• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemerkosaan anak oleh ayah kandung, saudara laki-laki, tetangga, teman merupakan penderitaan anak yang tidak bisa terhapus dalam kehidupan selanjutnya. Peristiwa perkosaan maupun bentuk kekerasan seksual lain terhadap anak yang sering dilakukan oleh orang-orang dekat dinilai sudah memasuki tahap

yang memperhatinkan.109

Masyarakat pada umumya tidak menyadari luasnya pengaruh child abuse

ini, untuk melihat kompleksitas masalah yang dihadapi sebagai akibat dari

pengaruh child abuse ini dapat dilihat dari beberapa pendapat pakar berikut ini.

Menurut Rusmili, mengemukakan bahwa anak-anak yang menderita

kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan penelantaran menghadapi resiko:110

a) Usia yang lebih pendek;

b) Kesehatan fisik da mental yang buruk;

c) Masalah pendidikan (termasuk dropt-out dari sekolah);

d) Kemampuan yang terbatas sebagai orang tua kelak;

e) Menjadi gelandangan.

Sementara itu Suharto menyimpulkan bahwa kekerasan dapat menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling kendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak di kemudian hari, antara lain:111

1) Cacat tubuh permanen;

2) Kegagalan belajar;

109

Sri Esti Wuryani Djiwandono, loc. Cit 110

Abu Huraerah, op.cit. hal 56 111

3) Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan kepribadian;

4) Konsep diri yang buruk dan ketidakmampua untuk mempercayai atau

mencintai orang lain;

5) Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan baru

dengan orang lain;

6) Agrsif dn kadang-kadang melakukan tindakan kriminal;

7) Menjadi penganiaya ketika dewasa;

8) Menggunakan obat-obat atau alkohol;

9) Kematian.

Sedangkan Richard J. Gelles112 menjelaskan bahwa konsekuensi dari

tindakan kekerasan dan penelantaran anak dapat menimbulkan kerusakan dan

akibat yang lebih luas (far-reaching). Luka-luka fisik seperti: memar-memar

(bruises), goresan-goresan (scrapes), dan luka bakar (burns) hingga kerusakan

otak (brain damage), cacat permanen (permanent disabilities), dan kematian

(death). Efek psikologis pada anak korban kekerasan dan penganiayaan bisa

seumur hidup, seperti: rasa harga diri rendah (a lowered sense of self-worth),

ketidakmampuan berhubungan dengan teman sebaya (aninability to relate to

peers), masa perhatian tereduksi (reduced attention span), gangguan belajar (learning disorders). Dalam beberapa kasus, kekerasan dapat mengakibatkan

gangguan-gangguan kejiwaan (psychiatric disorders), seperti: depresi

(depressian), kecemasan berlebihan (excessive anxiety) atau gangguan identitas

disosiatif (dissociative identity disorder), dan juga bertambahnya resiko bunuh

diri (suicide).

112

Gambaran yang lebih jelas tentang efek tindakan kekerasan pada anak juga bisa dilihat dari penjelasan Moore dalam Fentini Nugroho yang mengamati beberapa kasus anak yang menjadi korban penganiayaan fisik. Diungkapkannya bahwa efek tindakan kekerasan tersebut demikian luas dan secara umum dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepribadian sendiri, apa yang dilakukan sepanjang hidupnya hanyalah memenuhi keinginan orangtuanya, mereka tidak mampu menghargai dirinya sendiri; ada pula yang sulit menjalin relasi dengan individu lain; dan yang tampaknya paling parah adalah timbulnya rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya karena merasa hanya dirinyalah yang selalu bersalah sehingga menyebabkan penyiksaan terhadap dirinya, dan rasa benci terhadap dirinya sendiri ini menimbulkan tindakan untuk menyakiti dirinya sendiri seperti bunuh diri dan sebagainya. Selain akibat psikologis tersebut, Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh yang kurang normal, juga rusaknya sistem saraf, dan sebagainya. Dari uraian di atas terlihat bahwa dampak dari tindakan kekerasan terhadap anak begitu menggenaskan. Mungkin belum banyak orang menyadari bahwa pemukulan bersifat fisik itu bisa menyebabkan kerusakan

emosional anak.113

Ciri-ciri umum anak yang mengalami kekerasan seksual (sexual abuse)

dalam penjelasan Charles Zastrow dalam Suharto (2003), studi yang dilakukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur bekerja sama dengan UNICEF (2000), berhasil mengungkapkan bahwa seeringkali pelaku tindak perkosan

