dalam

Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya:

a. Penangan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau

rehabilitasi secara fisik, psikis, dan

psikologis pada saat pengobatan sampai

(19)

pula bagi setiap orang yang dengan sengaja

melakukan tipu

muslihat, serangkaian

kebohongan, atau

membujuk anak

melakukan persetubuhan

dengannya atau dengan orang lain.

c. Pemberian

bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan d. Pemberian

perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.

6. Pasal 82, setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa,

melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk

melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas0 tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda

paling banyak

Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 66,

Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaiman dimaksudkan dalam Pasal 59 ayat (2)

undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b. Pemantauan,

pelaporan, dan pemmberian sanksi; dan

c. Pelibatan berbagai perusahaan, serikat apekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi

(20)

8. Pasal 88, setiap orang yang mengeploitasi ekonomi dan/atau seksual anak dengan maksud untuk menuntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 69 A

Perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan seksual sebagaimana

dimaksud dalam

Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya: a. Edukasi tentang

pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme; b. Konseling tentang

bahaya terorisme; dilarang melakukan

kekerasan atau

ancaman kekerasan, memaksakan anak melakukan

persetubuhan

dengannya atau

dengan orang lain.

Pasal 76 E

Setiap orang dilarang melakukan

kekerasan atau

ancaman kekerasan, memaksa,

melakukan tipu

muslihat, melakukan serangkaian

kebohongan, atau

membujuk anak

(21)

10. Pasal 81

1) Setiap orang yang melanggar

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 76D

dipidana dengan pidana penjara paling singakat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling

banyak Rp.

5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);

2) Ketentuan pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap

orang yang

dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan

persetubuhan dengannya atau orang lain;

3) Dalam hal tindak pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan

kelurga, pengasuh anak pendidik, tenaga pendidik,

aparar yang

(22)

perliinidungan

anak, atau

dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya

ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

11. Pasal 82

1) Setiap orang yang melanggar

ketentuan

sebagamana yang dimaksud dalam

pasal 76E

dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan palinga lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp5.000.000.000, 00 (lima milyar rupiah);

2) Dalam hal tindak pidana

sebagaimana dimaksud pada

ayat (1)

dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga,

pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan,

aparat yang

(23)

k. Menurut Undang-Undang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga

Undang-undang ini dibuat sebagai upaya mencegah, menanggulangi dan

mengurangi tindak kekerasan ataupun kejahatan yang semakin marak di

lingkungan keluarga. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan membentuk rumah

tangga/keluarga adalah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia. Apabila

rumah tangga bahagia, maka lingkugan masyarakat dan bangasa tentu bahagia

serta negara menjadi aman dan damai.73

Pasal 4 menyatakan tujuan penghapusan kekerasan yaitu:74

a) Mencengah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;

b) Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;

c) Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan

d) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera

Larangan untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam

pasal 5 yang menyatakan bahwa:

73

Bambang Waluyo, Op. Cit,Hal 86-87.

74

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

perlindungan

anak, atau

dilakukan oleh lebih dari satu orang secara barsama-sama, pidananya

(24)

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:

a. Kekerasan fisik; b. Kekerasan fsikis; c. Kekerasan seksual; atau d. Penelantaran rumah tangga.

Pasal 8 menyatakan bahwa: “ Kekerasan seksual sebagaimana yang

dimaksud pada pasal 5 huruf c meliputi:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap

dalam linigkup rumah tangga tersebut;

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah satu seorang dalam lingkup

rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan

tertentu.

Secara khusus, korban kekerasan dalam rumah tangga mempunyai hak-hak

yang diimplementasikan dalam pasal 10, yaitu:

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapapan perintah perlindungan dari pengadilan;

b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

e. Pelayanan bimbingan rohani.

Kepada masyarakat, undang-undang tersebut menegaskan suatu kewajiban

masyarat yang terdapat pada pasal 15, yaitu:

“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam ruamah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:

a. Mencengah berlangsungnya tindak pidana; b. Memberikan perlindungan pada korban; c. Memberikan pertolongan darurat;

(25)

Hal penting lainnya yang perlu dijabarkan berkaitan hak korban, yakni

adanya perlindungan sementara, pelayanan kesehatan, pekerja sosial, bimbingan

rohani dan sebagainya.