113

adalah orang yang sudah dikenal korban, baik itu tetangga, saudara, kerabat, guru,

atau bahkan kakek atau ayah kandung korban, yakni: 114

1. Tanda-tanda perilaku

a) Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku: dari bahagia ke depresi

atau permusuhan, dari bersahabat ke isolasi, atau dari komunikatif ke penuh rahasia.

b) Perilaku ekstrim: perilaku yang secara komparatif lebih agresif atau pasif

dari teman yang lama.

c) Gangguan tidur: takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam

waktu yang lama atau mimpi buruk.

d) Perilaku regresif: kembali pada perilaku awal perkembangan anak

tersebut, seperti ngompol, mengisap jempol, dan sebagainya.

e) Perilaku anti-sosial atau nakal: bermain api, mengganggu anak lain atau

binatang, tindakan-tindakan merusak.

f) Perilaku menghindar: takut akan, atau menghindar dari orang tertentu

(orangtua, kakak, saudara lain, tetangga, pengasuh), lari dari rumah, nakal atau membolos sekolah.

g) Perilaku seksual yang tidak pantas: masturbasi berlebihan, berbahasa atau

bertingkah porno melebihi usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang lebih muda, menggambar porno.

h) Penyalahgunaan NAPZA: alkohol atau obat terlarang khususnya pada

anak remaja.

114

i) Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri: merusak diri sendiri, gangguan makan, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan berisiko tinggi, percobaan atau melakukan bunuh diri

2. Tanda-tanda kognisi

a) Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan mengkhayal, fokus

perhatian singkat/terpecah;

b) Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap pekerjaan

sekolah dibandingkan dengan sebelumnya;

c) Respon/reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan tiba-tiba dan

oranglain dalam jarak dekat.

3. Tanda-tanda sosial-emosional

a) Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga;

b) Menarik diri: mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam khayalan atau ke

bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan;

c) Depresi tanpa penyebab jelas: perasaan tanpa harapan dan

ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri;

d) Ketakuan berlebihan: kecemasan, hilang kepercayaan terhadap oranglain;

e) Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang seperti

sebelumnya atau sebagaimana dialami oleh teman sebayanya.

4. Tanda-tanda fisik

a) Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut,

tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai, muntah-muntah;

b) Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kemaluan: pada vagina, penis, atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri atau gatal-gatal di seputar alat kelamin; dan

c) Hamil.

Dampak dari perkosaan dapat berupa:115

a) Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi berharga akibat

kehilangan keperawanan (kesucian) dimata masyarakat, calon suami, atau pihak-pihak lain yang terkait dengannya. Penderitaan psikologis lainnya dapat berupa kegelisahan, kehilangan rasa percaya diri, tidal lagi ceria, sering menutup diri atau menjauhi kehidupan ramai, tumbuh rasa benci (antipati) terhadap lawan jenis dan curiga berebihan terhadap pihak-pihak lain yang bermaksud baik padanya;

b) Kehamilan yang dimungkinkan dapat terjadi, hal ini dapat berakibat

lebih fatal lagi apabila janin yang ada tumbuh menjadi besar (tidak ada keinginan untuk diabortuskan). Artinya anak yang dilahirkan tidak memiliki kejelasan statusnya secara yuridis dan norma keagamaan;

c) Penderitaan fisik, artinya akibat perkosaan itu akan menimbulkan luka

pada diri korban. Luka ini bukan hanya terkait pada alat vital (kelamin perempuan) yang robek, namun tidak menutup kemungkinan ada organ tubuh lainnya yang luka bilamana korban lebih dulu melakukan perlawana dengan keras sekaligus mendorong pelakunya untuk berbuat lebih kasar dan kejam guna penaklukkan perlawanan dari korban.

115

d) Tumbuh rasa kurang percayaan pada penanganan aparat praktisi hukum, bilamana kasus yang ditanganinya lebih banyak menyita perhatiannya, sedangkan penangan kepada tersangaka terkesan kurang sungguh- sungguh. Korban merasa diperlakukan secara diskriminasi dan dikondisikan makin menderita kewijaannya atau lemah mentalnya akibat ditekan secara terus menerus oleh proses penyelesaian perkara yang tidak kunjung berakhir.

e) Korban yang dihadapkan pada situasi sulit seperrti tidak lagi merasa

berharga di mata masyarakat, keluarga, calon suami dapat saja terjerumus daam dunia prostitusi. Artinya, tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pelampiasan diri untuk membalas dendam pada laki-laki dan mencari penghargaan.

BAB IV

PERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)