1. Perlindungan sementara adalah perlindungan langsung yang diberikan oleh

kepolisian dan/atau lembaga sosial, atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya

penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan ini wajib

diberikan kepolisian kepada korban yang diatur dalam Pasal 16, yaitu:

1) Dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban; 2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

palinga lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani;

3) Dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

2. Pelayanan kesehatan, dalam Pasal 21 mengatur ketika korban memperoleh

perlindungan dalam bentuk pelayanan kesehatan, maka tenaga kesehatan

diharuskan untuk:

a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;

b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et

repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis

yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.75

3. Pelayanan pekerja sosial, seperti yang dimaksud pada Pasal 22 dengan

ketentuan sebagai berikut:

1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus:

a. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;

75

(26)

b. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

c. Mengantarkan korban kerumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan d. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada

korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.

2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.

4. Pelayanan bimbingan rohani,

melalui Pasal 24, dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus

memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan

iman dan taqwa kepada korban.

Pasal 27, menyatakan: “ Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan

dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan

yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.”

Pasal 29 menjelaskan tentang permohonan untuk memperoleh perlindungan

dapat diajukan oleh:

a. Korban atau keluarga korban; b. Teman korban;

c. Kepolisian;

d. Relawan pendampinga; atau e. Pembimbing rohani.

Ketentuan pidana mengenai kekerasan seksual dalam lingkup rumah

tanggan diatur dalam beberapa pasal yaitu:

Pasal 46 yang menyatakan bahwa:

“ Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana

(27)

lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga

puluh eman juta rupiah).”

Pasal 47, yang berbunyi:

“ Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakkukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima balas) tahun atau denda paling sedikit Rp.12.000. 000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”

Pasal 48, menyatakan bahwa:

“ Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan pasal 47

mengakibatkan koraban dapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, megalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singakat 5 (lima) tahun dan pidana paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Seperti yang diketehui bahwa korban berasal dari golongan dan strata yang

heterogen pendidikannya, status sosial, suku, agama.76 pelakunya berasal dari

lingkup keluarga/rumah tangga sendiri dimana seharusnya anak menperoleh rasa

aman, tempat anak mendapat perlindungan, pendidikan.

l. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

Didalam bagian menimbang undang-undang perlindungan saksi dan korban

menyatakan bahwa jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki

perana yang penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan keterangan

76

(28)

saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat

mengungkap suatu tindak pidana.

Dalam kasus kekerasan seksual sering kali pelakunya adalah orang yang

dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pelakunya telah dikenal

sebelumnya oleh korban, bahkan mungkin sangat dekat sekali atau bisa jadi

pelaku adalah salah satu dari anggota keluarganya juga. Menurut Rita Serena

Kalibonso, jika pelaku memiliki hubungan keluarga dengan korban, apalagi ia

adalah ayah korban sendiri, maka makin sulit untuk menjangkau korban apalagi

memprosesnya secara hukum. Orang tua canderung menjaga korban untuk tidak

menjalani proses hukum, ibu korban juga sulit diharapkan untuk membantu

karena takut kepada suami dan keluarganya. Padahal dalam proses hukum

seseorang anak yang berusia kurang dari 12 (dua belas) tahun harus didampingi

orang tua atau wali.77

Situasi diperparah dengan ideologi jaga praja, atau menjaga ketat kerahasian

keluarga khususnya dalam budaya jawa “ membuka aib dalam keluarga berarti

membuka aib diri sendiri”, sehingga membuat situasi anak korban kekerasan

semakin memperihatiankan karena tidak mendapatakan perlindungan atas haknya.

Di dalam Pasal 5, pasal 6, pasal 7 dan pasal 7A menyatakan tentang hak

saksi dan korban, yaitu:

pasal 5 menyatakan:

1) Saksi dan korban berhak atas:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. Ikut serta dalam proses memilh dan menuntut dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

77

(29)

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penerjemah;

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. Mendapatkan informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. Dirahasiakan identitasnya;

j. Mendapat identitas baru;

k. Mendapat tempat kediaman sementara; l. Mendapat tempat kediaman baru;

m.Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. Mendapat nasehat hukum;

o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir, dan/atau

p. Mendapat pendamping

2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK; 3) kepada saksi dan/atau korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu

sebagaimana dimasud pada ayat (2), dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.

Pasal 6 menyatakan:

1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, juga berhak mendapatkan:

a. Bantuan medis; dan

b. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan keputusan LPSK.

Pasal 7 menyatakan bahwa:

1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan korban tindak pidana terorisme selain mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan pasal 6, juga berhak atas kompensasi;

2) Kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya kepada pengadilan Hak Asasi Manusia melalui LPSK;

(30)

4) Pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme.

Pasal 7A menyakan bahwa:

1) Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa: a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;

b. Ganti kerugaian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau

c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetpkan dengan keputusan LPSK;

3) Pengajan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK; 4) Dalam hal permohonan restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekeuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya;

5) Dalam hal permohonan restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetep, LPSK dapat mengajukan penetapan; 6) Dalam hal korban tindak pidana meninggal dunia, restitusi diberikan kepada

keluarga korban yang merupakan ahli waris korban.

Tata cara memperoleh perlindungan diataur dalam Pasal 29 yang

menyatakan bahwa:

1) Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, yaitu sebagai berikut:

a. Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;

b. LPSK segera melakukan pemeriksan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan

c. Keputusan LPSK diberikan tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.

2) Dalam hal tertentu LPSK dapat memberikan perlindungan tanpa diajukan permohonan.

Ketentuan pidana mengenai tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam

Pasal 37 dan Pasal 38, yaitu:

(31)

1) Setiap orang yang memaksaan kehendaknya dengan menggunakan kekerasan atau cara tertentu, yang menyebabkan saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a, hiruf i, huruf j, huruf k, huruf l sehigga saksi dan/atau korban tidak memberikan kesaksiannya pada setiap tahap pemeriksaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);

2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada saksi dan/atau korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya saksi dan/atau korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 38 menyatakan bahwa:

“ Setiap orang yang menghalang-halangi saksi dan/atau korba secara melawan

hukum sehingga saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf i, huruf k, huruf l, huruf p, pasal 6 ayat (1), pasal 7 ayat (1) atau pasal 7A ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

m. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dalam bagian menimbang didalam peraturan pemerintah ini disebutkan

bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 43 undang-undang penghapusan

kekerasan dalam rumah tangga perlu menetapkan peraturan pemerintah tentang

penyelenggara dan kerja sama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga.

Didalam Bab II peraturan pemerintah ini mengatur tentang penyelenggaraan

pemulihan yang diatur dalam beberapa pasal yaitu:

Pasal 2 menyatakan bahwa:

(32)

masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemilihan korban;

2) Fasilitas sebagaiman dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian; b. Tenaga yang ahli dan profesional;

c. Pusat pelayanan dan rumah aman; dan

d. Sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.

3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 3 menyatakn bahwa:

1) Menteri menetapkan pedoman pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga yang sensitif gender;

2) Pedoman pemulihan korban sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4 menyatakan bahwa:

Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi: a. Pelayanan kesehatan;

b. Pendampingan korban; c. Konseling;

d. Bimbingan rohani; dan e. Resosialisasi.

Pasal 5 menyatakan bahwa:

1) Pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga keseshatan di sarana milik pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk swasta dengan cara memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban;

2) Pendampingan korban dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani dengan cara memberikan konseling, terapi, bimbingan rohani dan advokasi guna penguatan dan peulihan diri korban;

3) Pemberi konseling dilakukan oleh pekerja sosial, relawan pendamping, dengan mendengarkan secara empati dan menggali permasalahan untuk penguatan psikologi korban;

4) Bimbingan rohani dilakukan oleh pembimbing rohani dengan cara memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajibannya, serta penguatan iman dan takwa sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

Gambar

Tabel Perbandingan Undang-Undang perlindungan anak

Referensi

Dokumen terkait

The strong flavored burnt Sienna colored hot beverage is the most popular type of tea in the West. Either served with a squeeze of lemon or added milk and a cube of sugar, the cup

Sehubungan dengan evaluasi Pemilihan Langsung Pengadaan Barang/Jasa pada Dinas Bina Marga Kota Medan Tahun Anggaran 2016 paket pekerjaan Rehabilitasi/

Apabila Saudara tidak hadir sesuai jadwal tersebut di atas, maka Pokja Pengadaan berkesimpulan Saudara menerima hasil evaluasi/kesimpulan akhir terhadap penawaran yang saudara

maka pada skripsi ini akan dibuat sebuah meja yang dapat diatur ketinggiannya dengan. kontrol smartphone android mengunakan media koneksi

Nilai kualitas suatu produk sebagian besar ditentukan oleh persepsi konsumen atas kualitas tersebut, sesuai dengan pernyataan bahwa yang berpengaruh terhadap harga adalah

Peneliti mencoba untuk member ikan kontr ibusi penting, baik secar a pr aktis maupun teo- r etis, dimana secar a pr aktis penelitian ini member ikan infor masi penting kepada

-Naskah Soal dan LJUN dalam 1 ruang ujian tidak akan tertukar dengan paket lainnya3. -Jumlah Naskah Soal sama dengan jumlah

Dari hasil survei pendahuluan yang telah dilaksanakan dapat diketahui bahwa proses produksi pada pengrajin pandai besi di Desa Carikan Sukoharjo mempunyai tahapan